Seorang lelaki nampak sedang memutar kemudinya. Dari balik kacamata hitamnya, ia memperhatikan jalan di depannya saat melajukan audi hitamnya. Ketika sampai di sebuah pertigaan jalan besar, mobilnya pun berhenti karena lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah. Sambil bersenandung, ia memperhatikan orang-orang yang melintas di depan mobilnya, hendak menyebrang jalanan. Namun tatapannya tak lama teralih pada seorang wanita yang sedang menggandeng gadis kecil. Sepasang ibu dan anak itu tertawa sesekali dengan wajah berbinar penuh kebahagiaan. Tak ada beban yang nampak disana, yang langsung membuat hati lelaki itu terenyuh.
Indahnya.
Tiba-tiba ia teringat pada sosok yang kini pasti sedang menunggunya dirumah. Entah apakah dirinya pantas berkata bahwa sosok itu sedang menunggunya ataukah terpaksa menunggunya. Sosok yang sangat ia cintai itu pastinya akan selalu berada dirumah bersama dengan empat orang pelayan yang ia pekerjakan untuk merawat sang kekasih.
Kekasih?
Tidak. Tidak ada sebutan manis untuk sosok itu darinya. Sosok itu sebenarnya hanyalah seorang wanita yang tak lebih dari seorang wanita simpanan. Wanita yang telah disakitinya dengan kasar tanpa berkeinginan untuk membalasnya kembali.
Lelaki itu pun tersenyum kecut kala mengingat sosok itu. Ia seperti pria lainnya yang tak tahu diri masih berani menyebut sosok itu sebagai kekasih pujaannya. Ia bahkan pernah membuat sosok itu ingin membunuh dirinya sendiri dan sekarang ia bertingkah seperti seorang kekasih yang mencintai pasangannya. Ia munafik. Terlalu takut untuk mengatakan kalau dirinya sebenarnya takut kehilangan sosok itu. Ketakutan akan pemandangan hilangnya sosok itu dari rumahnya membuatnya kalut. Ia tak bisa hidup tanpa sosok itu untuk kedua kalinya. Sudah cukup waktu yang telah berlalu, hanya untuk melihat kesakitannya. Dan, Jullian tak mau itu terjadi.
Sejak beberapa tahun lalu, ia sadar kalau sesungguhnya sosok itulah yang paling ia inginkan dari apapun di dunia ini. Bahkan, ia rela menukar apapun demi sosok itu. Dan kini, setelah semua sudah terjadi, semuanya sudah terlambat. Ia takkan pernah bisa mengembalikan apa yang telah ia hilangkan dulu. Semuanya sudah lenyap, termasuk sosok yang dulu pernah bersamanya. Ia takkan lagi menemukan kehidupan didalamnya. Jullian saat ini hanya bersikap seperti seorang penyayang karena dirinya terlalu pengecut. Ia tetap mempertahankan sosok itu disisinya meski ia tahu kalau sosok itu sudah hancur.
"Ada di mana dia?"
Jullian Basuki. Lelaki berperwakan tinggi besar itu baru saja tiba di istana mewahnya yang terletak di kawasan elite Jakarta. Rumah dengan tiga lantai dipercantik dengan ornamen mewah berwarna gold itu memang ia bangun untuk kekasih hatinya. Rumah itu adalah rumah impian mereka. Ah, tidak, impiannya. Sosok itu tak pernah mengatakan apa yang ia inginkan.Selalu dirinyalah yang memutuskan semuanya sendiri.
"Dia di dalam, Tuan." Seorang pria paruh yang bekerja sebagai asisten pribadinya memang ia perintahkan untuk mengawasi rumahnya kala dirinya pergi ke kantor.
Aneh bukan?
Harusnya seorang asisten mengikuti kemana atasannya pergi, namun kini pria paruh di rumahnya untuk menjaga situasi disana. Hanya laki-laki itu yang bisa Jullian percayai untuk menjaga rumahnya kala ia sedang berpergian. Hanya pria itu yang bisa menjaga dan memantau keamanan wanita yang sangat dicintainya itu.
Dengan langkah lebar, Jullian berjalan memasuki rumah mewahnya itu menuju lantai dua. Sepanjang jalannya, seluruh pelayan membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada Tuannya itu.
Tepatnya, di sebuah kamar utama berpintu prancis putih, didalam sana ada sosok yang ia ingin sekali temui beberapa hari ini. Pekerjaannya yang menugaskannya di luar kota mengharuskannya pergi meninggalkan sosok itu sendirian. Seandainya tidak, mungkin Jullian akan mengurangi semua kegiatannya dengan membawa seluruh pekerjaannya ke rumah seperti biasanya. Berada jauh dari sosok itu membuat dadanya terasa sesak.
"Arnetta ..." panggilnya lirih ketika daun pintu terbuka.
Hening.
Suasana itulah yang sudah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Seorang wanit acantik nampak duduk bersandarkan bantal di atas tempat tidurnya dengan pandangan kosong. Wanita berkulit pucat itu bagaikan boneka hidup. Wajahnya yang dulu berseri-seri kini berubah pucat. Pipi dan bibirnya yang merah sudah memutih seiring berjalannya waktu. Tatapannya kosong, tak menyambut kedatangan Jullian seperti dulu. Tak ada lagi senyuman keterpaksaan karena menahan sakit ang ditunjukkan oleh wanita itu. Semuanya terasa hampa dan kosong. Tatapannya tak lagi hangat seperti dahulu.
Jullian mendekati sosok yang terduduk di atas sana. Ia menempatkan dirinya duduk dipinggir kasur itu sepelan mungkin. Dibelainya rambut hitam legam milik wanitanya itu dengan lembut dan penuh kehati-hatian, seakan sosok itu akan hancur jika ia menekan tangannya di sana. Ia tak sampai hati menyakiti wanita ini. Arnettanya telah hancur, karena ulahnya.
"Bagaimana kabarmu hari ini, sayang?" tanyanya lembut. Dengan sabar, Jullian mengelus pipi wanita itu yang terasa dingin ditangannya. Namun, kenyataannya sosok itu takkan pernah menjawab apapun pertanyaan yang ia ajukan. Ia tahu sampai kapanpun takkan pernah ada sahutan dari bibir kekasihnya itu. Sosok itu telah berubah menjadi mayat hidup dan itu karena kesalahannya. Ingin rasanya Jullian menekan egonya sebagai seorang laki-laki dan menangis, meraung di hadapan sosok itu. Ia ingin sosok Arnetta-nya yang dulu. Wanitanya yang kuat dan ceria bukan sosok mayat hidup yang menyerupai kekasihnya. Ia sudah tak tahu lagi di mana sosok ceria itu sekarang.
Sejak kejadian itu, Arnetta telah menghilang bersama dengan impain masa lalu yang pernah mereka rajut bersama. Digenggamnya tangan mungil itu dan dikecupnya dengan penuh kasih sayang. Tangan itu yang dulu merawatnya kala dirinya sakit dan tangan itu juga yang memasakkan makanan untuknya. Tapi tangan itulah yang telah ia pukuli dan ia siksa. Tangan itu, kini menjadi saksi bisu betapa menderitanya wanita cantik itu dulu.
"Arnetta, ... Maafkan aku." Isaknya.
Jullian tak bisa lagi membendung tangisnya saat melihat kondisi Arnetta yang sudah tak lagi sama seperti dulu. Wanita itu seolah menjadi sebuah boomerang untuknya. Arnetta memang tak pernah membalasnya. Wanita itu tak mungkin memiliki niat untuk membalas dendam atas perbuatannya. Namun, kepasrahan dan ketidakberdayaan wanita itu berhasil menghancurkannya. Biarlah ia menangis hari ini. Tidak, biarlah ia menangis lagi hari ini. Asalkan
di depan kekasihnya, tak masalah Jullian dikatakan sebagai laki-laki cengeng. Ia hanya ingin melegakan perasaannya. Kediaman Arnetta membuka semuanya. Kejahatan yang dikiranya adalah perbuatan wanita itu ternyata adalah manipulasi.
Arnetta tidak pernah meninggalkannya. Wanita itu hanya menjadi korban dari ulah keluarganya, keluarga yang tak pernah menganggapnya ada. Cukup lama Jullian menangis lagi di depan sosok itu. Sosok hangat yang berubah menjadi dingin itu takkan pernah lagi menyambutnya dengan kehangatan. Arnetta masih bisa di dunia ini karena Jullian memaksanya. Sosok itu sebenarnya sudah lama mati bersama anak mereka. Arnetta yang dulu takkan
lagi menyahuti apapun keluar dari mulut orang-orang yang menyesal telah menyakitinya dulu. Kini sepasang mata hitam itu hanya memandang lurus depannya dengan Jullian yang menangis di pangkuannya.
***
"Jangan memandangku dengan wajah kotormu, ******!"
"Hentikan suaramu! Kau membuatku jijik ...”
"Aku akan menjadi orang pertama yang akan membunuh janin itu kalau sampaikau hamil."
***
"Sayang, bicaralah. Sekarang Aku sudah kembali bersamamu. Kau bilang akan terus bersamaku asalkan aku tak
meninggalkanmu. Mengapa kau tak mau kembali padaku?"
Tanpa Jullian sadari, seorang wanita lainnya mengintip dari balik celah pintu yang terbuka sedang berusaha keras membekap mulutnya. Ia tak ingin Jullian atau siapapun mendengar tangisannya. Sama seperti Jullian, ia juga mementingkan egonya untuk tidak terlihat cengeng di depan siapapun. Tapi siapa yang tahan ketika melihat kondisi wanita cantik yang begitu mengenaskan itu. Tak ada lagi suara yang memanggil namanya, tak ada lagi pandangan sendu dari kedua mata hitam itu, tak ada lagi yang meminta maaf padanya. Kini semua menghilang, persis seperti apa yang ia inginkan dulu. Tapi tidak ia tak ingin semua seperti ini.Ia menginginkan semuanya kembali.
"Maafkan kakak, Arnetta. Maafkan kakak."
Lusi membekap mulutnya agar tak adayang mendengar suaranya, termasuk kedua orang yang ada disana. Arnetta yang seperti ini, tentu karena ulahnya. Dosa yang diperbuatnnya takkan pernah berkurang.
“Permisi ...”
Di sana seorang anak kecil tengah berdiri mengamati wanita yang diam-diam memperhatikan adegan tuan rumah bersama istri barunya itu. Ada serbuan rasa tak suka saat melihat sosok wanita dewasa itu di sana. Sepasang mata polos yang seharusnya menyiratkan kasih sayang, malah menatap kehadiran wanita itu dengan dingin di rumah ini.
Lusi, wanita itu langsung menoleh kebelakang dan terkejut mendapati Arif, sang anak telah berdiri tak jauh di tempatnya. Tatapan anak semata wayangnya itu berhasil membuat hatinya remuk.
Arif, anak yang selama ini hanya diperalatnya untuk mendapatkan sosok Jullian, yang tak pernah diperhatikannya seperti anak pada umumnya. Arif pantas melakukannya. Meski anak itu masih memanggilnya dengan sebutan “Mama”, tak memungkiri kebencian dini yang tertanam padanya. Bukan karena Arnetta, bukan karena Jullian. Dirinyalah yang membuat Kebencian Arif bertumbuh padanya.
Lusi sadar jika ketidakperduliannya pada Arif mendatangkan perasaan itu padanya.
“Arif ...”
“Jangan ganggu Bunda Arnetta. Bunda sedang istirahat.” Ucapnya dingin.
Untuk seusinyanya, ucapan Arif itu terdengar tak wajar. Anak itu hanya akan menjadi Arif kecil yang polos ketika berhadapan dengan Arnetta atau Jullian. Tidak dengan Lusi. Arif cenderung dingin pada ibu kandungnya itu. Anak berusia enam tahun itu lebih memilih bersama Arnetta sebagai ibunya ketimbang bersama Lusi, yang telah melahirkannya. “Arif.”
“Papa melarang anda disini. Lebih baik anda pergi saja. Tidak ada gunanya dating kesini” Titahnya.
Langsung saja Arif berlari meninggalkan Lusi menuju kamar di mana Jullian dan Arnetta berada. Anak kecil itu tak memperdulikan lagi keadaan Lusi yang sudah berderai air mata menyaksikan kepergiannya. Kini penyesalan tinggalah penyesalan. Tak ada yang bisa Lusi lakukan untuk meredam kebencian sang anak padanya. Arif pantas untuk membencinya. Kebencian yang tak wajar untuk anak seusianya mungkin akan menjadi balasan atas semua dosa yang selama ini dilakukannya. Dan, Lusi hanya tinggal berpasrah menerimanya. Berharap suatu hari nantiArif akan kembali mencintainya.
“Mama mencintaimu, Nak. Mama sangat mencintaimu, Arif.”
***
Matahari yang tak lagi menunjukkan sinarnya, hanya akan memberikan malam gelap yang mencekam. Aku disini, hanya sendirian tanpa siapapun mencoba bertahan meski dunia telah menolak kehadiranku.
Haruskah aku bertahan?
Haruskah aku berjalan mundur?
Haruskah aku kembali ke masa sebelumnya?
Aku lelah.
Aku ingin pulang. Hanya itu.
Arnetta Revalina
***
Seorang wanita tampak sedang mengangkat kardus berisikan beberapa muatan untuk bahan dapur di restoran tempatnya bekerja. Peluh keringat membasahi wajah ovalnya saat memindahkan benda berat itu dari sisi tengah ruangan, lalu menyusunnya menjadi tumpukkan yang meninggi disalah satu sudut ruangan. Tak pelak, ini merupakan satu-satunya yang harus dikerjakan. Masih ada beberapa tempat yang harus didatanginya untuk mengais rejeki.
Gudang penyimpanan karet. Tempat ke tiga yang harus disambanginya. Sebanyak lima tempat yang menjadi tumpuan hidupnya. Wanita itu perlu uang. Ia memerlukan benda kertas berharga itu untuk membiayai pengobatan ibunya yang terkena kanker paru-paru stadium awal. Meski baru memasuki tahap awal, kenyataanya penyakit itu tidak membutuhkan sedikit biaya. Obat-obatan yang harus dikonsumsi sang ibu pun memiliki harga yang fantastis.
“Arnetta! Setelah semuanya beres, kunci pintu ini dan segera pulang.” Titahnya.
Arnetta. Nama wanita yang tengah mengangkat kardus-kardus itu menoleh dan tersenyum melihat pria tua bertubuh tambun itu memerintahkannya. Meski wajahnya garang, namun atasannya yang satu ini memiliki rasa toleransi yang tinggi. Tidak salah jia Arnetta memilih untuk mempertahankan pekerjaanya disini meski dengan upah yang minimal.
Arnetta Revalina.
Begitulah orang memangil wanita tersebut. Nama yang indah untuk seorang yang sama sekali tidak memiliki keistimewaan apapun. Miskin dan jauh dari kehidupan seorang wanita normal pada umumnya yang bekerja di sebuah perusahaan ternama. Arnetta yang sudah berusia dua puluh lima tahun hanya bisa bekerja sebagai pekerja paruh waktu diberbagai tempat. Hanya bermodalkan ijazah SMP, Arnetta mau tak mau harus menerima
asibnya yang berada di kelas kalangan bawah.
Ibunya, Ratih sudah lama tidak lagi memiliki uang untuk membiayai pendidikannya. Arnetta harus mati-matian berjualan keliling saat masih kecil demi uang sekolah yang seharusnya ditanggung oleh kepala keluarga di kehidupannya. Namun, sayang hanya untuk mengingatnya saja Arnetta merasa enggan.
Ketika semua perlengkapan gudang telah selesai, Arnetta diijinkan untuk pulang. Sebenarnya tidaklah pulang. Masih ada beberapa tempat yang harus didatanginya malam ini. Demi uang untuk biaya pengobatan sang ibu, Arnetta rela bekerja banting tulang sampai remuk, asalkan ibunya bisa terus bersamanya.
Kaki jenjang Arnetta berjalan menyusuri jalanan lampu merah yang sudah padat merayap. Lampu lalu lintas yang berwarna merah dan menghentikan beberapa mobil yang akan melintas, memudahkannya untuk menyebrangi jalan. Bukan hanya dirinya saja, beberapa wanita dan pria dengan setelan formalnya pun iku beriringan bersamanya.
Ada rasa iri ketika matanya menangkap orang-orang itu berpakaian layak dengan penampilan elegan yang menjamin. Kewibawaan mereka tercetak jelas dari balik pakaian formal yang dikenakannya. Berbeda sekali dengan Arnetta yang cukup menggunakan kaos oblong dan celana jeans. Sepatu ketsnya pun bolong sana sini. Hanya jika ibunya sedang melihat saja benda tersebut terlihat rapi, karena dijahit ulang.
Entahlah apakah suatu hari Arnetta bisa hidup seperti orang-orang pada umumnya. Sesak sangat terasa ketika membayangkan bagaimana ia dan ibunya bisa berakhir hidup nyaris menggelandang seperti ini. Luka yang mereka bawa sangat dalam, membawa sakit yang amat menusuk sampai ke ulu hati.
Ketika dirinya sampai di persimpangan jalan, sebuah poster yang memuat seorang pengusaha besar dengan
penampilan formalnya berdiri disana. Senyumnya ramah dengan lesung dipipinya yang menawan. Arnetta ingin tersenyum sekaligus tertawa kencang. Betapa ia ingin sekali membunuh pria yang berada di dalam poster tersebut, tapi ia juga merindukan pelukan hangatnya. Ia sudah lupa berapa tahun terlewati tanpa sosok itu di sampingnya. Ia hampir melupakannya kalau saja tidak diingatkan lagi dengan berbagai gambar pria itu di jalanan yang terpasang layaknya sebuah iklan produk terkenal.
Ibunya sering kali menangis saat kembali diingatkan tentang masa lalu. Ratih takkan pernah bisa melupakan cinta pertamanya, begitu piker Arnetta. Ibunya begitu mencintai ayahnya yang pertama mengajarkan cinta. Kala ibunya bercerita, Arnetta selalu disuguhkan dengan kisah cinta kedua orang yang saling menggilai. Namun sayang, sebanyak apapun sang ibu mencekokinya dengan cerita khas dongeng anak-anak itu, kenyataanya bahwa pria yang dianggapnya sebagai pangeran itu membuat mereka akhirnya hidup merana seperti ini. Untuk mengingat mereka pun pria itu pasti enggan. Keluarga barunya lebih menjanjikan dan takkan membuatnya malu.
Arnetta selalu berpikir bahwa pria itu mungkin saja sudah melupakan mereka. Hidup bersama dua orang anak, perempuan dan laki-laki membuat Arnetta merasa dirinya dan ibunya telah tergantikan. Seorang wanita terhormat dari kalangan atas dan mampu memberikan seorang anak perempuan cantik sebayanya dan seorang anak bungsu laki-laki yang sangat diimpikannya tentu akan menjadi bahan pertimbangan besar untuk meninggalkan mereka.
Arnetta dan ibunya hanyalah sebingkai masa lalu tak berarti.
“Ayah, kami akan tetap hidup meski kau mencampakkan kami.” Batinnya.
***
Menginjak pukul dua belas malam, Arnetta kembali ke rumah kecilnya di ujung kota. Beruntung rumah itu bukanlah rumah sewaan. Satu-satunya harta yang masih mereka miliki dan memiliki kenangan yang begitu banyak. Terkandung didalamnya bagaimana kehidupan mereka sebelum malapetaka itu terjadi. Arnetta saat itu masih memiliki keluarga kecilnya yang bahagia. Sepasang orang tua yang saling mencintai dan mengasihi, serta seorang anak tunggal yang dilimpahi kasih sayang.
Setidaknya hanya ingatan itu yang Arnetta miliki sampai saat ini. Setiap kali dirinya sampai didepan rumah, Arnetta merasa napasnya memberat. Ia tak mengerti mengapa, namun satu alasannya ketika menemukan sesuatu yang akan menyayat hatinya nanti. Kehidupannya tidaklah sesulit itu, tapi keadaanlah yang membuat segala sesuatu tampak terdramatisir. Termasuk keadaan ekonomi keluarganya dan juga nasib ibunya.
Kakinya perlahan melangkah melewati pagar kecil membatas yang hampir lapuk kayunya. Sudah berpuluh tahun pagar itu menjaga rumahnya, meski pada kenyataannya tak ada maling yang mau merampok rumah gelandangan sepertinya. Dari luar saja sudah terprediksi tak ada apapun yang berharga didalamnya. Hanya kulkas tua dan televisi jaman dulu yang mereka miliki.
“Arnetta.”
Wanita itu tertegun. Ada sesuatu yang menahan kakinya ketika ia hendak melangkah untuk kedua kalinya. Arnetta tak serta-merta menyahuti panggilan tersebut. Sudah biasa jika makhluk tak kasat mata memanggil namanya di jam yang sudah menyentuh waktu tengah malam seperti ini. Tak heran banyak hal mistis yang terjadi. Apalagi di depan gang rumahnya, ada pohon besar yang katanya angker dan ditunggui hantu wanita.
“Tidak, tidak!”
Ia menggeleng keras. Arnetta kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam. Kali ini semakin tergesa-gesa saat dirasakannya seseorang tengah mengikutinya. Entah apakah itu seseorang atau sese-hantu.
“Arnetta, tunggu!”
Kali ini suara itu berhasil membuat Arnetta yakin bahwa yang ada dibelakangnya bukanlah sese-hantu, melainkan seseorang. Untuk apa hantu memintanya untuk menunggu, sedangkan mereka melayang dan bisa terbang. Akhirnya diberanikannya untuk menoleh kebeblakang. Saat matanya menangkap bayangan seorang wanita yang setinggi dengannya, Arnetta pun membeliak. Tak disangkanya sosok anggun dan paras cantik itu muncul dihadapannya.
“Lusi?”
“Halo, apa kabarmu?”
***
Meski keadaan sudah mulai menjelang pagi, namun itu tidak menghalangkan keduanya untuk bertemu dan saling bicara disebuah taman yang berada tak jauh dari gang rumah Arnetta. Mereka berdua duduk di sebuah ayunan besi yang hampir reot itu. Namun, sepertinya sosok anggun yang masih lengkap dengan pakaian kerjanya yang mahal tak memperdulikan itu semua.
“Sepertinya aku telah mengejutkanmu.”
Kaki-kaki jenjang yang dihiasi sepatu bermerek itu seolah tak layak berada di lingkungan kumuh seperti ini. Melihatnya saja Arnetta sudah mulai risih. Akan lebih baik jika Lusi mengenakan pakaian rumahan biasa, dari pada harus berada disini dengan pakaian kerja seperti itu.
“Kau mabuk lagi?”
Arnetta paling tertarik dengan wacana bahwa si wanita terhormat ini melakukan kebiasaan buruknya. Ia dan ibunya sudah memahami betul bagaimana peringai Lusi yang tak akan pernah bisa menjauhi minuman laknat itu. Bahkan, pernah suatu ketika mereka mendapati Lusi nyaris pingsan dan akhirnya menginap di dalam rumah sempit mereka. Sungguh, apa yang sesungguhnya tampak tak selalu seperti apa yang ada di dalamnya.
“Sedikit.” Sahutnya sembari terkekeh geli.
Lusi takkan pernah mau pulang ke rumah besarnya dengan kondisi setengah sadar. Ayah mereka bisa mengamukinya jika hal itu sampai terjadi.
Ayah mereka?
Tentu saja. Sejak ibu Lusi menikahi ayahnya, sudah pasti ayahnya adalah ayah Lusi juga. Meski Arnetta membenci wanita yang telah melahirkan Lusi, namun ia tak membenci kakak tirinya itu. Ia malah menyayangi Lusi selayaknya saudara kandungnya sendiri. Arnetta akan selalu menjadi tameng disaat wanita itu sedang berada dalam masalah yang besar. Ayah mereka pun menganggap Lusi seperti anaknya.
Hal yang paling menyakiti hati Arnetta, ayahnya mengakui bahwa Lusi adalah anak pertamanya. Itulah, yang membuat Arnetta enggan berurusan dengan ayahnya. Berbanding terbalik dengan Lusi, ia dengan senang hati akan membantu wanita itu jika sedang berada dalam masalah.
“Katakan! Aku yakin kau datang dengan maksud tertentu, bukan?”
Lusi terkekeh geli. Arnetta memang paling pintar membaca pikirannya. Usia mereka yang hanya terpaut setahun membuat keduanya menjadi begitu akrab. Lusi bersyukur wanita itu dan ibunya menerima kehadirannya dengan tangan terbuka. Bahkan Lusi pun memanggil Ratih dengan sebutan ibu, tentu tanpa sepengetahuan mamanya.
“Kau memang paling pintar membaca isi kepalaku, adik tersayang.” Lusi mengacak rambut Arnetta
sampai wanita itu memekik tak senang.
Arnetta menyeringai setelah berhasil menyelamatkan rambutnya dari serangan Lusi. Ia sudah tahu kali ini pasti tugasnya adalah untuk menyentil beberapa pria yang akan dijodohkan dengan Lusi. Keluarga ayah mereka memiliki tradisi bahwa pernikahan seorang anak sulung harus didasari dengan perjodohan. Harusnya itu Arnetta, tapi sepertinya ayahnya melupakan Arnetta disana. Tapi, siapa peduli. Arnetta malah merasa bersyukur jika ayahnya melewatkan namanya untuk hal yang satu itu.
Memangnya, ini jaman siti nurbaya?!
“Papa akan kembali menjodohkanku dengan seorang pria. Kali ini serius, Arnetta.” Ujarnya sedikit cemas.
Arnetta iseng memainkan ujung rambutnya yang sedikit bercabang. Rambutnya memang hanya memiliki panjang tak lebih dari leher. Baginya tak ada gunanya memanjangkan rambut jika pada akhirnya ia akan berkutat dengan pekerjaan yang mengotori rambutnya.
“Lalu, Apakah kau berniat menyuruhku untuk meracuninya? Maaf saja, aku tidak mau.”
“Tidak! Aku juga tidak mau. Kau tahu, aku masih muda untuk terjerat kasus pembunuhan berencana.”
Arnetta memutar bola matanya malas. Haruskah ia bertingkah seperti ******, supaya pria itu merasa ilfeel pada sosok Lusi yang disamarkan olehnya?
“Lalu?”
Lusi menyeringai sinis. Arnetta
tahu bahwa wanita anggun berkelas ini berbanding terbalik dengan penampilannya.
Lusi tidaklah seanggun otaknya. Wanita itu memiliki rencana kriminal yang
mengerikan. Kalau sudah begini, pasti Arnetta-lah yang dijadikan kambing hitam
olehnya.
“Gantikan aku, dan buat
dia merasa jijik pada sosokku. Kau akan kudandani sehingga tak ada yang
mengenalimu.”
“Kali ini apa imbalanku?
Aku tidak mau bekerja dengan tangan kosong.” Arnetta memamh menyayangi kakak tercintanya itu. Namun, jangan harap ia mau dijadikan kambing hitam tanpa imbalan. Setidaknya uang untuk menambah saldo pengobatan ibunya sendiri.
“Uang. Aku akan memberikanmu dua puluh juta jika misi kali ini berhasil. Bagaimana?”
Sejenak Arnetta menimbang tawaran menggiurkan itu. Uang sebanyak itu tentu akan digunakannya untuk melakukan perawatan intensif agar ibunya bisa cepat lepas dari penyakit sialan itu.
“Setuju!”
Aku mengharapkan sesuatu
yang bisa membawaku kembali.
Aku ingin berada jauh
dari tempat yang kejam ini.
Aku merindukan
kehangatan ketika aku pulang.
Tapi, … aku sudah tak
sanggup.
Rasa lelah yang
menghinggapi pundahkku terasa semakin berat.
Aku sudah tak lagi bisa
menaruh rasa percaya pada siapapun.
Dia telah merubah jalan
hidupku.
Dendam.
Aku hanya ingin
melihatnya mati didepan kedua mataku.
Jullian Basuki.
***
Seorang pria masih
bertahan dibalik mejanya meski langit terang telah terganti dengan cahaya senja
oranye. Hal itu tak membuatnya berhenti berkutat pada berkas-berkas yang
menumpuk di atas mejanya. Pekerjaan yang semakin banyak setelah ditinggalkannya
untuk perjalanan dinas ke luar negeri beberapa hari saja sudah semakin
memusingkan.
Namun, bukan hanya hal
itu saja yang membuat pria yang menggunakan kacamata lensa bening tipis tak
berbingkai miliknya. Berkas-berkas itu tidak kalah memusingkan dari suara dari
intercom yang terus berbicara tanpa henti. Benda mati itu tidak dapat
berbicara. Akan tetapi, sesuatu yang tengah menghubungkannya dengan seseorang
yang entah berapa di mana itulah penyebab semua kekacauan hari ini.
“Jangan lupa untuk
datang tepat waktu ke restoran itu. Ibu tak mau Lusi menunggu lama disana.”
Suara seorang wanita berbicara dari benda yang berada tak jauh dari tumpukkan
berkas diatas meja pria itu.
Seorang pria berwajah
asia, lengkap dengan mata sipitnya terus mendengarkan suara ibunya dari sebuah
telepon yang sengaja ia keraskan. Masih berkutat pada pekerjaannya, Jullian tak
begitu memperdulikan ucapan sang ibu. Baginya hanyalah sebuah omong kosong
membiarkan keluarga mengendalikan dirinya, terutama masalah pernikahan. Sudah
cukup lama ia dikendalikan
Usianya memang sudah
menginjak tiga puluh lima tahun, tapi bukan berarti ia sudah menjadi bujangan
lapuk. Jullian sudah membiasakan dirinya untuk hidup tanpa seorang pendamping.
Jika dirinya merasa bosan, Jullian bisa menyeret satu atau dua wanita ke atas
ranjangnya dengan mudah. Hanya saja keinginan dalam dirinya yang belum timbul.
Ia terlalu malas berurusan dengan yang namanya wanita. Mereka adalah makhluk
paling menyebalkan yang pernah ditemuinya. Tentu, ibunya tersayang ini tidaklah
masuk dalam kategori tersebut.
“Jullian, apakah kau
mendengarkanku?” hardiknya. Wanita itu rupanya senang menekan sang anak. Dari
nada bicaranya, terdengar jelas kejengkelannya karena putranya itu memilih
untuk mengabaikannya, dari pada memikirkan semua tawaran pernikahan yang
diberikan.
“Aku dengar semuanya,
Bu.”
“Kalau begitu, segeralah
kau atur janji dengannya. Kau pikir wanita senang dipaksa untuk terus
menunggu.”
Jullian memang
satu-satunya bujang terakhir dalam keluarga Basuki. Anak kedua dari tiga
bersaudara laki-laki itu lebih memilih untuk menghabiskan hidupnya dengan
bekerja dan menikmati hidup. Adiknya yang terpaut dua tahun lebih muda darinya
sudah memutuskan untuk mengakhiri pencahariannya dengan menikahi teman SMAnya
pun melangkahinya dua tahun yang lalu. Kini tinggalah dirinya yang belum
berkeluarga, dan menjadi bulan-bulanan sang ibu.
“Ayolah, Bu. Aku masih
belum tua untuk melajang. Usiaku baru tiga puluh lima tahun.”
Lelaki itu tak bisa
memikirkan apapun selain kehidupan kantornya. Pernikahan hanya sebuah symbol
pengikat yang mengekang. Menikahi satu wanita, sama saja membuat sumpah konyol
yang takkan pernah ia tepati. Jullian ingin bebas. Bersama seorang wanita hanya
akan menambah permasalahan hidupnya saja.
“Kau memang belum tua
untuk melajang, tapi seharusnya kau malu pada adikmu yang telah memberikan satu
cucu dan satu calon cucu untukku.”
Jullian memutar bola
matanya malas. Ia tahu pasti ibunya akan terus membandingkannya dengan adik
lelakinya yang memilih untuk menikahi muda. Ronald selalu menjadi panutan bagi
pria lajang yang ada di rumahnya. Risiko yang diambil lelaki itu sangatlah tak
biasa. Masih menata hidup, namun sudah memutuskan untuk membangun sebuah
keluarga. Beruntungnya, adik kecilnya itu kini telah mencapai kesuksesan
usahanya sebagai seorang importer kayu yang sukses. Entah bagaimana jadinya
jika adiknya harus berakhir dalam kehancuran.
“Dia pria gila, Bu.
Ayolah. Aku tak perlu menjadi Ronald kedua.”
“Dan, seharusnya juga
dalam usia seperti ini, kau sudah memberikan kami dua cucu.” Nyonya Basuki tak
pernah bermain-main dengan ucapannya. Sekali wanita itu berbicara, maka kata
itulah yang akan menjadi perintah bagi semua orang. Bahkan, ayahnya sekalipun
yang memiliki kekuasaan tertinggi tak sanggup melawannya.
“Kalau kau benar-benar
menginginkan cucu, aku akan membawakannya satu.”
“Beserta wanita yang
sudah menyandang status sebagai istrimu, Jullian.” Keukehnya kembali. Nyonya
Basuki takkan pernah lelah mengultimatum sang anak. Jullian adalah tipe yang
paling sulit untuk ditaklukkan, bahkan dinasehati sebelum sesuatu yang buruk
terjadi.
“Kau akan datang lusa.
Suka atau tidak, kau harus membawa Lusiana sebagai menantuku.” Nyonya Basuki
dengan cepat mampu memutar arah bicaranya. Kalau sudah begini, Jullian pasti
akan langsung menutup sambungan telepon mereka hanya dalam hitungan detik.
Sambungan telepon itu
langsung terputus. Jullian menghela napasnya panjang. Siapa yang bisa melawan
wanita itu, pikirnya. Sang ibu memiliki andil yang besar atas semua yang
terjadi di rumahnya. Bukan berarti sang ibu sangat “Bossy”, tapi wanita itu
masih memegang teguh adat istiadat yang menekan hukum lama.
Dan kini, Jullian pun
harus merasakannya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu, yang dilanjutkan
dengan terbukanya pintu ruangan Jullian. Disana, Michael sudah menampakkan
batang hidungnya sejak kembalinya pria itu dari Australia. Jullian bahkan tak
bisa menyangka kedatangan sepupu kesayangan ibunya itu bisa berdiri
dihadapannya dengan senyum sejuta watt khas miliknya.
Kekhas-an barat masih
melekat pada diri lelaki itu. Dengan rambut berwarna coklat terang serta mata
berwarna birunya, membuat darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh pria itu
tidak lagi mendominasi, bahkan nyaris tak terlihat. Tingginya saja sudah
sejajar dengan tiang menyangkut jasnya.
“See, aku kembali.”
Jullian menghempaskan
punggungnya dengan tatapan sengit kepada lelaki itu. “Ada baiknya kau tak
kembali.”
Michael mengambil bangku
yang bersebrangan dengan kursi yang diduduki oleh kakak sepupunya itu.
Tatapannya menjalar keseluruh ruangan. Hatinya bernolstagia, rasanya baru
kemarin ia menginjakkan kakinya sebelum mendarat di Australia. Dan tentu, saat
itu ayah Jullian yang memegang kendali atas perusahaan yang dikelola oleh
Basuki Grup.
“Kau terlalu kasar pada
adik sepupumu yang tampan ini, Jullian. Tidakkan sepuluh tahun terlewati,
tumbuh rasa rindu padaku?” Kelakarnya.
“Kau aneh, dan aku sama
sekali tidak merindukanmu.”
Michael terkekeh pelan.
Khas Jullian jika kalimat ketus keluar dari bibirnya. Wajahnya yang tegas sudah
menjadi ikon kepedasan mulut itu.
“Kudengar, bibi kembali
menjodohkanmu dengan anak rekan kerja ayahmu. Berita yang tidak mengejutkan
lagi.”
“Ya, begitulah. Rupanya
berita tentang perjodohan si lajang cepat meluas.”
Michael merentangkan
kedua tangannya disertai senyum kecut yang diberikannya pada Jullian. Betapa ia
tak merasa terkejut dengan gagasan bibinya itu. Sejak lama, barisan dari pohon
keluarga Jullian memang mendesak pria itu untuk menikah sesegera mungkin. Selain
untuk menghasilkan penerus lainnya, predikat playboy yang melekat padanya
semakin membuat resah keluarga. Bukan sekali dua kali ada seorang wanita yang
mengaku mengandung benih dari saudara sepupunya itu. Sudah banyak deretan
wanita yang rela berbohong demi menduduki posisi sebagai pendamping pria itu.
“Itu sangat wajar. Kau
bujangan yang sudah hampir menua, Jullian.”
Jullian memandang sengit
sepupunya yang berlagak santai didepannya. Michael memang senang menguji
kesabarannnya, dan yang paling tahan menerima serangan pedas mulutnya. “Ada
kalanya aku membenci kedatanganmu kesini, Mike. Kau terlalu banyak bicara.”
Michael menempatkan
tangannya menyanggah dagu runcing khas barat yang diturunkan ayahnya. “Tapi,
aku menyetujui ide bibi kali ini. Usiamu sudah tiga puluh lima tahun. Sudah
seharusnya kau memberikanku setidaknya seorang ponakan.”
Jullian menggeleng tak
menyetujui ucapan dari sepupunya itu. Baginya tak mungkin untuk memilih satu
diantara deretan wanita yang mengantri untuknya. Apalagi wanita yang hendak
dijodohkan oleh ibunya adalah wanita yang entah bagaimana wajahnya. Bahkan,
ibunya sendiri pun belum pernah bertemu dengan wanita itu. Hanya mendengar
namanya dan latar belakang keluarganya, Jullian bisa menebak jika wanita itu
berada dalam level yang sama dengannya.
“Bagaimana bisa aku
menyukai wanita yang bahkan belum jelas wajahnya.”
Michael terbelalak. Pria
itu terperanjat ditempatnya hingga menegakkan tubuhnya. “Sungguh? Apakah bibi
tidak memberikanmu foto wanita itu.”
Jullian menggeleng
mengamini. Kalau saja ia melihat satu saja ciri fisik, mungkin ia bisa menilai
bagaimana sosok wanita yang akan ditemuinya. Namun, kemisteriusan ini membuat
perutnya terkocok. Kali ini dirasanya sang ibu benar-benar akan melaksanakan
ancamannya jika ia sampai nekad menolak perjodohan ini. Entah bagaimana caranya
wanita itu pasti akan menyeretnya masuk ke dalam lingkaran menyesatkan itu.
Jullian pria normal. Ia
pun berharap mendapatkan istri yang cantik serta mapan. Dengan segudang
prestasi, ia percaya jika wanita hebat itu bisa merawat anak-anaknya. Namun,
jika wajahnya saja tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan Jullian semakin
meragukan hal itu.
Pria itu mendesah geli.
Bahkan Michael yang ulahnya serampangan pun mengamini ketidaksetujuannya
menemui wanita itu. Pastilah pandangan positif tentang perjodohan antar dua
keluarga kaya lenyap begitu saja. “Apa yang lebih buruk dari pada kau yang akan
menikahi wanita tanpa wajah?”
Michael terkekeh geli.
Pria itu kembali melemparkan kelakarnya pada Jullian. “Setidaknya aku tahu
perumpamaanmu itu terlalu berlebihan. Jika wanita itu tak memiliki wajah, pasti
seluruh stasiun televisi sudah meliputnya sebagai tujuh keajaiban dunia.”
Tawa Jullian meledak
seketika. Raut tegang yang tadi menyelimutinya menghilang begitu saja. Dimenit
itu, ruangan yang semula sunyi senyap berubah menjadi riang karena tawa dua
orang pria dewasa yang saling melemparkan candaan masing-masing.
Diakui Jullian jika
Michael bukanlah sosok idela seorang pembisnis. Pria itu cenderung menyepelekan
hal yang tak disukainya. Berhubungan dengan hal kecil, Michael lebih cepat
tanggap. Perasaan pria itu pun lebih lembut dari pada lelaki dari keluarga
Basuki yang cenderung keras dan ambisius. Baginya kelahiran Michael masih
dianggap sebagai kado terindah. Kehadirannya mampu membuat orang lain merasa
terhibur.
“Beruntung kau ada
disini.”
“Kenapa? Bukankah pada
beberapa menit yang lalu kau tidak menyukai kehadiranku disini?”
Jullian bangkit.
Tangannya terangkat mengacak rambut adik sepupunya itu dengan gemas. Meski
Michael lebih tinggi darinya, Jullian tak pernah bisa berhenti menganggap pria
itu seperti anak kecil, sama seperti dulu. Dan, reaksi yang ditunjukkan Michael
pun sama seperti dulu. Pria itu akan memberengut mendapati rambutnya yang sudah
tertata rapi malah kembali hancur oleh ulah kakaknya itu.
“Kau benar-benar
perusak.” Sungut Mike tak suka.
“Kau memang pantas untuk
dirusak.”
Jullian langsung
berjalan kearah gantungan tempat jasnya tergantung. Pria itu memakainya sambil
masih terkekeh geli membayangkan wajah Michael yang memberengut.
“Mau kemana?”
Jullian melirik sedikit.
Ia pun memberikan seringai licik pada adik sepupunya yang masih memandanginya
dengan wajah bingung.
“Bukankah kakakmu ini
akan menikah? Setidaknya ia harus mengatur jadwal kembali untuk menemui calon
pengantinnya. Bagaimana wajahnya, rambutnya, dan yang paling penting …
tubuhnya.”
Michael langsung
memberikan senyum meremehkan. Memang khas seorang Jullian yang selalu
mengutamakan wanita dari tubuhnya. Mata pria itu selalu jeli dalam menilai
wanita. Beruntung ibunya tidak seperti ibu Jullian. Wanita yang telah berjasa
melahirkannya itu tak terlalu menuntut bagaimana dirinya menikah nanti.
Atau mungkin belum.
“Khas Jullian. Tubuh
nomor satu. Entah apakah nanti jika kalian bercerai, tertera pembagian organ
tubuh dalam perebutan harta gono-gini.”
Jullian melemparkan
tinju diudara untuk sepupunya itu. “Belum menikah sudah di doakan bercerai.
Benar-benar sepupu yang kejam.”
Sesaat Jullian
meninggalkan Mike sendirian di ruangannya, pria itu termenung. Jalanan yang
dilaluinya menuju lift utama terasa kosong. Tatapannya pun tak fokus. Benaknya
masih terbayang bagaimana wajah wanita yang kelak akan menjadi istrinya. Ia
tahu kali ini tak ada kata mundur untuknya. Pilihan itu telah terhapuskan sejak
beberapa bulan yang lalu dua orang wanita mengaku-ngaku tengah mengandung
benihnya. Itulah saat terakhir kebebasannya sebagai bujang lenyap. Ayahnya
pasti takkan senang dengan kata pilihan mundur yang akan diajukannya.
Jullian berharap Tuhan
bisa mengabulkan doanya untuk lepas dari tekanan ini. Semoga saja wanita itu
pun muncul sesuai dengan harapannya.
“Ya, semoga saja.”
Gumamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!