Eva Ibrahim, menatap sumringah pada langit yang cerah.
"Selamat tinggal kampus tercinta, kau tak akan aku kunjungi lagi, kecuali untuk keperluan penting, " bisik gadis berkerudung itu berlalu meninggalkan kampusnya.
"Eva, mau kemana? " Tanya Linda mencoba mengiringi langkah kaki Eva yang cepat.
"Pulang, " jawab Eva singkat.
"Tidak mau gabung dengan teman-teman lain untuk sekedar mengucapkan perpisahan? " Tanya Linda lagi melirik pada temannya yang satu itu.
"Enggak lah, nanti saja, kamu kenapa tidak ikut? " Eva balik bertanya pada gadis yang terkenal tomboy itu.
"Aku ada janji dengan papa," jawab Linda sambil menunjuk dengan dagunya pada papanya yang sudah menunggu dengan sepeda motor tidak jauh dari tempat mereka berjalan.
"Oh ya sudah, Hati-hati," Eva membalas lambaian tangan Linda yang berlari kecil mendekati papanya.
Eva menuju halte bis terdekat, ia tidak ingin terlambat sampai di perempatan, karena kampung tempat ia tinggal hanya dilewati oleh angkot sampai jam lima sore saja, kalau telat, ya sudah hanya bisa melanjutkan dengan berjalan kaki.
Di halte sudah sudah banyak yang menunggu bis, dari ibu-ibu yang membawa anak sampai ibu-ibu yang membawa belanjaan.
Pegawai yang baru pulang kerja juga ada, remaja berpakaian putih abu juga terlihat. Eva sudah terbiasa dengan pemandangan ini, bahkan mereka sudah saling kenal wajah. Ada yang bersikap ramah, berawal dengan menegur dan lanjut ngobrol dari ujung sana sampai ujung sini.
Ada juga yang diam seribu bahasa, tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Mungkin dia sudah memiliki banyak masalah makanya tidak mau menambah dengan masalah baru, cari aman.
Eva termasuk yang cari aman, diam tetapi ketika ada yang menegur ia tak bisa bersikap tidak perduli. Setidaknya sedikit berbasa-basi tentu tidak akan rugi.
Sore itu bis terlambat datang, hasilnya, penumpang menumpuk di halte.
"Sepertinya, aku bakal jalan kaki lagi nih, " bisik Eva kecewa.
Ketika bis yang ditunggu datang, mereka semua bergerak naik dengan cepat. Berpacu mencari tempat duduk yang nyaman dan Eva dapat tempat duduk di belakang supir.
Nyaman dengan angin segar yang masuk dari jendela yang sengaja Eva buka lebar-lebar. Kalau tidak, akan ada hawa yang tidak sedap tercium oleh indra penciuman. Kalau sudah sore begini, seringnya sih aroma tubuh yang tidak sedap, bau ketek bau keringat, sangat membuat pusing.
Bis melaju dengan cepat, membawa penumpang yang kelelahan, tidak banyak cerita yang terdengar. Sepertinya para penumpang lebih memilih untuk tidur.
Setengah jam waktu bagi Eva untuk sampai di persimpangan. Bis berhenti menurunkan penumpang yang melanjutkan perjalanan menuju kampung-kampung yang masih berjarak beberapa kilometer lagi.
Eva bergegas turun, dan melanjutkan perjalanannya. Hari sudah mulai gelap, jelas angkot terakhir sudah berangkat sejak tadi.
Inilah penyebab sepatunya cepat menipis, semenjak ia kuliah di ibukota provinsi, ia hampir selalu pulang berjalan kaki.
Lelah, sudah pasti. Namun, untuk berkeluh kesah, sepertinya percuma, tidak akan ada hasilnya.
"Hei Eva, tunggu. "
Eva menoleh ke arah sumber suara, yang sepertinya ia kenal.
"Bibi Nurhalimah?, kenapa malam sekali? " tanya Eva kaget pada kakak ibunya yang pulang berjualan kue kering ke pasar-pasar tradisional.
"Eva, kau bantu bawakan keranjang bibi yang satu ini ya, " bibinya menyerahkan sebuah keranjang yang penuh dengan sayuran dan lauk pauknya.
"Ya Bi, sini, " Eva mengambil keranjang yang lumayan berat itu.
"Sudah wisuda kau tadi Eva? " tanya bibi Nurhalimah melirik pakaian yang dikenakan Eva, yang berbeda dari hari biasanya.
