Bab 3

Aku mengharapkan sesuatu

yang bisa membawaku kembali.

Aku ingin berada jauh

dari tempat yang kejam ini.

Aku merindukan

kehangatan ketika aku pulang.

Tapi, … aku sudah tak

sanggup.

Rasa lelah yang

menghinggapi pundahkku terasa semakin berat.

Aku sudah tak lagi bisa

menaruh rasa percaya pada siapapun.

Dia telah merubah jalan

hidupku.

Dendam.

Aku hanya ingin

melihatnya mati didepan kedua mataku.

Jullian Basuki.

***

Seorang pria masih

bertahan dibalik mejanya meski langit terang telah terganti dengan cahaya senja

oranye. Hal itu tak membuatnya berhenti berkutat pada berkas-berkas yang

menumpuk di atas mejanya. Pekerjaan yang semakin banyak setelah ditinggalkannya

untuk perjalanan dinas ke luar negeri beberapa hari saja sudah semakin

memusingkan.

Namun, bukan hanya hal

itu saja yang membuat pria yang menggunakan kacamata lensa bening tipis tak

berbingkai miliknya. Berkas-berkas itu tidak kalah memusingkan dari suara dari

intercom yang terus berbicara tanpa henti. Benda mati itu tidak dapat

berbicara. Akan tetapi, sesuatu yang tengah menghubungkannya dengan seseorang

yang entah berapa di mana itulah penyebab semua kekacauan hari ini.

“Jangan lupa untuk

datang tepat waktu ke restoran itu. Ibu tak mau Lusi menunggu lama disana.”

Suara seorang wanita berbicara dari benda yang berada tak jauh dari tumpukkan

berkas diatas meja pria itu.

Seorang pria berwajah

asia, lengkap dengan mata sipitnya terus mendengarkan suara ibunya dari sebuah

telepon yang sengaja ia keraskan. Masih berkutat pada pekerjaannya, Jullian tak

begitu memperdulikan ucapan sang ibu. Baginya hanyalah sebuah omong kosong

membiarkan keluarga mengendalikan dirinya, terutama masalah pernikahan. Sudah

cukup lama ia dikendalikan

Usianya memang sudah

menginjak tiga puluh lima tahun, tapi bukan berarti ia sudah menjadi bujangan

lapuk. Jullian sudah membiasakan dirinya untuk hidup tanpa seorang pendamping.

Jika dirinya merasa bosan, Jullian bisa menyeret satu atau dua wanita ke atas

ranjangnya dengan mudah. Hanya saja keinginan dalam dirinya yang belum timbul.

Ia terlalu malas berurusan dengan yang namanya wanita. Mereka adalah makhluk

paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Tentu, ibunya tersayang ini tidaklah

masuk dalam kategori tersebut.

“Jullian, apakah kau

mendengarkanku?” hardiknya. Wanita itu rupanya senang menekan sang anak. Dari

nada bicaranya, terdengar jelas kejengkelannya karena putranya itu memilih

untuk mengabaikannya, dari pada memikirkan semua tawaran pernikahan yang

diberikan.

“Aku dengar semuanya,

Bu.”

“Kalau begitu, segeralah

kau atur janji dengannya. Kau pikir wanita senang dipaksa untuk terus

menunggu.”

Jullian memang

satu-satunya bujang terakhir dalam keluarga Basuki. Anak kedua dari tiga

bersaudara laki-laki itu lebih memilih untuk menghabiskan hidupnya dengan

bekerja dan menikmati hidup. Adiknya yang terpaut dua tahun lebih muda darinya

sudah memutuskan untuk mengakhiri pencahariannya dengan menikahi teman SMAnya

pun melangkahinya dua tahun yang lalu. Kini tinggalah dirinya yang belum

berkeluarga, dan menjadi bulan-bulanan sang ibu.

“Ayolah, Bu. Aku masih

belum tua untuk melajang. Usiaku baru tiga puluh lima tahun.”

Lelaki itu tak bisa

memikirkan apapun selain kehidupan kantornya. Pernikahan hanya sebuah symbol

pengikat yang mengekang. Menikahi satu wanita, sama saja membuat sumpah konyol

yang takkan pernah ia tepati. Jullian ingin bebas. Bersama seorang wanita hanya

akan menambah permasalahan hidupnya saja.

“Kau memang belum tua

untuk melajang, tapi seharusnya kau malu pada adikmu yang telah memberikan satu

cucu dan satu calon cucu untukku.”

Jullian memutar bola

matanya malas. Ia tahu pasti ibunya akan terus membandingkannya dengan adik

lelakinya yang memilih untuk menikahi muda. Ronald selalu menjadi panutan bagi

pria lajang yang ada di rumahnya. Risiko yang diambil lelaki itu sangatlah tak

biasa. Masih menata hidup, namun sudah memutuskan untuk membangun sebuah

keluarga. Beruntungnya, adik kecilnya itu kini telah mencapai kesuksesan

usahanya sebagai seorang importer kayu yang sukses. Entah bagaimana jadinya

jika adiknya harus berakhir dalam kehancuran.

“Dia pria gila, Bu.

Ayolah. Aku tak perlu menjadi Ronald kedua.”

“Dan, seharusnya juga

dalam usia seperti ini, kau sudah memberikan kami dua cucu.” Nyonya Basuki tak

pernah bermain-main dengan ucapannya. Sekali wanita itu berbicara, maka kata

itulah yang akan menjadi perintah bagi semua orang. Bahkan, ayahnya sekalipun

yang memiliki kekuasaan tertinggi tak sanggup melawannya.

“Kalau kau benar-benar

menginginkan cucu, aku akan membawakannya satu.”

“Beserta wanita yang

sudah menyandang status sebagai istrimu, Jullian.” Keukehnya kembali. Nyonya

Basuki takkan pernah lelah mengultimatum sang anak. Jullian adalah tipe yang

paling sulit untuk ditaklukkan, bahkan dinasehati sebelum sesuatu yang buruk

terjadi.

“Kau akan datang lusa.

Suka atau tidak, kau harus membawa Lusiana sebagai menantuku.” Nyonya Basuki

dengan cepat mampu memutar arah bicaranya. Kalau sudah begini, Jullian pasti

akan langsung menutup sambungan telepon mereka hanya dalam hitungan detik.

Sambungan telepon itu

langsung terputus. Jullian menghela napasnya panjang. Siapa yang bisa melawan

wanita itu, pikirnya. Sang ibu memiliki andil yang besar atas semua yang

terjadi di rumahnya. Bukan berarti sang ibu sangat “Bossy”, tapi wanita itu

masih memegang teguh adat istiadat yang menekan hukum lama.

Dan kini, Jullian pun

harus merasakannya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu, yang dilanjutkan

dengan terbukanya pintu ruangan Jullian. Disana, Michael sudah menampakkan

batang hidungnya sejak kembalinya pria itu dari Australia. Jullian bahkan tak

bisa menyangka kedatangan sepupu kesayangan ibunya itu bisa berdiri

dihadapannya dengan senyum sejuta watt khas miliknya.

Kekhas-an barat masih

melekat pada diri lelaki itu. Dengan rambut berwarna coklat terang serta mata

berwarna birunya, membuat darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh pria itu

tidak lagi mendominasi, bahkan nyaris tak terlihat. Tingginya saja sudah

sejajar dengan tiang menyangkut jasnya.

“See, aku kembali.”

Jullian menghempaskan

punggungnya dengan tatapan sengit kepada lelaki itu. “Ada baiknya kau tak

kembali.”

Michael mengambil bangku

yang bersebrangan dengan kursi yang diduduki oleh kakak sepupunya itu.

Tatapannya menjalar keseluruh ruangan. Hatinya bernolstagia, rasanya baru

kemarin ia menginjakkan kakinya sebelum mendarat di Australia. Dan tentu, saat

itu ayah Jullian yang memegang kendali atas perusahaan yang dikelola oleh

Basuki Grup.

“Kau terlalu kasar pada

adik sepupumu yang tampan ini, Jullian. Tidakkan sepuluh tahun terlewati,

tumbuh rasa rindu padaku?” Kelakarnya.

“Kau aneh, dan aku sama

sekali tidak merindukanmu.”

Michael terkekeh pelan.

Khas Jullian jika kalimat ketus keluar dari bibirnya. Wajahnya yang tegas sudah

menjadi ikon kepedasan mulut itu.

“Kudengar, bibi kembali

menjodohkanmu dengan anak rekan kerja ayahmu. Berita yang tidak mengejutkan

lagi.”

“Ya, begitulah. Rupanya

berita tentang perjodohan si lajang cepat meluas.”

Michael merentangkan

kedua tangannya disertai senyum kecut yang diberikannya pada Jullian. Betapa ia

tak merasa terkejut dengan gagasan bibinya itu. Sejak lama, barisan dari pohon

keluarga Jullian memang mendesak pria itu untuk menikah sesegera mungkin. Selain

untuk menghasilkan penerus lainnya, predikat playboy yang melekat padanya

semakin membuat resah keluarga. Bukan sekali dua kali ada seorang wanita yang

mengaku mengandung benih dari saudara sepupunya itu. Sudah banyak deretan

wanita yang rela berbohong demi menduduki posisi sebagai pendamping pria itu.

“Itu sangat wajar. Kau

bujangan yang sudah hampir menua, Jullian.”

Jullian memandang sengit

sepupunya yang berlagak santai didepannya. Michael memang senang menguji

kesabarannnya, dan yang paling tahan menerima serangan pedas mulutnya. “Ada

kalanya aku membenci kedatanganmu kesini, Mike. Kau terlalu banyak bicara.”

Michael menempatkan

tangannya menyanggah dagu runcing khas barat yang diturunkan ayahnya. “Tapi,

aku menyetujui ide bibi kali ini. Usiamu sudah tiga puluh lima tahun. Sudah

seharusnya kau memberikanku setidaknya seorang ponakan.”

Jullian menggeleng tak

menyetujui ucapan dari sepupunya itu. Baginya tak mungkin untuk memilih satu

diantara deretan wanita yang mengantri untuknya. Apalagi wanita yang hendak

dijodohkan oleh ibunya adalah wanita yang entah bagaimana wajahnya. Bahkan,

ibunya sendiri pun belum pernah bertemu dengan wanita itu. Hanya mendengar

namanya dan latar belakang keluarganya, Jullian bisa menebak jika wanita itu

berada dalam level yang sama dengannya.

“Bagaimana bisa aku

menyukai wanita yang bahkan belum jelas wajahnya.”

Michael terbelalak. Pria

itu terperanjat ditempatnya hingga menegakkan tubuhnya. “Sungguh? Apakah bibi

tidak memberikanmu foto wanita itu.”

Jullian menggeleng

mengamini. Kalau saja ia melihat satu saja ciri fisik, mungkin ia bisa menilai

bagaimana sosok wanita yang akan ditemuinya. Namun, kemisteriusan ini membuat

perutnya terkocok. Kali ini dirasanya sang ibu benar-benar akan melaksanakan

ancamannya jika ia sampai nekad menolak perjodohan ini. Entah bagaimana caranya

wanita itu pasti akan menyeretnya masuk ke dalam lingkaran menyesatkan itu.

Jullian pria normal. Ia

pun berharap mendapatkan istri yang cantik serta mapan. Dengan segudang

prestasi, ia percaya jika wanita hebat itu bisa merawat anak-anaknya. Namun,

jika wajahnya saja tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan Jullian semakin

meragukan hal itu.

Pria itu mendesah geli.

Bahkan Michael yang ulahnya serampangan pun mengamini ketidaksetujuannya

menemui wanita itu. Pastilah pandangan positif tentang perjodohan antar dua

keluarga kaya lenyap begitu saja. “Apa yang lebih buruk dari pada kau yang akan

menikahi wanita tanpa wajah?”

Michael terkekeh geli.

Pria itu kembali melemparkan kelakarnya pada Jullian. “Setidaknya aku tahu

perumpamaanmu itu terlalu berlebihan. Jika wanita itu tak memiliki wajah, pasti

seluruh stasiun televisi sudah meliputnya sebagai tujuh keajaiban dunia.”

Tawa Jullian meledak

seketika. Raut tegang yang tadi menyelimutinya menghilang begitu saja. Dimenit

itu, ruangan yang semula sunyi senyap berubah menjadi riang karena tawa dua

orang pria dewasa yang saling melemparkan candaan masing-masing.

Diakui Jullian jika

Michael bukanlah sosok idela seorang pembisnis. Pria itu cenderung menyepelekan

hal yang tak disukainya. Berhubungan dengan hal kecil, Michael lebih cepat

tanggap. Perasaan pria itu pun lebih lembut dari pada lelaki dari keluarga

Basuki yang cenderung keras dan ambisius. Baginya kelahiran Michael masih

dianggap sebagai kado terindah. Kehadirannya mampu membuat orang lain merasa

terhibur.

“Beruntung kau ada

disini.”

“Kenapa? Bukankah pada

beberapa menit yang lalu kau tidak menyukai kehadiranku disini?”

Jullian bangkit.

Tangannya terangkat mengacak rambut adik sepupunya itu dengan gemas. Meski

Michael lebih tinggi darinya, Jullian tak pernah bisa berhenti menganggap pria

itu seperti anak kecil, sama seperti dulu. Dan, reaksi yang ditunjukkan Michael

pun sama seperti dulu. Pria itu akan memberengut mendapati rambutnya yang sudah

tertata rapi malah kembali hancur oleh ulah kakaknya itu.

“Kau benar-benar

perusak.” Sungut Mike tak suka.

“Kau memang pantas untuk

dirusak.”

Jullian langsung

berjalan kearah gantungan tempat jasnya tergantung. Pria itu memakainya sambil

masih terkekeh geli membayangkan wajah Michael yang memberengut.

“Mau kemana?”

Jullian melirik sedikit.

Ia pun memberikan seringai licik pada adik sepupunya yang masih memandanginya

dengan wajah bingung.

“Bukankah kakakmu ini

akan menikah? Setidaknya ia harus mengatur jadwal kembali untuk menemui calon

pengantinnya. Bagaimana wajahnya, rambutnya, dan yang paling penting …

tubuhnya.”

Michael langsung

memberikan senyum meremehkan. Memang khas seorang Jullian yang selalu

mengutamakan wanita dari tubuhnya. Mata pria itu selalu jeli dalam menilai

wanita. Beruntung ibunya tidak seperti ibu Jullian. Wanita yang telah berjasa

melahirkannya itu tak terlalu menuntut bagaimana dirinya menikah nanti.

Atau mungkin belum.

“Khas Jullian. Tubuh

nomor satu. Entah apakah nanti jika kalian bercerai, tertera pembagian organ

tubuh dalam perebutan harta gono-gini.”

Jullian melemparkan

tinju diudara untuk sepupunya itu. “Belum menikah sudah di doakan bercerai.

Benar-benar sepupu yang kejam.”

Sesaat Jullian

meninggalkan Mike sendirian di ruangannya, pria itu termenung. Jalanan yang

dilaluinya menuju lift utama terasa kosong. Tatapannya pun tak fokus. Benaknya

masih terbayang bagaimana wajah wanita yang kelak akan menjadi istrinya. Ia

tahu kali ini tak ada kata mundur untuknya. Pilihan itu telah terhapuskan sejak

beberapa bulan yang lalu dua orang wanita mengaku-ngaku tengah mengandung

benihnya. Itulah saat terakhir kebebasannya sebagai bujang lenyap. Ayahnya

pasti takkan senang dengan kata pilihan mundur yang akan diajukannya.

Jullian berharap Tuhan

bisa mengabulkan doanya untuk lepas dari tekanan ini. Semoga saja wanita itu

pun muncul sesuai dengan harapannya.

“Ya, semoga saja.”

Gumamnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!