Eva Ibrahim
Eva Ibrahim, menatap sumringah pada langit yang cerah.
"Selamat tinggal kampus tercinta, kau tak akan aku kunjungi lagi, kecuali untuk keperluan penting, " bisik gadis berkerudung itu berlalu meninggalkan kampusnya.
"Eva, mau kemana? " Tanya Linda mencoba mengiringi langkah kaki Eva yang cepat.
"Pulang, " jawab Eva singkat.
"Tidak mau gabung dengan teman-teman lain untuk sekedar mengucapkan perpisahan? " Tanya Linda lagi melirik pada temannya yang satu itu.
"Enggak lah, nanti saja, kamu kenapa tidak ikut? " Eva balik bertanya pada gadis yang terkenal tomboy itu.
"Aku ada janji dengan papa," jawab Linda sambil menunjuk dengan dagunya pada papanya yang sudah menunggu dengan sepeda motor tidak jauh dari tempat mereka berjalan.
"Oh ya sudah, Hati-hati," Eva membalas lambaian tangan Linda yang berlari kecil mendekati papanya.
Eva menuju halte bis terdekat, ia tidak ingin terlambat sampai di perempatan, karena kampung tempat ia tinggal hanya dilewati oleh angkot sampai jam lima sore saja, kalau telat, ya sudah hanya bisa melanjutkan dengan berjalan kaki.
Di halte sudah sudah banyak yang menunggu bis, dari ibu-ibu yang membawa anak sampai ibu-ibu yang membawa belanjaan.
Pegawai yang baru pulang kerja juga ada, remaja berpakaian putih abu juga terlihat. Eva sudah terbiasa dengan pemandangan ini, bahkan mereka sudah saling kenal wajah. Ada yang bersikap ramah, berawal dengan menegur dan lanjut ngobrol dari ujung sana sampai ujung sini.
Ada juga yang diam seribu bahasa, tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Mungkin dia sudah memiliki banyak masalah makanya tidak mau menambah dengan masalah baru, cari aman.
Eva termasuk yang cari aman, diam tetapi ketika ada yang menegur ia tak bisa bersikap tidak perduli. Setidaknya sedikit berbasa-basi tentu tidak akan rugi.
Sore itu bis terlambat datang, hasilnya, penumpang menumpuk di halte.
"Sepertinya, aku bakal jalan kaki lagi nih, " bisik Eva kecewa.
Ketika bis yang ditunggu datang, mereka semua bergerak naik dengan cepat. Berpacu mencari tempat duduk yang nyaman dan Eva dapat tempat duduk di belakang supir.
Nyaman dengan angin segar yang masuk dari jendela yang sengaja Eva buka lebar-lebar. Kalau tidak, akan ada hawa yang tidak sedap tercium oleh indra penciuman. Kalau sudah sore begini, seringnya sih aroma tubuh yang tidak sedap, bau ketek bau keringat, sangat membuat pusing.
Bis melaju dengan cepat, membawa penumpang yang kelelahan, tidak banyak cerita yang terdengar. Sepertinya para penumpang lebih memilih untuk tidur.
Setengah jam waktu bagi Eva untuk sampai di persimpangan. Bis berhenti menurunkan penumpang yang melanjutkan perjalanan menuju kampung-kampung yang masih berjarak beberapa kilometer lagi.
Eva bergegas turun, dan melanjutkan perjalanannya. Hari sudah mulai gelap, jelas angkot terakhir sudah berangkat sejak tadi.
Inilah penyebab sepatunya cepat menipis, semenjak ia kuliah di ibukota provinsi, ia hampir selalu pulang berjalan kaki.
Lelah, sudah pasti. Namun, untuk berkeluh kesah, sepertinya percuma, tidak akan ada hasilnya.
"Hei Eva, tunggu. "
Eva menoleh ke arah sumber suara, yang sepertinya ia kenal.
"Bibi Nurhalimah?, kenapa malam sekali? " tanya Eva kaget pada kakak ibunya yang pulang berjualan kue kering ke pasar-pasar tradisional.
"Eva, kau bantu bawakan keranjang bibi yang satu ini ya, " bibinya menyerahkan sebuah keranjang yang penuh dengan sayuran dan lauk pauknya.
"Ya Bi, sini, " Eva mengambil keranjang yang lumayan berat itu.
"Sudah wisuda kau tadi Eva? " tanya bibi Nurhalimah melirik pakaian yang dikenakan Eva, yang berbeda dari hari biasanya.
"Iya Bi, aku sudah wisuda tadi, " jawab Eva dengan terus melangkah pelan mengimbangi langkah bibinya yang membawa beban banyak.
"Kau itu anak tertua, tapi banyak menghabiskan uang ayahmu, sekarang, kau mau kerja apa? " kata bibi Nurhalimah membuat telinga Eva memerah.
"Aku akan jadi guru bi, " kata Eva pelan.
" Guru itu gajinya kecil, menang gaya aja, bedak tebal gincu tebal pakai sendal hak tinggi, pertengahan bulan, habis gaji kau tu, nanti juga pinjam lagi ke bibimu ini, " bibi Nurhalimah berkata panjang lebar.
Eva hanya diam, tidak menanggapi. Bibi Nurhalimah, kakak ibunya ini memang dibilang sukses dari berjualan kue kering. Punya banyak uang. Pikirannya masih tergolong kolot, tetapi memang dia banyak uang, itu kenyataan nya.
Eva sudah terlalu sering merepotkan bibinya ini. Yah mau bagaimana lagi, gaji ayahnya hanya cukup untuk mereka makan sampai pertengahan bulan saja.
Namun, ayahnya tidak pernah mengeluh. Bahkan ayahnya bercita-cita untuk menguliahkan keenam putra dan putrinya. Terbukti, sekarang Eva sudah wisuda meskipun keuangan keluarga menjadi hancur-hancuran.
Untungnya mereka tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah pusaka. Mereka tidak perlu membayar kontrak, karena memang itu bagian untuk ibu.
Ada nenek yang rumahnya berada di sebelah rumah Eva. Sering sekali mereka berenam makan di rumah nenek, atau di rumah bibi Nurhalimah.
Bibi Nurhalimah tinggal agak jauh dari rumah Eva. Rumah bibi berada di pinggir jalan, sedangkan rumah Eva harus masuk lagi ke dalam dengan jalanan setapak.
Ketika hujan, tanahnya basah lengket di sepatu membuat tapaknya menjadi tebal.
"Eva, mampir dulu ya, tolong bawakan sayuran untuk nenek, " kata bibi saat sampai di depan rumahnya.
"Ya bi," jawab Eva mengikuti bibinya masuk dari pintu bagian belakang yang langsung terhubung dengan dapur.
Setelah Eva menerima kantong kresek hitam yang penuh dengan sayuran dan ikan, ia berjalan cepat menuju rumahnya.
Azan magrib berkumandang ketika Eva sampai di depan rumahnya.
Eva masuk dan menyalakan lampu ruang tengah. penerangan yang menerangi seluruh ruangan.
"Bu, sudah sore begini kenapa jendela nya tidak ditutup? " tanya Eva menatap ibunya yang tengah memangku Anisa adiknya yang paling kecil.
"Tutuplah, kau kan ada, " jawab ibunya acuh.
Eva menutup jendela dan bergegas mengambil mukena yang di gantung di atas pintu. Ia berlari ke arah mushola tidak mau ketinggalan.
"Kakak sudah pulang, selamat ya, sarjana dong sekarang, " Yanti memeluk kakaknya ketika Eva datang bergegas.
"Sttt, sholat, " bisik Eva mendelik pada adiknya yang cengengesan.
Ketika sholat usai, orang-orang pada bubar kembali ke rumah masing-masing. Ayah menatap teduh pada Eva putri pertama nya.
"Ayah bangga padamu Eva, " Ayah berlalu kembali pulang.
Eva mengikuti langkah ayahnya dalam diam. Yanti, Edo dan Hera adik-adik Eva ikut diam mengiringi langkah ayah yang masih gagah.
Di rumah, ibu sibuk dengan Alisa dan Anisa. Dua adik Eva yang masih kecil dan taunya main dan menangis.
"Hera, masak apa? " tanya Ayah pada Hera.
"Gulai tahu yah, " jawab Hera dengan cekatan mempersiapkan makan malam untuk ayah dan keluarga semua.
Sebelum makan, ayah menyempatkan mencium aroma tahu yang dimasak oleh putri keempatnya.
"Ayah, " Hera merajuk melihat tingkah ayahnya.
"Enak, tidak busuk seperti hari itu, " kata ayah tersenyum.
Tawa terurai malam itu, mengingat beberapa hari yang lalu Hera memasak tahu yang aromanya tidak sedap. Mungkin tahu yang dibeli Hera sudah tidak bagus.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Amelia
jangan khawatir hera aku juga pernah seperti itu 🤣🤣
2024-05-05
0
Amelia
bi baru lulus tega amat 😞😞
2024-05-05
0
Syifa Nurbaety
maaf kak baru sempat mampir nieh 🙏😁
2024-03-18
0