Di sebuah ruangan makanan yang diterangi oleh lampu Kristal yang mewah, telah terduduk empat orang keluarga yang menikmati sarapan pagi mereka dengan hikmat. Tak ada suara yang bising mengganggu acara pagi rutin itu setiap harinya. Hanya suara dentingan alumunium sendok dan garpu yang terdengar sesekali di sana.
Ketika kepala keluarga telah selesai dengan sarapan paginya, Rivai menempatkan tangannya saling bertumpu di atas meja. Tatapannya mengarah pada sosok wanita muda yang duduk tak jauh dari tempatnya. Pengamatannya akan sosok sang anak begitu intens sampai membuat sang istri terpaksa bersuara.
“Ada apa sayang?”
Amara yang duduk di samping sang suami menyadari betul tatapan yang diarahkan Rivai kepada Lusi, sang anak. Tatapan datar yang selalu diarahkan Rivai ketika menemukan sesuatu yang ganjil pada keluarganya tersebut.
Rivai menarik satu tarikan napas panjang. Sosoknya yang gagah masih mendominasi keluarga itu dengan kental. Setelah kepergian sang tetua beberapa tahun lalu, Rivai bertranformasi menjadi sosok pemimpin dalam keluarga itu. Tak ada yang bisa membantah perintahnya. Sekalipun itu Amara, istrinya.
“Apakah kau berencana untuk memanggil anak itu menggantikanmu nanti, Lusi?”
Sendok yang berada dalam tangan Lusi jatuh seketika. Wanita itu berwajah pucat saat mengangkat wajahnya memandang sang ayah yang tengah memelototinya menyeramkan. Ia tahu sang ayah tak menyukai gagasannya tentang pertukaran itu. Rivai sangat membenci kehadiran Arnetta pada perjodohan sebelumnya.
“A-Aku … tidak”
Suara Amara meninggi, menyela ucapan sang anak sulung yang berekspresi mengamini dugaan Rivai kepadanya. Tatapan marahnya tak terelakkan lagi. Pagi yang tenang di rumah itu telah tergantikan oleh suara tinggi yang dilontarkan sang nyonya Rumah pada si anak sulung. Beberapa pelayan pun tak bisa menyembunyikan tatapan
iba pada sosok Lusi yang dikenal mereka sebagai anak yang santun.
“Jadi kau meminta anak sialan itu untuk menggantikanmu di perjodohan sebelumnya? Pantas saja keluarga mereka tak mau lagi berurusan dengan kita. Demi Tuhan Lusi! Apa yang ada dalam otakmu?”
Lusi hanya bisa tertunduk disamping sang adik yang terdiam memandanginya. Tak pelak tatapan yang mengarah padanya terasa seperti sebuah pisau yang menghujam jantungnya dengan kejam. Tatapan iba yang seharusnya membuatnya merasa bersyukur ada yang mengasihaninya, malah berubah menjadi tatapan penuh tuduhan tak beralasan.
Mereka tak mengetahui perasaanku yang sesungguhnya, batin Lusi. Semua yang memandang kesalahannya itu tak mengerti apapun. Lusi benci dikekang. Ia masih memiliki hak untuk menolak apapun yang dipaksakan kepadanya. Tak ada yang menyadari kekangan itu semakin membuatnya sesak berada di rumah ini.
“Aku tak ingin menikah, Ma. Aku masih ingin bebas.”
Amara melemparkan tatapan membunuh pada wanita yang terlahir dari rahimnya dua puluh tahun silam itu. Tak habis piker olehnya bagaimana Lusi bertindak sangat ceroboh seperti itu.
“Kau benar-benar bodoh!”
“Sudahlah.” Rivai akhirnya bersuara. Kacamata yang bertengger ditengah hidungnya pun dilepaskannya. “Kalau kau memang tak mau, ayah tak bisa memaksanya, Lusi.”
Amara terperangah. Ia tak mempercayai apa yang ada dalam benak sang suami. Bagaimana bisa Rivai menyerah pada penolakan itu. Lusi hanya sedang berilusi. Sebentar lagi pasti sang anak akan berubah pikiran jika Rivai menekannya sekali lagi. Amara takkan pernah melewatkan kesempatan emas ini. Keluarga Basuki adalah keluarga terpandang. Dengan derajat tinggi serta kekayaan harta yang takkan pernah habis, tentu saja menjamin Lusi untuk hidup nyaman.
“Sayang, kau tak bisa menyerah begitu saja.”
“Arnetta juga anakku.” Putus Rivai akhirnya. “Kalau kau tidak bisa menemui pria itu siang ini, maka mintalah Arnetta menggantikan posisimu.”
“Sayang!”
Rivai bangkit dan berjalan meninggalkan ruang makan. Namun, sebelum benar-benar pergi, pria itu menyelesaikan satu bait ucapannya untuk anak perempuan sulungnya yang sangat diharapkannya dapat menjalankan tugas ini, bukan Arnetta.
