Bab 4

Bunyi-bunyi rintik hujan yang mengenai atap baja ringan yang menutupi rumah mungil dipinggiran kota menjadi salah satu music pengiring disana. Dari dua jendela yang tampak dari luar, terlihat lampu yang masih berpijar dari balik tirai yang menutupinya. Dari balik jendela tersebut, dua orang wanita yang berbeda

generasi tengah menghabiskan waktunya bersama. Tak peduli waktu yang sudah menunjukkan tengah malam, atau lebih. Mereka tetap tenang dalam kebersamaannya.

Di sebuah ruangan kecil yang memiliki satu ancing kecil dan sebuah bangku rotan panjang, Arnetta merebahkan kepalanya di atas pangkuan sang ibu. Wanita itu merebahkan kepalanya menikmati belaian hangat yang selalu didapatkannya dari Ratih. Sosok lembut yang melekat pada wanita itu membuat Arnetta tak pernah kekurangan kasih sayang apapun. Semua yang diberikan Ratih adalah lebih dari cukup baginya. Tanpa kehadiran seorang ayah pun, Arnetta masih sanggup berdiri di atas kedua kakinya. Namun, tak pernah bisa dibayangkan olehnya bagaimana jika suatu saat nanti Ratih menyerah akan penyakitnya dan pergi meninggalkannya. Satu hal itu yang membuat Arnetta berpikir keras sampai saat ini.

“Ibu berharap rambutmu bisa tumbuh panjang kembali seperti dulu.” Ucap Ratih lembut.

Arnetta memikirkan ucapan sang ibu yang masih setia mendaratkan belaian-belaian lembut di atas rambutnya. Ia memang tipikal wanita yang senang memanjangkan rambutnya. Ia senang diperhatikan selayaknya wanita lain. Namun, aktivitasnya yang terlalu mengekang membuat Arnetta sulit untuk melakukannya. Pernah sekali, Ibunya marah ketika melihat rambut anaknya sudah terpangkas hingga membentuk potongan seperti anak laki-laki. Hal itu dilakukannya untuk menghindari rasa pengap yang menghinggapi tubuhnya ketika bekerja. Tak terelakkan peluh keringat pasti akan  memandikan seluruh tubuhnya tanpa ampun.

“Aku juga suka. Semoga saja tahun ini aku bisa memanjangkannya tanpa masalah.”

“Ada apa, nak?”

Arnetta yang semula memosisikan tubuhnya berbaring miring menghadap perut ibunya, berbalik merebahkan tubuhnya. Tatapan matanya tertumbuk pada senyuman hangat yang diberikan sang ibu untuknya. Satu helaan napas pendek mengawali kisah yang terucap dari bibirnya hari ini.

“Lusi menemuiku tadi.” Katanya. Tatapan mata Arnetta yang memiliki warna coklat gelap memandang sang ibu dengan ragu.

“Lalu?”

Arnetta menunggu reaksi sang ibu. Sebanyak yang ia ketahui, Ratih tak pernah menunukkan ekpresi berarti ketika berhadapan dengan siapapun. Tak pernah dilihatnya wanita itu berwajah muram ketika sebersit dari kepingan masa lalu kembali menyapanya. Yang dilakukan oleh wanita yang telah melahirkannya dua puluh lima tahun silam itu hanyalah memberikan senyuman hangat. Ratih tak pernah berteriak, atau pun berbicara dengan nada tinggi. Tutur katanya selalu membuat Arnetta merasa tenang.

“Pria itu memintanya untuk menjalani perjodohan itu lagi.”

Ratih tak berhenti membelai puncak kepala sang anak. Rambut halus Arnetta yang memiliki tekstur seperti sosok itu membuatnya selalu teringat pada Rivai yang sekarang mungkin sedang berbahagia dengan keluarga barunya.

Rivai

“Dia ayahmu. Sebutlah dia dengan nama yang baik.” Imbuhnya. Ratih tak pernah sedikit pun mengajarkan Arnetta untuk melawan pada sosok yang mengambil andil dalam kelahirannya. Rasa sakit yang pernah dirasakannya tak pernah ia tumpahkan pada Arnetta. Ratih membiarkah Arnetta tetap mengenang Rivai sebagai mana mestinya, meski pada akhirnya Arnetta menemukan sendiri fakta bahwa ayahnya tak mau mengakuinya lagi.

“Dia tak pernah menginginkannya.” Elaknya. Arnetta masih enggan menyebut sosok itu sebagai ayahnya. Baginya penolakan yang dilakukan Rivai beberapa tahun silam telah menunjukkan posisinya yang bersebrangan jauh dengan keluarga itu. Rivai bukanlah lagi bagian dari masa lalunya.

Ratih menekan belaiannya pada satu titik. Wajahnya yang sudah menua tak sedikit pun memudarkan kecantikan yang alami, meski tanpa polesan riasan mewah sekalipun. Khas wanita Jawa yang anggun membuat Ratih akan selalu tampak sama dari hari ke hari, bagi Arnetta.

“Ayahmu hanya sedang berjuang untuk keluarganya. Biarkanlah dia berjalan ditempat yang dikehendakinya.”

Arnetta merasa sesuatu dalam dirinya bangkit. Wanita itu segera mendudukan tubuhnya di samping sang ibu. Kursi rotan panjang yang selalu menjadi tempat bisu, di mana mereka berdua menghabiskan waktu untuk bercerita menjadi pihak ketiga diantara keduanya. Kesunyian yang mendasar pada rumah ini membuat tatapan keduanya semakin intens. Arnetta tak bisa menyembunyikan tatapan iba pada wanita itu. Ibunya berhak mendapatkan cinta yang baru, seharusnya. Hanya saja wanita itu enggan untuk membuka hatinya kembali.

Ratih adalah milik Rivai.

Keyakinan itu yang memuakkan bagi Arnetta. Wanita itu tak pernah mengira bahwa kesakitan mendalam yang diberikan oleh ayahnya tak mengubah cinta ibunya. Ratih tetap menjunjung tinggi derajat pria itu meski kenyataannya Rivai-lah yang mendustai keluarganya.

“Bu, mau sampai kapan kau selalu memuja pria itu? Kita berdua sudah jelas mengetahui jika pria itu telah memiliki kebahagiaan lain. Berjuang untuk keluarga yang mana sebenarnya? Kita atau mereka?”

Ratih tertegun. Senyumnya surut ketika Arnetta berhasil menusuk jantungnya dengan perkataan bak anak panah yang dilumuri racun mematikan itu. Pandangannya tertumbuk pada wajah sang putri yang memerah karena marah terhadapnya. Arnetta adalah sebuah keajaiban ditengah kegusaran. Kelahiran Arnetta bagaikan bunga musim

semi yang menyemaikan benih kebahagiaan di hatinya. Tak sampai hati Ratih kembali mematahkan hati sang anak mengingat sosok Rivai yang ia jelas tahu sudah meninggalkan mereka selama bertahun-tahun.

Namun, hatinya mengatakan bahwa Rivai tak pantas untuk diciderai seperti ini. Semua orang memiliki kesempatan kedua untuk kembali. Hanya tinggal menunggu kesempatan orang lain menerimanya. Dan, Ratih menerimanya dengan baik. Tangannya masih terbuka untuk Rivai melangkahkan kakinya kembali.

“Cinta tak pernah mengenal dimensi ruang dan waktu. Selama itulah ayahmu mengajarkan ibu bagaimana caranya untuk mencintai orang lain.”

“Sampai dia meninggalkan kita hanya demi uang?”

Arnetta berkaca. Matanya memerah tertutupi oleh cairan bening yang sudah menggunung dan siap untuk mendarat diwajahnya.

“Apakah ibu tahu jika Lusi memintaku untuk menggantikannya? Posisi yang seharusnya adalah milikku direbutnya.”

Ratih mengerti bagaimana perasaan putrinya. Arnetta tertekan. Kehadiran Lusi yang berputar disekitar mereka memang kembali mengingatkan bentangan jarak yang luas diantara mereka dan Rivai. Lusi memang bisa merebut hatinya dan Arnetta, tapi kehadirannya tetap membawa mereka kembali pada kenyataan yang pahit.

Lusi selalu diterima. Rumah ini sudah menjadi rumah singgah kedua bagi wanita itu untuk pulang. Disaat wanita itu tidak menginginkannya disana, Lusi akan berlari ke tempat ini. Bohong saja jika Ratih tidak merasakan ketidaknyamanan ketika Lusi berada di rumah ini. Namun, kasihnya pada Lusi sama besarnya seperti Arnetta. Ia sudah menganggap Lusi selayaknya anaknya sendiri.

“Apa kau menerimanya?”

Arnetta mengangguk tanpa keraguan. “Aku dengan bodohnya kembali mengamini permintaannya. Aku tak pernah bisa tega kepadanya.”

“Kau mencintainya.” Tukas Ratih. Diusapnya kembali kepala Arnetta. Rasanya Ratih tak mungkin mampu bertahan sejauh ini tanpa Arnetta disampingnya. Putri semata wayangnya yang sangat dicintainya. Ratih takkan pernah melupakan hal itu. “Lusi sudah menjadi bagian dari hidupmu. Bantulah dia. Hanya kau yang dimilikinya.”

“Aku ragu.” Sahutnya. Arnetta memainkan buku jarinya sendiri. Wajahnya membrengut

tak suka dengan gagasannya. “Bagaimana jika pria itu mengetahuinya?”

“Ayahmu…” Ratih kembali mengoreksi penyebutan Arnetta kepada Rivai.

“Bukan hanya Lusi yang akan terjebak masalah kali ini. Aku pun pasti akan ikut terseret kedalamnya. Bayangkan saja apa yang akan dilakukan Isadora itu terhadapku, bu.”

Ratih terkekeh geli. Untuk yang satu ini Arnetta selalu berhasil membuat perutnya terasa tergelitik. Anak perempuannya selalu menyebutkan nama wanita itu dengan “Isadora”. Entah dari mana asalkan panggilan itu. Arnetta selalu menyebut Amara, istri Rivai yang baru dengan sebutan demikian. Bahkan, bukan hanya Arnetta yang memanggil Amara dengan sebutan seperti itu, Lusi pun ketika dirundung amarah pada sang ibu juga memanggilnya demikian.

Amara mengetahui kedua anak Rivai ini memanggilnya dengan sebutan demikian. Pernah wanita itu marah besar ketika mendengarnya dari mulut Arnetta saat Ratih berkunjung menjenguk wanita itu yang baru saja melahirkan. Sumpah serapah tak terelakkan lagi bagi Arnetta hingga akhirnya Rivai harus memukulinya sampai Arnetta jera.

Dua anak gadis yang bermulut ancing.

“Jika dia mendengarmu masih memanggilnya sebutan itu, dia akan menggunduli kepalamu, Arnetta.”

Arnetta menggedikkan kedua bahunya. Siapa peduli, pikirnya. Amara hanya bisa berlindung dari punggung ayahnya dan mengeluarkan sumpah serapah. Arnetta sendiri sudah tak lagi memusingkan kulit ikat pinggang yang menerpa kulitnya kasar. Ia sudah cukup terbiasa dengan perlakuan berbeda itu. Ayahnya memang akan selalu

mengasarinya, tapi takkan pernah berucap makian seperti yang dilontarkan Isadora itu padanya.

“Aku sudah tak lagi memperdulikannya. Aku sudah cukup terlatih.”

Ratih tersenyum. Betapa mirisnya ia melihat Arnetta yang harus tumbuh tanpa kehadiran Rivai sebagai ayahnya di sampingnya. Bahkan, Arnetta tak memiliki nama belakang keluarga yang disandang oleh ayahnya. Ayah Rivai melarang semua yang berhubungan dengan keluarganya gtersemat dalam kehidupan Arnetta. Pria yang telah menyatu dengan tanah beberapa tahun yang lalu, hingga kematiannya enggan mengakui Arnetta sebagai cucunya. Dia masih menganggap jika akar dari petaka kelancangan Rivai adalah menikahi dirinya.

Diarahkannya tangan-tangan lembut itu kea rah puncak kepala Arnetta. Ratih, untuk kesekian kalinya kembali mengusap kepala Arnetta. Puncak kepala yang diselimuti rambut halus itu akan selalu menjadi tempatnya bertenang diri. Ratih mungkin takkan pernah bisa berjalan sejauh ini tanpa adanya Arnetta disisinya.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu. Ayahmu mungkin hanya sedang marah karena ulahmu. Belajarlah untuk menghormatinya. Kau putrinya, kau pantas untuk bersikap sama seperti yang lain.”

“Termasuk menolak tawaran Lusi? Aku hanya mengajukan syarat padanya. Aku meminta uang setelah urusanku selesai. Setelah ini, aku tak mau lagi memantunya. Sudah cukup masalah yang ditimbulkannya, Bu.”

“Terserah padamu saja, Netta. Ibu tak pernah memaksa.” Balas Ratih. Ia sama sekali tak marah dengan tindakan Arnetta yang bersikap seolah tengah memeras saudara tirinya. Ia tak mau menekan putrinya terlalu jauh. Biarlah Arnetta menentukan jalan hidupnya sendiri, meski itu terdengar salah.

Arnetta memandangi sang ibu. Ia mengambil tangan-tangan yang membelai rambutnya. Ketika sampai didepan wajahnya, dengan lembut Arnetta mendaratkan ciuman hangat ditangan sang ibu. Entah apa jadinya ia tanpa Ratih di sampingnya. Ibu yang selalu mendukung keputusannya tanpa protes. Ia begitu mencintai wanita ini.

“Aku sayang ibu. Sangat sayang.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!