“Dayna, ayah ingin bertanya. Apa Dayna tahu seberapa luas dunia yang kita tempati saat ini?"
Dayna menggeleng kecil. Sebagai seorang bangsawan yang hidupnya hanya sebatas di istana, tentu kebingunganlah yang didapat dari pertanyaan tersebut. Kendati ‘dunia’ sudah acap kali dia dengar, namun entah mengapa kata itu masih terasa asing di benaknya. Mungkin karena dia masih belia, mungkin juga karena kata itu memiliki ambiguitas yang tinggi.
“Seberapa luas? Um, entahlah, Dayna tak tahu. Mungkin saja seluas Avirona ini." Dengan lagak polos, Dayna merentangkan tangannya, menggambarkan seberapa luas istana yang mereka tinggali.
Ayahnya tersenyum, saksama memandang gadis kecilnya kemudian bertutur, “Dayna, dunia ini masih lebih luas lagi. Di luar sana, ada banyak tempat seperti Avirona."
Dayna mendongak lembut, membalas tatapan ayahnya. “Maksudnya?"
Ayahnya menoleh, pandangannya terarah ke ujung yang dipenuhi cahaya. “Tunggu, ya. Nanti Dayna pasti tahu.”
Sembari bergandengan tangan, mereka berjalan menyusuri koridor istana menuju ke serambi bagian luar. Sesampainya di sana, ayahnya lekas melipat lutut, mensejajarkan tingginya dengan Dayana kemudian menempatkan telunjuknya ke arah utara.
“Dayna, ada banyak tempat di dunia ini. Misalnya, jauh di kaki pegunungan utara sana terdapat Kekaisaran Sejikawa," ujarnya dengan iris biru berkilau, merefleksikan cahaya senja.
“Mana, Ayah? Tidak kelihatan.” Berjinjit, Dayna mencoba melihat tempat yang ditunjuk oleh ayahnya sekalipun pandangannya masih terhalang pagar serambi yang cukup tinggi.
Senyum simpul ayahnya langsung tersungging. Dengan nada kalem, dilontarkanlah sebuah candaan kepada Dayna. “Ternyata gadis kecil ayah ini masih belum tumbuh besar, ya?”
“Ah! Ayah ini bagaimana? Dayna sudah 5 tahun, loh! Dulu Ayah pernah bilang kalau Dayna ini sudah besar!” Dayna merengut, menanggapi candaan dengan gerundel tipis penuh antusiasme sambil mengisyaratkan untuk digendong.
“Iya. Dayna sudah besar, kok. Sini.” Sembari menggendong, ayahnya melangkah menuju ujung serambi.
Di tempat ayahnya berdiri, untuk pertama kalinya Dayna dapat melihat pemandangan kota bagian utara. Di saat itu juga, matanya langsung tertuju ke bangunan-bangunan yang berada di bawahnya. Dia terkejut melihat beberapa bangunan yang dikenalnya ternyata tampak begitu mungil jika dilihat dari atas.
Belum selesai mengenali seluruh bangunan, pandangannya langsung beralih ke sungai yang membelah kota. Dilihatnya arah aliran sungai itu sampai ke ujungnya yang ternyata mengarah ke sebuah area hijau. Area itu tampak begitu luas dan terbagi-bagi dengan rapi. Seketika, dia langsung teringat dengan buku yang baru dia baca tadi pagi. Ada sebuah deskripsi dalam buku itu yang sama persis dengan apa yang dia lihat saat ini. Ya, tempat itu pasti adalah padang rumput dan sawah.
Pemandangan kota bagian utara yang begitu indah tentu membuatnya terkesima. Matanya berkaca-kaca, hatinya tertegun. Batinnya lantas bertanya-tanya, mengapa selama ini ayahnya tidak pernah mengajaknya untuk melihat sesuatu yang menakjubkan seperti ini?
Ekspresi yang Dayna tunjukkan cukup membulatkan hati ayahnya untuk menunjuk kembali apa yang coba dijelaskannya tadi.
“Dayna coba lihat, di utara sana ada bagian yang terlihat lebih tinggi dari area sekitarnya. Nah, itulah gunung. Karena jumlahnya tidak hanya satu maka gunung-gunung yang berjejer itu disebut sebagai pegunungan.”
Dayna lekas memayungi kedua indrea biru miliknya, memandangi dengan jeli area yang ayahnya tunjuk. Dia mendapati visual yang begitu indah, lebih indah dari lukisan-lukisan karya seniman antah berantah yang terpampang nyata di dinding istana.
“Yang mana, Ayah?” Dayna bergantian menunjuk. “Apakah yang terlihat berwarna biru hijau itu?”
“Iya, itu. Pintarnya anak ayah.”
Dayna merasakan sebuah usapan yang begitu lembut, membelai rambutnya dengan halus. Ah, gadis mana yang tak ingin rambutnya diusap oleh seorang pangeran tampan dan rendah hati? Setidaknya di Avirona, tidak ada yang berkata ‘tidak’.
Naluriah, Dayna langsung berkacak pinggang saraya berujar dengan nada bangga dan puas. “Hmph! Dayna memanglah pintar!”
Kemudian menggeleng-geleng cepat lalu sekali lagi dipungkasi oleh kata-kata membanggakan diri. “Mungkin lebih pintar dari gadis kecil manapun di dunia ini. Iya, pasti begitu!”
Seketika, ayahnya terkekeh riang. Dayna lantas menerka dalam hati, mungkin ayahnya sedang bertanya-tanya siapa yang mengajarinya sifat congkak seperti itu. Akan tetapi, dia rasa ayahnya tak akan pernah menemukan siapa orang itu. Karena congkak dan angkuh sudah merupakan sifat bawaan sedari dirinya lahir. Yah, mungkin turunan dari ibundanya.
Ayahnya melanjutkan, “Nah, sekarang coba Dayna lihat kembali. Di bawah pegunungan itu ada area yang kelihatan lebih datar. Area itulah yang disebut dengan kaki gunung, dan jauh di sana terdapat Kekaisaran Sejikawa.”
“Tidak kelihatan apa-apa dari sini,” balas Dayna sembari memayungi kembali kedua buah mata kecilnya.
“Kalau dilihat dari kejauhan seperti ini memang tidak terlihat. Kita baru bisa melihatnya tatkala berada di jarak yang cukup dekat.”
Dayna menoleh, menatap sejenak ayahnya kemudian bertanya, “Eh? Apakah Sejikawa sejauh itu?"
“Sebenarnya tempatnya cukup jauh dari sini. Namun, jika dibandingkan dengan kerajaan atau kota lain, Sejikawa-lah yang paling dekat. Kelak, Dayna pasti tahu tatkala mengunjunginya sendiri.”
Penjelasan demi penjelasan dari ayahnya semakin membeludakkan rasa penasarannya. Tanpa jeda, Dayna langsung melontarkan beberapa pertanyaan. “Sejikawa tempatnya itu seperti apa? Apakah seperti Avirona? Dan kapan Dayna bisa mengunjunginya?”
Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, ayahnya malah bertanya balik dengan disertai candaan bergaya pangeran-pangeran muda. “Oh, sepenasaran itukah dirimu, wahai gadis kecilku?”
“Iya!” balas Dayna yakin, seyakin penganut teori bumi datar.
Masih melirikan matanya, Dayna melihat jelas ayahnya sedang merenung juga entah kenapa sesekali tampak tertegun.
“Kalau menurut Ayah, Sejikawa adalah tempat yang begitu unik dan paling berbudaya di Benua Putih ini. Misalnya, bangunan-bangunan di sana memiliki arsitektur ketimuran yang begitu kontras dengan yang ada di Avirona. Tak hanya itu, gaya pakaian mereka juga begitu ciamik dan indah.”
Mendengar penjelasan itu, ekspresi Dayna yang tadinya penasaran seketika jadi bersemangat. “Wah, kelihatannya menarik sekali, ya. Jadi, kapan? Kapan? Dayna bisa mengunjunginya?” Ditanyai kembali ayahnya dengan pertanyaan yang belum terjawab.
“Hmm, kapan, ya…?” Ayahnya mengeratkan gendongannya, was-was kalau anak semata wayangnya terlalu bergairah. “Tentu saja besok ketika Dayna sudah besar, mungkin kalau sudah berumur belasan tahun. Yang mana Dayna sudah tidak perlu digendong ayah lagi untuk melihat pemandangan kota bagian utara ini.“
“Berarti itu masih lama, kan? Dayna ingin pergi ke sana besok pagi!”
“Yah, masih belum bisa kalau besok pagi. Dayna harus berlatih bersabar, kalau dinikmati tumbuh dewasa itu tidak lama kok.” Ayahnya memberi sedikit jeda, sejurus merenung lantas meneruskan. “Sebagai gantinya, besok ketika Dayna sudah besar, ayah akan mengajak Dayna berpetualang ke berbagai tempat. Tidak hanya ke Sejikawa saja, melainkan juga ke tempat-tempat lain seperti ke Kota Padang Pasir Dustown, atau ke Negeri Lionne yang untuk mencapainya harus menggunakan kapal.“
Dayna semakin menggebu-gebu, kedua tangannya terangkat. “Eh? Benarkah? Ayah tidak bohong, kan?”
“Iya, mana mungkin ayah membohongi gadis manis ayah,” balasnya sembari sekali lagi mengusap rambut gadis kecilnya.
Dayna tersipu, wajahnya memerah, malu-malu menampakkan jari kelingkingnya. “Kalau begitu janji, ya!”
“Iya, ayah janji.“ Kalem, lembut. Balasan yang tak mungkin didapat oleh gadis kecil manapun.
Kedua kelingking itu saling berkaitan menandakan sebuah janji yang telah terikat.
“Yei! Kalau begitu Dayna ingin cepat-cepat tumbuh besar!” Kedua lengan Dayna terangkat tinggi, memekik bahagia kemudian memeluk ayahnya seerat mungkin.
“Nah, itu baru namanya anak ayah!”
Percakapan antara ayah dan anak itu berakhir beriringan dengan terbenamnya sang surya. Bersama mereka melihat panorama yang kala itu kelihatan begitu megah.
...----------------...
Sudah 13 tahun berlalu. Kini setiap senja aku hanya bisa berpuisi, mengingat kembali janji yang kami buat pada hari itu. Janji di mana kami dapat berpetualang bersama, melewati padang pasir dan mengarungi lautan. Janji yang selalu aku nanti-nantikan, sayang tidak akan pernah datang.
Aku tahu itu hanyalah janji seorang anak kecil. Namun, entah mengapa hati ini begitu berat untuk merelakannya. Sungguh aku ingin melihat dunia yang selalu ayah banggakan.
Ah… andaikan ayah masih ada di sisiku.
Andaikan.
“Ah! Tuan Putri, di sini ternyata. Saya telah mencari Anda ke mana-mana."
Dari kejauhan, tampak seorang gadis berjalan menghampiriku. Dia mengenakan setelan putih dilengkapi zirah parsial pada badan dan pundaknya. Juga membawa pedang kecil yang bersarang rapi di sabuk bagian kiri.
Pengawal pribadinya Liam, ya? Langkah dan pikiranku terhenti sejenak, mencoba mengenali wajah kekanak-kanakannya yang terlihat tak asing. Huh, selama sebulan ini aku harus mengingat banyak nama baru, kini memoriku malah mengosongkan nama-nama lama.
Gadis itu kini telah berada tepat di hadapanku, kulihatnya kembali dengan teliti. Walau lebih pendek dariku, tubuhnya tetap terlihat kuat dan tegap.
“Rose?”
Langkahnya perlahan terhenti kemudian memberi salam penghormatan ala kesatria Avirona kepadaku. Sekali lagi kulihat wajahnya tak menunjukan ekspresi kebingungan. Bisa kupastikan, aku mengenalinya dengan benar.
“Ada perlu apa? Jarang sekali kamu menemuiku sendirian begini. Di mana Liam?"
Duh, karena sudah lama tak bertemu, untuk sesaat aku hampir saja lupa siapa namanya. Untungnya, mata hitam dan rambut cokelatnya yang dikucir dapat mengail kembali ingatanku. Tapi ya, melupakan nama sesorang memang perkara mumalukan. Serius.
“Oh, kebetulan sekali.” Rose mengeluarkan sebuah surat dari dalam kantongnya lalu diberikannya padaku.
“Pangeran Liam tadi berpesan kepadaku kalau ini adalah urusan penting, tetapi tidak mendesak. Jadi, jikalau Tuan Putri ada waktu luang, Pangeran Liam meminta Anda untuk datang menemuinya.”
“Begitu rupanya. Terima kasih.”
Aku membuka surat itu dengan perlahan. Di dalamnya terdapat selembar kertas bertuliskan tulisan tangan bersambung yang tak begitu rapi, mirip ceker ayam. Ugh! Astaga, tak kusangka aroma tintanya masih tercium pekat, ini surat dadakan, ya?
