Pelahap Tangisan
Pelahap Tangisan - Bab 01
Diantara banyaknya orang yang bisa bicara di depan umum seperti biasa, seorang remaja duduk terdiam depan guru. Mulutnya menganga akan tetapi tidak ada satupun kata yang melontar. Hampir semua murid ingin tertawa, memperlihatkan wajah mengejek serta jahat di usia muda menjadikannya sebagai pusat perhatian.
Remaja lelaki ini melompong hampa memandang kedua sepatunya. Hatinya ingin berkata "iya" meskipun tubuhnya berkata tidak, beberapa saat kemudian teman sekelasnya yang duduk di sebelahnya menginjak kakinya. Dia mengangkat wajah menggelengkan kepala penuh rasa takut.
"Kalau begitu, kalian yang akur ya.. jangan bertikai lagi.. sekarang kembali ke kursi kalian masing-masing!" Ucap guru sembari berdiri. Keduanya juga ikut melakukan hal yang sama, mereka berbalik berjalan menuju kursi dan hanya lelaki berambut hitam tak terawat ini melihat kursi yang penuh lem, corat coret, dan buku-buku sobek ada di dalam kolong meja.
Dia duduk meletakkan tubuhnya pada kursi penuh lem. Ia mengambil buku di kolong mejanya, tatapan hampa melihat papan tulis seolah satu-satunya yang memasang raut wajah semacam itu dan tanpa disadarinya ia menulis di buku penuh coretan tidak jelas. Terdapat banyak hujatan terhadap dirinya meskipun ia tidak mempermasalahkan semuanya.
Tangannya memegang alat tulis, tenaganya semakin kuat menggenggam pena sehingga kelihatan kepalanya tangan bergetar dan dia bertanya pada dirinya sendiri, "Mengapa aku sampai kelihatan menyedihkan seperti ini ?"
***
Seorang gadis dari samping mejanya menatap air mata mengalir dari pelupuk mata. Dia ingin mendekat padanya, akan tetapi selepas bel berbunyi juga guru telah keluar dari kelas melewati pintu semua mata tertuju pada remaja yang tengah menangis. Lelaki sebelumnya, yang duduk di hadapan guru sebelumnya menghampirinya.
Lelaki ini tersenyum menyeringai ia berkata, "Ya gimana ? Kau bisa berdiri, bukan ?"
Korbannya menggelengkan kepala buat dia semakin tersenyum bahagia. Semua teman-teman sekelasnya mentertawakannya, terkecuali salah satu gadis disisinya. Bisa dibilang satu-satunya.
Keluar dari kelas dengan tas di punggungnya. Ia membuka pintu, menemukan gadis sebelumnya diam duduk di kursi menunggu kehadirannya, mata mereka pun saling bertemu. Tak lama kemudian, seperti biasanya keduanya pulang berjalan berdua karena beberapa alasan seperti rumah yang searah beserta sebab lainnya.
Angin berhembus. Deru mobil terdengar jelas, sekumpulan orang terkumpul di satu titik tengah demo depan gedung dengan teriakan serta hal lainnya yang biasa terkumpul dalam pernyataan protes dikemukakan secara masal, atau bisa disebut juga unjuk rasa. Walaupun hasilnya banyak kerusakan, tak ada yang menanggapi.
"Ardy, mengapa kamu berhenti... Masih panjang loh!" Ucapnya agak keras dibarengi ekspresi wajah cemas. "Kamu duluan aja," balasnya seperti biasa tanpa melihat ke wajah lawan bicaranya. Gadis ini menatapnya curiga, ia tahu biasanya lelaki di depannya sedang menunggu seseorang mau akan dihajar atau apapun itu selalu saja melayaninya kalau itupun menjadi dirinya tidak melakukan apapun. Selain menangis sendirian tanpa melawanan.
Menunggunya untuk pulang bersama. Ardy kelihatan seperti menahan sesuatu, ia kembali berjalan lagi sesudah menyaksikan unjuk rasa sementara dan melangkahkan kaki bergerak maju, serupa pasangan yang pulang bersama orang-orang lewat memperhatikan mereka sekilas. Hanya kata "pasangan" yang pas untuk keduanya.
Jalan yang sekarang sudah mulai sepi, di trotoar jalan banyak daun berserakan di mana-mana menandakan akan ada tukang bersih-bersih datang selepas menumpuk. Ardy berhenti sebentar, ia mengunjungi mesin minuman mengambil kaleng soda dan berniat untuk membelikan Rika tapi gadis ini membelinya sendiri.
Angin menerbangkan dedaunan, tiba-tiba hari mulai dingin setelah sekian lama Ardy tidak merasakan dingin karena sudah berlama-lama di tempat yang begitu panas. Dia berdiri dari berjongkok, pergi berjalan kembali pulang bersama teman satu-satunya di sekolah yang bisa membelanya kalau terjadi sesuatu padanya. Dan itu buruk baginya karena ini terbalik.
"Mengapa aku berlindung di balik perempuan, terlebih lagi kenapa dia melakukannya ?" Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benaknya. Hari-hari tenang bukanlah soal tidak ada masalah, namun Ardy ingin merasakan punya banyak teman bukan sekadar imajinasi semata. Dan hanya dirundung setiap harinya oleh teman sekelasnya.
Seolah mengintimidasi, mengancam dirinya membuat Ardy takut pada mereka semua yang menjadi kebenciannya setiap saat. Menghabiskan waktu untuk mencari jawaban yang belum tentu menjadi nilainya sendiri, hanya menjadi pelayan bagi mereka yang tidak memberikannya apapun bahkan sepeser uang pun tidak apalagi waktu yang berharga.
Ardy ingin tidak lagi melakukannya. Niatnya seperti itu, hanya saja keinginannya selalu dikalahkan oleh rasa takut yang menguasai otak serta pemikirannya yang meluap-luap mendidih seperti amarah.
"Aku duluan.." Ardy menginjak halaman rumahnya. Gadis ini melambaikan tangan. Dia memperhatikan Ardy sampai masuk ke rumahnya, setelah itu dirinya melangkah kembali untuk pulang ke rumahnya selepas tidak ragu untuk meninggalkannya sendirian di rumahnya sendiri walau tak punya siapapun di rumahnya itu.
Sementara itu, Ardy melemparkan tas ke atas kasur dan dirinya duduk di meja belajar menatap sekumpulan pensil yang telah patah. Dia meraba laci mencari uang, dan menemukan uang yang cukup untuk membeli 4 buah pensil saja yang pastinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perundung di kelasnya.
"Aku capek seperti ini terus," Ucapnya sendirian di kamar tanpa siapapun di sisinya. Mendadak dia mendengar suara ketukan pintu dari luar. Dengan penuh rasa lelah, ia berjalan keluar dari kamar dan setelah sampai depan pintu tiba-tiba orang itu muncul kembali. Seperti belum puas melakukan segala hal padanya, buatnya jijik.
"A-Ada apa ?" Tanyanya agak gugup. Melihat gagang pintunya rusak. Melihatnya secara sekilas saja sadar, remaja ini serupa maling yang bisa merusak pintu dan membuka kunci. Sebagai seorang manusia dia terlalu berani datang ke rumah orang pada pagi hari, akan tetapi ia membawa sebuah tang serta seringai diwajahnya seperti sebelumnya.
"Eh kenapa lu mundur Ardy ?" Langkahnya semakin mendekat. Sebaliknya, Ardy mundur dengan pelan dan matanya berfokus pada tang di tangan perundungnya sedang dimainkan.
Pada akhirnya, setelah sekian lama remaja ini terduduk di sofa penuh akan rasa takut dia melihat orang itu membawa sebuah kantong kecil dan keluar dari rumahnya. Tanpa permisi tanpa salam. Selepas itu Ardy menghela napas, kelegaan memenuhi pikirannya. Sebelum dia beranjak dari sofa dan berlari masuk ke kamarnya, setelah sadar kantong apa yang dibawa olehnya.
"Tidak ada! Benar-benar, dia membawa semuanya!" Ucapnya mencari-cari alat tukar atau uang. Biaya hidupnya selama sebulan telah lenyap. Semuanya diambil tanpa sisa, dia mengepalkan tangan sambil menggeram meskipun, kemarahan juga menguasai tetapi dirinya tidak melakukan apapun.
Benar-benar diam tak bergerak. Dia bertumpu pada kedua kakinya, dengan tatapan tajam memperhatikan muka orang yang tidak sanggup melawan walaupun bisa. Setiap melihat rupanya dia sangat kesal sekali. Ingin dia pukul sekuat tenaga, hanya saja ia sadar kalau menyakiti diri sendiri bukanlah sesuatu hal yang bagus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments