Teratai Emas

Teratai Emas

I. 1 - Pembuka, Memori Lama

“Dayna, ayah ingin bertanya. Apa Dayna tahu seberapa luas dunia yang kita tempati saat ini?"

Dayna menggeleng kecil. Sebagai seorang bangsawan yang hidupnya hanya sebatas di istana, tentu kebingunganlah yang didapat dari pertanyaan tersebut. Kendati ‘dunia’ sudah acap kali dia dengar, namun entah mengapa kata itu masih terasa asing di benaknya. Mungkin karena dia masih belia, mungkin juga karena kata itu memiliki ambiguitas yang tinggi.

“Seberapa luas? Um, entahlah, Dayna tak tahu. Mungkin saja seluas Avirona ini." Dengan lagak polos, Dayna merentangkan tangannya, menggambarkan seberapa luas istana yang mereka tinggali.

Ayahnya tersenyum, saksama memandang gadis kecilnya kemudian bertutur, “Dayna, dunia ini masih lebih luas lagi. Di luar sana, ada banyak tempat seperti Avirona."

Dayna mendongak lembut, membalas tatapan ayahnya. “Maksudnya?"

Ayahnya menoleh, pandangannya terarah ke ujung yang dipenuhi cahaya. “Tunggu, ya. Nanti Dayna pasti tahu.”

Sembari bergandengan tangan, mereka berjalan menyusuri koridor istana menuju ke serambi bagian luar. Sesampainya di sana, ayahnya lekas melipat lutut, mensejajarkan tingginya dengan Dayana kemudian menempatkan telunjuknya ke arah utara.

“Dayna, ada banyak tempat di dunia ini. Misalnya, jauh di kaki pegunungan utara sana terdapat Kekaisaran Sejikawa," ujarnya dengan iris biru berkilau, merefleksikan cahaya senja.

“Mana, Ayah? Tidak kelihatan.” Berjinjit, Dayna mencoba melihat tempat yang ditunjuk oleh ayahnya sekalipun pandangannya masih terhalang pagar serambi yang cukup tinggi.

Senyum simpul ayahnya langsung tersungging. Dengan nada kalem, dilontarkanlah sebuah candaan kepada Dayna. “Ternyata gadis kecil ayah ini masih belum tumbuh besar, ya?”

“Ah! Ayah ini bagaimana? Dayna sudah 5 tahun, loh! Dulu Ayah pernah bilang kalau Dayna ini sudah besar!” Dayna merengut, menanggapi candaan dengan gerundel tipis penuh antusiasme sambil mengisyaratkan untuk digendong.

“Iya. Dayna sudah besar, kok. Sini.” Sembari menggendong, ayahnya melangkah menuju ujung serambi.

Di tempat ayahnya berdiri, untuk pertama kalinya Dayna dapat melihat pemandangan kota bagian utara. Di saat itu juga, matanya langsung tertuju ke bangunan-bangunan yang berada di bawahnya. Dia terkejut melihat beberapa bangunan yang dikenalnya ternyata tampak begitu mungil jika dilihat dari atas.

Belum selesai mengenali seluruh bangunan, pandangannya langsung beralih ke sungai yang membelah kota. Dilihatnya arah aliran sungai itu sampai ke ujungnya yang ternyata mengarah ke sebuah area hijau. Area itu tampak begitu luas dan terbagi-bagi dengan rapi. Seketika, dia langsung teringat dengan buku yang baru dia baca tadi pagi. Ada sebuah deskripsi dalam buku itu yang sama persis dengan apa yang dia lihat saat ini. Ya, tempat itu pasti adalah padang rumput dan sawah.

Pemandangan kota bagian utara yang begitu indah tentu membuatnya terkesima. Matanya berkaca-kaca, hatinya tertegun. Batinnya lantas bertanya-tanya, mengapa selama ini ayahnya tidak pernah mengajaknya untuk melihat sesuatu yang menakjubkan seperti ini? 

Ekspresi yang Dayna tunjukkan cukup membulatkan hati ayahnya untuk menunjuk kembali apa yang coba dijelaskannya tadi.

“Dayna coba lihat, di utara sana ada bagian yang terlihat lebih tinggi dari area sekitarnya. Nah, itulah gunung. Karena jumlahnya tidak hanya satu maka gunung-gunung yang berjejer itu disebut sebagai pegunungan.”

Dayna lekas memayungi kedua indrea biru miliknya, memandangi dengan jeli area yang ayahnya tunjuk. Dia mendapati visual yang begitu indah, lebih indah dari lukisan-lukisan karya seniman antah berantah yang terpampang nyata di dinding istana.

“Yang mana, Ayah?” Dayna bergantian menunjuk. “Apakah yang terlihat berwarna biru hijau itu?”

“Iya, itu. Pintarnya anak ayah.”

Dayna merasakan sebuah usapan yang begitu lembut, membelai rambutnya dengan halus. Ah, gadis mana yang tak ingin rambutnya diusap oleh seorang pangeran tampan dan rendah hati? Setidaknya di Avirona, tidak ada yang berkata ‘tidak’.

Naluriah, Dayna langsung berkacak pinggang saraya berujar dengan nada bangga dan puas. “Hmph! Dayna memanglah pintar!”

Kemudian menggeleng-geleng cepat lalu sekali lagi dipungkasi oleh kata-kata membanggakan diri. “Mungkin lebih pintar dari gadis kecil manapun di dunia ini. Iya, pasti begitu!”