Yah, kabar baiknya, dengan dua karakteristik itu aku dapat memastikan kalau surat yang kupegang saat ini memang asli cap tangan Liam. Bukan yang ada badaknya. Sekarang mari kubaca, apa yang menyebabkan orang yang tinggal seatap denganku sampai harus mengirimkan surat secara formal seperti ini.
𝒦𝑒𝓅𝒶𝒹𝒶 𝒜𝓎𝓊𝓃𝒹𝒶 𝒟𝒶𝓎𝓃𝒶 𝒯𝑒𝓇𝓈𝒶𝓎𝒶𝓃𝑔.
𝒜𝒹𝒶 𝒽𝒶𝓁 𝓅𝑒𝓃𝓉𝒾𝓃𝑔 𝓎𝒶𝓃𝑔 𝒽𝒶𝓇𝓊𝓈 𝓀𝒾𝓉𝒶 𝒷𝒾𝒸𝒶𝓇𝒶𝓀𝒶𝓃.
𝒯𝑒𝓇𝓉𝒶𝓃𝒹𝒶 𝒜𝒹𝒾𝓀 𝒯𝑒𝓇𝒸𝒾𝓃𝓉𝒶𝓂𝓊, 𝒲𝒾𝓁𝓁𝒾𝒶𝓂.
Hanya ini? Aku membalik lembaran yang kupegang. Kosong, sepertinya yang kubaca tadi memanglah isi dari keseluruhan surat.
“Haah..” Aku menghela napas kecil kemudian melirik sekilas. Rose mengangguk, mengisyaratkan kalau aku sudah membaca semuanya.
“Bagaimana, Tuan Putri?” tanyanya takzim, tepat setelah aku merapikan kembali lembaran tadi ke dalam surat.
Pertanyaan itu membuatku berpikir sejenak. Karena saat ini aku sedang senggang, mungkin lebih baik aku menemuinya sekarang. “Tak masalah, mari kita temui dia.”
Ruangan Sang Putra Mahkota terletak tepat di jantung istana ini. Jadi, tentu jaraknya cukup jauh dari serambi luar lantai atas. Untuk mencapai ruangan itu, kami harus berulang kali menuruni tangga serta melewati koridor-koridor yang berbelit.
Mengingat betapa luasnya istana ini juga membuatku berat hati pada Rose. Tak bisa kubayangkan betapa sukarnya dia mencariku. Dasar Liam, apa yang menjadi pertimbangannya sampai harus menyuruh seorang gadis untuk melakukan hal-hal seperti ini. Jika memang penting, harusnya dia menemuiku secara langsung.
Tapi kalau diingat lagi, sebenarnya aku belum bertemu Liam sama sekali setelah mendapat pekerjaan baru. Kalau tak salah, sudah tepat tiga minggu semenjak terakhir kali aku bertegur sapa dengannya. Aku jadi penasaran, apa kegiatannya setelah resmi menjadi penerus takhta. Mungkin dia memanggilku hanya untuk menjadi pendengar keluh kesahnya.
“Rose, ngomong-ngomong, menurutmu apa Liam sudah melakukan pekerjaannya dengan baik?”
Rose tersenyum. “Iya. Sekarang ini, Pangeran sudah lebih disiplin dan terjadwal. Dalam seminggu ini pun dia banyak membantu Yang Mulia dalam menyelesaikan pekerjaannya.”
“Yang benar? Tak kusangka dia bisa akur dengan Kakek.”
“Percayalah, Tuan Putri. Sekarang ini Yang Mulia sudah rutin membagi pekerjaannya dengan Pangeran.”
Sulit kupercaya. Mengingat sifat Liam yang sedikit temperamen dan tidak suka diperintah, tak kusangka dia sekarang ini sudah rutin membantu Kakek.
“Um... bicara mengenai pekerjaan, bagaimana dengan Anda sendiri, Tuan Putri? Kudengar Anda sekarang bekerja sebagai guru pengganti di Akademi Amary."
Setelah sekian lama, akhirnya ada orang yang peduli dan menanyakan hal itu kepadaku.
“Semuanya berjalan lancar kok, aku menyukai pekerjaan baruku ini. Walaupun yah, sepertinya sulit untuk membayangkan kalau aku bisa menjadi guru yang akrab dengan murid-muridnya.”
“Sulit akrab dengan murid Anda? Bagaimana maksudnya?”
“Rose, kamu tahu? Dengan mata biru dan rambut pirang panjang ini, mereka dapat dengan mudah mengenali siapa diriku. Mungkin karena hal itu, sikap mereka menjadi formal dan kaku setiap kali aku bertemu dengan mereka. Padahal saat berada di akademi, aku ingin diperlakukan sama seperti guru-guru lainnya.”
“Begitu rupanya. Tetapi, bisa kupastikan kalau sikap mereka itu merupakan bentuk rasa hormat terhadap Anda.”
Kata-katanya langsung membuatku mengernyit. “Begitu?”
“Yap! Anda merupakan salah satu sosok yang banyak berkontribusi dalam bidang pengetahuan di era ini. Tidak heran jika Anda begitu dihormati di lingkungan akademi.”
Aku tersenyum puas. Memang sudah sepatutnya apresiasi yang tinggi didapat oleg Tuan Putri yang cerdas, bermartabat, dan juga rendah hati sepertiku ini.
Setelah beberapa saat, kami akhirnya sampai di balairung bagian utara. Artinya, tinggal satu koridor lagi sebelum kami sampai di ruangannya Liam. Daripada kami saling membisu sampai ke sana, aku mencoba membuka kembali pembicaraan kami yang sempat terputus.
“Rose, bagaimana statusmu dengan Liam sekarang?”
“Ah! Sekarang ini saya telah resmi menjadi pengawal pribadinya.”
“Senang mendengar itu. Tapi, yang kumaksud adalah hubunganmu dengannya. Bagaimana? Apakah sudah ada kemajuan?”
Cepat sekali, wajahnya langsung memerah. “Ka-kalau itu bagaimana ya? Saya juga tidak tahu.”
Jawaban yang tidak yakin, benar-benar memancingku untuk bersilat lidah. “Rose, kamu ini gadis yang beruntung, loh. Liam itu tipe orang yang tak mudah percaya pada orang lain. Jika dia sampai mengangkatmu menjadi pengawal pribadinya, itu artinya dia sangat memercayaimu.”
Langkah kami sedikit melambat setelah aku berkata begitu. Bisa dipastikan kalau Rose ingin mendengar lebih banyak mengenai Liam dariku. Yah, sebagai seorang gadis yang pernah tersakiti, lebih baik aku membimbingnya untuk sesuatu yang tidak dapat kumiliki. Setidaknya untuk saat ini.
Aku menatapnya serius. “Selagi situasinya masih terbuka, lebih baik kamu memanfaatkannya dengan baik. Aku berani bertaruh kalau Liam tak akan pernah sudi untuk dijodohkan, tapi di lain sisi dia juga tipe yang loyal terhadap pasangannya. Jadi, misalnya kamu keduluan perempuan lain, pupus sudah harapanmu.”
“Seperti itu, ya? Ini merupakan pengetahuan yang baru untukku. Um.. Tuan Putri, jadi kira-kira apa yang harus saya lakukan?”
Mungkin menggoda atau merayunya? Itu saran yang bagus, tapi bukan saran yang layak untuk disampaikan seorang bangsawan sepertiku.
“Kalau soal itu, kamu harus mencari tahunya sendiri.” Aku menaikkan telunjuk, mencoba mempraktikan kecakapan nonverbaku. “Begini Rose, sebuah pendekatan akan berjalan lebih mulus jikalau kamu mampu menemukan metodemu sendiri.”
Rose tertegun, kata-kata bijak yang entah kudapat dari mana tampaknya berhasil mengenai hati seseorang.
“Sepertinya mulai sekarang saya harus lebih berusaha lagi,” ujarnya dengan tangan mengepal ke atas, berseri.
Aku manggut-manggut mantap. “Nah, itu baru semangat! Rose, aku menantikan momen di mana kamu memanggilku dengan sebutan 'kakak'."
Candaanku membuat tawa kecil kami bersemi, sekaligus mengakhiri langkah kami yang telah sampai ke tujuan.
Seperti biasa, ruangan Sang Putra Mahkota selalu dijaga. Tampak dua kesatria sedang berdiri di sisi kanan dan kiri pintu ruangan itu. Berbeda dengan Rose, mereka mengenakan zirah secara lengkap dari sepatu sampai helmnya.
Setelah memastikan siapa kami, mereka lantas memberi hormat kepadaku lalu mempersilakan kami untuk mengetuk pintu. Aku menatap Rose, mengisyaratkan supaya dia saja yang memanggil Liam.
“Permisi, Pangeran. Putri Dayna telah datang menemui Anda.”
Tidak ada jawaban.
“Pangeran, Putri Dayna datang menemui Anda,” Rose sedikit meninggikan suaranya.
Kami tunggu sebentar, tetap tak ada jawaban yang datang. Khawatir kalau terjadi sesuatu, tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam ruangan, diikuti Rose yang mengekor di belakangku.
Walau hanya sebatas ruangan pribadi, ruangan ini sudah cukup luas untuk memuat meja kerja, rak buku, dua bangku berhadapan serta meja tamu yang masing-masing disusun sebaris menghadap ke pintu masuk.
Kulihat ada banyak lembaran-lembaran kertas yang berserakan di atas meja, tapi tak ada satupun orang di ruangan ini.
“Di mana Pangeran William?!” Panik, Rose langsung keluar sembari berteriak kepada para kesatria penjaga itu.
“Dari tadi kami tidak melihat Pangeran keluar,” jawab salah seorang penjaga yang juga langsung memasuki ruangan.
“Tapi, dia tidak ada di sini!” Sekali lagi, Rose menyentak mereka dengan cukup keras.
“Tenang Rose. Tak perlu panik,” sahutku cepat seraya memberi gestur tangan supaya para penjaga itu tetap berada di ruangan ini.
Demi Raphael, sudah berapa kali aku harus menghela napas hari ini? Sungguh merepotkan. Aku pikir kebiasaan buruknya itu sudah hilang, ternyata belum, ya? Dengan teliti aku melangkah mengitari ruangan, dan benar saja di balik meja kerja yang lebarnya cukup panjang itu, aku mendapati seorang anak laki-laki sedang tertidur pulas di lantai.
Karena dia begitu mirip denganku, tak perlu kudeskripsikan ciri-cirinya secara terlalu spesifik. Yang penting wajahya tentu rupawan dengan mata biru dan rambut pirang pendek. Tinggi badanya saat ini kira-kira sama denganku meskipun umur kami terpaut 3 tahun. Dia juga mengenakan setelan formal bercorak biru Avirona, sama seperti yang aku kenakan saat ini.
Padahal kami bukanlah saudara kandung, tapi entah mengapa kami begitu mirip. Mungkin satu-satunya pembeda hanyalah wajah kami yang saling merepresentasikan ayah-ibu masing-masing.
Kulihat kembali, di atas meja kerjanya terdapat banyak lembaran kertas, dokumen, buku, dan barang-barang yang tak tertata dengan rapi. Parahnya lagi, ada teko dan cangkir penuh teh yang diletakan di dekat dokumen yang kelihatannya penting itu.
Sebenarnya aku ingin Rose saja yang membangunkannya. Namun, karena aku yakin dia pasti tidak merasa nyaman, maka aku sendirilah yang melakukannya.
“Oi! Liam, bangun! Kamu tadi memanggilku ke sini, kan?” Aku mencubit-cubit pipi bulatnya itu.
Sementara dia hanya mengolet sambil berkata, “Ngh, sudah saatnya sarapan, kah?”
Lonceng istana berbunyi tak lama setelah dia berkata begitu, menandakan bahwa saat ini tepat pukul 6 malam. Aku penasaran seberapa berat pekerjaannya, sampai-sampai dia ngelantur jauh begitu.
“Iya, dan Yang Mulia Arthur meminta Anda untuk sarapan dua mata dengannya. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.” Aku mencoba menyelaraskan intonasiku seperti suara pelayan kami.
Sekejap Liam langsung terbangun sambil mengeluarkan kalimat khasnya secara tidak sadar. “Argh! Bisakah dia menunggu sebentar? Ganggu tidurku saja!”
Melihat kami yang ada di hadapannya, geraknya macet untuk sesaat. Dia lantas menatapku dengan sinis, sementara aku hanya bisa menutupi senyum kucingku.
Tak butuh waktu lama, setelah itu Liam langsung bangun, merapikan setelannya kemudian memandangi kami seraya berkata kepada para penjaga, “Tak apa, kalian bisa meninggalkan kami.”
Setelah memberi hormat, penjaga-penjaga itu langsung keluar meninggalkan ruangan.
“Sekali lagi, terima kasih atas bantuanmu hari ini Rose. Karena sudah mulai larut kamu boleh meninggalkan kami.” Liam mempersilakan Rose untuk menyudahi pekerjaannya hari ini.
“Baik, kalau begitu saya undur diri. Tolong jaga diri Anda.”
Aku dan Rose saling melambaikan tangan sebagai salam perpisahan. Kini dalam ruangan, hanya menyisakan kami berdua. Tanpa disuruh, aku langsung duduk di bangku kiri yang berarah siku dari meja kerja Liam. Sambil mencamil kudapan yang telah disediakan di atas meja, aku menunggunya untuk mengatakan sesuatu.
“Terima kasih telah meluangkan waktumu untuk menemuiku, Ayunda.”
Ayunda? Kelakar macam apa ini? Tak biasanya dia memanggilku demikian.
Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali mencemil kudapan yang telah disediakan.
“Ayunda! Mohon, sertakan aku dalam ekspedisimu!”
Huh…?
Ekspedisi…?
Ekspedisi apaan…?
...----------------...
...----------------...
# Kilas Balik
Sekitar 3 bulan yang lalu, aku berkunjung ke perpustakaan yang letaknya bersebelahan dengan Akademi Amary, tempatku mengajar saat ini.
Di sana, aku menyempatkan diri untuk membaca kumpulan laporan penelitian lawas yang tidak dipublikasikan secara umum oleh pihak kerajaan. Kala itu ada satu laporan yang berhasil membuat keningku berkerut.
...----------------...
“𝐏𝐄𝐌𝐁𝐄𝐍𝐀𝐑𝐀𝐍 𝐀𝐃𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐓𝐄𝐑𝐀𝐓𝐀𝐈 𝐄𝐌𝐀𝐒, 𝐎𝐋𝐄𝐇 𝐖𝐀𝐑𝐓, 𝐓𝐀𝐇𝐔𝐍 𝟏𝟒𝟑𝟓 𝐀”.
Judul yang aneh untuk sebuah laporan resmi, pantas saja laporan ini tidak dipublikasikan. Lagian, Wart itu siapa?
Setidaknya aku sudah membaca puluhan laporan-laporan lawas. Namun, belum sekalipun aku melihat namanya disebut dalam laporan manapun. Yah, tapi siapa peduli? Aku sendiri tidak pernah mempermasalahkan nama ataupun judul, karena yang terpenting adalah isinya, kan?
Sebelum membuka laporan, seperti biasa aku selalu mengamati bentuk dan cetakannya. Meskipun sudah berusia 41 tahun dan diletakkan di bagian arsip, laporan ini masih tampak terawat. Tak ada tekukan, kerutan, maupun coretan pada lembar sampulnya. Ah, sepertinya gaji para pustakawan perlu dinaikkan lagi.
Setelah merasa puas dengan kondisi laporan yang masih bagus, aku lantas membukanya dengan hati-hati kemudian mulai membaca abstraknya.
𝒯𝑒𝓇𝒶𝓉𝒶𝒾 𝐸𝓂𝒶𝓈, 𝓀𝑒𝒷𝒶𝓃𝓎𝒶𝓀𝒶𝓃 𝑜𝓇𝒶𝓃𝑔 𝓅𝒶𝓈𝓉𝒾 𝓂𝑒𝓃𝑔𝒾𝓇𝒶 𝒷𝒶𝒽𝓌𝒶 𝓀𝑒𝒷𝑒𝓇𝒶𝒹𝒶𝒶𝓃𝓃𝓎𝒶 𝒽𝒶𝓃𝓎𝒶 𝒶𝒹𝒶 𝒹𝒶𝓁𝒶𝓂 𝒹𝑜𝓃𝑔𝑒𝓃𝑔. 𝒩𝒶𝓂𝓊𝓃, 𝓉𝒾𝒹𝒶𝓀 𝒹𝑒𝓃𝑔𝒶𝓃𝓀𝓊! 𝒟𝑒𝓂𝒾 𝑅𝒶𝓅𝒽𝒶𝑒𝓁 𝒴𝒶𝓃𝑔 𝒜𝑔𝓊𝓃𝑔! 𝒜𝓀𝓊 𝓂𝑒𝓁𝒾𝒽𝒶𝓉𝓃𝓎𝒶 𝓈𝑒𝓃𝒹𝒾𝓇𝒾 𝒹𝒾 𝒞𝒶𝓂𝓁𝒶𝓃𝓃! 𝑀𝑒𝓃𝑔𝒶𝓂𝒷𝒶𝓃𝑔 𝒹𝒾 𝒶𝓉𝒶𝓈 𝒹𝒶𝓃𝒶𝓊! 𝒲𝒶𝓇𝓃𝒶𝓃𝓎𝒶 𝑒𝓂𝒶𝓈 𝒷𝑒𝓇𝓀𝒾𝓁𝒶𝓊! 𝓅𝑒𝓇𝓈𝒾𝓈 𝓈𝑒𝓅𝑒𝓇𝓉𝒾 𝓎𝒶𝓃𝑔 𝒶𝒹𝒶 𝒹𝒶𝓁𝒶𝓂 𝒹𝑜𝓃𝑔𝑒𝓃𝑔 𝒢𝒶𝒹𝒾𝓈 𝒟𝒶𝓃𝒶𝓊!
Baik, cukup sampai di sini. Walaupun ditulis dengan tulisan bersambung yang rapi, kewarasan Wart masih perlu dipertanyakan lagi. Apakah dia menulis dalam keadaan tak sadarkan diri? Atau dia hanya mendapat wangsit yang berlebih? Entahlah, yang penting abstraknya benar-benar tak berkaidah.
Kecewa dengan ekspektasiku sendiri, aku mengembalikan laporan yang bercetak tipis itu ke rak bagian atas. Kini perhatianku teralih ke dongeng Gadis Danau yang sebenarnya sudah pernah aku baca ketika masih kecil. Memang dalam dongeng itu dikisahkan adanya teratai emas, tetapi keberadaannya hanya sekadar disebutkan dan tak mengambil peran penting dalam alur kisah utama.
Tunggu sebentar. Gadis Danau?
Merasa pengetahuanku masih dangkal, aku lantas mencari dongeng itu di perpustakaan. Beruntungnya bagian fiksi berada di lantai yang sama dengan bagian arsip. Jadi, tak butuh waktu lama bagi seorang kutu buku sepertiku untuk menemukannya.
Dikarenakan Gadis Danau adalah dongeng yang pendek, dan berkat kemampuan membacaku yang cepat, aku hanya memerlukan waktu sekitar seperempat jam untuk menyelesaikannya. Setelah selesai membaca, aku akhirnya menyadari kalau dongeng yang bertemakan romansa itu ternyata diambil dari kisah nyata.
Kalau teratai emas itu benar adanya, menurut Gadis Danau seharusnya lokasinya berada di Negeri Lionne. Namun, mengapa Wart menyebut bunga itu ada di Camlann. Aneh sekali, apa tadi aku tak membacanya dengan benar? Sepertinya perlu kupastikan lagi.
Aku mengambil kembali laporan itu, lalu membaca abstraknya sekali lagi sampai tuntas. Gaya tulisan dan tata bahasa orang ini, sulit kupercaya, tetapi firasatku mengatakan kalau dia memang tidak berbohong.
Menyadari fakta yang tentu masih abu-abu itu, aku langsung membalik laporan itu ke halaman selanjutnya, berharap ada sesuatu yang mengejutkanku. Dan benar saja, halaman selanjutnya memang mengejutkanku, kenapa? Karena halaman-halaman selanjutnya sampai ke lembaran terakhir, semuanya serba putih polos. Tak ada satupun goresan tinta yang terlihat.
Apa maksudnya ini?
Aku mematung untuk waktu yang cukup lama. Berpikir, berpikir, dan berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk mengurai beberapa petunjuk yang ada.
Wart? 1435 A? Camlann?
Di seluruh penjuru Avirona, seharusnya tak ada lagi orang dengan nama tunggal. Bahkan yatim piatu di panti asuhan pun semuanya punya nama belakang. Namun, mengapa orang ini bernama tunggal? Apa Wart hanya nama samaran?
Tahun 1435 A adalah tahun di mana terjadinya perang kecil di Camlann, daerah tandus yang terletak di utara Shalovka. Aku tak tahu persis bagaimana detailnya, tapi yang pasti perang kecil itu terjadi hanya karena kesalapahaman.
Perlahan, namun pasti. Aku akhirnya dapat menarik benang merah dari petunjuk-pentunjuk yang ada. Pada saat itu juga, aku langsung mencari biografi kakekku.
Tidak salah lagi, satu-satunya alasan mengapa laporan tak lengkap dengan abstrak tak berkaidah dapat diterima ialah karena pembuatnya adalah putra mahkota kala itu, Arthur Caledonia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!