Bab 2

Matahari yang tak lagi menunjukkan sinarnya, hanya akan memberikan malam gelap yang mencekam. Aku disini, hanya sendirian tanpa siapapun mencoba bertahan meski dunia telah menolak kehadiranku.

Haruskah aku bertahan?

Haruskah aku berjalan mundur?

Haruskah aku kembali ke masa sebelumnya?

Aku lelah.

Aku ingin pulang. Hanya itu.

Arnetta Revalina

***

Seorang wanita tampak sedang mengangkat kardus berisikan beberapa muatan untuk bahan dapur di restoran tempatnya bekerja. Peluh keringat membasahi wajah ovalnya saat memindahkan benda berat itu dari sisi tengah ruangan, lalu menyusunnya menjadi tumpukkan yang meninggi disalah satu sudut ruangan. Tak pelak, ini merupakan satu-satunya yang harus dikerjakan. Masih ada beberapa tempat yang harus didatanginya untuk mengais rejeki.

Gudang penyimpanan karet. Tempat ke tiga yang harus disambanginya. Sebanyak lima tempat yang menjadi tumpuan hidupnya. Wanita itu perlu uang. Ia memerlukan benda kertas berharga itu untuk membiayai pengobatan ibunya yang terkena kanker paru-paru stadium awal. Meski baru memasuki tahap awal, kenyataanya penyakit itu tidak membutuhkan sedikit biaya. Obat-obatan yang harus dikonsumsi sang ibu pun memiliki harga yang fantastis.

“Arnetta! Setelah semuanya beres, kunci pintu ini dan segera pulang.” Titahnya.

Arnetta. Nama wanita yang tengah mengangkat kardus-kardus itu menoleh dan tersenyum melihat pria tua bertubuh tambun itu memerintahkannya. Meski wajahnya garang, namun atasannya yang satu ini memiliki rasa toleransi yang tinggi. Tidak salah jia Arnetta memilih untuk mempertahankan pekerjaanya disini meski dengan upah yang minimal.

Arnetta Revalina.

Begitulah orang memangil wanita tersebut. Nama yang indah untuk seorang yang sama sekali tidak memiliki keistimewaan apapun. Miskin dan jauh dari kehidupan seorang wanita normal pada umumnya yang bekerja di sebuah perusahaan ternama. Arnetta yang sudah berusia dua puluh lima tahun hanya bisa bekerja sebagai pekerja paruh waktu diberbagai tempat. Hanya bermodalkan ijazah SMP, Arnetta mau tak mau harus menerima

 asibnya yang berada di kelas kalangan bawah.

Ibunya, Ratih sudah lama tidak lagi memiliki uang untuk membiayai pendidikannya. Arnetta harus mati-matian berjualan keliling saat masih kecil demi uang sekolah yang seharusnya ditanggung oleh kepala keluarga di kehidupannya. Namun, sayang hanya untuk mengingatnya saja Arnetta merasa enggan.

Ketika semua perlengkapan gudang telah selesai, Arnetta diijinkan untuk pulang. Sebenarnya tidaklah pulang. Masih ada beberapa tempat yang harus didatanginya malam ini. Demi uang untuk biaya pengobatan sang ibu, Arnetta rela bekerja banting tulang sampai remuk, asalkan ibunya bisa terus bersamanya.

Kaki jenjang Arnetta berjalan menyusuri jalanan lampu merah yang sudah padat merayap. Lampu lalu lintas yang berwarna merah dan menghentikan beberapa mobil yang akan melintas, memudahkannya untuk menyebrangi jalan. Bukan hanya dirinya saja, beberapa wanita dan pria dengan setelan formalnya pun iku beriringan bersamanya.

Ada rasa iri ketika matanya menangkap orang-orang itu berpakaian layak dengan penampilan elegan yang menjamin. Kewibawaan mereka tercetak jelas dari balik pakaian formal yang dikenakannya. Berbeda sekali dengan Arnetta yang cukup menggunakan kaos oblong dan celana jeans. Sepatu ketsnya pun bolong sana sini. Hanya jika ibunya sedang melihat saja benda tersebut terlihat rapi, karena dijahit ulang.

Entahlah apakah suatu hari Arnetta bisa hidup seperti orang-orang pada umumnya. Sesak sangat terasa ketika membayangkan bagaimana ia dan ibunya bisa berakhir hidup nyaris menggelandang seperti ini. Luka yang mereka bawa sangat dalam, membawa sakit yang amat menusuk sampai ke ulu hati.

Ketika dirinya sampai di persimpangan jalan, sebuah poster yang memuat seorang pengusaha besar dengan

penampilan formalnya berdiri disana. Senyumnya ramah dengan lesung dipipinya yang menawan. Arnetta ingin tersenyum sekaligus tertawa kencang. Betapa ia ingin sekali membunuh pria yang berada di dalam poster tersebut, tapi ia juga merindukan pelukan hangatnya. Ia sudah lupa berapa tahun terlewati tanpa sosok itu di sampingnya. Ia hampir melupakannya kalau saja tidak diingatkan lagi dengan berbagai gambar pria itu di jalanan yang terpasang layaknya sebuah iklan produk terkenal.

Ibunya sering kali menangis saat kembali diingatkan tentang masa lalu. Ratih takkan pernah bisa melupakan cinta pertamanya, begitu piker Arnetta. Ibunya begitu mencintai ayahnya yang pertama mengajarkan cinta. Kala ibunya bercerita, Arnetta selalu disuguhkan dengan kisah cinta kedua orang yang saling menggilai. Namun sayang, sebanyak apapun sang ibu mencekokinya dengan cerita khas dongeng anak-anak itu, kenyataanya bahwa pria yang dianggapnya sebagai pangeran itu membuat mereka akhirnya hidup merana seperti ini. Untuk mengingat mereka pun pria itu pasti enggan. Keluarga barunya lebih menjanjikan dan takkan membuatnya malu.

Arnetta selalu berpikir bahwa pria itu mungkin saja sudah melupakan mereka. Hidup bersama dua orang anak, perempuan dan laki-laki membuat Arnetta merasa dirinya dan ibunya telah tergantikan. Seorang wanita terhormat dari kalangan atas dan mampu memberikan seorang anak perempuan cantik sebayanya dan seorang anak bungsu laki-laki yang sangat diimpikannya tentu akan menjadi bahan pertimbangan besar untuk meninggalkan mereka.

Arnetta dan ibunya hanyalah sebingkai masa lalu tak berarti.

“Ayah, kami akan tetap hidup meski kau mencampakkan kami.” Batinnya.

***

Menginjak pukul dua belas malam, Arnetta kembali ke rumah kecilnya di ujung kota. Beruntung rumah itu bukanlah rumah sewaan. Satu-satunya harta yang masih mereka miliki dan memiliki kenangan yang begitu banyak. Terkandung didalamnya bagaimana kehidupan mereka sebelum malapetaka itu terjadi. Arnetta saat itu masih memiliki keluarga kecilnya yang bahagia. Sepasang orang tua yang saling mencintai dan mengasihi, serta seorang anak tunggal yang dilimpahi kasih sayang.

Setidaknya hanya ingatan itu yang Arnetta miliki sampai saat ini. Setiap kali dirinya sampai didepan rumah, Arnetta merasa napasnya memberat. Ia tak mengerti mengapa, namun satu alasannya ketika menemukan sesuatu yang akan menyayat hatinya nanti. Kehidupannya tidaklah sesulit itu, tapi keadaanlah yang membuat segala sesuatu tampak terdramatisir. Termasuk keadaan ekonomi keluarganya dan juga nasib ibunya.

Kakinya perlahan melangkah melewati pagar kecil membatas yang hampir lapuk kayunya. Sudah berpuluh tahun pagar itu menjaga rumahnya, meski pada kenyataannya tak ada maling yang mau merampok rumah gelandangan sepertinya. Dari luar saja sudah terprediksi tak ada apapun yang berharga didalamnya. Hanya kulkas tua dan televisi jaman dulu yang mereka miliki.

“Arnetta.”

Wanita itu tertegun. Ada sesuatu yang menahan kakinya ketika ia hendak melangkah untuk kedua kalinya. Arnetta tak serta-merta menyahuti panggilan tersebut. Sudah biasa jika makhluk tak kasat mata memanggil namanya di jam yang sudah menyentuh waktu tengah malam seperti ini. Tak heran banyak hal mistis yang terjadi. Apalagi di depan gang rumahnya, ada pohon besar yang katanya angker dan ditunggui hantu wanita.

“Tidak, tidak!”

Ia menggeleng keras. Arnetta kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam. Kali ini   semakin tergesa-gesa saat dirasakannya seseorang tengah mengikutinya. Entah apakah itu seseorang atau sese-hantu.

“Arnetta, tunggu!”

Kali ini suara itu berhasil membuat Arnetta yakin bahwa yang ada dibelakangnya bukanlah sese-hantu, melainkan seseorang. Untuk apa hantu memintanya untuk menunggu, sedangkan mereka melayang dan bisa terbang. Akhirnya diberanikannya untuk menoleh kebeblakang. Saat matanya menangkap bayangan seorang wanita yang setinggi dengannya, Arnetta pun membeliak. Tak disangkanya sosok anggun dan paras cantik itu muncul dihadapannya.

“Lusi?”

“Halo, apa kabarmu?”

***

Meski keadaan sudah mulai menjelang pagi, namun itu tidak menghalangkan keduanya untuk bertemu dan saling bicara disebuah taman yang berada tak jauh dari gang rumah Arnetta. Mereka berdua duduk di sebuah ayunan besi yang hampir reot itu. Namun, sepertinya sosok anggun yang masih lengkap dengan pakaian kerjanya yang mahal tak memperdulikan itu semua.

“Sepertinya aku telah mengejutkanmu.”

Kaki-kaki jenjang yang dihiasi sepatu bermerek itu seolah tak layak berada di lingkungan kumuh seperti ini. Melihatnya saja Arnetta sudah mulai risih. Akan lebih baik jika Lusi mengenakan pakaian rumahan biasa, dari pada harus berada disini dengan pakaian kerja seperti itu.

“Kau mabuk lagi?”

Arnetta paling tertarik dengan wacana bahwa si wanita terhormat ini melakukan kebiasaan buruknya. Ia dan ibunya sudah memahami betul bagaimana peringai Lusi yang tak akan pernah bisa menjauhi minuman laknat itu. Bahkan, pernah suatu ketika mereka mendapati Lusi nyaris pingsan dan akhirnya menginap di dalam rumah sempit mereka. Sungguh, apa yang sesungguhnya tampak tak selalu seperti apa yang ada di dalamnya.

“Sedikit.” Sahutnya sembari terkekeh geli.

Lusi takkan pernah mau pulang ke rumah besarnya dengan kondisi setengah sadar. Ayah mereka bisa mengamukinya jika hal itu sampai terjadi.

Ayah mereka?

Tentu saja. Sejak ibu Lusi menikahi ayahnya, sudah pasti ayahnya adalah ayah Lusi juga. Meski Arnetta membenci wanita yang telah melahirkan Lusi, namun ia tak membenci kakak tirinya itu. Ia malah menyayangi Lusi selayaknya saudara kandungnya sendiri. Arnetta akan selalu menjadi tameng disaat wanita itu sedang berada dalam masalah yang besar. Ayah mereka pun menganggap Lusi seperti anaknya.

Hal yang paling menyakiti hati Arnetta, ayahnya mengakui bahwa Lusi adalah anak pertamanya. Itulah, yang membuat Arnetta enggan berurusan dengan ayahnya. Berbanding terbalik dengan Lusi, ia dengan senang hati akan membantu wanita itu jika sedang berada dalam masalah.

“Katakan! Aku yakin kau datang dengan maksud tertentu, bukan?”

Lusi terkekeh geli. Arnetta memang paling pintar membaca pikirannya. Usia mereka yang hanya terpaut setahun membuat keduanya menjadi begitu akrab. Lusi bersyukur wanita itu dan ibunya menerima kehadirannya dengan tangan terbuka. Bahkan Lusi pun memanggil Ratih dengan sebutan ibu, tentu tanpa sepengetahuan mamanya.

“Kau memang paling pintar membaca isi kepalaku, adik tersayang.” Lusi mengacak rambut Arnetta

sampai wanita itu memekik tak senang.

Arnetta menyeringai setelah berhasil menyelamatkan rambutnya dari serangan Lusi. Ia sudah tahu kali ini pasti tugasnya adalah untuk menyentil beberapa pria yang akan dijodohkan dengan Lusi. Keluarga ayah mereka memiliki tradisi bahwa pernikahan seorang anak sulung harus didasari dengan perjodohan. Harusnya itu Arnetta, tapi sepertinya ayahnya melupakan Arnetta disana. Tapi, siapa peduli. Arnetta malah merasa bersyukur jika ayahnya melewatkan namanya untuk hal yang satu itu.

Memangnya, ini jaman siti nurbaya?!

“Papa akan kembali menjodohkanku dengan seorang pria. Kali ini serius, Arnetta.” Ujarnya sedikit cemas.

Arnetta iseng memainkan ujung rambutnya yang sedikit bercabang. Rambutnya memang hanya memiliki panjang tak lebih dari leher. Baginya tak ada gunanya memanjangkan rambut jika pada akhirnya ia akan berkutat dengan pekerjaan yang mengotori rambutnya.

“Lalu, Apakah kau berniat menyuruhku untuk meracuninya? Maaf saja, aku tidak mau.”

“Tidak! Aku juga tidak mau. Kau tahu, aku masih muda untuk terjerat kasus pembunuhan berencana.”

Arnetta memutar bola matanya malas. Haruskah ia bertingkah seperti ******, supaya pria itu merasa ilfeel pada sosok Lusi yang disamarkan olehnya?

“Lalu?”

Lusi menyeringai sinis. Arnetta

tahu bahwa wanita anggun berkelas ini berbanding terbalik dengan penampilannya.

Lusi tidaklah seanggun otaknya. Wanita itu memiliki rencana kriminal yang

mengerikan. Kalau sudah begini, pasti Arnetta-lah yang dijadikan kambing hitam

olehnya.

“Gantikan aku, dan buat

dia merasa jijik pada sosokku. Kau akan kudandani sehingga tak ada yang

mengenalimu.”

“Kali ini apa imbalanku?

Aku tidak mau bekerja dengan tangan kosong.” Arnetta memamh menyayangi kakak tercintanya itu. Namun, jangan harap ia mau dijadikan kambing hitam tanpa imbalan. Setidaknya uang untuk menambah saldo pengobatan ibunya sendiri.

“Uang. Aku akan memberikanmu dua puluh juta jika misi kali ini berhasil. Bagaimana?”

Sejenak Arnetta menimbang tawaran menggiurkan itu. Uang sebanyak itu tentu akan digunakannya untuk melakukan perawatan intensif agar ibunya bisa cepat lepas dari penyakit sialan itu.

“Setuju!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!