"Iya Bi, aku sudah wisuda tadi, " jawab Eva dengan terus melangkah pelan mengimbangi langkah bibinya yang membawa beban banyak.
"Kau itu anak tertua, tapi banyak menghabiskan uang ayahmu, sekarang, kau mau kerja apa? " kata bibi Nurhalimah membuat telinga Eva memerah.
"Aku akan jadi guru bi, " kata Eva pelan.
" Guru itu gajinya kecil, menang gaya aja, bedak tebal gincu tebal pakai sendal hak tinggi, pertengahan bulan, habis gaji kau tu, nanti juga pinjam lagi ke bibimu ini, " bibi Nurhalimah berkata panjang lebar.
Eva hanya diam, tidak menanggapi. Bibi Nurhalimah, kakak ibunya ini memang dibilang sukses dari berjualan kue kering. Punya banyak uang. Pikirannya masih tergolong kolot, tetapi memang dia banyak uang, itu kenyataan nya.
Eva sudah terlalu sering merepotkan bibinya ini. Yah mau bagaimana lagi, gaji ayahnya hanya cukup untuk mereka makan sampai pertengahan bulan saja.
Namun, ayahnya tidak pernah mengeluh. Bahkan ayahnya bercita-cita untuk menguliahkan keenam putra dan putrinya. Terbukti, sekarang Eva sudah wisuda meskipun keuangan keluarga menjadi hancur-hancuran.
Untungnya mereka tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah pusaka. Mereka tidak perlu membayar kontrak, karena memang itu bagian untuk ibu.
Ada nenek yang rumahnya berada di sebelah rumah Eva. Sering sekali mereka berenam makan di rumah nenek, atau di rumah bibi Nurhalimah.
Bibi Nurhalimah tinggal agak jauh dari rumah Eva. Rumah bibi berada di pinggir jalan, sedangkan rumah Eva harus masuk lagi ke dalam dengan jalanan setapak.
Ketika hujan, tanahnya basah lengket di sepatu membuat tapaknya menjadi tebal.
"Eva, mampir dulu ya, tolong bawakan sayuran untuk nenek, " kata bibi saat sampai di depan rumahnya.
"Ya bi," jawab Eva mengikuti bibinya masuk dari pintu bagian belakang yang langsung terhubung dengan dapur.
Setelah Eva menerima kantong kresek hitam yang penuh dengan sayuran dan ikan, ia berjalan cepat menuju rumahnya.
Azan magrib berkumandang ketika Eva sampai di depan rumahnya.
Eva masuk dan menyalakan lampu ruang tengah. penerangan yang menerangi seluruh ruangan.
"Bu, sudah sore begini kenapa jendela nya tidak ditutup? " tanya Eva menatap ibunya yang tengah memangku Anisa adiknya yang paling kecil.
"Tutuplah, kau kan ada, " jawab ibunya acuh.
Eva menutup jendela dan bergegas mengambil mukena yang di gantung di atas pintu. Ia berlari ke arah mushola tidak mau ketinggalan.
"Kakak sudah pulang, selamat ya, sarjana dong sekarang, " Yanti memeluk kakaknya ketika Eva datang bergegas.
"Sttt, sholat, " bisik Eva mendelik pada adiknya yang cengengesan.
Ketika sholat usai, orang-orang pada bubar kembali ke rumah masing-masing. Ayah menatap teduh pada Eva putri pertama nya.
"Ayah bangga padamu Eva, " Ayah berlalu kembali pulang.
Eva mengikuti langkah ayahnya dalam diam. Yanti, Edo dan Hera adik-adik Eva ikut diam mengiringi langkah ayah yang masih gagah.
Di rumah, ibu sibuk dengan Alisa dan Anisa. Dua adik Eva yang masih kecil dan taunya main dan menangis.
"Hera, masak apa? " tanya Ayah pada Hera.
"Gulai tahu yah, " jawab Hera dengan cekatan mempersiapkan makan malam untuk ayah dan keluarga semua.
Sebelum makan, ayah menyempatkan mencium aroma tahu yang dimasak oleh putri keempatnya.
"Ayah, " Hera merajuk melihat tingkah ayahnya.
"Enak, tidak busuk seperti hari itu, " kata ayah tersenyum.
Tawa terurai malam itu, mengingat beberapa hari yang lalu Hera memasak tahu yang aromanya tidak sedap. Mungkin tahu yang dibeli Hera sudah tidak bagus.
Bersambung...
Pagi sekali ketika Eva bangun dan mulai membangunkan adik-adik nya.
Kembali Eva mengiringi adik-adik nya untuk melakukan sholat subuh di mushola dekat rumah, yang berada di pinggir jalan raya.
Kegiatan ke mushola sudah berlangsung sejak lama, semenjak Eva masih kecil. Sampai sekarang kebiasaan itu seperti mendarah-daging baginya.
Salah satu alasan nya juga karena ayah menjadi imam, kadang di bulan Ramadhan ayah juga memberikan ceramah agama.
Bapak Ibrahim, ayah Eva menantu dari nenek Fatimah, nenek Eva. Orang yang terkenal berpendidikan tinggi, juga memiliki kebaikan hati yang kadang di salah artikan oleh orang-orang.
Namun, kehidupan tentu ada saja masalah nya. Bagi ayah Eva, fokus pada keluarga sendiri dan tidak memperdulikan kicauan nyinyir orang lain. Itu yang membuat lelaki yang paruh baya itu tetap bertahan hingga sekarang.
Pagi itu setelah selesai menunaikan sholat subuh, ibu-ibu terdengar berbicara.
"Wah, Eva sudah Sarjana ya, hebat kau, mau kerja di mana? " Makcik Mari yang rumahnya di sebelah mushola bertanya sambil tersenyum.
"Belum Makcik, masih mencari, " jawab Eva tersenyum.
"Ah, dia mah gampang, ayahnya kan yang menentukan di mana para guru ditempatkan, pastilah sudah ada rencana, ya kan pak Ibrahim? " tante Feni menyela sambil melayangkan pertanyaan pada ayah Eva.
"Belum, lihat nanti saja, mari ibu-ibu saya duluan, " jawab ayah Eva berlalu diikuti oleh anak-anak nya.
"Yah, kak Eva kerja di kantor Ayah saja, biar bisa bantu Ayah, " ujar Yanti di tengah perjalanan menuju rumah.
"Soal kakakmu, biar ayah yang urus, urusan kamu, kamu, dan kamu juga belajar yang rajin, biar cepat masuk kuliah dan jadi sarjana juga seperti kakak kalian ini, " Ayah menoel kepala Yanti, Edo dan Hera bergantian.
"Kau tu Eva?, sini nenek punya telur ayam, kau makanlah satu biar tidak rendah terus darah kau tu, " nenek sedang memberi makan ayam-ayamnya saat Eva melewati rumah nenek.
"Ya nek, " Eva mendekati nenek dan ikut memberi makan ayam-ayamnya.
Nenek memberikan sebutir telur ayam kampung pada Eva dan langsung di makan oleh Eva mentah-mentah.
Darah rendah memang penyakit Eva, yang menyebabkan ia sering kelelahan.
"Nenek dengar tadi kata-kata si Feni tu, tidak usah kau masukkan ke hati, " ucap nenek lagi menatap cucunya yang baru saja menamatkan kuliahnya.
"Iya nek, tetapi kalau memang ayah bisa bantu, kan tidak salah juga ya nek, selama ini ayah kan bantu orang-orang itu, termasuk tante Feni yang minta tempat mengajar nya di pindah ke kampung sini, " kata Eva menatap nenek yang rambutnya masih terlihat hitam walaupun usianya sudah senja.
"Iya, berdoa saja, minta yang terbaik, dan dimudahkan, " ucap nenek lagi.
"Aamiin, nek aku lihat adik-adik dulu ya, " ucap Eva melangkah menjauh.
"Ya, pergilah, " ucap nenek masuk ke dapur untuk memulai memasak karena keperluan dapur sudah di bawakan oleh Eva semalam, titipan dari Nurhalimah anak tertuanya.
Nenek Fatimah selalu memasak lebih untuk cucu-cucunya dari Nurlela anak keduanya. Itu sudah berlangsung cukup lama, semenjak Hera lahir Nurlela mengalami gangguan mental. Pernah melakukan percobaan bunuh diri juga, tetapi di gagalkan oleh Ibrahim suaminya.
Memikirkan itu nenek Fatimah menjadi sedih, beruntung menantunya Ibrahim orang yang berpendidikan tinggi dan juga taat dalam Agama. Sehingga Nurlela tidak di campakkan ataupun dimadu.
Makanya nenek Fatimah berusaha untuk membantu sebisanya, walaupun hanya dengan berbagi makanan untuk cucu-cucunya.
Dulu Nenek Fatimah yang berjualan kue kering ke pasar-pasar tradisional, dibantu oleh anak pertamanya Nurhalimah. Setelah nenek cukup tua dan tidak bisa lagi berjualan jadilah anak tertuanya itu yang melanjutkan usaha nenek.
Nenek Fatimah mewariskan resep kue keringnya pada Nurhalimah, makanya biaya kehidupan nenek Fatimah sehari-hari ditanggung oleh anaknya itu.
Dapur nenek mulai mengepulkan asap hitam, nenek meniup bambu ke arah tungku kayu agar apinya menyala.
miauuu...
Si hitam nyolong ikan asin nenek, memakannya di sudut dapur.
"Hei, kau curi ikan asin ku? " nenek mengambil sapu lidi yang di raut sendiri dan mengejar si hitam yang berlari ketakutan ke luar menuju semak-semak.
Si hitam memang nakal, tetapi nenek tetap rajin memberinya makan. Meski tak jarang di lempari sendal bakiak nenek yang mulai tipis, karena sudah sering dipakai.
Duk, duk, duk...
"Hei Alisa, kalau jalan itu yang benar, bisa rubuh rumahku nanti, " teriak nenek mendengar langkah kaki yang sudah ia hapal dari cucunya yang masih balita itu.
"Ya nek, " jawab Alisa namun ia sekarang berlari kencang menuju pintu luar mengejar kakaknya Hera.
Langkah kaki Alisa semakin menggema menghentak lantai kayu rumah nenek. Nenek hanya bisa menatap Alisa yang sudah menjauh.
"Nek, Hera pakai jilbab bibi Nurleli ya, " Hera muncul dengan jilbab di tangannya.
"ya, pakailah, jangan lupa kau kembalikan nanti, kalau bibi kau tu datang, lihat lemarinya kosong nenek tidak enak, " kata nenek pada cucunya yang memakai barang anak bungsu nya Nurleli, yang saat ini tinggal di kota lain ikut suaminya yang bertugas di sana.
"Ya nek, " Hera berlari kembali ke rumahnya.
Sementara itu Eva sibuk mengurus keperluan adiknya yang mau berangkat sekolah.
Yanti yang duduk di tingkat akhir Sekolah Menengah Atas, Edo di tingkat satu dan Hera masih di sekolah menengah pertama kelas satu.
"Yanti, kau harus rajin belajar, jangan pacaran mulu, " kata Eva memperingati adiknya yang sudah hampir mendekati ujian akhir.
"Sttt... Kak ada ayah, " bisik yanti meletakkan telunjuknya di bibir.
"Makanya sekolah yang benar, jangan macam-macam," ujar Eva yang tengah memakaikan pakaian Anisa yang baru selesai ia mandikan.
"Nah, karena kakak sudah tamat kuliah, jadi mulai sekarang kakak yang masak yaa, " Hera melirik Eva sambil sibuk merapikan jilbabnya di depan kaca lemari kayu yang mulai pudar karena sudah tua.
"Kakakmu besok mulai masuk kerja, jadi urusan memasak tetap tanggung jawabmu Hera, " ayah keluar dari kamar diikuti oleh ibu.
"Kakak kerja di mana Yah? " tanya Edo mengambil tas punggungnya.
"Jadi guru honorer di SMA desa sebelah, " jawab ayah sambil menolak kemeja yang diberikan oleh ibu.
Terkadang pagi hari pemandangan ayah dan ibu cukup membuat anak-anaknya tertawa. Ketika ayah sudah berpakaian lengkap, ibu datang dengan kemeja lain yang tidak cocok dengan celana ayah.
Meskipun ibu mengalami sakit mental, tetapi ayah masih setia dan memperlakukan ibu dengan baik.
Salah satu sikap ayah yang menjadi idola bagi anak-anaknya.
Setelah ayah memberikan uang saku pada anak-anaknya, termasuk Alisa dan Anisa, ayah berangkat mengendarai motor yang mulai ngadat dimakan usia.
"Ayaaaaahhhhh.......,! Eva berteriak memanggil ayahnya yang sudah menjauh dan berbelok menuju jalan raya.
" Kenapa kak? "
Yanti, Edo dan Hera mendekat pada kakaknya yang memegang sebelah sepatu Ayah.
Sepertinya ayah berangkat dengan memakai sebelah sepatu dan sebelah lagi sendal jepit yang sudah berubah warna.
Bersambung...
"Nek, masak apa? " Edo datang ke rumah nenek Fatimah setelah pulang dari sekolahnya.
"Tuh ada asam pedas tongkol, makanlah, " jawab nenek yang sedang menjahit kain perca untuk dijadikan hiasan rumah saat ada acara adat.
Asam pedas tongkol masakan legenda yang gampang dibuat, tahan lama bisa dipanaskan berulang-ulang karena semakin lama akan terasa semakin enak.
Edo mengambil nasi dengan lauk asam pedas tongkol. Edo mulai menyuapi diri sendiri dengan lahap, ala remaja yang sedang masa pertumbuhan.
"Kakakmu sudah pulang Do? " Tanya nenek menatap cucu lelakinya yang sedang makan dengan lahapnya.
"Sudah Nek, Kak Eva memang hari ini nggak pergi, kak Yanti baru pulang, Hera palingan ke warung bang Udin dulu nek beli perlengkapan dapur, " jawab Edo setelah menelan makanan di mulutnya
Langkah kaki mendekat terdengar dan semakin kuat ketika menginjak lantai papan rumah nenek.
"Yanti, baru pulang kau? " tanya nenek Fatimah melihat kehadiran Yanti.
"Ya nek, aku makan ya nek, kak Eva belum masak, " Yanti bergerak ke dapur mengambil piring dan isinya.
"Sama kan kalau kak Yanti yang di rumah, juga gak bakal berasap tuh dapur, " celetuk Edo masih sibuk dengan makanannya.
"Makan sajalah nasi kau tu, tidak usah banyak cakap, " jawab Yanti yang melangkah mendekati neneknya.
"Sudah, tidak usah ribut, kan nenek sudah masak, " kata nenek menimpali pertengkaran kecil kedua cucunya.
"Kasihan nek lihat Hera, udah kayak upik abu, " kata Edo lagi menyelesaikan makannya.
"Lalu kau, apa yang kau lakukan?, main terus pulang-pulang numpuk cucian kotor, " celetuk Yanti lagi.
"Aku kan laki-laki, yah kerjaku mainlah, beda dengan perempuan yang harus beresin rumah, masak dan mencuci, " kata Edo lagi dan berlari menjauhi kakaknya yang sudah tersulut emosi.
"Edo, kumpulkan kayu bakar buat nenek ya, sudah tinggal sedikit, " teriak nenek pada Edo yang sudah berlari keluar rumah.
"Ya nek, aku pergi dulu nek, " jawab Edo sambil berlari semakin jauh.
"Kau harus belajar masak Yanti, nanti kau susah kalau sudah bersuami, " kata nenek menatap cucu perempuannya.
"Aku akan kuliah seperti kak Eva nek, nanti aku akan bekerja di kantor, jadi nggak perlu masak Nek, " jawab Yanti asal sambil menikmati makanannya.
"Terus, suami dan anakmu nanti dikasih makan apa?, beli? " jawab nenek meneruskan jahitannya.
"Iya nek, kalau tidak beli pakai pembantu, kan uangnya nanti banyak nek, jadi orang kaya, " celetuk Yanti tertawa menggoda neneknya dan melangkah ke dapur menyudahi acara makannya.
"Terserah kau sajalah, cuci piringnya sekalian piring si Edo tadi, " ucap nenek menyudahi acara menjahitnya hari ini.
Nenek masuk ke dalam kamar Nurleli, putri bungsu nya tanpa menutup pintu. Mengeluarkan kain putih yang dilipat rapi dari lemari kayu satu-satunya yang berada di kamar itu.
"Nek, sedang apa? " Tanya Yanti masuk mendekati nenek.
"Yanti, ini kain kapan yang nenek pesan dari nenek Ami ketika dia pergi ke Mekah beberapa waktu yang lalu. Nenek simpan di sini, kau lihat baik-baik. Nanti ketika Nenek meninggal, kau ambil kain ini untuk nenek pakai. Paham kau Yanti? " Tanya nenek meletakkan kain putih itu kembali ke dalam lemari dengan disaksikan oleh cucu perempuan nya itu.
"Nenek belum akan meninggal," kata Yanti memeluk neneknya sedih.
"Kematian itu pasti datang, cuma waktunya kapan yang kita tidak tahu, makanya, kau harus belajar masak sekarang selagi nenek masih ada, " ucap nenek lagi.
"Nanti saja Nek, " ucap Yanti melangkah ke luar kamar yang membuat dadanya sesak, karena ucapan nenek dan kondisi kamar yang sempit.
"Ya, nanti kalau nenek kau ni sudah meninggal dan kau bingung cara masak, kau bawa masakan itu ke kuburan nenek ya, " celetuk nenek Fatimah mulai kesal pada cucunya yang terbilang pemalas itu.
"Ya nek, " jawab Yanti asal sambil tertawa lebar. 😁
"Yanti, kau pergilah ke rumah bibi Nurhalimah, pinjamkan aku kemeja putih dan rok hitam pada Rosa, tapi jangan sampai bibi dan Ira tau ya, " Eva datang dengan perintah yang tidak bisa dibantah oleh Yanti.
"Buat kerja besok ya kak? " tanya Yanti berlalu meninggalkan rumah neneknya.
"Ya, tapi jangan lama-lama di sana, tidak usah pakai bergosip pula kau di sana, " teriak Eva kepada adiknya yang sudah melangkah di bawah pohon Manggis.
"Ya Kak, " teriak Yanti berlalu semakin jauh.
Rumah mereka memang berada di dalam kebun, ada pohon Manggis di samping rumah nenek, ada pohon Rambutan juga di depan rumah mereka, pohon Duku dan Durian ada di belakang rumah yang berdekatan dengan pemakaman keluarga besar mereka. Pohon kelapa berjejer di sepanjang jalan dan kebun yang mengelilingi rumah nenek dan rumah Eva. Namun, itu milik bersama, karena tumbuhnya di tanah warisan keluarga besar.
"Nek, aku bawa gulai tahu untuk nenek, " kata Eva meletakkan semangkok gulai tahu di atas meja makan di dapur.
"Gulai tahu lagi, kemarin juga, apa tidak bosan ayah kau nanti Eva? " tanya nenek mengambil sapu dan mulai menyapu rumah yang lumayan besar itu.
"Cuman ada tahu di warung bang Udin nek, Ayah tidak akan bosan dengan masakan Hera nek, soalnya enak, " ucap Eva lagi pada neneknya.
"Ya sudah, kau bawalah asam pedas untuk ayah dan adik-adik kau tu, oya panaskan dulu sudah dingin, " kata nenek sekalian menyuruh Eva untuk memanaskan masakan yang dari pagi dibuatnya.
"Ya Nek, "
Eva melangkah ke dapur, mengambil daun kelapa kering dan menyalakan dengan korek api. Setelah daun kelapa kering itu terbakar di letakkan di bawah ranting kayu kering yang di atur menyilang di tungku. Periuk tanah yang berisi asam pedas tongkol sudah berada di atas tungku sejak pagi, tanpa pindah.
Si hitam tertidur tidak jauh dari tungku dan terbangun saat ia merasakan panas.
Miau...
Si hitam mendekati Eva meminta di belai.
"Kau belum makan Hitam? " tanya Eva tanpa menyentuh si hitam yang menempel di kaki Eva yang tengah duduk di bangku jongkok karena tungku nenek adanya di bawah.
"Sudah Nenek kasih makan tadi Eva, memang dianya yang rakus, lapar terus, " kata nenek dari ruang tengah.
"Dalam masa pertumbuhan Nek, jadi makannya banyak seperti Edo, " kata Eva lagi di sambut tawa nenek mendengar ucapannya.
"Kau samakan adikmu dengan si Hitam Eva, ngamuk nanti kalau dia dengar, " kata nenek lagi.
"Biar saja nek, nggak ada ini orangnya, " ucap Eva cuek.
Azan Ashar berkumandang, nenek dan Eva bergegas mengambil mukena dan berjalan menuju mushola.
Kampung yang damai dengan pohon kelapa yang berjejer rapi di sepanjang jalan setapak.
"Lari, woi lari.... "
Dua lelaki lari pontang-panting melewati nenek dan Eva yang tangah berjalan menuju mushola.
"Kumat lagi penyakit ibu kau tu Eva, " kata nenek berpaling ke belakang mencari sosok anak perempuannya.
Di sana, di teras rumah Eva, berdiri NurLela dengan parang besar di tangannya. Mulutnya mengeluarkan sumpah-serapah terhadap orang yang tadi datang berkunjung entah untuk apa.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!