Pelahap Tangisan - Bab 01
Diantara banyaknya orang yang bisa bicara di depan umum seperti biasa, seorang remaja duduk terdiam depan guru. Mulutnya menganga akan tetapi tidak ada satupun kata yang melontar. Hampir semua murid ingin tertawa, memperlihatkan wajah mengejek serta jahat di usia muda menjadikannya sebagai pusat perhatian.
Remaja lelaki ini melompong hampa memandang kedua sepatunya. Hatinya ingin berkata "iya" meskipun tubuhnya berkata tidak, beberapa saat kemudian teman sekelasnya yang duduk di sebelahnya menginjak kakinya. Dia mengangkat wajah menggelengkan kepala penuh rasa takut.
"Kalau begitu, kalian yang akur ya.. jangan bertikai lagi.. sekarang kembali ke kursi kalian masing-masing!" Ucap guru sembari berdiri. Keduanya juga ikut melakukan hal yang sama, mereka berbalik berjalan menuju kursi dan hanya lelaki berambut hitam tak terawat ini melihat kursi yang penuh lem, corat coret, dan buku-buku sobek ada di dalam kolong meja.
Dia duduk meletakkan tubuhnya pada kursi penuh lem. Ia mengambil buku di kolong mejanya, tatapan hampa melihat papan tulis seolah satu-satunya yang memasang raut wajah semacam itu dan tanpa disadarinya ia menulis di buku penuh coretan tidak jelas. Terdapat banyak hujatan terhadap dirinya meskipun ia tidak mempermasalahkan semuanya.
Tangannya memegang alat tulis, tenaganya semakin kuat menggenggam pena sehingga kelihatan kepalanya tangan bergetar dan dia bertanya pada dirinya sendiri, "Mengapa aku sampai kelihatan menyedihkan seperti ini ?"
***
Seorang gadis dari samping mejanya menatap air mata mengalir dari pelupuk mata. Dia ingin mendekat padanya, akan tetapi selepas bel berbunyi juga guru telah keluar dari kelas melewati pintu semua mata tertuju pada remaja yang tengah menangis. Lelaki sebelumnya, yang duduk di hadapan guru sebelumnya menghampirinya.
Lelaki ini tersenyum menyeringai ia berkata, "Ya gimana ? Kau bisa berdiri, bukan ?"
Korbannya menggelengkan kepala buat dia semakin tersenyum bahagia. Semua teman-teman sekelasnya mentertawakannya, terkecuali salah satu gadis disisinya. Bisa dibilang satu-satunya.
Keluar dari kelas dengan tas di punggungnya. Ia membuka pintu, menemukan gadis sebelumnya diam duduk di kursi menunggu kehadirannya, mata mereka pun saling bertemu. Tak lama kemudian, seperti biasanya keduanya pulang berjalan berdua karena beberapa alasan seperti rumah yang searah beserta sebab lainnya.
Angin berhembus. Deru mobil terdengar jelas, sekumpulan orang terkumpul di satu titik tengah demo depan gedung dengan teriakan serta hal lainnya yang biasa terkumpul dalam pernyataan protes dikemukakan secara masal, atau bisa disebut juga unjuk rasa. Walaupun hasilnya banyak kerusakan, tak ada yang menanggapi.
"Ardy, mengapa kamu berhenti... Masih panjang loh!" Ucapnya agak keras dibarengi ekspresi wajah cemas. "Kamu duluan aja," balasnya seperti biasa tanpa melihat ke wajah lawan bicaranya. Gadis ini menatapnya curiga, ia tahu biasanya lelaki di depannya sedang menunggu seseorang mau akan dihajar atau apapun itu selalu saja melayaninya kalau itupun menjadi dirinya tidak melakukan apapun. Selain menangis sendirian tanpa melawanan.
Menunggunya untuk pulang bersama. Ardy kelihatan seperti menahan sesuatu, ia kembali berjalan lagi sesudah menyaksikan unjuk rasa sementara dan melangkahkan kaki bergerak maju, serupa pasangan yang pulang bersama orang-orang lewat memperhatikan mereka sekilas. Hanya kata "pasangan" yang pas untuk keduanya.
Jalan yang sekarang sudah mulai sepi, di trotoar jalan banyak daun berserakan di mana-mana menandakan akan ada tukang bersih-bersih datang selepas menumpuk. Ardy berhenti sebentar, ia mengunjungi mesin minuman mengambil kaleng soda dan berniat untuk membelikan Rika tapi gadis ini membelinya sendiri.
Angin menerbangkan dedaunan, tiba-tiba hari mulai dingin setelah sekian lama Ardy tidak merasakan dingin karena sudah berlama-lama di tempat yang begitu panas. Dia berdiri dari berjongkok, pergi berjalan kembali pulang bersama teman satu-satunya di sekolah yang bisa membelanya kalau terjadi sesuatu padanya. Dan itu buruk baginya karena ini terbalik.
"Mengapa aku berlindung di balik perempuan, terlebih lagi kenapa dia melakukannya ?" Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benaknya. Hari-hari tenang bukanlah soal tidak ada masalah, namun Ardy ingin merasakan punya banyak teman bukan sekadar imajinasi semata. Dan hanya dirundung setiap harinya oleh teman sekelasnya.
Seolah mengintimidasi, mengancam dirinya membuat Ardy takut pada mereka semua yang menjadi kebenciannya setiap saat. Menghabiskan waktu untuk mencari jawaban yang belum tentu menjadi nilainya sendiri, hanya menjadi pelayan bagi mereka yang tidak memberikannya apapun bahkan sepeser uang pun tidak apalagi waktu yang berharga.
Ardy ingin tidak lagi melakukannya. Niatnya seperti itu, hanya saja keinginannya selalu dikalahkan oleh rasa takut yang menguasai otak serta pemikirannya yang meluap-luap mendidih seperti amarah.
"Aku duluan.." Ardy menginjak halaman rumahnya. Gadis ini melambaikan tangan. Dia memperhatikan Ardy sampai masuk ke rumahnya, setelah itu dirinya melangkah kembali untuk pulang ke rumahnya selepas tidak ragu untuk meninggalkannya sendirian di rumahnya sendiri walau tak punya siapapun di rumahnya itu.
Sementara itu, Ardy melemparkan tas ke atas kasur dan dirinya duduk di meja belajar menatap sekumpulan pensil yang telah patah. Dia meraba laci mencari uang, dan menemukan uang yang cukup untuk membeli 4 buah pensil saja yang pastinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perundung di kelasnya.
"Aku capek seperti ini terus," Ucapnya sendirian di kamar tanpa siapapun di sisinya. Mendadak dia mendengar suara ketukan pintu dari luar. Dengan penuh rasa lelah, ia berjalan keluar dari kamar dan setelah sampai depan pintu tiba-tiba orang itu muncul kembali. Seperti belum puas melakukan segala hal padanya, buatnya jijik.
"A-Ada apa ?" Tanyanya agak gugup. Melihat gagang pintunya rusak. Melihatnya secara sekilas saja sadar, remaja ini serupa maling yang bisa merusak pintu dan membuka kunci. Sebagai seorang manusia dia terlalu berani datang ke rumah orang pada pagi hari, akan tetapi ia membawa sebuah tang serta seringai diwajahnya seperti sebelumnya.
"Eh kenapa lu mundur Ardy ?" Langkahnya semakin mendekat. Sebaliknya, Ardy mundur dengan pelan dan matanya berfokus pada tang di tangan perundungnya sedang dimainkan.
Pada akhirnya, setelah sekian lama remaja ini terduduk di sofa penuh akan rasa takut dia melihat orang itu membawa sebuah kantong kecil dan keluar dari rumahnya. Tanpa permisi tanpa salam. Selepas itu Ardy menghela napas, kelegaan memenuhi pikirannya. Sebelum dia beranjak dari sofa dan berlari masuk ke kamarnya, setelah sadar kantong apa yang dibawa olehnya.
"Tidak ada! Benar-benar, dia membawa semuanya!" Ucapnya mencari-cari alat tukar atau uang. Biaya hidupnya selama sebulan telah lenyap. Semuanya diambil tanpa sisa, dia mengepalkan tangan sambil menggeram meskipun, kemarahan juga menguasai tetapi dirinya tidak melakukan apapun.
Benar-benar diam tak bergerak. Dia bertumpu pada kedua kakinya, dengan tatapan tajam memperhatikan muka orang yang tidak sanggup melawan walaupun bisa. Setiap melihat rupanya dia sangat kesal sekali. Ingin dia pukul sekuat tenaga, hanya saja ia sadar kalau menyakiti diri sendiri bukanlah sesuatu hal yang bagus.
Pelahap Tangisan - Bab 02
Di luar rumah begitu gelap. Tak ada cahaya meskipun itu hanya secercah, dunianya telah menjadi gelap sepenuhnya oleh alasan serta penjelasan dari kehilangan takkan melenyapkan sebuah rasa sakit dalam hati. Setiap waktu mencoba ikhlas pada sebuah kehilangan, kendati telah mesem berulang kali senyumnya akan menghilang hitungan detik setelahnya.
Dia beranjak dari ranjangnya. Keluar dari kamar, dirinya mendapati ruang tamu yang telah berantakan sebab orang-orang itu datang dan memaksanya untuk membuat pesta. Tidak ada yang menguntungkan baginya. Sekarang, dia bersiap untuk sekolah meskipun rasa malas untuk bersentuhan siku dengan mereka.
Beberapa menit berlalu, kini dia siap untuk pergi ke sekolah seperti biasanya menjadi aktifitas yang biasa dilakukannya setiap hari.
Bangunan-bangunan tinggi di buat seolah berkemauan untuk merobek langit, bagaikan pensil yang merobek kertas gedung ini mencapai langit tertinggi menyobek si kertas melubanginya. Suara deru bising mobil terdengar jelas, bunyi itu masuk ke dalam gendang telinga begitu sakit sebelum terbiasa dengan suara berisiknya.
Kesibukan kota yang seakan takkan padam. Bagai api yang menggebu-gebu, suara itu ada di mana-mana sekalipun dirimu berada di sudut kota juga. Telingamu akan menerima kebisingan yang ada, beruntungnya daun telinga takkan retak atau pecah karena hiruk pikuk suara di keramaian kota.
Sebelum bersekolah di kota ini Ardy mengharapkan sesuatu yang bagus. Harapannya dipaksa meredam setelah menginjakkan kaki di kelas barunya, realita terlalu kejam alhasil Ardy sangat lejar selepas menerima perlakukan paling hina seumur hidupnya.
Dia tertawa. Meski hatinya terluka. Menerima kerusakan diri selama satu Minggu di sekolah ini, orang-orang yang ada selalu agahan buat Ardy tak bisa memikirkan apapun, serupa intimidasi dirinya tak bisa melakukan hal lain selain mengiyakan atau menerima perlakukan apapun. Mau itu bagaikan menjadi binatang terhina sekalipun.
"Rika, apa yang kamu lakukan ?" Tanya Ardy menemukan gadis ini belum pulang. Malah membantunya untuk membersihkan kelas. Seperti biasa, Ardy telah melihatnya puluhan kali selama sebulan penuh karena setiap hari para siswi meminta bantuan padanya, secara kasar hanya memanfaatkannya saja mentang-mentang tidak membalas perbuatannya beserta setiap tindakan mereka.
Dia tidak berjalan di belakang Ardy, tak pula menjadikannya pemimpin ataupun berjalan melangkah di depan menjadi ketua. Rika berbeda dengan mereka. Pertama kali, orang kesatu yang berjalan di sampingnya bersama menjadi teman sekelasnya yang pertama membantunya mau dalam keadaan susah atau senang.
Menemukan orang yang menjadi tempatnya bersandar pada pagi hari, setelah malam pun Rika selalu ada menggandeng tangan tak membiarkannya sendirian untuk berada di lambirin kehidupan yang dimana menjalani tak semudah menonton layar handphone. Seolah meniti perjalanan hidup, adakalanya berkelok-kelok dan lurus begitu saja.
Setelah membersihkan kelas. Berdua pergi keluar sesudah menyimpan peralatan beberes, bertanya-tanya mengenai orang yang menjemputnya Ardy sedikit heran kenapa hanya perempuan ini yang selalu bersamanya bahkan saat dirundung sekalipun.
"Rika," seru Ardy memanggil pelan. "Ya.. Ada apa.." Balas Rika melihat ke arah wajahnya. Mengumpulkan semua pertanyaan yang terkumpul dalam otak, ia mengeluarkan semuanya sampai gadis ini kebingungan hendak menjawab apa dulu diantara banyaknya pertanyaan beruntun yang diajukan olehnya. Mulai dari mengapa Rika mau bersama orang seperti dirinya ? Gadis ini tersenyum kecil membalasnya.
"Karena dirundung itu tidak nyaman bukan ? Terlebih lagi kamu tak punya teman,.. jadi.. kupikir.." ujarnya semakin lama kian melemah. Kedua pipi itu memerah segera pergi berlari meninggalkan Ardy dengan rasa malu. Memahami hak tersebut, seorang siswa seperti dirinya hanya bisa mensyukuri memiliki satupun teman yang dimiliknya meskipun satu.
Dia berjalan di trotoar, menyusuri jalan menuju rumahnya sembari menunduk menatap langkah kaki yang semakin pelan seiring berjalannya waktu memikirkan tentang hari-hari yang kian tambah melelahkannya setiap waktunya. Telah menjadi makanan sehari-hari, kelelahan ini menguasai hidupnya.
"Koran-koran!" Teriak anak kecil dekat barisan mobil tengah menjual lembaran-lembaran kertas bertuliskan kabar atau berita. Surat kabar itu hanya dihargai 5000 rupiah saja, melihat perjuangannya untuk menghidupi kehidupan sehari-harinya membuat Ardy memikirkan tentang bagaimana sibuknya hidup dan beruntung dirinya.
"Tapi apa keadaanku sekarang layak untuk disyukuri ?" Tanyanya dalam hati. "Ayah, ibu.. pengin itu.." kata anak kecil cemberut seperti bayi meminta susu. Ardy menoleh pada keluarga kecil yang sedang berada di depan kedai, dilihatnya anak kecil merengek-rengek meminta sesuatu pada kedua orang tuanya buat Ardy melepaskan senyum dari wajahnya membuangnya jauh-jauh dan melangkah kembali.
Menginjak koran yang dibuang orang-orang. Pandangannya hanya tertuju pada satu arah, tanpa peduli apa yang terjadi di sekitarnya dan kedua tangannya enggan untuk keluar dari saku celana. Menjadi udara di tengah kerumunan orang. Dan menjadi manusia mati tanpa dipandang oleh lainnya.
Menelusuri jalan pulang. Dia hampir sampai di tempat tinggalnya, berjalannya Ardy begitu lambat dan tertatih-tatih seperti mabuk. Melepaskan rasa kesal pada diri, baginya sudah terlalu banyak yang dicoba untuk melepaskan perasaan itu namun itu seperti bumerang yang kembali pada pelemparnya bila tak mengenai sasaran.
Dia sudah berada di halaman depan rumah. Mukanya pucat, matanya sayu sangat sedih pada diri sendiri yang bahkan mengatakan "tidak" atau mengangguk di hadapan guru tidak bisa. Tumpukan kekesalan penuh berada di kepala, tak ada yang mampu mengosongkan wadah itu.
"Mengapa aku malah menjadi seperti ini ?" Ujarnya seraya membuka pintu. Dia melihat pemandangan biasa, sebuah rumah yang sangat amat luas namun bukan mengenai ruangan akan tetapi suasana. Aura sepi begitu dalam. Hanya decak jam yang terdengar, menandakan kesunyian yang berkuasa atas ruangan.
Memilih ingin sedih, mencoba melupakan apa yang hilang dalam kehidupan dan senang pada kehinaan yang diterimanya tanpa diinginkan. Tuhan memberikan jalan lain, meskipun begitu Ardy kala itu memilih malam sepi yang menemani tanpa seorang pun disisinya bila sendirian.
Matanya terpejam selepas menutup pintu. Ruang tamu gelap mulai menemaninya. "Dulu entah kenapa aku takut pada kegelapan.."
"Sekarang.."
"Ya, kegelapan menjadi temanku seka-- eh.. siapa itu ?" Matanya terbuka melihat ke segala arah. Tidak ada siapapun yang menjawab. Tapi, Ardy jelas-jelas mendengar seseorang berkata sehingga ia kembali membuka pintu rumah tidak menemukan siapapun yang menjawab perkataanya sebelumnya.
"Mungkin hanya perasaanku," ujarnya sebelum menghela napas agak panjang. Dia kini duduk di sofa tanpa mengganti seragam sekolahnya, membutuhkan ruang menyendiri untuk menyelami apa yang terjadi selama ini dan menyelimuti diri memakai waktu menjauh dari hinaan. Hidup di tengah-tengah cercaan, ejekan, makian, dan sebagainya ternyata tidak menyenangkan.
Dia mengusap wajah sebelum berkata, "makin kesini rasanya aku semakin.. hancur ?"
Sendiri membuatnya terlalu nyaman, tenggelam dalam kesendirian menjadi kesibukan yang diinginkan tanpa siapapun di sisinya. Yang diinginkan hanya orang-orang yang di samping, bukan di depan atau di belakang tubuhnya. Sendirian membuatnya sadar betapa tak berartinya hidup, tanpa teman atau keluarga sehingga air mata itu jatuh semakin banyak dari pelupuk mata dan jeritan pelan terdengar keras kala ruangan sepi ditemani decakan jam.
Pelahap Tangisan - Bab 03
Ardy menguap, ia memakai seragam setelahnya keluar dari kamarnya lengkap dengan wajah memelasnya itu. Dilihatnya atas meja makan terdapat makanan berjejer rapi, matanya mengerjap-ngerjap berulang kali keheranan. Mendekati meja makan ia memandangnya penuh kebingungan.
"Ahaha.. apa aku berhalusinasi ? Ahaha.." senyum masamnya jelas tertera di mukanya yang polos. Tangan meraih gelas, ia meminum air putih mencoba untuk menyadarkan dirinya dari khayalan ini namun tidak berguna karena tetap saja. Mencicipi masakan ini Ardy menganga lebar sesudah merasainya.
"Tidak.. tidak.. tidak.. aku pasti gila!" Ujarnya sambil pergi berjalan bergegas ke ruang tengah. Tak ada siapapun, giliran ia pergi ke halaman depan belakang rumah dan berbagai tempat dikunjungi olehnya mencari ulah siapa ini dan tak menemukan siapapun yang menyimpan segala sesuatu yang dapat di makan di dapurnya.
Dia duduk di kursi memukul jidat berulang-ulang kali seraya berkata, "ada apa sih ini ??"
"Ardy!.. Ardy!" Panggil seseorang depan pintu memanggil namanya. Menganggap ini tidak nyata Ardy pergi dari rumahnya berangkat sekolah bersama Rika. Meskipun ia berpikir bahwa ada yang menyimpan benda-benda itu di atas meja, itu tak mungkin karena ia mengunci pintu dan setelah mandi keluar dari kamar mandi ia tidak melihat sekumpulan makanan itu.
"Mana mungkin,.. aku berpakaian saja kurang dari satu menit.." ucapnya penuh keyakinan. Yang mendengar perkataan melantur dari Ardy tersenyum kecut, namun ia tak mempedulikannya dan menjadi teman lelaki payah seperti biasanya tak ada yang berubah sama sekali.
***
Sepulang sekolah, sesudah memperhatikan Rika yang telah menjauh. Ardy menelan ludahnya, ia memegang gagang pintu agak gemetaran kemudian membuka pintu melihat rumah yang bersih dan barang-barangnya rapi. Matanya terbuka lebar. Dia masih ingat tadi pagi belum sempat beres-beres, sehingga ia kaget tak main.
"Aku salah rumah.." angguknya seraya melangkah mundur. Tetapi, ini benar rumahnya buat sekali lagi Ardy tercengang melihat ada sandal depan rak sepatu dan suara bising di dapur. Serupa orang sedang memasak. Tak lama, kakinya berjalan sendiri masuk ke dalam rumah dan pintu menutup dengan sendirinya.
"Rumahku ada hantunya..!" Rintihnya sambil menangis. Sesaat seusai mendengar bunyi air mendidih, suara kompor dimatikan masuk ke gendang telinganya dan langkah kaki datang. Menerima pemandangan yang aneh, sesuatu seakan-akan berdiri di hadapan wajahnya mencapai ketakutan yang tertinggi dalam hidupnya.
Asap tebal berwarna putih tiba-tiba muncul, muncul tangan mengelus kepala Ardy dengan lembut. Bukannya merasa tenang justru lelaki ini malah semakin menangis. Mahkluk dikelilingi Asap putih ini berputar seperti pusaran, ada semacam mahkluk berdiri di hadapannya tetapi dengan perawakan aneh dan wujud tidak jelas.
Mahkluk ini menunduk menandakan ekspresi sedih. Tahu akan hal itu juga Ardy semakin bingung, sesaat setelahnya telepon genggamnya berbunyi dalam sakunya dan ia mengangkat panggilan.
"Ya.. baik, baiklah.. umm.." angguknya seraya menutup panggilan. Sesudah pembicaraan singkat itu, tampang mukanya mendadak berubah drastis menjadi sedih, Ingin tahu pembicaraan apa atau perintah apa yang diberikan padanya mahkluk ini mengambil ponselnya dengan memaksa. Ardy menatapnya heran, tak lama ia juga memanggil orang sebelumnya sehingga membuatnya kaget tak main.
"Hentikan! Nanti aku.." Ardy berkata seraya mencoba mengambil ponselnya. Bahkan memegang tangan mahkluk Hitam ini pun tidak bisa, ia kesusahan untuk merebut ponselnya kembali karena badannya yang tinggi menghalanginya. Bagai mahkluk mungil ia melompat-lompat dan merebut ponselnya lagi.
Di layar ponsel. Ada sekumpulan pesan beserta beberapa kalimat yang membuatnya takut, otaknya segera menerbitkan ingatan yang buruk dan paling hina seumur hidupnya. Tubuhnya bergetar ketakutan mengingat puluhan orang itu, membuatnya babak belur dan merebut semua barangnya.
Kedua tangan mahkluk Hitam ini meraih pundak Ardy mendudukkannya di kursi, mengambil satu suapan menyodorkannya pada mulut lelaki ini sembari memperlihatkan seringai jahat agak menakutkan. Dan entah karena terpaksa, atau takut Ardy membuka mulutnya mengunyah makanan dalam mulutnya.
Meskipun sudah merasai makanan ini sangat enak, dirinya merasa tidak aman berada di rumah sendiri begitu juga sama di luar rumah.
"Temui mereka.. kenapa kamu takut ?"
"Aku tak bisa," tolaknya menggelengkan kepala berulangkali. Mahkluk Hitam ini tampak menghela napas lagi, ia melangkah menuju kulkas mengambil sebotol susu menuangkannya ke dalam gelas bermaksud untuk memberi Ardy minum. Anak itu pergi ke kamarnya mengambil kesempatan.
"Kenapa dia kabur dariku.." lirihnya pelan. Dia berjalan, selepas hitungan langkah ia menemukan dirinya dari pantulan cermin wajah serta tubuh hitam bagai manusia yang diselimuti asap hitam dan layak untuk disebut iblis. Dia terlihat tersenyum masam.
Memanggil serta mengetuk pintu kamar Ardy, Ardy yang berada di dalam tak menjawab justru diam duduk di atas ranjang tidak memahami sepenuhnya maksud dari kejadian hari ini. Suara ketukan pintu memanggil dirinya akan tetapi ia bergeming tak bergerak sedikitpun tanpa mengindahkan panggilannya.
Yang dibayangkannya hanya peristiwa menyedihkan itu. Dirinya sudah memaafkan, namun tak pernah bisa melupakan semua yang telah dilakukan oleh teman sekelasnya bukan "teman" sesungguhnya yang dimaksudkan olehnya. Mengira masa SMA takkan mampu menjadikannya sebagai penyendiri ternyata salah, sama saja seperti sebelumnya.
Dimanapun dia berada pasti akan ada orang yang menertawakan, menendang, atau menjatuhkannya dengan niat hanya iseng. Saat Ardy meneteskan air mata pun, bukannya lontarkan kata untuk melontarkan ungkapan kata-kata permintaan ampun ataupun penyesalan malah tambah buruk.
"Ish.. gitu doang baper," ujar orang-orang pada saat itu. Saat menyaksikannya menangis. Para perundung itu berlindung di kata itu, sebuah kejadian yang musti membuat mereka panik, malah senyum jahat menjadi ciri khasnya. Ardy tidak bisa mempercayai siapapun mulai dari dibully, melahirkan perasaan takut percaya pada orang lain.
Beberapa saat setelahnya, pintu terbuka memperlihatkan mahkluk hitam ini datang dan menghampirinya. Sesudah di hadapan dia mengelus-elus rambut remaja laki-laki ini, merasai perasaan hangat nan nyaman remaja ini sedikit menerimakan dan mengabaikan.
Dan setelah beberapa menit, Ardy pun mengangkat wajahnya mendapati muka seseorang yang berada di hadapannya. Senyuman hangat walau samar-samar untuk dilihat, Ardy kelihatan nyaman begitu menyaksikan senyum itu dekat dengan jarak antara wajah mereka. Melihat ini membuatnya heran lalu saat ingin bertanya, asal usulnya dia pergi begitu saja seolah-olah tahu niatan Ardy.
Walaupun dia penakut, entah mengapa dia tidak merasakan rasa takut sedikitpun bahkan sebaliknya serasa ditemani oleh kenyamanan dan kehangatan untuknya. Dia berdiri dengan kedua kakinya. Keluar dari kamar, menangkap suatu bau masakan yang wangi dari dapur dan mahkluk itu menyajikan makanan di atas meja makan.
"Lah kenapa melihat itu membuatku lapar ?" Batinnya melihat sekumpulan sajian sebanyak itu. Hanya saja mana mungkin dia akan memakan hal yang belum jelas apakah aman atau tidak, walau kini mahkluk itu mulai memaksanya dan mendorongnya untuk ke ruang tempat memasak sekaligus tempat meja makan berada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!