I. 4 - Angin Berputar, Ombak Bersabung (III)

“Oi? Kak Dayna?”

Tak kusadari, kami telah duduk berhadapan. Sorot mata birunya yang kelihatan masih lelah, seketika itu juga langsung memutus lamunan singkatku.

“Ah? Maaf, aku sedang memikirkan permintaanmu tadi.“

“Jadi, bagaimana Ka-? Um, maksudku Ayunda?”

Aku menghela napas pelan. “Jujur ya, wahai adik tercintaku. Sepertinya aku tidak bisa mengikutsertakanmu ke ekspedisi itu.”

“Ap-Kenapa?”

Sungguh, untuk orang yang terkejut, ekspresinya terlihat biasa saja.

“Kenapa?” Aku berbalik bertanya. Liam menatapku, heran. “Tentu karena aku masih tidak bisa memahami maksud dari permintaanmu itu. Sudah kubilang, kan? Setiap kali kamu memintaku untuk melakukan sesuatu, jelaskan dulu permasalahannya secara rinci. Jangan setengah-setengah.”

Liam memicingkan matanya, membalasku spontan. “Loh? Ayunda belum diberitahu?”

Ayunda lagi, ayunda lagi. Sungguh jikalau bukan keadaan formal, sapaan itu hanya membuatku merengut. “Diberitahu apa? Dan tolong berhentilah memanggilku dengan sebutan ayunda, itu terdengar aneh"

Liam nyengir. “Kukira Kak Dayna suka dengan panggilan itu.”

“Tidak sama sekali.” Kusilangkan kedua tanganku secara perlahan. “Kamu tahu? Tak banyak orang yang memanggilku dengan namaku sendiri. Jadi, sebisa mungkin aku ingin ada orang yang mengingatkan kalau namaku Dayna, bukan tuan putri atau apalah itu.”

Liam masih nyengir, membalas rengutanku dengan santai. “Begitu? Masih mending Kak, yang memanggilku dengan namaku sendiri hanyalah Kakak dan Kakek Tua itu.”

“Psst..." Aku lirih membalas. "Hei! Sudah kubilangkan, kan?! Jangan memanggil Kakek dengan sebutan itu. Bagaimana kalau dia sampai mendengarnya?”

Tak menggubris, Liam beranjak dari duduknya kemudian mengambil teko dan cangkir kosong yang ada di meja kerjanya. “Minum? Aku tahu Kakak pasti haus.”

Aku mengangguk, mengiyakan. Dituangnya teh itu ke dalam cangkir lantas diberikan padaku.

“Kamu harus berhati-hati. Aku tak ingin melihatmu tidur sepanjang malam di penjara lagi.” Aku berusaha mengembalikan topik yang sempat dialihkannya tadi.

“Bodoh amat! Kapan pun dan di mana pun, kalau aku ingin, aku tetap akan memanggilnya begitu.“

“Ya, terserahlah.” Aku meneguk teh yang diberikan Liam tadi. Ah, rasanya manisnya terasa begitu menyegarkan setelah bicara panjang lebar sepanjang hari.

“Aku pikir kakek sudah memberitahumu, tetapi sepertinya belum, ya? Ini perihal proposal ekspedisi penelitianmu Kak, tak kusangka itu disetujui.”

Ekspedisi...

Aku baru ingat, sekitar 3 bulan yang lalu setelah aku menemukan fakta bahwa penulis laporan itu adalah kakekku sendiri, aku setengah serius setengah iseng, mencoba peruntunganku dengan membuat proposal ekspedisi penelitian terhadap objek yang sama seperti yang dia tulis. Karena sedang menganggur, kala itu aku sampai menghabiskan satu hari penuh, mengumpulkan referensi-referensi pendukung yang bahkan ada yang kuambil dari dongeng.

Walau sejujurnya aku begitu bahagia karena proposalku disetujui. Namun, yah! Sungguh sulit dipercaya kalau itu benar disetujui.

“Um, be-benarkah? Beruntung sekali!” Kebingungan harus berekspresi dan bereaksi seperti apa, aku hanya tersenyum tipis.

“Kak, kamu tak kelihatan begitu semangat. Proposalmu ini disetujui, loh. Tahu kan artinya apa? Akhirnya Kak Dayna bisa pergi ke luar Avirona, bukankah itu yang selama ini Kakak tunggu?”

Benar, benar sekali. Selama ini aku selalu ingin pergi berkelana ke luar Avirona. Akan tetapi, proposal itu belum sepenuhnya sempurna. Ada banyak hal yang harus dipertimbangankan sebelum melakukan ekspedisi. Rute, waktu, tim, semua itu benar-benar belum aku siapkan. Duh, mau bagaimanapun juga sepertinya aku harus bertanggung jawab dengan apa yang telah ku mulai.

“Iya, benar. Namun, aku pikir masih banyak hal yang harus diperbaiki dari proposal itu. Apa kamu benar-benar yakin kalau proposal itu disetujui Kakek?” Liam jarang sekali melayangkan candaan kepadaku. Namun, sekali lagi aku ingin memastikan.

“Tentu aku yakin, karena kakek sendirilah yang bilang kepadaku. Dia menyuruhku untuk menyampaikan hal ini langsung padamu.”

“Benarkah? Apa kamu masih ingat apa yang dikatakannya?” Aku kembali bertanya dengan nada penuh keraguan.

“Tak begitu ingat, tapi yang pasti dia berkata seperti ini.“ Liam menarik napasnya dalam, sepertinya dia ingin mengimitasi titah sang raja. “William, sampaikan ke Dayna, aku menyetujui proposal ekspedisinya ke Lionne. Suruh dia menemuiku secepat mungkin. Kurang lebih seperti itu.”

Aku merenung sejenak, memikirkan tindakan apa yang harus kuambil. Sepertinya aku telah sampai ke titik di mana tak mungkin lagi kukatakan bahwa proposal itu hanya sekadar kelakarku. Malang sangat.

“Baik kalau begitu, sepertinya aku memang harus menemuinya. Liam, lusa sore kamu tak ada kegiatan penting, kan? Ikutlah denganku.”

“Oh! Apa itu artinya aku diikutsertakan dalam ekspedisinya?”

Aku melirik Liam sejurus. Sekali lagi untuk orang yang antusias, ekspresinya terlihat biasa saja.

“Entahlah kalau itu, mari kita lihat lusa besok.”

“Baik, kalau begitu. Aku menantikan kabar baiknya, loh!”

“Iya-iya.”

Untuk kedua kalinya, aku kembali menyeruput teh yang diberikan Liam tadi. Walau sudah tak hangat, rasa manisnya masih terasa nikmat. Aku yakin kalau Rose-lah yang menyeduhnya.

“Ngomong-ngomong, haruskah sampai berkirim surat padaku?” Aku bertanya sembari meletakkan surat di atas meja.

Liam menyandarkan tubuhnya di bangku yang berlapiskan kulit lembut, tangannya direntangkan untuk melepas lelah. Kini pandangannya mengarah ke langit-langit.

“Iya. Itu kebijakan baru dari Kakek. Dia khawatir kalau ada mata-mata dari Marinau yang menyusup ke sini. Jadi, dia membuat sistem persuratan dalam istana supaya pesan yang disampaikan sesuai dengan kehendak pengirimnya.”

Liam memberi sedikit jeda. “... Sejatinya masing-masing pesan dalam surat haruslah bersandi untuk menjaga keaslian dan kerahasiaannya. Namun, karena aku tahu kalau Kak Dayna sudah hafal dengan tulisan tanganku, dan juga ditambah dengan Rose yang mengantarkannya, kupikir tidak ada alasan bagiku untuk menyandikannya.”

“Begitu, ya. Sulit dipercaya kalau sampai saat ini kita masih saja berperang dingin dengan Marinau. Sudah 13 tahun, kan?”

Ekspresi Liam berubah menjadi serius setelah aku berkata begitu. Kini duduknya kembali tegap. Sorot matanya yang tadinya tampak lelah, berubah menjadi tajam. Kedua tangannya saling meremas dan mengepal, merefleksikan amarah yang selama ini dia pendam.

“Tiga belas tahun? ... Jalan pikiranku jarang sekali searah dengan kakek tua itu, kecuali untuk satu hal, Marinau!”

DRAK!

Gebrakan penuh amarah.

“Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku benar-benar berharap negeri itu tidak pernah ada. Eksistensi mereka hanyalah sebuah kesalahan, dan setiap orang yang tinggal di sana layak untuk masuk neraka.”

Aku terdiam, saat ini adalah momen terburuk untuk mengajaknya bicara. Namun, dengan segala kerelaan hatiku, jika dipikirkan kembali, apa yang Liam katakan mungkin ada benarnya. Jika Marinau tidak pernah ada, mungkin ayah… Ah, tidak. Semua yang terjadi tak usah disesali.

Suasana ruangan kini hening, yang terdengar hanyalah suara jam dinding yang berdetak setiap kali masuk ke detik yang baru. Aku masih menunggu.

“Maaf, aku sedikit terbawa suasana tadi.” Liam menunduk, kedua telapak tangannya saling menggenggam, menahan malu.

“Tak apa. Terkadang melampiaskan segala kekesalan merupakan langkah yang baik untuk menenangkan hati.” Aku berkata dengan lembut, menatapnya lemah tanpa jeda. Jika saja kami duduk bersebelahan, mungkin aku sudah memeluknya erat.

“Yah!” Liam menghela napas sejenak, “Seharusnya memang seperti itu.” Ekspresinya yang tadinya kaku, kini telah kembali luwes. Matanya sedikit melebar seakan menemukan harapan baru. Senyum kecil yang jarang ditunjukkannya, kali ini dia perlihatkan kepadaku.

Seperti biasa setelah itu kami membicarakan berbagai topik, mulai dari kegiatan kami masing-masing sampai topik-topik tidak penting seperti menebak bagaimana lahirnya peribahasa tertentu (tidak berfaedah sekali).

Tak terasa sudah tiga per empat jam berlalu. Aku yang teringat kalau malam ini ada janji dengan seorang teman, memutuskan untuk menutup obrolan kami.

Aku beranjak dari posisi duduk, merapikan rokku kemudian bersiap untuk meninggalkan ruangan. “Jika tidak ada hal penting lain yang harus dibicarakan, aku pamit dulu. Ada kegiatan yang harus kulakukan setelah ini.”

“Oh, baik kalau begitu.” Liam ikut berdiri kemudian membersamaiku keluar ruangan.

Sebelum kami berpisah, aku memberinya sedikit nasihat supaya dia lebih memperhatikan orang-orang di sekitarnya dan tidak terlalu bekerja secara berlebihan.

“Terima kasih, Kak. Selama ini kamu selalu membantuku. Sampai saat ini aku tak tahu bagaimana cara membalasnya.”

“Kamu ini bicara apa? Sudah menjadi kewajiban seorang kakak untuk membantu adiknya, lagian kita ini keluarga, kan?”

Liam melemparkan senyumannya kepadaku, menandai berakhirnya pertemuan kami.

...----------------...

Setiap kali aku merenung mengenai keluarga, Liam-lah yang selalu ada di benakku. Hal itu bukanlah tanpa alasan, bagaimanapun juga hanya dia satu-satunya yang aku punya. Ibunda telah pergi meninggalkanku jauh bahkan sebelum aku menginjak usia dua tahun. Sementara Ayah.. ah, mengingat apa yang terjadi selalu saja membuat dadaku terasa sesak. Lalu, bagaimana dengan Kakek? Dia selalu saja mementingkan legasinya. Nenek? Tak pernah sekalipun aku punya kesempatan untuk melihat wajahnya.

Kenyataan pahit itu entah mengapa juga dialami oleh Liam. Paman telah pergi bersamaan dengan perginya Ayah. Sementara Bibi yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri, juga pergi meninggalkan kami tak lama setelah paman dan ayah pergi. Aku masih mengingat betul, hari itu kami berdua menangis tersedu-sedu ketika mengetahui kabar perginya bibi.

Sungguh ironi, mengingat Avirona dikenal sebagai Kota Tua Penyembuh. Namun, tak ada satu pun obat yang mampu menyelamatkan Ibunda maupun Bibi.

Lantas untuk apa julukan itu?

Hari itu, aku yang kesal dan kecewa, akhirnya memutuskan untuk menempuh jalan medis sebagai pelampiasan atas ketidakberdayaanku dalam menyelamatkan mereka.

Perjalananku tidaklah mudah, tapi juga tidak sulit. Sebagai seorang bangsawan yang mendapatkan seluruh akses pengetahuan, dan ditambah dengan sedikit kerja keras, tak butuh waktu lama sampai aku meraih apa yang kuinginkan.

Penelitian, studi, penyembuhan, semuanya telah aku raih di Avirona. Bahkan sekarang ini, aku yakin kalau legasiku sebagai tabib muda penuh pengalaman, juga sudah tersebar luas. Namun, entah mengapa hati ini sering kali masih terasa kosong.

Sejujurnya aku bukanlah orang yang bijak, dan tidak akan pernah menjadi yang seperti itu. Hanya saja jika dengan Liam, aku harus melakukan sebuah pengecualian. Dia tidak memiliki seseorang yang membimbingnya, karena itulah aku yang harus menjadi orang itu.

Mungkin dua atau tiga tahun yang akan datang, akan menjadi tahun terakhir di mana dia masih bisa menjalani hidupnya dengan normal. Setelah itu semuanya pasti akan berubah. Dan tentu, aku tidak ingin melihatnya gagal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!