“Kalau memang Lusi tidak mau, takkan kupaksa. Anakku bukan hanya dia. Masih ada Arnetta. Dan jika pria itu menginginkan Arnetta, maka dialah yang akan kunikahkan dengan lelaki itu.”
Amara dibuat terperangah ditempatnya. Keputusan suaminya itu tentu bertolak belakang dengan sikap yang ditunjukkannya selama ini. Rivai nyaris tak pernah membahas Arnetta dan ibunya saat mereka di rumah. Tak pernah sekalipun juga. Hari ini, sikap itu goyah. Kekerasan hati Lusi mengembalikkan jiwa lama Rivai yang mendamba keluarga lama kecilnya itu.
Dengan garang, Amara melemparkan amarahnya pada Lusi setelah suaminya tak lagi tampak di ruangan itu. Wanita itu marah, Lusi telah menghilangkan kesempatan emas untuk menikahi pria mapan. Ia tahu Rivai takkan mungkin sembarangan menjodohkan dengan lelaki lain.
“Dasar Bodoh!” Hardiknya, “Kau telah membuar kesempatan emasmu. Jangan katakan jika kau menyesali ini semua nanti.”
Lusi yang duduk bersebrangan dengan ibunya hanya menatap kosong piring dan alat makan didepannya. Tanpa ekspresi berarti ia kembali membiarkan Amara menumpahkan amarah kepadanya. Biarlah … ia sudah terbebas dari semua ini.
“Aku takkan pernah menyesalinya.” Ucapnya datar.
***
“Dia memintamu untuk bertemu hari ini?”
Lusi masih terengah dengan pakaia kerja formalnya dihadapan Arnetta yang memegang sepeti sayuran untuk bahan pangan restoran tempatnya bekerja. Di siang bolong seperti ini, merupakan suatu kejutan melihat kedatangan kakak tirinya itu disini. Tak seperti biasa, penampilan Lusi pun jauh dari kata baik-baik saja, bahkan jauh dari kata normal. Wanita itu berpeluh keringat hampir diseluruh wajahnya. Melunturkan bedak yang semula mempercantik wajah mungilnya itu.
“Demi Tuhan, Arnetta. Dia benar-benar pria gila.” Makinya. Lusi selalu mengigiti kuku lentiknya jika sedang dalam keadaan genting. Satu kebiasaan yang sangat diingat oleh Arnetta dengan baik dari kakak tirinya ini.
“Lantas aku harus apa? Kau tidak lihat aku masih sibuk bekerja.” Arnetta menyodorkan peti berisi sayuran ditangannya.ia tak peduli bagaimana Lusi memohon padanya saat ini. Ia masih harus menyelesaikan pekerjaan ini sebelum jam makan siang dimulai. Dan kini, Lusi memaksanya untuk ikut melaksanakan pekerjaan yang telah
mereka sepakati bersama malam itu.
Lusi mengurai rambutnya ke belakang dengan frustasi. Wajahnya pucat membayangkan betapa gilanya pria yang akan dijodohkan dengannya itu. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, sosok bernama Jullian itu tiba-tiba saja memintanya untuk bertemu pada jam makan siang ini. Tak bisa memahami situasinya yang sedang genting seperti saat ini.
“Aku harus apa? Aku tak mungkin menyerah padanya.”
“Tapi, aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, Lusi. Aku butuh uang.”
“Kau akan mendapatkannya dariku. Aku mohon, Arnetta.” Pintanya lagi dengan wajah memelasnya.
Arnetta sedikit kasihan dengan kondisi Lusi. Ia tahu seberapa benci wanita itu atas gagasan sang ayah yang mendesaknya untuk menikah. Sejak kepulangannya dari Amerika, Rivai memang menekankan amibisinya pada Lusi untuk menikahi rekan bisnisnya. Selain bertujuan untuk mempererat hubungan keluarga, Rivai juga memiliki peluang yang sangat besar untuk memperluas lahan bisnisnya.
Entahlah, apakah Arnetta harus mengucap rasa sedih atau syukur mengingat dirinya tak perlu lagi mengalami hal pahit semacam itu. Perpisahan secara sepihak dengan ibunya membuat Arnetta lepas dari tanggung jawab sebagai anak sulung, yang kemudian digantikan oleh Lusi. Seluruh dunia tahu, bahkan keluarganya pun harus menerima keputusan Rivai yang menggantikannya posisinya dengan Lusi.
Dunia hanya tahu bahwa Rivai memiliki dua anak. Lusi dan Tarra. Tak ada Arnetta disana. Rivai tak menyediakan celah untuknya menempatkan diri. Uang bulanan yang selama ini diberikan oleh pria itu pun terasa seperti uang tutup mulut.
“Arnetta!”
Wanita itu langsung tersadar. Ia terperanjat ditempatnya begitu mendengar suara Lusi yang memekik menyadarkannya dari lamunan. Matanya kembali melihat sosok Lusi yang anggun dengan wajah pucatnya. Kentara jelas jika wanita itu sedang dilanda kekhawatiran yang amat besar.
“Kau seharusnya tidak perlu gusar. Sudah menjadi kewajibanmu untuk melakukan semua yang diinginkannya.” Arnetta berjalan memindahkan peti itu ke depan pintu menuju dapur. Wajahnya sengaja ia sembunyikan agar Lusi tak melihat mata berkacanya saat ini.
Arnetta iri. Sudah seharusnya begitu.
Mungkin bagi Lusi perjodohan ini merupakan hal yang menakutkan baginya. Selama ini wanita itu selalu hidup berdasarkan atas kemauannya sendiri. Tanpa pernah mengalami masa sulit, Lusi mampu tumbuh menjadi wanita anggun yang sejajar dengan derajat seorang Rivai. Berbeda halnya dengan Arnetta. Sejak kecil ia da ibunya sudah harus terusir dari kehidupan pria itu. Rivai menutup celah baginya dan Ratih untuk tetap tinggal. Ketidakmampuan pria itui untuk bertahan dalam kemiskinan dijadikannya alasan untuk pergi.
“Jadi, kau tidak mau membantuku?”
Wajah Lusi terlihat muak. Wanita itu memandang sengit punggung Arnetta yang tengah membelakanginya, tanpa tahu jika adik tirinya itu tengah berjuang menahan isakan tangisnya.
Arnetta berbalik. Dengan satu tarikan napas kuat, wanita itu menahan gejolak yang bergemuruh dalam hatinya. Jikalau wanita yang ada dihadapannya bukanlah Lusi, mungkin Arnetta sudah melayangkan pukulan padanya. Namun, sayang kasihnya pada Lusi begitu besar sampai mencegahnya untuk melakukan tindak kekerasa pada
wanita itu.
“Belajarlah
untuk menyelesaikan masalahmu sendiri. Jika kau memintaku untuk membantu, aku
takkan menolak. Tapi, kau harus tahu kehidupanku bukan hanya menjadi ekormu
saja. Aku memiliki seorang wanita yang sakit sedang menunggu kepulanganku
membawa uang. Harusnya kau bersyukur pria itu mampu menerimamu dengan layak,
tidak seperti kami yang harus terbuang karena ambisinya.”
Lusi terdiam ditempatnya. Wajahnya berubah datar seperti batu pualam yang dingin. Tak ada respon berarti yang keluar dari wajahnya. Ketika wanita itu marah, Lusi akan bersikap seolah tak pernah terjadi apapun. Dan Arnetta tahu bahwa ia sudah membangkitkan kemarahan wanita itu.
“Kau tidak mau membantuku?” Lusi berdecak tak suka. Nada bicaranya dingin, tak memohon seperti yang dilakukannya dibeberapa saat yang lalu.
“Lusi
…”
Wanita itu menegakkan wajahnya dengahn angkuh. Rahangnya mengeras seolah tampak akan meledakkan emosinya. “Aku tak membutuhkan bantuanmu. Tidak sekalipun. Kau ingin hidup seperti ini, silahkan saja. Aku tak memaksa. Aku akan berhenti menganggumu.”
Arnetta menerjabkan matanya terkejut. Lusi yang dikenalnya tak pernah bersikap angkuh dan sombong seperti ini. Rasanya ia seperti baru saja diperlihatkan sisi lain dari seorang Lusi yang selama ini tersembunyi. Lusi yang angkuh telah hilang bersama kekecewaannya.
“Baiklah. Sekali ini aku akan menurutimu.”
Perkataan Arnetta bagaikan sebuah angin segar untuk Lusi. Wajah angkuh itu luruh dengan
senyuman yang terukir di bibirnya. Ia tahu Arnetta takkan lama menolak tawarannya. Wanita itu terlalu lemah, pikirnya.
“Tapi, … bisakah aku meminta satu hal dari mu?”
Dengan binar kebahagiaan, Lusi menganggukkan kepalanya dan mengamini ucapan adik
tirinya itu, “Apapun.”
“Bisakah kau pertemukan pria itu dengan ibuku?”
Satu tarikan napas berat dihembuskan Arnetta. Ia cukup berat melakukannya. Tapi, ini demi ibunya. Kali ini tak ada unsur uang lagi dalam persyaratannya. Ia hanya menginginkan ibunya melihat bukti bahwa Rivai sudah tak lagi menginginkannya. Pengharapan yang dipendam ibunya pada pria itu membuat Arnetta kesakitan. Ibunya tak pantas menerima perasaan itu. Arnetta tahu Ratih perlu melanjutkan hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments