DORR!! DORR!!
Suara letusan nyaring mirip bunyi tembakan membuat tubuhku tersentak. Padahal aku masih terjaga. Belum lagi mata tertidur. Tubuh menegang berusaha memasang telinga. Bunyi letusan itu kembali terdengar beberapa kali, membuat jantung terasa melompat.
Satu tangan meraba gawai yang ada di atas kepala ranjang. Kulihat pada layar tertera jam 12. 10. Sudah lewat tengah malam.
Tergesa kusibak selimut. Meraih kimono yang terongok di lantai lalu mengenakan pada tubuhku. Cahaya dalam kamar tidur remang karena Henry susah tidur jika terlalu terang.
"Hen ..." Aku mendekat pada Henry yang seakan tak terusik oleh suara itu.
DOR!! DOR!!
Suara itu semakin mendekat dan begitu jelas. Aku menelan ludah gugup.
Apa yang terjadi di luar sana?
"Suara apa itu? Mirip tembakan." Tiba-tiba saja mata Henry terbuka.
"Aku baru saja mau membangunkan kamu."
Klik. Kunyalakan lampu tidur agar lebih terang.
Henry bangkit dari tempat tidur, menuju pintu kamar, kemudian berpaling ke arahku. "Pakai baju lengkapmu, Sayang!" Lalu ia lanjut membuka pintu. Keluar dari kamar.
Aku segera tersadar. Berlari ke arah lemari. Memilih pakaian yang akan kupakai. Hatiku merasa was-was. Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi di luar sana.
***
"Bersiap-siaplah ... kita harus segera keluar dari sini. Beno dan yang lainnya sedang menghadapi masalah. Ada serangan dari luar." Henry bicara dengan cepat. Mengenakan kaos dan jaketnya tergesa.
Astaga!
"Maksud kamu ada penjahat?" desisku tercekat.
"Kemungkinan perampok," jawab Henry cepat.
Kulihat Henry membuka laci nakas. Mengambil sebuah senjata api lalu menyelipkan dalam jaketnya. Jantungku semakin berdegup cepat.
"Tenanglah Sayang, kamu aman bersamaku," lirihnya. "Kita harus cepat." Ia menggenggam tanganku.
Seluruh lampu tiba-tiba padam.
"Henry ..." Aku terisak ketakutan.
"Sssttt jangan panik!"
Dalam kegelapan aku mengikuti langkah kaki Henry keluar dari bungalow. Kami berjalan memutar menuju dermaga kecil yang ada di belakang bangunan utama.
Dari kejauhan tampak dua bayangan tubuh berdiri di depan dermaga kecil. Ternyata itu Beno yang telah menunggu kami. Dermaga kecil tempat bersandar beberapa motor jet ski itu letaknya tersembunyi, tertutup pohon-pohon bakau yang rapat. Tak akan terlihat dari depan pulau.
"Maaf, Bos. Lampu sengaja kami padamkan untuk menghambat gerakan mereka," ujar Beno begitu kami mendekat.
Mereka? Maksud Beno penjahat-penjahat itu? Ya Tuhan ... mereka mau apa?
"Silakan, Bos! Saya dan Opi akan mengawal," ucap Beno lagi mengarahkan jempol kanannya pada motor jet ski yang bersandar.
Aku memperhatikan pria berbadan besar yang berdiri tegap di samping Beno. Oh ... jadi anak buah Beno yang sangat mirip Hulk Hogan itu namanya Opi.
"Bagaimana situasi di depan?" tanya Henry.
"Sementara anak-anak masih bisa menguasai keadaan, Bos. Tapi, kami kalah jumlah. Demi keselamatan Bos dan Nyonya Bos. Sebaiknya keluar dari sini," sahut Beno.
DORR!! DORR!!
Suara letusan terdengar lagi dari kejauhan Disusul suara-suara teriakan yang tidak jelas.
" ... Hiu putih ... segera keluar dari sarang. Pinguin ... sudah masuk!" Walkie talkie di tangan Beno mengeluarkan suara orang bercampur bunyi desisan. Sepertinya dari anak buah Beno.
"Mereka berhasil masuk," ujar Beno gusar. "Kita harus segera, Bos!"
Henry melompat ke atas jet ski, kemudian menarik tanganku agar segera membonceng di belakangnya. Kedua tanganku pun memeluk erat tubuh Henry dari belakang. Hati berdoa agar semua baik-baik saja.
Mesin motor kendaraan air itu meraung kemudian melaju di atas air. Menciptakan gelombang pada air yang kami lalui. Beno dan anak buahnya yang bernama Opi masing-masing mengendarai jet ski lainnya. Mengiringi di belakang kami.
Kilat kadang menyala menerangi langit. Petir menyambar menggelegar. Titik-titik air langit mulai bejatuhan di atas kepala kami. Tubuhku melekat pada punggung Henry. Berusaha mempertahankan posisi. Dingin mulai menyerang. Angin laut menggempur menampar-nampar.
****
Hujan telah turun dengan derasnya. Tubuhku menggigil kedinginan. Mata terasa perih karena terkena hujan dan cipratan air laut.
Motor jet ski yang membawa kami terus melaju membelah lautan. Entah ke mana tujuan kami. Aku tidak tahu. Beno dan Opi, aku tak melihat lagi di mana mereka. Sepertinya kami telah terpisah.
Dingin ... aku sangat kedinginan. Tubuhku mulai terasa kaku. Dada sesak. Sulit untuk bernapas. Pegangan tanganku pada tubuh Henry sulit kurasakan. Hunjaman air dari langit seperti ribuan jarum es yang menusuki kulitku. Terasa perih dan sakit.
Entah sudah berapa lama aku dan Henry menempuh perjalanan. Entah sudah sampai di mana. Aku tidak tahu. Keadaan riuhnya air hujan yang terus menggempur tidak memungkinkan kami untuk saling bicara.
Diam ... hanya bisa diam dan berusaha untuk bertahan pada posisi yang benar. Di bawah guyuran hujan yang tak henti tumpah. Dengan jet ski yang melompat-lompat di atas air.
.
.
.
Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Tubuhku seolah telah melayang di udara. Pandanganku menghilang.
****
"Namamu Selena ... ingat namamu Selena."
Netraku membingkai bayangan buram yang bergerak di depanku.
"Namamu Selena ... namamu Selena."
Bayangan buram itu kembali mengulang kalimat yang sama.
"Namamu Selena ... namamu Selena.
Suara itu terus berulang seolah ada dalam kepalaku.
"Aaaarrgh ... hentikaaan!!" Kuremas kuat kepala.
"Kamu adalah Selena ... Selenaku."
"Aaaarrgh ... diaaaam!!!" Kepalaku nyeri seakan mau pecah!"
Tapi suara itu seperti tak peduli akan penderitaanku. Terus saja ia mengulang sampai pandanganku kembali gelap.
***
Ssshhh ... kepalaku terasa berdenyut. Kelopak mata begitu berat untuk dibuka. Sampai kemudian ada cahaya menyilaukan yang menimpa wajahku.
Ssreeek ... bunyi tirai yang digeser. Sekonyong-konyong cahaya terang matahari memenuhi ruangan. Memaksa mataku memicing lalu membuka sempurna.
"Good morning, My Dear." Suara lembut seorang wanita di dekatku.
"Did you have a nice dream last night?" Suaranya lagi.
Aku memandang asing padanya. Di hadapanku berdiri seorang wanita setengah baya berambut pirang.
Siapa wanita bule ini?
Dia mendaratkan kecupan di keningku. "Maafkan mommy, Sayang. Apa masih ada bagian tubuhmu yang sakit?"
Aku menggeleng pelan. Menatapnya tak mengerti. Pandanganku berpendar ke sekeliling ruangan. Ruangan yang terasa asing.
"Siapa anda? Aku di mana?"
"Selena ... what's wrong with you? I' m your momm," ujarnya dengan wajah cemas. Iris kebiruan di matanya berkaca-kaca.
"Selena? Siapa Selena?" tanyaku kebingungan.
"You are Selena, my daughter." Ia menepuk-nepuk pelan dadanya.
Aku menggeleng. "Bukan. Aku tidak mengenalmu."
Kucoba bangkit untuk duduk. "Aaargh!!" kaki terasa sakit digerakkan.
Tangan lalu meraba kaki yang ternyata telah dibalut dengan perban. Bahkan kepalaku pun dililit perban.
Ada apa denganku?
"Apa benturan di kepalamu telah membuatmu lupa sama mommy, Selena?" tanya perempuan itu.
Lupa? Mataku melebar menatapnya.
Bahkan aku lupa siapa diriku.
Aku siapa?
Aku ada di mana?
Apa yang telah terjadi padaku?
"Tenang, Dear. Mungkin kamu hanya mengalami kehilangan memori sementara. Mungkin saat mengalami kecelakaan kemarin ada benturan pada kepalamu, Sayang." Ia mendekat mengusap kepalaku.
Apa benar yang wanita ini katakan? Benarkah dia mommy-ku? Ah, aku benar-benar tak ingat apapun.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments