Pelahap Tangisan - Bab 02
Di luar rumah begitu gelap. Tak ada cahaya meskipun itu hanya secercah, dunianya telah menjadi gelap sepenuhnya oleh alasan serta penjelasan dari kehilangan takkan melenyapkan sebuah rasa sakit dalam hati. Setiap waktu mencoba ikhlas pada sebuah kehilangan, kendati telah mesem berulang kali senyumnya akan menghilang hitungan detik setelahnya.
Dia beranjak dari ranjangnya. Keluar dari kamar, dirinya mendapati ruang tamu yang telah berantakan sebab orang-orang itu datang dan memaksanya untuk membuat pesta. Tidak ada yang menguntungkan baginya. Sekarang, dia bersiap untuk sekolah meskipun rasa malas untuk bersentuhan siku dengan mereka.
Beberapa menit berlalu, kini dia siap untuk pergi ke sekolah seperti biasanya menjadi aktifitas yang biasa dilakukannya setiap hari.
Bangunan-bangunan tinggi di buat seolah berkemauan untuk merobek langit, bagaikan pensil yang merobek kertas gedung ini mencapai langit tertinggi menyobek si kertas melubanginya. Suara deru bising mobil terdengar jelas, bunyi itu masuk ke dalam gendang telinga begitu sakit sebelum terbiasa dengan suara berisiknya.
Kesibukan kota yang seakan takkan padam. Bagai api yang menggebu-gebu, suara itu ada di mana-mana sekalipun dirimu berada di sudut kota juga. Telingamu akan menerima kebisingan yang ada, beruntungnya daun telinga takkan retak atau pecah karena hiruk pikuk suara di keramaian kota.
Sebelum bersekolah di kota ini Ardy mengharapkan sesuatu yang bagus. Harapannya dipaksa meredam setelah menginjakkan kaki di kelas barunya, realita terlalu kejam alhasil Ardy sangat lejar selepas menerima perlakukan paling hina seumur hidupnya.
Dia tertawa. Meski hatinya terluka. Menerima kerusakan diri selama satu Minggu di sekolah ini, orang-orang yang ada selalu agahan buat Ardy tak bisa memikirkan apapun, serupa intimidasi dirinya tak bisa melakukan hal lain selain mengiyakan atau menerima perlakukan apapun. Mau itu bagaikan menjadi binatang terhina sekalipun.
"Rika, apa yang kamu lakukan ?" Tanya Ardy menemukan gadis ini belum pulang. Malah membantunya untuk membersihkan kelas. Seperti biasa, Ardy telah melihatnya puluhan kali selama sebulan penuh karena setiap hari para siswi meminta bantuan padanya, secara kasar hanya memanfaatkannya saja mentang-mentang tidak membalas perbuatannya beserta setiap tindakan mereka.
Dia tidak berjalan di belakang Ardy, tak pula menjadikannya pemimpin ataupun berjalan melangkah di depan menjadi ketua. Rika berbeda dengan mereka. Pertama kali, orang kesatu yang berjalan di sampingnya bersama menjadi teman sekelasnya yang pertama membantunya mau dalam keadaan susah atau senang.
Menemukan orang yang menjadi tempatnya bersandar pada pagi hari, setelah malam pun Rika selalu ada menggandeng tangan tak membiarkannya sendirian untuk berada di lambirin kehidupan yang dimana menjalani tak semudah menonton layar handphone. Seolah meniti perjalanan hidup, adakalanya berkelok-kelok dan lurus begitu saja.
Setelah membersihkan kelas. Berdua pergi keluar sesudah menyimpan peralatan beberes, bertanya-tanya mengenai orang yang menjemputnya Ardy sedikit heran kenapa hanya perempuan ini yang selalu bersamanya bahkan saat dirundung sekalipun.
"Rika," seru Ardy memanggil pelan. "Ya.. Ada apa.." Balas Rika melihat ke arah wajahnya. Mengumpulkan semua pertanyaan yang terkumpul dalam otak, ia mengeluarkan semuanya sampai gadis ini kebingungan hendak menjawab apa dulu diantara banyaknya pertanyaan beruntun yang diajukan olehnya. Mulai dari mengapa Rika mau bersama orang seperti dirinya ? Gadis ini tersenyum kecil membalasnya.
"Karena dirundung itu tidak nyaman bukan ? Terlebih lagi kamu tak punya teman,.. jadi.. kupikir.." ujarnya semakin lama kian melemah. Kedua pipi itu memerah segera pergi berlari meninggalkan Ardy dengan rasa malu. Memahami hak tersebut, seorang siswa seperti dirinya hanya bisa mensyukuri memiliki satupun teman yang dimiliknya meskipun satu.
Dia berjalan di trotoar, menyusuri jalan menuju rumahnya sembari menunduk menatap langkah kaki yang semakin pelan seiring berjalannya waktu memikirkan tentang hari-hari yang kian tambah melelahkannya setiap waktunya. Telah menjadi makanan sehari-hari, kelelahan ini menguasai hidupnya.
"Koran-koran!" Teriak anak kecil dekat barisan mobil tengah menjual lembaran-lembaran kertas bertuliskan kabar atau berita. Surat kabar itu hanya dihargai 5000 rupiah saja, melihat perjuangannya untuk menghidupi kehidupan sehari-harinya membuat Ardy memikirkan tentang bagaimana sibuknya hidup dan beruntung dirinya.
"Tapi apa keadaanku sekarang layak untuk disyukuri ?" Tanyanya dalam hati. "Ayah, ibu.. pengin itu.." kata anak kecil cemberut seperti bayi meminta susu. Ardy menoleh pada keluarga kecil yang sedang berada di depan kedai, dilihatnya anak kecil merengek-rengek meminta sesuatu pada kedua orang tuanya buat Ardy melepaskan senyum dari wajahnya membuangnya jauh-jauh dan melangkah kembali.
Menginjak koran yang dibuang orang-orang. Pandangannya hanya tertuju pada satu arah, tanpa peduli apa yang terjadi di sekitarnya dan kedua tangannya enggan untuk keluar dari saku celana. Menjadi udara di tengah kerumunan orang. Dan menjadi manusia mati tanpa dipandang oleh lainnya.
Menelusuri jalan pulang. Dia hampir sampai di tempat tinggalnya, berjalannya Ardy begitu lambat dan tertatih-tatih seperti mabuk. Melepaskan rasa kesal pada diri, baginya sudah terlalu banyak yang dicoba untuk melepaskan perasaan itu namun itu seperti bumerang yang kembali pada pelemparnya bila tak mengenai sasaran.
Dia sudah berada di halaman depan rumah. Mukanya pucat, matanya sayu sangat sedih pada diri sendiri yang bahkan mengatakan "tidak" atau mengangguk di hadapan guru tidak bisa. Tumpukan kekesalan penuh berada di kepala, tak ada yang mampu mengosongkan wadah itu.
"Mengapa aku malah menjadi seperti ini ?" Ujarnya seraya membuka pintu. Dia melihat pemandangan biasa, sebuah rumah yang sangat amat luas namun bukan mengenai ruangan akan tetapi suasana. Aura sepi begitu dalam. Hanya decak jam yang terdengar, menandakan kesunyian yang berkuasa atas ruangan.
Memilih ingin sedih, mencoba melupakan apa yang hilang dalam kehidupan dan senang pada kehinaan yang diterimanya tanpa diinginkan. Tuhan memberikan jalan lain, meskipun begitu Ardy kala itu memilih malam sepi yang menemani tanpa seorang pun disisinya bila sendirian.
Matanya terpejam selepas menutup pintu. Ruang tamu gelap mulai menemaninya. "Dulu entah kenapa aku takut pada kegelapan.."
"Sekarang.."
"Ya, kegelapan menjadi temanku seka-- eh.. siapa itu ?" Matanya terbuka melihat ke segala arah. Tidak ada siapapun yang menjawab. Tapi, Ardy jelas-jelas mendengar seseorang berkata sehingga ia kembali membuka pintu rumah tidak menemukan siapapun yang menjawab perkataanya sebelumnya.
"Mungkin hanya perasaanku," ujarnya sebelum menghela napas agak panjang. Dia kini duduk di sofa tanpa mengganti seragam sekolahnya, membutuhkan ruang menyendiri untuk menyelami apa yang terjadi selama ini dan menyelimuti diri memakai waktu menjauh dari hinaan. Hidup di tengah-tengah cercaan, ejekan, makian, dan sebagainya ternyata tidak menyenangkan.
Dia mengusap wajah sebelum berkata, "makin kesini rasanya aku semakin.. hancur ?"
Sendiri membuatnya terlalu nyaman, tenggelam dalam kesendirian menjadi kesibukan yang diinginkan tanpa siapapun di sisinya. Yang diinginkan hanya orang-orang yang di samping, bukan di depan atau di belakang tubuhnya. Sendirian membuatnya sadar betapa tak berartinya hidup, tanpa teman atau keluarga sehingga air mata itu jatuh semakin banyak dari pelupuk mata dan jeritan pelan terdengar keras kala ruangan sepi ditemani decakan jam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Lela Lela
kasian ardy
2022-11-04
1
PemburuLomba
keren banget bang!!!!!!!! Lebih keren daripada novel yang lagi populer sekarang.
2022-01-03
2