"Nek, masak apa? " Edo datang ke rumah nenek Fatimah setelah pulang dari sekolahnya.
"Tuh ada asam pedas tongkol, makanlah, " jawab nenek yang sedang menjahit kain perca untuk dijadikan hiasan rumah saat ada acara adat.
Asam pedas tongkol masakan legenda yang gampang dibuat, tahan lama bisa dipanaskan berulang-ulang karena semakin lama akan terasa semakin enak.
Edo mengambil nasi dengan lauk asam pedas tongkol. Edo mulai menyuapi diri sendiri dengan lahap, ala remaja yang sedang masa pertumbuhan.
"Kakakmu sudah pulang Do? " Tanya nenek menatap cucu lelakinya yang sedang makan dengan lahapnya.
"Sudah Nek, Kak Eva memang hari ini nggak pergi, kak Yanti baru pulang, Hera palingan ke warung bang Udin dulu nek beli perlengkapan dapur, " jawab Edo setelah menelan makanan di mulutnya
Langkah kaki mendekat terdengar dan semakin kuat ketika menginjak lantai papan rumah nenek.
"Yanti, baru pulang kau? " tanya nenek Fatimah melihat kehadiran Yanti.
"Ya nek, aku makan ya nek, kak Eva belum masak, " Yanti bergerak ke dapur mengambil piring dan isinya.
"Sama kan kalau kak Yanti yang di rumah, juga gak bakal berasap tuh dapur, " celetuk Edo masih sibuk dengan makanannya.
"Makan sajalah nasi kau tu, tidak usah banyak cakap, " jawab Yanti yang melangkah mendekati neneknya.
"Sudah, tidak usah ribut, kan nenek sudah masak, " kata nenek menimpali pertengkaran kecil kedua cucunya.
"Kasihan nek lihat Hera, udah kayak upik abu, " kata Edo lagi menyelesaikan makannya.
"Lalu kau, apa yang kau lakukan?, main terus pulang-pulang numpuk cucian kotor, " celetuk Yanti lagi.
"Aku kan laki-laki, yah kerjaku mainlah, beda dengan perempuan yang harus beresin rumah, masak dan mencuci, " kata Edo lagi dan berlari menjauhi kakaknya yang sudah tersulut emosi.
"Edo, kumpulkan kayu bakar buat nenek ya, sudah tinggal sedikit, " teriak nenek pada Edo yang sudah berlari keluar rumah.
"Ya nek, aku pergi dulu nek, " jawab Edo sambil berlari semakin jauh.
"Kau harus belajar masak Yanti, nanti kau susah kalau sudah bersuami, " kata nenek menatap cucu perempuannya.
"Aku akan kuliah seperti kak Eva nek, nanti aku akan bekerja di kantor, jadi nggak perlu masak Nek, " jawab Yanti asal sambil menikmati makanannya.
"Terus, suami dan anakmu nanti dikasih makan apa?, beli? " jawab nenek meneruskan jahitannya.
"Iya nek, kalau tidak beli pakai pembantu, kan uangnya nanti banyak nek, jadi orang kaya, " celetuk Yanti tertawa menggoda neneknya dan melangkah ke dapur menyudahi acara makannya.
"Terserah kau sajalah, cuci piringnya sekalian piring si Edo tadi, " ucap nenek menyudahi acara menjahitnya hari ini.
Nenek masuk ke dalam kamar Nurleli, putri bungsu nya tanpa menutup pintu. Mengeluarkan kain putih yang dilipat rapi dari lemari kayu satu-satunya yang berada di kamar itu.
"Nek, sedang apa? " Tanya Yanti masuk mendekati nenek.
"Yanti, ini kain kapan yang nenek pesan dari nenek Ami ketika dia pergi ke Mekah beberapa waktu yang lalu. Nenek simpan di sini, kau lihat baik-baik. Nanti ketika Nenek meninggal, kau ambil kain ini untuk nenek pakai. Paham kau Yanti? " Tanya nenek meletakkan kain putih itu kembali ke dalam lemari dengan disaksikan oleh cucu perempuan nya itu.
"Nenek belum akan meninggal," kata Yanti memeluk neneknya sedih.
"Kematian itu pasti datang, cuma waktunya kapan yang kita tidak tahu, makanya, kau harus belajar masak sekarang selagi nenek masih ada, " ucap nenek lagi.
"Nanti saja Nek, " ucap Yanti melangkah ke luar kamar yang membuat dadanya sesak, karena ucapan nenek dan kondisi kamar yang sempit.
"Ya, nanti kalau nenek kau ni sudah meninggal dan kau bingung cara masak, kau bawa masakan itu ke kuburan nenek ya, " celetuk nenek Fatimah mulai kesal pada cucunya yang terbilang pemalas itu.
"Ya nek, " jawab Yanti asal sambil tertawa lebar. 😁
"Yanti, kau pergilah ke rumah bibi Nurhalimah, pinjamkan aku kemeja putih dan rok hitam pada Rosa, tapi jangan sampai bibi dan Ira tau ya, " Eva datang dengan perintah yang tidak bisa dibantah oleh Yanti.
"Buat kerja besok ya kak? " tanya Yanti berlalu meninggalkan rumah neneknya.
"Ya, tapi jangan lama-lama di sana, tidak usah pakai bergosip pula kau di sana, " teriak Eva kepada adiknya yang sudah melangkah di bawah pohon Manggis.
"Ya Kak, " teriak Yanti berlalu semakin jauh.
Rumah mereka memang berada di dalam kebun, ada pohon Manggis di samping rumah nenek, ada pohon Rambutan juga di depan rumah mereka, pohon Duku dan Durian ada di belakang rumah yang berdekatan dengan pemakaman keluarga besar mereka. Pohon kelapa berjejer di sepanjang jalan dan kebun yang mengelilingi rumah nenek dan rumah Eva. Namun, itu milik bersama, karena tumbuhnya di tanah warisan keluarga besar.
"Nek, aku bawa gulai tahu untuk nenek, " kata Eva meletakkan semangkok gulai tahu di atas meja makan di dapur.
"Gulai tahu lagi, kemarin juga, apa tidak bosan ayah kau nanti Eva? " tanya nenek mengambil sapu dan mulai menyapu rumah yang lumayan besar itu.
"Cuman ada tahu di warung bang Udin nek, Ayah tidak akan bosan dengan masakan Hera nek, soalnya enak, " ucap Eva lagi pada neneknya.
"Ya sudah, kau bawalah asam pedas untuk ayah dan adik-adik kau tu, oya panaskan dulu sudah dingin, " kata nenek sekalian menyuruh Eva untuk memanaskan masakan yang dari pagi dibuatnya.
"Ya Nek, "
Eva melangkah ke dapur, mengambil daun kelapa kering dan menyalakan dengan korek api. Setelah daun kelapa kering itu terbakar di letakkan di bawah ranting kayu kering yang di atur menyilang di tungku. Periuk tanah yang berisi asam pedas tongkol sudah berada di atas tungku sejak pagi, tanpa pindah.
Si hitam tertidur tidak jauh dari tungku dan terbangun saat ia merasakan panas.
Miau...
Si hitam mendekati Eva meminta di belai.
"Kau belum makan Hitam? " tanya Eva tanpa menyentuh si hitam yang menempel di kaki Eva yang tengah duduk di bangku jongkok karena tungku nenek adanya di bawah.
"Sudah Nenek kasih makan tadi Eva, memang dianya yang rakus, lapar terus, " kata nenek dari ruang tengah.
"Dalam masa pertumbuhan Nek, jadi makannya banyak seperti Edo, " kata Eva lagi di sambut tawa nenek mendengar ucapannya.
"Kau samakan adikmu dengan si Hitam Eva, ngamuk nanti kalau dia dengar, " kata nenek lagi.
"Biar saja nek, nggak ada ini orangnya, " ucap Eva cuek.
Azan Ashar berkumandang, nenek dan Eva bergegas mengambil mukena dan berjalan menuju mushola.
Kampung yang damai dengan pohon kelapa yang berjejer rapi di sepanjang jalan setapak.
"Lari, woi lari.... "
Dua lelaki lari pontang-panting melewati nenek dan Eva yang tangah berjalan menuju mushola.
"Kumat lagi penyakit ibu kau tu Eva, " kata nenek berpaling ke belakang mencari sosok anak perempuannya.
Di sana, di teras rumah Eva, berdiri NurLela dengan parang besar di tangannya. Mulutnya mengeluarkan sumpah-serapah terhadap orang yang tadi datang berkunjung entah untuk apa.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Amelia
anak lelaki emang suka begitu 😀😀
2024-05-12
0
Dream.ct
Benci banget 😑
2024-02-21
0
Mawungarimau
Semangat :V
2022-01-07
2