Tobias dan Betty sama-sama tak menyahut. Wajah Tobias mengkerut tampak tak suka.
"Kami sama sekali tidak mirip. Hidungnya Betty terlalu kecil dibandingkan aku," celetuk Tobbias gusar.
"Dasar anak kecil tak ada sopan-sopannya. Berani mengatai hidungku!" Betty menjangkau rambut keriwil Tobias yang sebahu. Namun, ia berhasil mengelak.
"Nyatanya begitu. Hidungmu mirip koin pecahan lima puluh." Tobias makin menjadi.
Astaga ... aku telah membuat mereka bertengkar.
"Kesini kau! Biar kubuat botak rambutmu!" Betty berdiri dari bangku.
Tobias mundur. "Weeek." dia menjulurkan lidah ke arah Betty. "Sampai kiamat pun aku tak mau dikatakan mirip denganmu."
"Sudah ... sudah. Aku tidak mau kalian bertengkar." Aku yang berada di tengah mereka mencoba melerai.
"Tobi ini memang nakal sekali, padahal selama ini aku yang merawatnya." Betty mengacungkan tangannya yang terkepal.
Tobias lari ke arah pantai sambil sesekali menjulurkan lidah lagi ke arah Betty.
"Huh ... kau liat sendiri kan, Selena. Betapa tak sopannya anak itu." Betty mendengkus seraya menghempaskan lagi pantatnya ke atas bangku.
"Dia siapamu? Maaf sebaiknya aku memanggilmu apa?" tanyaku. Betty tentu usianya jauh di atasku. Tak elok rasanya memanggil hanya dengan menyebut nama.
"Kau sudah biasa menyebutku dengan panggilan Betty saja sejak kecil," ujarnya seraya menarik dagu ke dalam.
"Oh, ya?" Alisku bertaut. Betapa kurang ajarnya aku. Padahal kalau kutaksir usia Betty tak jauh beda dengan Mommy hanya tubuhnya memang kecil. Tak lebih tinggi dari bahuku jika kami berdiri.
"Tobi itu anak tiriku." Ia menghela napas sejenak. "Ayahnya sudah meninggal setahun yang lalu. Dulu Ayah Tobi juga bekerja pada Daddymu. Supir keluarga. Dia yang sering mengantarmu ke sekolah."
Aku manggut-manggut menyimak.
"Di mana aku sekolah? Apa aku punya teman?" cecarku.
"Kamu sekolah di kota. Tentu saja di kota kau punya banyak teman. Tapi, di rumah temanmu hanya Tobbi."
Ia tergelak. "Tobi yang nakal itulah temanmu di rumah."
Aku pun ikut tertawa memandangi tubuh Tobias yang mengecil berlari ke arah pantai.
Betty menghela napas lagi. "Dia memang tak pernah suka padaku. Sudah sering ia minta untuk bertemu ibu kandungnya. Tapi untuk apa? Hanya buang-buang uang saja."
"Memangnya ibu kandung Tobi ada di mana?"
"Ibunya tinggal di Flores. Tak ada guna Tobi mencari wanita itu. Merepotkan saja. Lebih baik di sini membantu mengurus villa Mister Sam."
Kasihan Tobias. Aku dapat membayangkan kerinduan pemuda itu pada ibunya.
"Ayo kita masuk, Sayang. Terlalu lama di luar kau bisa masuk angin." Ia mengusap bahuku.
"Jadi kau yang selama ini mengurusku?" Aku menatapnya sendu. "Kalau begitu aku tak ingin memanggilmu dengan sebutan Betty."
Betty menatapku bingung.
"Aku akan memanggilmu Bibi Betty."
"Owh ... manis sekali. Kau seperti Selena yang baru terlahir. Aku suka sekali itu," sahutnya sumringah.
Ia menuntun langkahku masuk kembali ke dalam rumah. Meskipun ingatanku belum pulih aku akan mencoba untuk bersikap baik pada orang-orang di sekitarku. Nyatanya hingga saat ini mereka tidak berbuat jahat padaku.
****
"Liat ini Sayangku! Mommy membelikan banyak baju baru." Mommy masuk ke dalam kamar dengan tangan penuh goody bag.
"Semoga kamu suka." Dia duduk di samping tempat tidurku.
"Terima kasih," sahutku pelan.
"Bagaimana lukamu? Masih sakit?"
"Tidak terlalu. Sudah berkurang. Boleh aku tanya sesuatu?"
"Hmm ...," Dia mengangguk, satu tangan membelai rambutku. "Apa yang mau kau tanyakan?"
"Kecelakaan seperti apa yang kualami? Bisa Mommy ceritakan padaku?"
Wanita itu menghela napas panjang. "Kamu kecelakaan mobil, Sayang. Mobil yang kamu kemudikan kecelakaan tunggal menabrak trotoar. Kepalamu membentur dashboard sampai harus di jahit," terangnya dengan wajah meyakinkan.
"Aku bisa mengemudikan mobil?" tanyaku menatapnya tak percaya.
Dia mengangguk cepat. "Sekarang jangan harap Daddy memperbolehkan kamu menyetir mobil lagi."
Aku tersenyum kecut. Sepertinya mulai sekarang hidupku akan terkekang.
"Mommy ingin sekali melihatmu sembuh. Ceria lagi seperti dulu." Ia mengecup keningku.
Aku mengangguk. Berusaha memberikan senyum untuknya. Entahlah, aku tidak merasakan ikatan batin yang kuat pada wanita ini.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka.
"Silakan masuk dokter Phil!" Suara Daddy.
Daddy masuk ke kamar dengan seorang pria jangkung berkulit pucat seperti Mommy.
"Selamat sore Nona Selena. Hari ini kamu tampak segar," sapa pria itu dengan logat bahasa Indonesia yang belepotan.
Mommy memperkenalkan aku pada pria itu. Ternyata dia adalah dokter yang akan merawat luka-lukaku. Namanya dokter Philip.
"Dokter ... kenapa aku tidak bisa mengingat apapun?" tanyaku.
"Sabarlah Nona Selena. Tampaknya kamu mengalami amnesia akibat benturan pada kepala. Tapi, hasil scaning pada kepalamu menunjukan tidak ada cidera berat. Hanya geger otak ringan." Ia menjelaskan sambil melepas hati-hati perban pada kepalaku. Menggantinya dengan yang baru.
"Apakah itu akan lama dokter Phil?" tanyaku sambil meringis karena merasa perih saat ia membersihkan lukaku dengan cairan anti septik.
"Ingatanmu akan pulih pelan-pelan. Tidak usah khawatir nona cantik. Jangan terlalu memaksakan diri. Buat hatimu senang. Ingatan itu akan kembali sendiri nanti." Perban baru ia lekatkan di dahiku. Tidak dililit lagi.
"Aku sudah bisa keluar rumah kan setelah ini?"
"Jangan dulu, Sayang. Kakimu masih sakit," sela Mommy yang duduk di sampingku.
Aku memperhatikan pria yang dari tadi hanya diam berdiri. Mister Sam daddyku, dia tak bicara apapun. Tak juga menghiburku yang dari tadi meringis menahan perih, saat lukaku dioles cairan steril. Beda dengan Mommy yang selalu mengusap-usap lenganku. Apa memang pembawaannya begitu?
"Aku bosan di kamar terus. Aku ingin jalan ke pantai."
"Tak apa Madam. Biarkan dia bersenang-senang. Luka-lukanya sudah membaik." Dokter Philip membelaku.
"Sam ...." Mommy menatap Daddy memelas. Seolah menyalahkan dokter Philip.
"Dokter lebih tahu dari kita, Honey. Jangan berlebihan!" Seperti biasa suaranya datar tanpa tekanan.
Aku memperhatikan kedua orang yang mengaku orang tuaku itu. Mereka pribadi yang berbeda. Mommy yang begitu posesif, sedang Daddy yang dingin dan acuh.
***
Aku dan Tobias berjalan beriringan di tepi pantai dengan kaki telanjang sore itu. Celana jeans lebar serta jaket dengan penutup kepala kupilih sebagai pakaian keluar rumah.
Ada rasa lebih nyaman ketika memakai pakaian tertutup seperti ini. Rambutku pun kumasukan dengan rapi hingga hanya wajahku yang tersisa.
Suara ombak berkejaran membuatku merasa betah berada di pantai. Angin sore bertiup lembut. Jejak-jejak kaki kami membekas di atas pasir sepanjang pantai, kemudian menghilang ketika ombak menyapunya.
"Apa yang paling sering kita lakukan bersama?" tanyaku pada Tobias.
"Kita sering mencari kerang. Memunguti bintang-bintang laut yang terdampar di pantai. Dan kamu ... sangat menyukai matahari yang terbenam," jawabnya lancar.
Mataku melebar. Matahari terbenam?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Auni Naqiya
Haii author kece.... aku sudah baca ceritanya lho..
Mampir juga dong ke cerita aku "Manik Cinta Manika"... jangan lupa tinggalkan feedback nya yaa.. makasih.
2020-04-11
0