I. 2 - Angin Berputar, Ombak Bersabung (I)

“Ah! Tuan Putri, di sini ternyata. Saya telah mencari Anda ke mana-mana."

Dari kejauhan, tampak seorang gadis berjalan menghampiriku. Dia mengenakan setelan putih dilengkapi zirah parsial pada badan dan pundaknya. Juga membawa pedang kecil yang bersarang rapi di sabuk bagian kiri.

Pengawal pribadinya Liam, ya? Langkah dan pikiranku terhenti sejenak, mencoba mengenali wajah kekanak-kanakannya yang terlihat tak asing. Huh, selama sebulan ini aku harus mengingat banyak nama baru, kini memoriku malah mengosongkan nama-nama lama.

Gadis itu kini telah berada tepat di hadapanku, kulihatnya kembali dengan teliti. Walau lebih pendek dariku, tubuhnya tetap terlihat kuat dan tegap.

“Rose?”

Langkahnya perlahan terhenti kemudian memberi salam penghormatan ala kesatria Avirona kepadaku. Sekali lagi kulihat wajahnya tak menunjukan ekspresi kebingungan. Bisa kupastikan, aku mengenalinya dengan benar.

“Ada perlu apa? Jarang sekali kamu menemuiku sendirian begini. Di mana Liam?"

Duh, karena sudah lama tak bertemu, untuk sesaat aku hampir saja lupa siapa namanya. Untungnya, mata hitam dan rambut cokelatnya yang dikucir dapat mengail kembali ingatanku. Tapi ya, melupakan nama sesorang memang perkara mumalukan. Serius.

“Oh, kebetulan sekali.” Rose mengeluarkan sebuah surat dari dalam kantongnya lalu diberikannya padaku.

“Pangeran Liam tadi berpesan kepadaku kalau ini adalah urusan penting, tetapi tidak mendesak. Jadi, jikalau Tuan Putri ada waktu luang, Pangeran Liam meminta Anda untuk datang menemuinya.”

“Begitu rupanya. Terima kasih.”

Aku membuka surat itu dengan perlahan. Di dalamnya terdapat selembar kertas bertuliskan tulisan tangan bersambung yang tak begitu rapi, mirip ceker ayam. Ugh! Astaga, tak kusangka aroma tintanya masih tercium pekat, ini surat dadakan, ya?

Yah, kabar baiknya, dengan dua karakteristik itu aku dapat memastikan kalau surat yang kupegang saat ini memang asli cap tangan Liam. Bukan yang ada badaknya. Sekarang mari kubaca, apa yang menyebabkan orang yang tinggal seatap denganku sampai harus mengirimkan surat secara formal seperti ini.

𝒦𝑒𝓅𝒶𝒹𝒶 𝒜𝓎𝓊𝓃𝒹𝒶 𝒟𝒶𝓎𝓃𝒶 𝒯𝑒𝓇𝓈𝒶𝓎𝒶𝓃𝑔.

𝒜𝒹𝒶 𝒽𝒶𝓁 𝓅𝑒𝓃𝓉𝒾𝓃𝑔 𝓎𝒶𝓃𝑔 𝒽𝒶𝓇𝓊𝓈 𝓀𝒾𝓉𝒶 𝒷𝒾𝒸𝒶𝓇𝒶𝓀𝒶𝓃.

𝒯𝑒𝓇𝓉𝒶𝓃𝒹𝒶 𝒜𝒹𝒾𝓀 𝒯𝑒𝓇𝒸𝒾𝓃𝓉𝒶𝓂𝓊, 𝒲𝒾𝓁𝓁𝒾𝒶𝓂.

Hanya ini? Aku membalik lembaran yang kupegang. Kosong, sepertinya yang kubaca tadi memanglah isi dari keseluruhan surat.

“Haah..” Aku menghela napas kecil kemudian melirik sekilas. Rose mengangguk, mengisyaratkan kalau aku sudah membaca semuanya.

“Bagaimana, Tuan Putri?” tanyanya takzim, tepat setelah aku merapikan kembali lembaran tadi ke dalam surat.

Pertanyaan itu membuatku berpikir sejenak. Karena saat ini aku sedang senggang, mungkin lebih baik aku menemuinya sekarang. “Tak masalah, mari kita temui dia.”

Ruangan Sang Putra Mahkota terletak tepat di jantung istana ini. Jadi, tentu jaraknya cukup jauh dari serambi luar lantai atas. Untuk mencapai ruangan itu, kami harus berulang kali menuruni tangga serta melewati koridor-koridor yang berbelit.

Mengingat betapa luasnya istana ini juga membuatku berat hati pada Rose. Tak bisa kubayangkan betapa sukarnya dia mencariku. Dasar Liam, apa yang menjadi pertimbangannya sampai harus menyuruh seorang gadis untuk melakukan hal-hal seperti ini. Jika memang penting, harusnya dia menemuiku secara langsung.

Tapi kalau diingat lagi, sebenarnya aku belum bertemu Liam sama sekali setelah mendapat pekerjaan baru. Kalau tak salah, sudah tepat tiga minggu semenjak terakhir kali aku bertegur sapa dengannya. Aku jadi penasaran, apa kegiatannya setelah resmi menjadi penerus takhta. Mungkin dia memanggilku hanya untuk menjadi pendengar keluh kesahnya.

“Rose, ngomong-ngomong, menurutmu apa Liam sudah melakukan pekerjaannya dengan baik?”

Rose tersenyum. “Iya. Sekarang ini, Pangeran sudah lebih disiplin dan terjadwal. Dalam seminggu ini pun dia banyak membantu Yang Mulia dalam menyelesaikan pekerjaannya.”

“Yang benar? Tak kusangka dia bisa akur dengan Kakek.”

“Percayalah, Tuan Putri. Sekarang ini Yang Mulia sudah rutin membagi pekerjaannya dengan Pangeran.”

Sulit kupercaya. Mengingat sifat Liam yang sedikit temperamen dan tidak suka diperintah, tak kusangka dia sekarang ini sudah rutin membantu Kakek.

“Um... bicara mengenai pekerjaan, bagaimana dengan Anda sendiri, Tuan Putri? Kudengar Anda sekarang bekerja sebagai guru pengganti di Akademi Amary."

Setelah sekian lama, akhirnya ada orang yang peduli dan menanyakan hal itu kepadaku.

“Semuanya berjalan lancar kok, aku menyukai pekerjaan baruku ini. Walaupun yah, sepertinya sulit untuk membayangkan kalau aku bisa menjadi guru yang akrab dengan murid-muridnya.”

“Sulit akrab dengan murid Anda? Bagaimana maksudnya?”

“Rose, kamu tahu? Dengan mata biru dan rambut pirang panjang ini, mereka dapat dengan mudah mengenali siapa diriku. Mungkin karena hal itu, sikap mereka menjadi formal dan kaku setiap kali aku bertemu dengan mereka. Padahal saat berada di akademi, aku ingin diperlakukan sama seperti guru-guru lainnya.”

“Begitu rupanya. Tetapi, bisa kupastikan kalau sikap mereka itu merupakan bentuk rasa hormat terhadap Anda.”

Kata-katanya langsung membuatku mengernyit. “Begitu?”

“Yap! Anda merupakan salah satu sosok yang banyak berkontribusi dalam bidang pengetahuan di era ini. Tidak heran jika Anda begitu dihormati di lingkungan akademi.”

Aku tersenyum puas. Memang sudah sepatutnya apresiasi yang tinggi didapat oleg Tuan Putri yang cerdas, bermartabat, dan juga rendah hati sepertiku ini.

Setelah beberapa saat, kami akhirnya sampai di balairung bagian utara. Artinya, tinggal satu koridor lagi sebelum kami sampai di ruangannya Liam. Daripada kami saling membisu sampai ke sana, aku mencoba membuka kembali pembicaraan kami yang sempat terputus.

“Rose, bagaimana statusmu dengan Liam sekarang?”

“Ah! Sekarang ini saya telah resmi menjadi pengawal pribadinya.”

“Senang mendengar itu. Tapi, yang kumaksud adalah hubunganmu dengannya. Bagaimana? Apakah sudah ada kemajuan?”

Cepat sekali, wajahnya langsung memerah. “Ka-kalau itu bagaimana ya? Saya juga tidak tahu.”

Jawaban yang tidak yakin, benar-benar memancingku untuk bersilat lidah. “Rose, kamu ini gadis yang beruntung, loh. Liam itu tipe orang yang tak mudah percaya pada orang lain. Jika dia sampai mengangkatmu menjadi pengawal pribadinya, itu artinya dia sangat memercayaimu.”

 

Langkah kami sedikit melambat setelah aku berkata begitu. Bisa dipastikan kalau Rose ingin mendengar lebih banyak mengenai Liam dariku. Yah, sebagai seorang gadis yang pernah tersakiti, lebih baik aku membimbingnya untuk sesuatu yang tidak dapat kumiliki. Setidaknya untuk saat ini.

Aku menatapnya serius. “Selagi situasinya masih terbuka, lebih baik kamu memanfaatkannya dengan baik. Aku berani bertaruh kalau Liam tak akan pernah sudi untuk dijodohkan, tapi di lain sisi dia juga tipe yang loyal terhadap pasangannya. Jadi, misalnya kamu keduluan perempuan lain, pupus sudah harapanmu.”

“Seperti itu, ya? Ini merupakan pengetahuan yang baru untukku. Um.. Tuan Putri, jadi kira-kira apa yang harus saya lakukan?”

Mungkin menggoda atau merayunya? Itu saran yang bagus, tapi bukan saran yang layak untuk disampaikan seorang bangsawan sepertiku.

“Kalau soal itu, kamu harus mencari tahunya sendiri.” Aku menaikkan telunjuk, mencoba mempraktikan kecakapan nonverbaku. “Begini Rose, sebuah pendekatan akan berjalan lebih mulus jikalau kamu mampu menemukan metodemu sendiri.”

Rose tertegun, kata-kata bijak yang entah kudapat dari mana tampaknya berhasil mengenai hati seseorang.

“Sepertinya mulai sekarang saya harus lebih berusaha lagi,” ujarnya dengan tangan mengepal ke atas, berseri.

Aku manggut-manggut mantap. “Nah, itu baru semangat! Rose, aku menantikan momen di mana kamu memanggilku dengan sebutan 'kakak'."

Candaanku membuat tawa kecil kami bersemi, sekaligus mengakhiri langkah kami yang telah sampai ke tujuan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!