Lentera lumiere menyala tak terlalu terang juga tak terlalu redup, menerangi sebuah tempat di mana kenangan dan gagasan bermekaran.
“Bersulang! Untuk ulang tahun ke-20 serikat ini!” teriak salah seorang pria yang berdiri sambil memegang segelas bir.
Serentak, para pria lainnya juga mengangkat gelas mereka kemudian saling meraung, "BERSULANG~!"
Situasi kedai benar-benar riuh malam ini. Banyak pekerja yang merayakan hari jadi serikat mereka.
Heran, mengapa mereka memilih tempat ini? Padahal mereka bisa saja merayakannya di tempat lain, pondok mereka misalnya.
Kuhela napasku, menarik kembali segala jenis sikap nigrat-ku yang terlalu congkak. Yah, tak apa lah, namanya juga tempat umum. Berbagi dan memahami sesama adalah langkah yang tepat jika aku ingin dipandang tinggi dan dihormati.
Mengesampingkan hal itu, aku mengeluarkan jam saku dari dalam tas selempangku. Kini sudah terlewat lima belas menit. Namun, orang yang kutunggu masih juga belum datang, padahal dialah yang memintaku untuk datang ke sini.
Sambil menunggunya, aku mengisi perutku dengan puding almond yang telah kupesan tadi. Rasa manis dan lembut ini, umm… aku bisa saja menghabiskan lima piring untuk hidangan pencuci mulut satu ini.
“Bagaimana pudingnya Tuan Putri?” Salah seorang pelayan yang baru saja mengantar makanan, singgah sebentar untuk basa-basi denganku.
“Sempurna seperti biasanya,” jawabku penuh senyum.
Dia membalas senyumanku, kemudian menimpali dengan takzim. “Senang mendengarnya. Kalau ada menu lain yang ingin Anda pesan, kami dengan senang hati akan menyajikannya.”
“Terima kasih. Aku akan menuturkannya nanti.”
“Baik kalau begi-“
Drak!
Suara pintu yang tergebrak cukup keras tiba-tiba memotong percakapan kami. Tampak seorang perempuan berambut oranye sebahu yang baru saja masuk. Dia mengenakan baju, celana, dan sepatu bot yang masing-masing didominasi oleh warna cokelat.
Napasnya terengah-engah bagaikan baru dikejar rentenir pemegang sabit. Tangan kirinya mengusap-usap dadanya sementara tangan kanannya membawa sebuah kantong kecil yang entah apa isinya. Menengok ke sana kemari, mata oranye gelapnya menyisir seluruh pandangan yang dapat dia lihat.
Sadar dialah yang aku tunggu, aku segera melambaikan tanganku seraya memanggilnya. “Yuuka! Sini!”
Sadar dirinya dipanggil, Yuuka bergegas menghampiriku, kemudian menyatukan telapak tangannya menyimbolkan permintaan maaf.
“Maaf, Dayna. Aku telat, ada urusan mendadak tadi.”
Yuuka Hayakawa, 18 tahun, sebaya denganku. Dia adalah seorang petualang, juga pendatang yang berasal dari Sejikawa. Namun, karena terbawa angin, selama 4 bulan ini dia berada di Avirona. Meskipun menjadi seorang petualang yang melakukan berbagai kegiatan di luar, perawakannya tetap mulus tanpa ada sedikitpun bekas luka.
Pertemuan pertamaku dengannya ialah ketika aku sedang menjalani penelitianku di sudut kota bagian selatan. Kala itu reguku dan regunya kebetulan mencari hal yang sama, yaitu batu timantti. Masih kuingat betul, karena regu merekalah yang pertama mendapatkan batu itu, kala itu aku harus merogoh kocekku sedalam mungkin serta menjalani negosiasi yang alot supaya mereka mau menjualnya.
Kesanku terhadapnya, sudah pasti, mata duitan. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata dia tidak sepenuhnya begitu. Setelah pertemuan pertama, bagaikan diikat oleh takdir, kami jadi sering bertemu. Dalam berbagai kesempatan itu pula, dia dengan senang hati membantu dalam melakukan berbagai hal yang tidak dapat dilakukan oleh bangsawan sepertiku.
Ah, dan sebagai tambahan, mungkin Yuuka adalah satu-satunya orang bukan bangsawan yang memanggilku dengan nama depan.
“Urusan apa? Jangan bilang berjudi lagi.” Aku mencomel, sigap menatapnya tanpa henti.
Yuuka hanya nyengir, membuang muka. “Anu, bagaimana, ya? Enggak bisa dibilang begitu sih.”
Tambahan lagi, dalam berbicara, Yuuka kerap kali menggunakan kata-kata gaul yang terkesan rancu dan ambigu. Karena itu, terkadang aku tidak bisa memahami apa yang coba dia sampaikan.
“Lalu mengapa kamu terengah-engah begitu? Kalau berkaca dari pengalaman, bukankah biasanya kamu dikejar para pekerja yang geram gara-gara kalah berjudi denganmu?” Aku mencoba menerka, tak mungkin Yuuka berlarian ke sini hanya karena tak ingin membuatku menunggu.
“Tentu bukan!” Yuuka memekik ringan, masih kelelahan. “Aku berlari ke sini karena tak ingin membuatmu menunggu lama. Lagian, tadi itu aku cuma sedikit melakukan perjanjian.”
Perjanjian? Perjanjian dalam aturan berjudilah pasti yang dia maksud.
“Ai, pelayan-san aku ingin pesan!” Yuuka menghentikan langkah salah seorang pelayan yang baru saja lewat.
“Baik, Anda ingin pesan apa?” tanya pelayan itu.
“Tolong, satu kue tarcis apel dan teh hangat.”
“Baik, tunggu sebentar. Akan kami siapkan.”
Perlahan, setelah pelayan itu meninggalkan kami, Yuuka menyeka keningnya, membersihkan sisa-sisa keringat banting tulangnya, kemudian segera membuka pembicaraan.
“Dayna, coba lihat ini.” Yuuka mengeluarkan sebuah benda bercahaya dari dalam kantong yang dia bawa.
“Cahaya biru, ini pasti blue lumiere!” seruku terkejut. “Dapat dari mana?”
Lumiere adalah sejenis batu yang mampu mengeluarkan cahaya tatkala malam hari. Untuk jenisnya dibedakan menurut warnanya. Putih dan kuning menjadi warna yang paling umum, sedangkan biru menjadi salah satu yang paling langka. Aku cukup terkejut karena Yuuka mampu mendapatkannya, mengingat blue lumiere bukan berasal dari Avirona.
“Hehe, mantap, kan?” Yuuka menyeringai bangga, mencoba berlagak ampuh. “Aku dapat ini lewat seorang pendatang dari Shalovka. Tak kusangka, dia mau menjualnya dengan harga murah.”
“Begitu? Lalu mau kamu apakan blue lumiere ini?” tanyaku sembari meraih batu itu, melihatnya dengan teliti, lalu mengusapnya lembut. Bentuknya limas dua pucuk, lancip, bersisi banyak, tapi tetap terlihat sistematis. Indah sekali.
Yuuka sekali mengerjap, mengendurkan badannya, bersedekap, lalu berujar dengan nada puas. “Dah pasti, aku akan menjualnya balik. Dengan harga yang lebih mahal tentunya.”
“Parah! Jadi, hobimu sekarang adalah menipu turis, ya?” Aku membalas spontan, mengecam gadis bermata duitan yang melakukan tindak kriminal legal di negeri tempatku tinggal.
Alis Yuuka langsung berkerut, dia tahu kalau titahku bisa membuatnya masuk bui. “Eh? Dayna, kata-katamu itu selalu saja nyelekit. Mana mungkin aku melakukan hal kejam seperti itu. Dah kubilang, kan? Kami terikat oleh sebuah perjanjian.”
“Pesanan Anda.” Seorang pelayan membawakan kue tarcis dan teh yang telah Yuuka pesan.
“Ai, terima kasih,” balasnya tersenyum.
Berbicara mengenai tempat seperti Shalovka, aku jadi teringat kembali mengenai tindak lanjut dari proposal ekspedisiku. Kebetulan, di hadapanku ada seorang petualang, mungkin lebih baik aku meminta pendapatnya.
“Yuuka, apa kamu tahu seberapa jauh Lionne dari sini?” Aku bertanya, menyaksikan atraksinya yang cekatan menggunakan pisau dan garpu.
Yuuka menghibahkan sepotong kue tarcis itu ke dalam perutnya, memberi jeda sejenak sebelum menjawab pertanyaan dariku. “Heh? Kenapa kamu tanya begitu?”
“Mungkin dalam waktu dekat, aku akan melakukan ekspedisi ke sana.”
“Ekspedisi? Ekspedisi apaan?”
“Ekspedisi penelitian,” jawabku memungkasi. Lalu bertanya kembali mengembalikan topik. “Jadi, seberapa jauh?”
Yuuka berpikir sejurus, menyeka mulutnya menggunakan tisu, kemudian baru menjawab, “Lionne itu cukup jauh dari sini. Setidaknya butuh tiga bulan penuh untuk sampai ke sana.”
“Tiga bulan?”
Yuuka mengangguk kecil, menjawab keraguanku.
“Aku rasa itu bukanlah waktu yang lama. Apa kamu juga tahu rute ke sana?”
“Kalau hanya rutenya aku sih tahu, tapi aku belum pernah ke sana.”
Balasan itu mengakhiri serangkaian sesi tanya jawab kami. Yuuka menyantap kue tarcisnya kembali. Aku merenung sejenak, meski sudah memiliki gambaran mengenai tipe orang seperti apa yang ingin kurekrut dalam tim ekspedisi nanti, aku sama sekali belum menentukan siapa saja namanya dengan pasti.
Pertama, aku butuh seorang navigator. Seorang pemandu arah yang tahu menahu seputar tempat dan tujuan. Seseorang yang dapat kupercayai dan tentu sudah berpengalaman mengenai cara hidup di luar ruangan.
Aku memandang Yuuka sebentar. Kebetulan? Kupikir dia memenuhi seluruh kriteria yang aku renungkan tadi.
“Yuuka, aku sedang mencari orang untuk ekspedisiku nan-“
“Bewrawpa baywarannyaw?” Yuuka menyela, masih memamah. Bisa kudengar kecapan lidahnya.
Aku menyodorkan tehnya, sekali-kali bersikap bijak. “Habiskan dulu baru bicara.”
Setelah makanannya tertelan, minum sebentar, Yuuka akhirnya kembali berujar, “Berapa bayarannya?”
Sesuai dugaanku, insting mata duitannya langsung aktif. Pertanyaan yang sungguh-sungguh layak atau lebih tepatnya wajib untuk diajukan kepada bangsawan kaya raya manapun yang sedang meminta uluran tangan.
“Tolong dengarkan dulu penjelasanku,” pintaku, memohon selayaknya kucing jalanan yang meminta belas kasih pada pejalan kaki. Aku memang penuh ego, tapi dalam beberapa situasi, aku lebih memilih untuk melunak.
Yuuka menggeleng-geleng tak puas, sedikit bersungut membalas tatapanku. “Ku tak mau dengar sebelum ku tahu berapa bayarannya.”
Argh! Kata-kata lemahku tadi tak ada efeknya, ya? Mentang-mentang aku orang kaya. Sekali lagi, dia berniat untuk menguras isi kantongku.
Kuhela napasku, gantian bersungut. “Seratus keping emas Avirona, bagaimana? Itu nominal yang banyak, kan?”
Yuuka tertegun, matanya melebar. Yah, 100 keping emas Avirona memang bukanlah nominal yang sedikit, bahkan untuk orang sepertiku.
“Oke! Dayna, mari dengar penjelasanmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments