Suara deburan air di luar seakan memanggil-manggil. Mataku mengerjap memandangi langit-langit kamar. Dari celah jendela kabin, bisa terlihat warna langit yang mulai terang. Buaian gelombang air laut telah membuat tidur kami tadi malam sangat nyenyak. Tapi, perutku sekarang mulai lapar.
Henry masih di alam mimpi. Kututupi dada telanjangnya dengan selimut agar ia lebih hangat, sempat kudaratkan kecupan di pipi tomat itu. Heran, semenjak tubuhnya lebih berisi pria ini jarang merasa kedinginan. Ia lebih suka tidur tanpa memakai piyama.
Sebaiknya aku membuat sarapan. Roti bakar dan cokelat hangat akan sangat nikmat di tengah hawa yang masih dingin seperti ini.
Hmm ... hoaaah. Tubuhku menggeliat seraya menepuk mulut yang masih saja ingin menguap. Tangan kemudian meraih mantel rajut yang terongok di atas nakas. Sepasang sendal hangat menunggu kedua kaki menjejak di atas lantai kabin yang beralas karpet bulu.
.
.
.
Dari jendela pantry, dapat kulihat burung-burung camar berterbangan di langit. Apa itu tanda, posisi kapal telah mendekati daratan? Rasa penasaran menyeret kedua tungkaiku keluar dari kabin menuju geladak.
Angin dingin berebutan masuk begitu tanganku telah membuka pintu. Mulut seketika membulat. Aku begitu terpukau dengan lukisan alam di depanku. Kaki terus melangkah keluar.
Laut tenang tak berbatas seolah menyapaku. Langit biru sedang berkaca pada air di bawahnya. Kabut tipis bergerak pelan di udara. Dari arah timur semburat oranye mulai memamerkan keindahan. Berkilau membias di atas permukaan air yang bergelombang. Begitu sempurna.
Kuhirup napas panjang. Kedua tangan berpegangan erat pada besi dingin pagar pembatas. Tubuh kadang limbung, karena badan kapal terus bergoyang dipermainkan riak gelombang.
Pagi ini di tengah lautan. Aku dan Henry telah berada di atas sebuah kapal pesiar. Kami berangkat sejak satu hari yang lalu. Henry ingin memperlihatkan padaku sebuah tempat yang masih ia rahasiakan. Ia ingin membuat kejutan untukku. Tempat yang sejak lama dipersiapkan oleh Opah sebagai hadiah bagi Henry bila ia telah menikah. Begitu besar kasih Opah pada Henry. Sayang sekali aku tidak punya kesempatan mengenal Opah.
"Aaaakh!!" Aku terpekik kaget.
Tiba-tiba ada sesuatu berlompatan keluar dari air, mengiringi laju kapal. Ternyata sekawanan ikan lumba-lumba. Mereka berenang saling mendahului.
Luar biasa. Makhluk air berwarna hitam mengkilat itu seakan sengaja mengikuti kapal kami. Aku bisa melihatnya dengan jelas saat melayang di udara. Ada suara khas mirip cicitan berasal dari mereka. Cukup berisik.
"Selamat pagi ... senang meliat kalian!" teriakku seraya melambaikan tangan pada ikan-ikan itu. Senyum mengembang di bibirku.
Kurasakan cipratan air mengenai wajah saat mereka melompat begitu dekat. Mengagumkan. Mulutku terus bergumam. Ikan-ikan itu seperti sengaja menampakkan diri.
"Pagi, Sayang." Tiba-tiba saja Henry sudah menempel di belakang punggungku.
"Sudah bangun?"
"Dengar kamu teriak kenceng banget."
"Oh, ya? Maaf ... habisnya kaget meliat itu." Tanganku menunjuk ke arah ikan lumba-lumba yang telah menjauh.
"Di sini memang habitat mereka."
"Wow ... apa artinya kita bakal sering melihatnya di tempat kejutan untukku?"
Henry terkekeh mendengar pertanyaanku. Sampai saat ini ia belum memberitahu nama tempat yang sedang kami tuju.
"Masih berapa lama lagi perjalanan kita?" tanyaku tak sabar.
"Tidak lama. Lihat!" Tangannya menunjuk ke arah burung-burung yang terbang di atas kami. "Kita sudah dekat dengan daratan."
"Aku sudah bikin sarapan tadi. Semoga belum dingin," ujarku sambil menarik tangan Henry kembali memasuki kabin.
***
"Berapa lama nanti kita di sana?" tanyaku seraya mengoleskan selai nanas kesukaan Henry di atas potongan roti bakar.
Kami berdua berada di ruang makan. Kondisi dalam kapal pesiar ini begitu mirip dengan tempat tinggal.
"Sesuka kamu mau. Kita sudah banyak bawa logistik di kapal. Satu bulan pun lebih dari cukup."
"Aku sudah tak sabar." Kusodorkan roti olahanku padanya.
"Aku yakin kamu tidak akan kecewa." Henry mulai menggigit ujung roti.
"Kamu pernah ke sana?'
Henry mengangguk. "Pernah waktu SMA."
Aku menatapnya penuh perhatian. Berharap Henry mau bercerita banyak.
"Waktu itu liburan sekolah. Opah sengaja mengajakku ke sana. Opah bilang kalau aku kelak harus membawa isteri dan anakku. Tempat itu bisa menjadi tempat liburan keluarga."
"Kamu punya Opah yang luar biasa."
"Opah tahu sama kamu lho, Non."
"Kok bisa?
"Mana mungkin Opah gak tahu. Liat sendiri kan foto kamu segede apa di kamarku."
"Dih ...."
"Opah tau aku naksir kamu sejak SMA. Tau gak Opah bilang apa sama aku?"
"Apa?"
"Kejar sampai dapat! Kalau nanti dia jadi isterimu Opah punya hadiah pernikahan buat kamu."
"Owh ... segitunya?"
"Opah itu kan dulunya pejuang cinta juga, Non."
"Sayang banget Opah sama kamu."
"Iyalah ... cucu satu-satunya paling pinter, paling ganteng." Ia terkekeh.
"Memang Opah gak punya cucu selain kamu?"
"Gak ada." Ia menggeleng. "Mungkin memang sudah takdir kita.Turunan anak semata wayang. Opah sendiri gak punya sodara juga. Moga nanti anak kita nasibnya gak sama dengan Opah, kakek-nenek juga ibu-bapaknya. Moga kita anaknya banyak, ya, Sayang."
"Hu' um." Aku mengangguk. Kusesap cokelat yang masih hangat dari cangkir. "Kasian banget kalau sama dengan kita. Sepi gak ada yang dijahilin di rumah."
Kami berdua serempak tertawa geli.
"Aku waktu kecil suka iri sama temanku. Seru kalau lihat dia berantem sama adeknya. Rebutan mainan, rebutan makanan," ujar Henry sambil senyum-senyum.
"Iya, aku juga. Malahan dulu pernah aku nawar adek temanku. Adeknya dimarahin mulu sama dia. Terus adeknya mau aku tuker sama sepeda baruku. Eh ... dianya mau." Aku menceritakan pengalamanku waktu kecil.
"Terus?" Mata sipit Henry melebar.
"Adeknya kubawa pulang. Gak lama, bapak sama ibunya dateng ke rumah ngambil balik." Aku terkikik geli ingat kejadian itu.
"Kecil-kecil udah nyulik anak orang."
"Kupikir adek kecil itu sama dengan boneka."
Tok tok tok. Ketukan pintu menghentikan obrolan kami.
"Masuk!" ujar Henry nyaring.
Krieeek ... pintu terbuka dari luar.
"Kita sudah dekat dermaga, Bos. Beberapa menit lagi berlabuh." Wajah Beno muncul di balik pintu.
"Oke. Sip."
Beno membungkukkan tubuhnya, lalu keluar lagi.
"Sebentar lagi ... kamu akan liat tempatnya." Mata Henry tersenyum menatapku.
"Tambah penasaran." Tubuhku bergidik senang.
"Habisin dulu sarapannya!"
****
"Harus ditutup begini?"
"Namanya juga kejutan."
Aku menurut saja saat Henry mengikatkan sapu tangan untuk menutupi mataku. Pandanganku pun sekarang menjadi gelap.
Tubuhku berdiri menghadap pulau yang sebentar lagi akan terlihat. Henry merangkulku dari belakang. Kami berdua berada di atas geladak.
"Kamu pernah dengar Kepulauan Derawan?" bisik Henry begitu dekat di telinga.
"Hmm ... pernah. Tapi lupa itu ada di mana. Apa kita sekarang di situ?"
"Kita sudah berada di Kepulauan Derawan. Maldives-nya Indonesia. Surga tersembunyi yang masih jarang orang kunjungi."
Bibirku membulat. "Belum bisa di buka sapu tangannya?"
Ah, Henry semakin membuatku penasaran.
"Sebentar lagi." Kurasakan kecupan di pipi.
***
Kapal telah berlabuh. Kain penutup di mataku terasa bergerak mulai dibuka. Kelopak mata masih tertutup rapat. Menunggu aba-aba dari Henry. Bunyi deru ombak yang memecah pada pantai begitu menggoda telinga.
"Sudah boleh buka mata?" tanyaku dengan mata terpejam. Setelah menunggu tak juga Henry bicara.
Henry sengaja membuatku penasaran.
"Pelan-pelan buka matanya biar gak kaget," candanya di sisiku.
Saat mata terbuka. Kami telah berada di depan dermaga yang menjorok ke laut. Sebuah pulau yang sangat indah berada di ujung dermaga. Dari kejauhan pohon-pohon kelapa tampak melambai, berbaris manis sepanjang pantai. Seakan mengucap selamat datang padaku.
Henry kemudian membantuku turun dari Kapal. Menjejakkan kaki di atas dermaga dengan jembatan kayu yang sangat panjang. Mulutku berdecak kagum. Tubuh berputar, mata terus merekam setiap sudut keindahan pulau itu.
"Bagus bangeeet. Aku suka!" Kupeluk pinggang Henry.
"Lihat air di bawah kita!"
"Wouw!! Jernih sekali. Terumbu karang di bawah air bisa sejelas ini?"
Tubuhku merunduk di pagar pembatas jembatan kayu. Mengamati pemandangan di bawah air. Bola mata melebar, mulut berguman penuh kekaguman berulang kali.
"Kamu benar, Sayang. Ini syurga yang tersembunyi. Lihat! Ikan-ikan kecil itu warnanya sangat indah! Tanganku menunjuk ikan-ikan yang lalu lalang di bawah air.
"Ayo masuk! Kita istirahat di bungalow." Henry menggamit tanganku menyusuri dermaga menuju daratan. Jembatan kayu yang sangat panjang.
"Panjang banget jembatan kayunya," keluhku. Lama berada di kapal membuat jalanku melayang.
"Capek? Hayuk naik!" Henry jongkok di depanku. Tawaran yang sangat menggiurkan.
"Asyiiik!!" Tanpa menolak aku segera naik ke punggung kokoh itu. Memeluk lehernya dari belakang.
"Berapa sih panjang jembatan ini, Yang? Kok kayaknya bungalow di depan sana kelihatan kecil."
"Lebih satu kilo."
"What?" Seketika keningku mengkerut.
"Tenang, Non. Duduk manis aja di punggung Abang. Nikmati pemandangannya!"
"Okeh Abang sayang. I love you." Kuciumi puncak kepalanya bertubi-tubi.
Henry terkekeh senang.
Beno dan pasukannya tampak mulai sibuk mengangkut barang-barang dari kapal menuju bungalow. Para pria besar itu bergerak cepat melewati Henry yang berjalan santai menggendong tubuhku.
Ada tiga bangunan yang berjajar di pulau. Bangunan semi permanen yang berbentuk panggung, sebagian terbuat dari kayu. Semuanya menghadap pantai. Salah satu bangunan paling besar ada di bagian tengah.
Kata Henry itu merupakan bangunan utama yang akan kami tempati. Sebagian anak buah Beno akan berjaga di pos yang ada di dermaga. Sebagian lagi tinggal di kapal.
***
"Pulau ini salah satu pulau kecil yang ada di kepulauan Derawan. Jangan harap bisa internetan di sini. Untuk listrik saja kita menggunakan generator," terang Henry padaku.
Kami telah berada di dalam bungalow.
Aku manggut-manggut. "Tempat ini tampak terawat. Bungalownya pun bersih. Siapa yang merawat?" tanyaku seraya melepaskan mantel serta hijab karena mulai merasa gerah.
"Ada yang merawat. Penduduk di sekitar pulau ini yang tiap hari datang membersihkan dan menjaga keamanan di sini. Sebelumnya pulau sering disewa orang asing. Beberapa selebritis malah pernah ngontrak lama buat liburan di sini, Non."
"Keren. Siapa aja?" tanyaku terkagum-kagum.
"Oprah Winfrey, Celine Dion, Rowan Atkinson ...."
Mulutku menganga. "Berarti mereka suka tempat terpencil juga."
"Hmm ... mungkin mereka butuh privasi untuk menghabiskan liburan. Tinggal di pulau seperti ini, orang akan merasa dunia milik sendiri." Henry menghempaskan tubuh di atas tempat tidur
Aku ikut menghempaskan tubuh di sampingnya. Kamar ini di desain mirip kamar pengantin. Tempat tidur dengan kelambu indah berwarna putih menjuntai hingga ke lantai. Beberapa jendela besar terbuka lebar menghadap ke pantai sehingga angin segar bisa masuk dengan leluasa ke dalam kamar. Tidak butuh AC lagi di tempat ini.
Ukuran kamar cukup luas dengan nuansa dinding kayu hingga semakin terasa natural. Dihiasi ornamen-ornamen laut yang menempel manis, berupa bintang laut serta cangkang kerang.
"Dekorasi kamar ini manis banget. Aku suka."
"Opah sendiri yang membuat konsepnya."
"Opah yang menyenangkan."
"Hu' um." Henry memiringkan tubuhnya ke arahku. Jari-jarinya menyibak anak-anak rambut yang menutupi sebagian wajahku.
"Beno sama anak buahnya selama di sini akan tinggal di kapal. Jaga pos di dermaga. Supaya kamu bisa lebih leluasa."
"Makasih suamiku. Ngapain mereka di sana?"
"Jaga keamanan sekalian mancing ikan buat kita."
Aku tertawa kecil. "Curang ... mereka yang capek mancing. Kita yang enak makan."
Henry meraih tubuhku ke pelukannya. "Tempat ini akan membuat kita fokus satu sama lain, karena hanya ada aku dan kamu. Tak ada sinyal internet yang mengganggu." Bibirnya kemudian melekat di keningku.
"Entar kita ngapai aja di sini?" Kubenamkan wajah di curuk lehernya.
"Selain fokus bikin anak, entar kita main pasir sampai puas." Henry terkekeh mempermainkan rambutku.
"Main pasir doang?"
"Kamu maunya apa?"
"Kerenan dikit dong, Sayang. Main snorkling kek, naik jet ski atau surfing," protesku seraya memainkan baju kaosnya yang tipis.
"Dih ... isteriku sukanya yang ekstrim-ekstrim. Emang berani? Entar belajar sama Beno serba bisa tuh dia." Tangannya membelai rambutku.
"Ogah ah. Maunya sama kamu aja. Main pasir aja kalo gitu. Gak papa, deh," ujarku sambil mencubit-cubit otot dadanya yang keras. Henry tertawa kecil menanggapiku.
"Bobok, yuk! Capek kan?"
"Hu' um." Kulingkarkan tangan di pinggangnya.
Suara debur ombak di luar sana seperti nyanyian yang membuai. Mata sipit Henry semakin rapat. Angin bertiup sepoi. Aroma maskulin dari tubuh suami kian menenangkan. Tak beberapa lama mataku pun ikut terpejam.
****
Henry ternyata jago mengendarai jet ski. Aku sangat girang kalau kami di pulau bukan cuma bermain pasir. Ada-ada saja suamiku itu.
Berhari-hari waktu kami lewati dengan sangat menyenangkan. Di pulau aku bisa leluasa karena Beno dan anak buahnya tak menampakkan diri saat siang hari. Mereka sengaja memancing ke tengah laut.
"Anggap saja saat ini kita adalah Adam dan Hawa yang baru turun ke dunia. Lihat hanya kita yang ada di sini!" ujar Henry dengan suara nyaring karena harus beradu dengan suara ombak.
Henry membentangkan kedua tangannya. Berjalan mundur di depanku. Hanya mengenakan celana pendek dengan bertelanjang dada. Aku sendiri hanya memakai pakaian santai. Kami sama-sama bertelanjang kaki menikmati halusnya pasir pantai.
"Gak mau ah kalau seperti Adam dan Hawa. Adam dan Hawa itu turun ke dunia dalam keadaan terpisah. Diturunkan di tempat yang berbeda," sahutku.
"Oke ... bagaimana kalau Romeo and Juliet?" tanyanya dengan kepala meneleng.
"Gak mau juga. Romeo and Juliet itu kisah cintanya berakhir tragis. Dipisahkan oleh kematian."
"Arjuna dan Sinta?" Ia menyebut nama tokoh percintaan lainnya.
Aku menggeleng.
"Novita dan Sisuka?" ujarnya lagi.
Aku menggeleng lagi.
"Naruto dan Hinata?" Tambah ngawur suamiku.
"Diiih." Bola mataku berputar. Udah ngaco nih suami. Sampai tokoh kartun disebut juga.
"Aku gak mau disamain mereka. Henry dan Niken adalah pasangan romantis yang paling manis. Gak ada duanya," sahutku nyaring.
"MasyaAllah isteriku. Aku makin cinta kamu."
"Aku juga cinta kamu Henry ... suami yang paling tampan sedunia."
Tiba-tiba Henry berlari menuju pantai dengan tangan membentang sambil melompat-lompat girang. "I LOVE YOU NIKEEEN!!! I LOVE YOUUUU!!!" Ia berteriak kencang mengalahkan deburan ombak.
Aku tertawa terbahak menyaksikan kekonyolannya.
****
Malam ini hawa terasa gerah. Biasanya pertanda akan ada hujan lebat menjelang subuh. Aku belum bisa tertidur. Berbeda dengan Henry yang sudah begitu pulas di sampingku.
DOR!!!
Bunyi keras mirip sebuah tembakan membuat tubuhku terperanjat.
***
Bersambung ...
DORR!! DORR!!
Suara letusan nyaring mirip bunyi tembakan membuat tubuhku tersentak. Padahal aku masih terjaga. Belum lagi mata tertidur. Tubuh menegang berusaha memasang telinga. Bunyi letusan itu kembali terdengar beberapa kali, membuat jantung terasa melompat.
Satu tangan meraba gawai yang ada di atas kepala ranjang. Kulihat pada layar tertera jam 12. 10. Sudah lewat tengah malam.
Tergesa kusibak selimut. Meraih kimono yang terongok di lantai lalu mengenakan pada tubuhku. Cahaya dalam kamar tidur remang karena Henry susah tidur jika terlalu terang.
"Hen ..." Aku mendekat pada Henry yang seakan tak terusik oleh suara itu.
DOR!! DOR!!
Suara itu semakin mendekat dan begitu jelas. Aku menelan ludah gugup.
Apa yang terjadi di luar sana?
"Suara apa itu? Mirip tembakan." Tiba-tiba saja mata Henry terbuka.
"Aku baru saja mau membangunkan kamu."
Klik. Kunyalakan lampu tidur agar lebih terang.
Henry bangkit dari tempat tidur, menuju pintu kamar, kemudian berpaling ke arahku. "Pakai baju lengkapmu, Sayang!" Lalu ia lanjut membuka pintu. Keluar dari kamar.
Aku segera tersadar. Berlari ke arah lemari. Memilih pakaian yang akan kupakai. Hatiku merasa was-was. Sepertinya ada sesuatu yang sedang terjadi di luar sana.
***
"Bersiap-siaplah ... kita harus segera keluar dari sini. Beno dan yang lainnya sedang menghadapi masalah. Ada serangan dari luar." Henry bicara dengan cepat. Mengenakan kaos dan jaketnya tergesa.
Astaga!
"Maksud kamu ada penjahat?" desisku tercekat.
"Kemungkinan perampok," jawab Henry cepat.
Kulihat Henry membuka laci nakas. Mengambil sebuah senjata api lalu menyelipkan dalam jaketnya. Jantungku semakin berdegup cepat.
"Tenanglah Sayang, kamu aman bersamaku," lirihnya. "Kita harus cepat." Ia menggenggam tanganku.
Seluruh lampu tiba-tiba padam.
"Henry ..." Aku terisak ketakutan.
"Sssttt jangan panik!"
Dalam kegelapan aku mengikuti langkah kaki Henry keluar dari bungalow. Kami berjalan memutar menuju dermaga kecil yang ada di belakang bangunan utama.
Dari kejauhan tampak dua bayangan tubuh berdiri di depan dermaga kecil. Ternyata itu Beno yang telah menunggu kami. Dermaga kecil tempat bersandar beberapa motor jet ski itu letaknya tersembunyi, tertutup pohon-pohon bakau yang rapat. Tak akan terlihat dari depan pulau.
"Maaf, Bos. Lampu sengaja kami padamkan untuk menghambat gerakan mereka," ujar Beno begitu kami mendekat.
Mereka? Maksud Beno penjahat-penjahat itu? Ya Tuhan ... mereka mau apa?
"Silakan, Bos! Saya dan Opi akan mengawal," ucap Beno lagi mengarahkan jempol kanannya pada motor jet ski yang bersandar.
Aku memperhatikan pria berbadan besar yang berdiri tegap di samping Beno. Oh ... jadi anak buah Beno yang sangat mirip Hulk Hogan itu namanya Opi.
"Bagaimana situasi di depan?" tanya Henry.
"Sementara anak-anak masih bisa menguasai keadaan, Bos. Tapi, kami kalah jumlah. Demi keselamatan Bos dan Nyonya Bos. Sebaiknya keluar dari sini," sahut Beno.
DORR!! DORR!!
Suara letusan terdengar lagi dari kejauhan Disusul suara-suara teriakan yang tidak jelas.
" ... Hiu putih ... segera keluar dari sarang. Pinguin ... sudah masuk!" Walkie talkie di tangan Beno mengeluarkan suara orang bercampur bunyi desisan. Sepertinya dari anak buah Beno.
"Mereka berhasil masuk," ujar Beno gusar. "Kita harus segera, Bos!"
Henry melompat ke atas jet ski, kemudian menarik tanganku agar segera membonceng di belakangnya. Kedua tanganku pun memeluk erat tubuh Henry dari belakang. Hati berdoa agar semua baik-baik saja.
Mesin motor kendaraan air itu meraung kemudian melaju di atas air. Menciptakan gelombang pada air yang kami lalui. Beno dan anak buahnya yang bernama Opi masing-masing mengendarai jet ski lainnya. Mengiringi di belakang kami.
Kilat kadang menyala menerangi langit. Petir menyambar menggelegar. Titik-titik air langit mulai bejatuhan di atas kepala kami. Tubuhku melekat pada punggung Henry. Berusaha mempertahankan posisi. Dingin mulai menyerang. Angin laut menggempur menampar-nampar.
****
Hujan telah turun dengan derasnya. Tubuhku menggigil kedinginan. Mata terasa perih karena terkena hujan dan cipratan air laut.
Motor jet ski yang membawa kami terus melaju membelah lautan. Entah ke mana tujuan kami. Aku tidak tahu. Beno dan Opi, aku tak melihat lagi di mana mereka. Sepertinya kami telah terpisah.
Dingin ... aku sangat kedinginan. Tubuhku mulai terasa kaku. Dada sesak. Sulit untuk bernapas. Pegangan tanganku pada tubuh Henry sulit kurasakan. Hunjaman air dari langit seperti ribuan jarum es yang menusuki kulitku. Terasa perih dan sakit.
Entah sudah berapa lama aku dan Henry menempuh perjalanan. Entah sudah sampai di mana. Aku tidak tahu. Keadaan riuhnya air hujan yang terus menggempur tidak memungkinkan kami untuk saling bicara.
Diam ... hanya bisa diam dan berusaha untuk bertahan pada posisi yang benar. Di bawah guyuran hujan yang tak henti tumpah. Dengan jet ski yang melompat-lompat di atas air.
.
.
.
Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Tubuhku seolah telah melayang di udara. Pandanganku menghilang.
****
"Namamu Selena ... ingat namamu Selena."
Netraku membingkai bayangan buram yang bergerak di depanku.
"Namamu Selena ... namamu Selena."
Bayangan buram itu kembali mengulang kalimat yang sama.
"Namamu Selena ... namamu Selena.
Suara itu terus berulang seolah ada dalam kepalaku.
"Aaaarrgh ... hentikaaan!!" Kuremas kuat kepala.
"Kamu adalah Selena ... Selenaku."
"Aaaarrgh ... diaaaam!!!" Kepalaku nyeri seakan mau pecah!"
Tapi suara itu seperti tak peduli akan penderitaanku. Terus saja ia mengulang sampai pandanganku kembali gelap.
***
Ssshhh ... kepalaku terasa berdenyut. Kelopak mata begitu berat untuk dibuka. Sampai kemudian ada cahaya menyilaukan yang menimpa wajahku.
Ssreeek ... bunyi tirai yang digeser. Sekonyong-konyong cahaya terang matahari memenuhi ruangan. Memaksa mataku memicing lalu membuka sempurna.
"Good morning, My Dear." Suara lembut seorang wanita di dekatku.
"Did you have a nice dream last night?" Suaranya lagi.
Aku memandang asing padanya. Di hadapanku berdiri seorang wanita setengah baya berambut pirang.
Siapa wanita bule ini?
Dia mendaratkan kecupan di keningku. "Maafkan mommy, Sayang. Apa masih ada bagian tubuhmu yang sakit?"
Aku menggeleng pelan. Menatapnya tak mengerti. Pandanganku berpendar ke sekeliling ruangan. Ruangan yang terasa asing.
"Siapa anda? Aku di mana?"
"Selena ... what's wrong with you? I' m your momm," ujarnya dengan wajah cemas. Iris kebiruan di matanya berkaca-kaca.
"Selena? Siapa Selena?" tanyaku kebingungan.
"You are Selena, my daughter." Ia menepuk-nepuk pelan dadanya.
Aku menggeleng. "Bukan. Aku tidak mengenalmu."
Kucoba bangkit untuk duduk. "Aaargh!!" kaki terasa sakit digerakkan.
Tangan lalu meraba kaki yang ternyata telah dibalut dengan perban. Bahkan kepalaku pun dililit perban.
Ada apa denganku?
"Apa benturan di kepalamu telah membuatmu lupa sama mommy, Selena?" tanya perempuan itu.
Lupa? Mataku melebar menatapnya.
Bahkan aku lupa siapa diriku.
Aku siapa?
Aku ada di mana?
Apa yang telah terjadi padaku?
"Tenang, Dear. Mungkin kamu hanya mengalami kehilangan memori sementara. Mungkin saat mengalami kecelakaan kemarin ada benturan pada kepalamu, Sayang." Ia mendekat mengusap kepalaku.
Apa benar yang wanita ini katakan? Benarkah dia mommy-ku? Ah, aku benar-benar tak ingat apapun.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!