MALAIKAT TAK BERSAYAP

MALAIKAT TAK BERSAYAP

SATU

Suara deburan air di luar seakan memanggil-manggil. Mataku mengerjap memandangi langit-langit kamar. Dari celah jendela kabin, bisa terlihat warna langit yang mulai terang. Buaian gelombang air laut telah membuat tidur kami tadi malam sangat nyenyak. Tapi, perutku sekarang mulai lapar.

Henry masih di alam mimpi. Kututupi dada telanjangnya dengan selimut agar ia lebih hangat, sempat kudaratkan kecupan di pipi tomat itu. Heran, semenjak tubuhnya lebih berisi pria ini jarang merasa kedinginan. Ia lebih suka tidur tanpa memakai piyama.

Sebaiknya aku membuat sarapan. Roti bakar dan cokelat hangat akan sangat nikmat di tengah hawa yang masih dingin seperti ini.

Hmm ... hoaaah. Tubuhku menggeliat seraya menepuk mulut yang masih saja ingin menguap. Tangan kemudian meraih mantel rajut yang terongok di atas nakas. Sepasang sendal hangat menunggu kedua kaki menjejak di atas lantai kabin yang beralas karpet bulu.

.

.

.

Dari jendela pantry, dapat kulihat burung-burung camar berterbangan di langit. Apa itu tanda, posisi kapal telah mendekati daratan? Rasa penasaran menyeret kedua tungkaiku keluar dari kabin menuju geladak.

Angin dingin berebutan masuk begitu tanganku telah membuka pintu. Mulut seketika membulat. Aku begitu terpukau dengan lukisan alam di depanku. Kaki terus melangkah keluar.

Laut tenang tak berbatas seolah menyapaku. Langit biru sedang berkaca pada air di bawahnya. Kabut tipis bergerak pelan di udara. Dari arah timur semburat oranye mulai memamerkan keindahan. Berkilau membias di atas permukaan air yang bergelombang. Begitu sempurna.

Kuhirup napas panjang. Kedua tangan berpegangan erat pada besi dingin pagar pembatas. Tubuh kadang limbung, karena badan kapal terus bergoyang dipermainkan riak gelombang.

Pagi ini di tengah lautan. Aku dan Henry telah berada di atas sebuah kapal pesiar. Kami berangkat sejak satu hari yang lalu. Henry ingin memperlihatkan padaku sebuah tempat yang masih ia rahasiakan. Ia ingin membuat kejutan untukku. Tempat yang sejak lama dipersiapkan oleh Opah sebagai hadiah bagi Henry bila ia telah menikah. Begitu besar kasih Opah pada Henry. Sayang sekali aku tidak punya kesempatan mengenal Opah.

"Aaaakh!!" Aku terpekik kaget.

Tiba-tiba ada sesuatu berlompatan keluar dari air, mengiringi laju kapal. Ternyata sekawanan ikan lumba-lumba. Mereka berenang saling mendahului.

Luar biasa. Makhluk air berwarna hitam mengkilat itu seakan sengaja mengikuti kapal kami. Aku bisa melihatnya dengan jelas saat melayang di udara. Ada suara khas mirip cicitan berasal dari mereka. Cukup berisik.

"Selamat pagi ... senang meliat kalian!" teriakku seraya melambaikan tangan pada ikan-ikan itu. Senyum mengembang di bibirku.

Kurasakan cipratan air mengenai wajah saat mereka melompat begitu dekat. Mengagumkan. Mulutku terus bergumam. Ikan-ikan itu seperti sengaja menampakkan diri.

"Pagi, Sayang." Tiba-tiba saja Henry sudah menempel di belakang punggungku.

"Sudah bangun?"

"Dengar kamu teriak kenceng banget."

"Oh, ya? Maaf ... habisnya kaget meliat itu." Tanganku menunjuk ke arah ikan lumba-lumba yang telah menjauh.

"Di sini memang habitat mereka."

"Wow ... apa artinya kita bakal sering melihatnya di tempat kejutan untukku?"

Henry terkekeh mendengar pertanyaanku. Sampai saat ini ia belum memberitahu nama tempat yang sedang kami tuju.

"Masih berapa lama lagi perjalanan kita?" tanyaku tak sabar.

"Tidak lama. Lihat!" Tangannya menunjuk ke arah burung-burung yang terbang di atas kami. "Kita sudah dekat dengan daratan."

"Aku sudah bikin sarapan tadi. Semoga belum dingin," ujarku sambil menarik tangan Henry kembali memasuki kabin.

***

"Berapa lama nanti kita di sana?" tanyaku seraya mengoleskan selai nanas kesukaan Henry di atas potongan roti bakar.

Kami berdua berada di ruang makan. Kondisi dalam kapal pesiar ini begitu mirip dengan tempat tinggal.

"Sesuka kamu mau. Kita sudah banyak bawa logistik di kapal. Satu bulan pun lebih dari cukup."

"Aku sudah tak sabar." Kusodorkan roti olahanku padanya.

"Aku yakin kamu tidak akan kecewa." Henry mulai menggigit ujung roti.

"Kamu pernah ke sana?'

Henry mengangguk. "Pernah waktu SMA."

Aku menatapnya penuh perhatian. Berharap Henry mau bercerita banyak.

"Waktu itu liburan sekolah. Opah sengaja mengajakku ke sana. Opah bilang kalau aku kelak harus membawa isteri dan anakku. Tempat itu bisa menjadi tempat liburan keluarga."

"Kamu punya Opah yang luar biasa."

"Opah tahu sama kamu lho, Non."

"Kok bisa?

"Mana mungkin Opah gak tahu. Liat sendiri kan foto kamu segede apa di kamarku."

"Dih ...."

"Opah tau aku naksir kamu sejak SMA. Tau gak Opah bilang apa sama aku?"

"Apa?"

"Kejar sampai dapat! Kalau nanti dia jadi isterimu Opah punya hadiah pernikahan buat kamu."

"Owh ... segitunya?"

"Opah itu kan dulunya pejuang cinta juga, Non."

"Sayang banget Opah sama kamu."

"Iyalah ... cucu satu-satunya paling pinter, paling ganteng." Ia terkekeh.

"Memang Opah gak punya cucu selain kamu?"

"Gak ada." Ia menggeleng. "Mungkin memang sudah takdir kita.Turunan anak semata wayang. Opah sendiri gak punya sodara juga. Moga nanti anak kita nasibnya gak sama dengan Opah, kakek-nenek juga ibu-bapaknya. Moga kita anaknya banyak, ya, Sayang."

"Hu' um." Aku mengangguk. Kusesap cokelat yang masih hangat dari cangkir. "Kasian banget kalau sama dengan kita. Sepi gak ada yang dijahilin di rumah."

Kami berdua serempak tertawa geli.

"Aku waktu kecil suka iri sama temanku. Seru kalau lihat dia berantem sama adeknya. Rebutan mainan, rebutan makanan," ujar Henry sambil senyum-senyum.

"Iya, aku juga. Malahan dulu pernah aku nawar adek temanku. Adeknya dimarahin mulu sama dia. Terus adeknya mau aku tuker sama sepeda baruku. Eh ... dianya mau." Aku menceritakan pengalamanku waktu kecil.

"Terus?" Mata sipit Henry melebar.

"Adeknya kubawa pulang. Gak lama, bapak sama ibunya dateng ke rumah ngambil balik." Aku terkikik geli ingat kejadian itu.

"Kecil-kecil udah nyulik anak orang."

"Kupikir adek kecil itu sama dengan boneka."

Tok tok tok. Ketukan pintu menghentikan obrolan kami.

"Masuk!" ujar Henry nyaring.

Krieeek ... pintu terbuka dari luar.

"Kita sudah dekat dermaga, Bos. Beberapa menit lagi berlabuh." Wajah Beno muncul di balik pintu.

"Oke. Sip."

Beno membungkukkan tubuhnya, lalu keluar lagi.

"Sebentar lagi ... kamu akan liat tempatnya." Mata Henry tersenyum menatapku.

"Tambah penasaran." Tubuhku bergidik senang.

"Habisin dulu sarapannya!"

****

"Harus ditutup begini?"

"Namanya juga kejutan."

Aku menurut saja saat Henry mengikatkan sapu tangan untuk menutupi mataku. Pandanganku pun sekarang menjadi gelap.

Tubuhku berdiri menghadap pulau yang sebentar lagi akan terlihat. Henry merangkulku dari belakang. Kami berdua berada di atas geladak.

"Kamu pernah dengar Kepulauan Derawan?" bisik Henry begitu dekat di telinga.

"Hmm ... pernah. Tapi lupa itu ada di mana. Apa kita sekarang di situ?"

"Kita sudah berada di Kepulauan Derawan. Maldives-nya Indonesia. Surga tersembunyi yang masih jarang orang kunjungi."

Bibirku membulat. "Belum bisa di buka sapu tangannya?"

Ah, Henry semakin membuatku penasaran.

"Sebentar lagi." Kurasakan kecupan di pipi.

***

Terpopuler

Comments

Riki Wahyudi

Riki Wahyudi

ceritanya menakutkan thor😢

2020-06-07

1

4

4

Alhamdulillah Baru baca thor semoga suka... terima kasih thor 😘🙏🙏💪💪💪

2020-06-03

1

JAZ KUSTIK

JAZ KUSTIK

nice

2020-05-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!