Aku mengharapkan sesuatu
yang bisa membawaku kembali.
Aku ingin berada jauh
dari tempat yang kejam ini.
Aku merindukan
kehangatan ketika aku pulang.
Tapi, … aku sudah tak
sanggup.
Rasa lelah yang
menghinggapi pundahkku terasa semakin berat.
Aku sudah tak lagi bisa
menaruh rasa percaya pada siapapun.
Dia telah merubah jalan
hidupku.
Dendam.
Aku hanya ingin
melihatnya mati didepan kedua mataku.
Jullian Basuki.
***
Seorang pria masih
bertahan dibalik mejanya meski langit terang telah terganti dengan cahaya senja
oranye. Hal itu tak membuatnya berhenti berkutat pada berkas-berkas yang
menumpuk di atas mejanya. Pekerjaan yang semakin banyak setelah ditinggalkannya
untuk perjalanan dinas ke luar negeri beberapa hari saja sudah semakin
memusingkan.
Namun, bukan hanya hal
itu saja yang membuat pria yang menggunakan kacamata lensa bening tipis tak
berbingkai miliknya. Berkas-berkas itu tidak kalah memusingkan dari suara dari
intercom yang terus berbicara tanpa henti. Benda mati itu tidak dapat
berbicara. Akan tetapi, sesuatu yang tengah menghubungkannya dengan seseorang
yang entah berapa di mana itulah penyebab semua kekacauan hari ini.
“Jangan lupa untuk
datang tepat waktu ke restoran itu. Ibu tak mau Lusi menunggu lama disana.”
Suara seorang wanita berbicara dari benda yang berada tak jauh dari tumpukkan
berkas diatas meja pria itu.
Seorang pria berwajah
asia, lengkap dengan mata sipitnya terus mendengarkan suara ibunya dari sebuah
telepon yang sengaja ia keraskan. Masih berkutat pada pekerjaannya, Jullian tak
begitu memperdulikan ucapan sang ibu. Baginya hanyalah sebuah omong kosong
membiarkan keluarga mengendalikan dirinya, terutama masalah pernikahan. Sudah
cukup lama ia dikendalikan
Usianya memang sudah
menginjak tiga puluh lima tahun, tapi bukan berarti ia sudah menjadi bujangan
lapuk. Jullian sudah membiasakan dirinya untuk hidup tanpa seorang pendamping.
Jika dirinya merasa bosan, Jullian bisa menyeret satu atau dua wanita ke atas
ranjangnya dengan mudah. Hanya saja keinginan dalam dirinya yang belum timbul.
Ia terlalu malas berurusan dengan yang namanya wanita. Mereka adalah makhluk
paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Tentu, ibunya tersayang ini tidaklah
masuk dalam kategori tersebut.
“Jullian, apakah kau
mendengarkanku?” hardiknya. Wanita itu rupanya senang menekan sang anak. Dari
nada bicaranya, terdengar jelas kejengkelannya karena putranya itu memilih
untuk mengabaikannya, dari pada memikirkan semua tawaran pernikahan yang
diberikan.
“Aku dengar semuanya,
Bu.”
“Kalau begitu, segeralah
kau atur janji dengannya. Kau pikir wanita senang dipaksa untuk terus
menunggu.”
Jullian memang
satu-satunya bujang terakhir dalam keluarga Basuki. Anak kedua dari tiga
bersaudara laki-laki itu lebih memilih untuk menghabiskan hidupnya dengan
bekerja dan menikmati hidup. Adiknya yang terpaut dua tahun lebih muda darinya
sudah memutuskan untuk mengakhiri pencahariannya dengan menikahi teman SMAnya
pun melangkahinya dua tahun yang lalu. Kini tinggalah dirinya yang belum
berkeluarga, dan menjadi bulan-bulanan sang ibu.
“Ayolah, Bu. Aku masih
belum tua untuk melajang. Usiaku baru tiga puluh lima tahun.”
Lelaki itu tak bisa
memikirkan apapun selain kehidupan kantornya. Pernikahan hanya sebuah symbol
pengikat yang mengekang. Menikahi satu wanita, sama saja membuat sumpah konyol
yang takkan pernah ia tepati. Jullian ingin bebas. Bersama seorang wanita hanya
akan menambah permasalahan hidupnya saja.
“Kau memang belum tua
untuk melajang, tapi seharusnya kau malu pada adikmu yang telah memberikan satu
cucu dan satu calon cucu untukku.”
Jullian memutar bola
matanya malas. Ia tahu pasti ibunya akan terus membandingkannya dengan adik
lelakinya yang memilih untuk menikahi muda. Ronald selalu menjadi panutan bagi
pria lajang yang ada di rumahnya. Risiko yang diambil lelaki itu sangatlah tak
biasa. Masih menata hidup, namun sudah memutuskan untuk membangun sebuah
keluarga. Beruntungnya, adik kecilnya itu kini telah mencapai kesuksesan
usahanya sebagai seorang importer kayu yang sukses. Entah bagaimana jadinya
jika adiknya harus berakhir dalam kehancuran.
“Dia pria gila, Bu.
Ayolah. Aku tak perlu menjadi Ronald kedua.”
“Dan, seharusnya juga
dalam usia seperti ini, kau sudah memberikan kami dua cucu.” Nyonya Basuki tak
pernah bermain-main dengan ucapannya. Sekali wanita itu berbicara, maka kata
itulah yang akan menjadi perintah bagi semua orang. Bahkan, ayahnya sekalipun
yang memiliki kekuasaan tertinggi tak sanggup melawannya.
“Kalau kau benar-benar
menginginkan cucu, aku akan membawakannya satu.”
“Beserta wanita yang
sudah menyandang status sebagai istrimu, Jullian.” Keukehnya kembali. Nyonya
Basuki takkan pernah lelah mengultimatum sang anak. Jullian adalah tipe yang
paling sulit untuk ditaklukkan, bahkan dinasehati sebelum sesuatu yang buruk
terjadi.
“Kau akan datang lusa.
Suka atau tidak, kau harus membawa Lusiana sebagai menantuku.” Nyonya Basuki
dengan cepat mampu memutar arah bicaranya. Kalau sudah begini, Jullian pasti
akan langsung menutup sambungan telepon mereka hanya dalam hitungan detik.
Sambungan telepon itu
langsung terputus. Jullian menghela napasnya panjang. Siapa yang bisa melawan
wanita itu, pikirnya. Sang ibu memiliki andil yang besar atas semua yang
terjadi di rumahnya. Bukan berarti sang ibu sangat “Bossy”, tapi wanita itu
masih memegang teguh adat istiadat yang menekan hukum lama.
Dan kini, Jullian pun
harus merasakannya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu, yang dilanjutkan
dengan terbukanya pintu ruangan Jullian. Disana, Michael sudah menampakkan
batang hidungnya sejak kembalinya pria itu dari Australia. Jullian bahkan tak
bisa menyangka kedatangan sepupu kesayangan ibunya itu bisa berdiri
dihadapannya dengan senyum sejuta watt khas miliknya.
Kekhas-an barat masih
melekat pada diri lelaki itu. Dengan rambut berwarna coklat terang serta mata
berwarna birunya, membuat darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh pria itu
tidak lagi mendominasi, bahkan nyaris tak terlihat. Tingginya saja sudah
sejajar dengan tiang menyangkut jasnya.
“See, aku kembali.”
Jullian menghempaskan
punggungnya dengan tatapan sengit kepada lelaki itu. “Ada baiknya kau tak
kembali.”
Michael mengambil bangku
yang bersebrangan dengan kursi yang diduduki oleh kakak sepupunya itu.
Tatapannya menjalar keseluruh ruangan. Hatinya bernolstagia, rasanya baru
kemarin ia menginjakkan kakinya sebelum mendarat di Australia. Dan tentu, saat
itu ayah Jullian yang memegang kendali atas perusahaan yang dikelola oleh
Basuki Grup.
“Kau terlalu kasar pada
adik sepupumu yang tampan ini, Jullian. Tidakkan sepuluh tahun terlewati,
tumbuh rasa rindu padaku?” Kelakarnya.
“Kau aneh, dan aku sama
sekali tidak merindukanmu.”
Michael terkekeh pelan.
Khas Jullian jika kalimat ketus keluar dari bibirnya. Wajahnya yang tegas sudah
menjadi ikon kepedasan mulut itu.
“Kudengar, bibi kembali
menjodohkanmu dengan anak rekan kerja ayahmu. Berita yang tidak mengejutkan
lagi.”
“Ya, begitulah. Rupanya
berita tentang perjodohan si lajang cepat meluas.”
Michael merentangkan
kedua tangannya disertai senyum kecut yang diberikannya pada Jullian. Betapa ia
tak merasa terkejut dengan gagasan bibinya itu. Sejak lama, barisan dari pohon
keluarga Jullian memang mendesak pria itu untuk menikah sesegera mungkin. Selain
untuk menghasilkan penerus lainnya, predikat playboy yang melekat padanya
semakin membuat resah keluarga. Bukan sekali dua kali ada seorang wanita yang
mengaku mengandung benih dari saudara sepupunya itu. Sudah banyak deretan
wanita yang rela berbohong demi menduduki posisi sebagai pendamping pria itu.
“Itu sangat wajar. Kau
bujangan yang sudah hampir menua, Jullian.”
Jullian memandang sengit
sepupunya yang berlagak santai didepannya. Michael memang senang menguji
kesabarannnya, dan yang paling tahan menerima serangan pedas mulutnya. “Ada
kalanya aku membenci kedatanganmu kesini, Mike. Kau terlalu banyak bicara.”
Michael menempatkan
tangannya menyanggah dagu runcing khas barat yang diturunkan ayahnya. “Tapi,
aku menyetujui ide bibi kali ini. Usiamu sudah tiga puluh lima tahun. Sudah
seharusnya kau memberikanku setidaknya seorang ponakan.”
Jullian menggeleng tak
menyetujui ucapan dari sepupunya itu. Baginya tak mungkin untuk memilih satu
diantara deretan wanita yang mengantri untuknya. Apalagi wanita yang hendak
dijodohkan oleh ibunya adalah wanita yang entah bagaimana wajahnya. Bahkan,
ibunya sendiri pun belum pernah bertemu dengan wanita itu. Hanya mendengar
namanya dan latar belakang keluarganya, Jullian bisa menebak jika wanita itu
berada dalam level yang sama dengannya.
“Bagaimana bisa aku
menyukai wanita yang bahkan belum jelas wajahnya.”
Michael terbelalak. Pria
itu terperanjat ditempatnya hingga menegakkan tubuhnya. “Sungguh? Apakah bibi
tidak memberikanmu foto wanita itu.”
Jullian menggeleng
mengamini. Kalau saja ia melihat satu saja ciri fisik, mungkin ia bisa menilai
bagaimana sosok wanita yang akan ditemuinya. Namun, kemisteriusan ini membuat
perutnya terkocok. Kali ini dirasanya sang ibu benar-benar akan melaksanakan
ancamannya jika ia sampai nekad menolak perjodohan ini. Entah bagaimana caranya
wanita itu pasti akan menyeretnya masuk ke dalam lingkaran menyesatkan itu.
Jullian pria normal. Ia
pun berharap mendapatkan istri yang cantik serta mapan. Dengan segudang
prestasi, ia percaya jika wanita hebat itu bisa merawat anak-anaknya. Namun,
jika wajahnya saja tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan Jullian semakin
meragukan hal itu.
Pria itu mendesah geli.
Bahkan Michael yang ulahnya serampangan pun mengamini ketidaksetujuannya
menemui wanita itu. Pastilah pandangan positif tentang perjodohan antar dua
keluarga kaya lenyap begitu saja. “Apa yang lebih buruk dari pada kau yang akan
menikahi wanita tanpa wajah?”
Michael terkekeh geli.
Pria itu kembali melemparkan kelakarnya pada Jullian. “Setidaknya aku tahu
perumpamaanmu itu terlalu berlebihan. Jika wanita itu tak memiliki wajah, pasti
seluruh stasiun televisi sudah meliputnya sebagai tujuh keajaiban dunia.”
Tawa Jullian meledak
seketika. Raut tegang yang tadi menyelimutinya menghilang begitu saja. Dimenit
itu, ruangan yang semula sunyi senyap berubah menjadi riang karena tawa dua
orang pria dewasa yang saling melemparkan candaan masing-masing.
Diakui Jullian jika
Michael bukanlah sosok idela seorang pembisnis. Pria itu cenderung menyepelekan
hal yang tak disukainya. Berhubungan dengan hal kecil, Michael lebih cepat
tanggap. Perasaan pria itu pun lebih lembut dari pada lelaki dari keluarga
Basuki yang cenderung keras dan ambisius. Baginya kelahiran Michael masih
dianggap sebagai kado terindah. Kehadirannya mampu membuat orang lain merasa
terhibur.
“Beruntung kau ada
disini.”
“Kenapa? Bukankah pada
beberapa menit yang lalu kau tidak menyukai kehadiranku disini?”
Jullian bangkit.
Tangannya terangkat mengacak rambut adik sepupunya itu dengan gemas. Meski
Michael lebih tinggi darinya, Jullian tak pernah bisa berhenti menganggap pria
itu seperti anak kecil, sama seperti dulu. Dan, reaksi yang ditunjukkan Michael
pun sama seperti dulu. Pria itu akan memberengut mendapati rambutnya yang sudah
tertata rapi malah kembali hancur oleh ulah kakaknya itu.
“Kau benar-benar
perusak.” Sungut Mike tak suka.
“Kau memang pantas untuk
dirusak.”
Jullian langsung
berjalan kearah gantungan tempat jasnya tergantung. Pria itu memakainya sambil
masih terkekeh geli membayangkan wajah Michael yang memberengut.
“Mau kemana?”
Jullian melirik sedikit.
Ia pun memberikan seringai licik pada adik sepupunya yang masih memandanginya
dengan wajah bingung.
“Bukankah kakakmu ini
akan menikah? Setidaknya ia harus mengatur jadwal kembali untuk menemui calon
pengantinnya. Bagaimana wajahnya, rambutnya, dan yang paling penting …
tubuhnya.”
Michael langsung
memberikan senyum meremehkan. Memang khas seorang Jullian yang selalu
mengutamakan wanita dari tubuhnya. Mata pria itu selalu jeli dalam menilai
wanita. Beruntung ibunya tidak seperti ibu Jullian. Wanita yang telah berjasa
melahirkannya itu tak terlalu menuntut bagaimana dirinya menikah nanti.
Atau mungkin belum.
“Khas Jullian. Tubuh
nomor satu. Entah apakah nanti jika kalian bercerai, tertera pembagian organ
tubuh dalam perebutan harta gono-gini.”
Jullian melemparkan
tinju diudara untuk sepupunya itu. “Belum menikah sudah di doakan bercerai.
Benar-benar sepupu yang kejam.”
Sesaat Jullian
meninggalkan Mike sendirian di ruangannya, pria itu termenung. Jalanan yang
dilaluinya menuju lift utama terasa kosong. Tatapannya pun tak fokus. Benaknya
masih terbayang bagaimana wajah wanita yang kelak akan menjadi istrinya. Ia
tahu kali ini tak ada kata mundur untuknya. Pilihan itu telah terhapuskan sejak
beberapa bulan yang lalu dua orang wanita mengaku-ngaku tengah mengandung
benihnya. Itulah saat terakhir kebebasannya sebagai bujang lenyap. Ayahnya
pasti takkan senang dengan kata pilihan mundur yang akan diajukannya.
Jullian berharap Tuhan
bisa mengabulkan doanya untuk lepas dari tekanan ini. Semoga saja wanita itu
pun muncul sesuai dengan harapannya.
“Ya, semoga saja.”
Gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments