Jangan Ucapkan Cinta (Book 1)
Seorang lelaki nampak sedang memutar kemudinya. Dari balik kacamata hitamnya, ia memperhatikan jalan di depannya saat melajukan audi hitamnya. Ketika sampai di sebuah pertigaan jalan besar, mobilnya pun berhenti karena lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah. Sambil bersenandung, ia memperhatikan orang-orang yang melintas di depan mobilnya, hendak menyebrang jalanan. Namun tatapannya tak lama teralih pada seorang wanita yang sedang menggandeng gadis kecil. Sepasang ibu dan anak itu tertawa sesekali dengan wajah berbinar penuh kebahagiaan. Tak ada beban yang nampak disana, yang langsung membuat hati lelaki itu terenyuh.
Indahnya.
Tiba-tiba ia teringat pada sosok yang kini pasti sedang menunggunya dirumah. Entah apakah dirinya pantas berkata bahwa sosok itu sedang menunggunya ataukah terpaksa menunggunya. Sosok yang sangat ia cintai itu pastinya akan selalu berada dirumah bersama dengan empat orang pelayan yang ia pekerjakan untuk merawat sang kekasih.
Kekasih?
Tidak. Tidak ada sebutan manis untuk sosok itu darinya. Sosok itu sebenarnya hanyalah seorang wanita yang tak lebih dari seorang wanita simpanan. Wanita yang telah disakitinya dengan kasar tanpa berkeinginan untuk membalasnya kembali.
Lelaki itu pun tersenyum kecut kala mengingat sosok itu. Ia seperti pria lainnya yang tak tahu diri masih berani menyebut sosok itu sebagai kekasih pujaannya. Ia bahkan pernah membuat sosok itu ingin membunuh dirinya sendiri dan sekarang ia bertingkah seperti seorang kekasih yang mencintai pasangannya. Ia munafik. Terlalu takut untuk mengatakan kalau dirinya sebenarnya takut kehilangan sosok itu. Ketakutan akan pemandangan hilangnya sosok itu dari rumahnya membuatnya kalut. Ia tak bisa hidup tanpa sosok itu untuk kedua kalinya. Sudah cukup waktu yang telah berlalu, hanya untuk melihat kesakitannya. Dan, Jullian tak mau itu terjadi.
Sejak beberapa tahun lalu, ia sadar kalau sesungguhnya sosok itulah yang paling ia inginkan dari apapun di dunia ini. Bahkan, ia rela menukar apapun demi sosok itu. Dan kini, setelah semua sudah terjadi, semuanya sudah terlambat. Ia takkan pernah bisa mengembalikan apa yang telah ia hilangkan dulu. Semuanya sudah lenyap, termasuk sosok yang dulu pernah bersamanya. Ia takkan lagi menemukan kehidupan didalamnya. Jullian saat ini hanya bersikap seperti seorang penyayang karena dirinya terlalu pengecut. Ia tetap mempertahankan sosok itu disisinya meski ia tahu kalau sosok itu sudah hancur.
"Ada di mana dia?"
Jullian Basuki. Lelaki berperwakan tinggi besar itu baru saja tiba di istana mewahnya yang terletak di kawasan elite Jakarta. Rumah dengan tiga lantai dipercantik dengan ornamen mewah berwarna gold itu memang ia bangun untuk kekasih hatinya. Rumah itu adalah rumah impian mereka. Ah, tidak, impiannya. Sosok itu tak pernah mengatakan apa yang ia inginkan.Selalu dirinyalah yang memutuskan semuanya sendiri.
"Dia di dalam, Tuan." Seorang pria paruh yang bekerja sebagai asisten pribadinya memang ia perintahkan untuk mengawasi rumahnya kala dirinya pergi ke kantor.
Aneh bukan?
Harusnya seorang asisten mengikuti kemana atasannya pergi, namun kini pria paruh di rumahnya untuk menjaga situasi disana. Hanya laki-laki itu yang bisa Jullian percayai untuk menjaga rumahnya kala ia sedang berpergian. Hanya pria itu yang bisa menjaga dan memantau keamanan wanita yang sangat dicintainya itu.
Dengan langkah lebar, Jullian berjalan memasuki rumah mewahnya itu menuju lantai dua. Sepanjang jalannya, seluruh pelayan membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada Tuannya itu.
Tepatnya, di sebuah kamar utama berpintu prancis putih, didalam sana ada sosok yang ia ingin sekali temui beberapa hari ini. Pekerjaannya yang menugaskannya di luar kota mengharuskannya pergi meninggalkan sosok itu sendirian. Seandainya tidak, mungkin Jullian akan mengurangi semua kegiatannya dengan membawa seluruh pekerjaannya ke rumah seperti biasanya. Berada jauh dari sosok itu membuat dadanya terasa sesak.
"Arnetta ..." panggilnya lirih ketika daun pintu terbuka.
Hening.
Suasana itulah yang sudah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Seorang wanit acantik nampak duduk bersandarkan bantal di atas tempat tidurnya dengan pandangan kosong. Wanita berkulit pucat itu bagaikan boneka hidup. Wajahnya yang dulu berseri-seri kini berubah pucat. Pipi dan bibirnya yang merah sudah memutih seiring berjalannya waktu. Tatapannya kosong, tak menyambut kedatangan Jullian seperti dulu. Tak ada lagi senyuman keterpaksaan karena menahan sakit ang ditunjukkan oleh wanita itu. Semuanya terasa hampa dan kosong. Tatapannya tak lagi hangat seperti dahulu.
Jullian mendekati sosok yang terduduk di atas sana. Ia menempatkan dirinya duduk dipinggir kasur itu sepelan mungkin. Dibelainya rambut hitam legam milik wanitanya itu dengan lembut dan penuh kehati-hatian, seakan sosok itu akan hancur jika ia menekan tangannya di sana. Ia tak sampai hati menyakiti wanita ini. Arnettanya telah hancur, karena ulahnya.
"Bagaimana kabarmu hari ini, sayang?" tanyanya lembut. Dengan sabar, Jullian mengelus pipi wanita itu yang terasa dingin ditangannya. Namun, kenyataannya sosok itu takkan pernah menjawab apapun pertanyaan yang ia ajukan. Ia tahu sampai kapanpun takkan pernah ada sahutan dari bibir kekasihnya itu. Sosok itu telah berubah menjadi mayat hidup dan itu karena kesalahannya. Ingin rasanya Jullian menekan egonya sebagai seorang laki-laki dan menangis, meraung di hadapan sosok itu. Ia ingin sosok Arnetta-nya yang dulu. Wanitanya yang kuat dan ceria bukan sosok mayat hidup yang menyerupai kekasihnya. Ia sudah tak tahu lagi di mana sosok ceria itu sekarang.
Sejak kejadian itu, Arnetta telah menghilang bersama dengan impain masa lalu yang pernah mereka rajut bersama. Digenggamnya tangan mungil itu dan dikecupnya dengan penuh kasih sayang. Tangan itu yang dulu merawatnya kala dirinya sakit dan tangan itu juga yang memasakkan makanan untuknya. Tapi tangan itulah yang telah ia pukuli dan ia siksa. Tangan itu, kini menjadi saksi bisu betapa menderitanya wanita cantik itu dulu.
"Arnetta, ... Maafkan aku." Isaknya.
Jullian tak bisa lagi membendung tangisnya saat melihat kondisi Arnetta yang sudah tak lagi sama seperti dulu. Wanita itu seolah menjadi sebuah boomerang untuknya. Arnetta memang tak pernah membalasnya. Wanita itu tak mungkin memiliki niat untuk membalas dendam atas perbuatannya. Namun, kepasrahan dan ketidakberdayaan wanita itu berhasil menghancurkannya. Biarlah ia menangis hari ini. Tidak, biarlah ia menangis lagi hari ini. Asalkan
di depan kekasihnya, tak masalah Jullian dikatakan sebagai laki-laki cengeng. Ia hanya ingin melegakan perasaannya. Kediaman Arnetta membuka semuanya. Kejahatan yang dikiranya adalah perbuatan wanita itu ternyata adalah manipulasi.
Arnetta tidak pernah meninggalkannya. Wanita itu hanya menjadi korban dari ulah keluarganya, keluarga yang tak pernah menganggapnya ada. Cukup lama Jullian menangis lagi di depan sosok itu. Sosok hangat yang berubah menjadi dingin itu takkan pernah lagi menyambutnya dengan kehangatan. Arnetta masih bisa di dunia ini karena Jullian memaksanya. Sosok itu sebenarnya sudah lama mati bersama anak mereka. Arnetta yang dulu takkan
lagi menyahuti apapun keluar dari mulut orang-orang yang menyesal telah menyakitinya dulu. Kini sepasang mata hitam itu hanya memandang lurus depannya dengan Jullian yang menangis di pangkuannya.
***
"Jangan memandangku dengan wajah kotormu, ******!"
"Hentikan suaramu! Kau membuatku jijik ...”
"Aku akan menjadi orang pertama yang akan membunuh janin itu kalau sampaikau hamil."
***
"Sayang, bicaralah. Sekarang Aku sudah kembali bersamamu. Kau bilang akan terus bersamaku asalkan aku tak
meninggalkanmu. Mengapa kau tak mau kembali padaku?"
Tanpa Jullian sadari, seorang wanita lainnya mengintip dari balik celah pintu yang terbuka sedang berusaha keras membekap mulutnya. Ia tak ingin Jullian atau siapapun mendengar tangisannya. Sama seperti Jullian, ia juga mementingkan egonya untuk tidak terlihat cengeng di depan siapapun. Tapi siapa yang tahan ketika melihat kondisi wanita cantik yang begitu mengenaskan itu. Tak ada lagi suara yang memanggil namanya, tak ada lagi pandangan sendu dari kedua mata hitam itu, tak ada lagi yang meminta maaf padanya. Kini semua menghilang, persis seperti apa yang ia inginkan dulu. Tapi tidak ia tak ingin semua seperti ini.Ia menginginkan semuanya kembali.
"Maafkan kakak, Arnetta. Maafkan kakak."
Lusi membekap mulutnya agar tak adayang mendengar suaranya, termasuk kedua orang yang ada disana. Arnetta yang seperti ini, tentu karena ulahnya. Dosa yang diperbuatnnya takkan pernah berkurang.
“Permisi ...”
Di sana seorang anak kecil tengah berdiri mengamati wanita yang diam-diam memperhatikan adegan tuan rumah bersama istri barunya itu. Ada serbuan rasa tak suka saat melihat sosok wanita dewasa itu di sana. Sepasang mata polos yang seharusnya menyiratkan kasih sayang, malah menatap kehadiran wanita itu dengan dingin di rumah ini.
Lusi, wanita itu langsung menoleh kebelakang dan terkejut mendapati Arif, sang anak telah berdiri tak jauh di tempatnya. Tatapan anak semata wayangnya itu berhasil membuat hatinya remuk.
Arif, anak yang selama ini hanya diperalatnya untuk mendapatkan sosok Jullian, yang tak pernah diperhatikannya seperti anak pada umumnya. Arif pantas melakukannya. Meski anak itu masih memanggilnya dengan sebutan “Mama”, tak memungkiri kebencian dini yang tertanam padanya. Bukan karena Arnetta, bukan karena Jullian. Dirinyalah yang membuat Kebencian Arif bertumbuh padanya.
Lusi sadar jika ketidakperduliannya pada Arif mendatangkan perasaan itu padanya.
“Arif ...”
“Jangan ganggu Bunda Arnetta. Bunda sedang istirahat.” Ucapnya dingin.
Untuk seusinyanya, ucapan Arif itu terdengar tak wajar. Anak itu hanya akan menjadi Arif kecil yang polos ketika berhadapan dengan Arnetta atau Jullian. Tidak dengan Lusi. Arif cenderung dingin pada ibu kandungnya itu. Anak berusia enam tahun itu lebih memilih bersama Arnetta sebagai ibunya ketimbang bersama Lusi, yang telah melahirkannya. “Arif.”
“Papa melarang anda disini. Lebih baik anda pergi saja. Tidak ada gunanya dating kesini” Titahnya.
Langsung saja Arif berlari meninggalkan Lusi menuju kamar di mana Jullian dan Arnetta berada. Anak kecil itu tak memperdulikan lagi keadaan Lusi yang sudah berderai air mata menyaksikan kepergiannya. Kini penyesalan tinggalah penyesalan. Tak ada yang bisa Lusi lakukan untuk meredam kebencian sang anak padanya. Arif pantas untuk membencinya. Kebencian yang tak wajar untuk anak seusianya mungkin akan menjadi balasan atas semua dosa yang selama ini dilakukannya. Dan, Lusi hanya tinggal berpasrah menerimanya. Berharap suatu hari nantiArif akan kembali mencintainya.
“Mama mencintaimu, Nak. Mama sangat mencintaimu, Arif.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
yusuf xxx123
nice
2022-10-13
0
Teras Aja
lanjut
2022-10-13
0
Mawar
mampir
2022-10-13
0