Seketika, ayahnya terkekeh riang. Dayna lantas menerka dalam hati, mungkin ayahnya sedang bertanya-tanya siapa yang mengajarinya sifat congkak seperti itu. Akan tetapi, dia rasa ayahnya tak akan pernah menemukan siapa orang itu. Karena congkak dan angkuh sudah merupakan sifat bawaan sedari dirinya lahir. Yah, mungkin turunan dari ibundanya.

Ayahnya melanjutkan, “Nah, sekarang coba Dayna lihat kembali. Di bawah pegunungan itu ada area yang kelihatan lebih datar. Area itulah yang disebut dengan kaki gunung, dan jauh di sana terdapat Kekaisaran Sejikawa.”

“Tidak kelihatan apa-apa dari sini,” balas Dayna sembari memayungi kembali kedua buah mata kecilnya.

“Kalau dilihat dari kejauhan seperti ini memang tidak terlihat. Kita baru bisa melihatnya tatkala berada di jarak yang cukup dekat.”

Dayna menoleh, menatap sejenak ayahnya kemudian bertanya, “Eh? Apakah Sejikawa sejauh itu?"

“Sebenarnya tempatnya cukup jauh dari sini. Namun, jika dibandingkan dengan kerajaan atau kota lain, Sejikawa-lah yang paling dekat. Kelak, Dayna pasti tahu tatkala mengunjunginya sendiri.”

Penjelasan demi penjelasan dari ayahnya semakin membeludakkan rasa penasarannya. Tanpa jeda, Dayna langsung melontarkan beberapa pertanyaan. “Sejikawa tempatnya itu seperti apa? Apakah seperti Avirona? Dan kapan Dayna bisa mengunjunginya?”

Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, ayahnya malah bertanya balik dengan disertai candaan bergaya pangeran-pangeran muda. “Oh, sepenasaran itukah dirimu, wahai gadis kecilku?”

“Iya!” balas Dayna yakin, seyakin penganut teori bumi datar.

Masih melirikan matanya, Dayna melihat jelas ayahnya sedang merenung juga entah kenapa sesekali tampak tertegun.

“Kalau menurut Ayah, Sejikawa adalah tempat yang begitu unik dan paling berbudaya di Benua Putih ini. Misalnya, bangunan-bangunan di sana memiliki arsitektur ketimuran yang begitu kontras dengan yang ada di Avirona. Tak hanya itu, gaya pakaian mereka juga begitu ciamik dan indah.”

Mendengar penjelasan itu, ekspresi Dayna yang tadinya penasaran seketika jadi bersemangat. “Wah, kelihatannya menarik sekali, ya. Jadi, kapan? Kapan? Dayna bisa mengunjunginya?” Ditanyai kembali ayahnya dengan pertanyaan yang belum terjawab.

“Hmm, kapan, ya…?” Ayahnya mengeratkan gendongannya, was-was kalau anak semata wayangnya terlalu bergairah. “Tentu saja besok ketika Dayna sudah besar, mungkin kalau sudah berumur belasan tahun. Yang mana Dayna sudah tidak perlu digendong ayah lagi untuk melihat pemandangan kota bagian utara ini.“

“Berarti itu masih lama, kan? Dayna ingin pergi ke sana besok pagi!”

“Yah, masih belum bisa kalau besok pagi. Dayna harus berlatih bersabar, kalau dinikmati tumbuh dewasa itu tidak lama kok.” Ayahnya memberi sedikit jeda, sejurus merenung lantas meneruskan. “Sebagai gantinya, besok ketika Dayna sudah besar, ayah akan mengajak Dayna berpetualang ke berbagai tempat. Tidak hanya ke Sejikawa saja, melainkan juga ke tempat-tempat lain seperti ke Kota Padang Pasir Dustown, atau ke Negeri Lionne yang untuk mencapainya harus menggunakan kapal.“

Dayna semakin menggebu-gebu, kedua tangannya terangkat. “Eh? Benarkah? Ayah tidak bohong, kan?”

“Iya, mana mungkin ayah membohongi gadis manis ayah,” balasnya sembari sekali lagi mengusap rambut gadis kecilnya.

Dayna tersipu, wajahnya memerah, malu-malu menampakkan jari kelingkingnya. “Kalau begitu janji, ya!”

“Iya, ayah janji.“ Kalem, lembut. Balasan yang tak mungkin didapat oleh gadis kecil manapun.

Kedua kelingking itu saling berkaitan menandakan sebuah janji yang telah terikat.

“Yei! Kalau begitu Dayna ingin cepat-cepat tumbuh besar!” Kedua lengan Dayna terangkat tinggi, memekik bahagia kemudian memeluk ayahnya seerat mungkin.

“Nah, itu baru namanya anak ayah!”

Percakapan antara ayah dan anak itu berakhir beriringan dengan terbenamnya sang surya. Bersama mereka melihat panorama yang kala itu kelihatan begitu megah.

...----------------...

Sudah 13 tahun berlalu. Kini setiap senja aku hanya bisa berpuisi, mengingat kembali janji yang kami buat pada hari itu. Janji di mana kami dapat berpetualang bersama, melewati padang pasir dan mengarungi lautan. Janji yang selalu aku nanti-nantikan, sayang tidak akan pernah datang.

Aku tahu itu hanyalah janji seorang anak kecil. Namun, entah mengapa hati ini begitu berat untuk merelakannya. Sungguh aku ingin melihat dunia yang selalu ayah banggakan.

Ah… andaikan ayah masih ada di sisiku.

Andaikan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!