Sang Pangeran Pengembara
Kaisar Tang berdiri di sebuah padang kosong nan luas. Dilihatnya seorang pria berjanggut yang mengenakan jubah putih dengan surban senada. Korset erat mengikat di pinggangnya. Ia berdiri tegap dengan kewibawaan yang memancar hebat. Pria berjanggut tebal itu memiliki aura seorang sage, aura kebijaksanaan yang akan membawa suatu negeri menuju kejayaan.
Ada pula makhluk aneh yang lebih layak dipanggil monster. Dua tanduk runcing tumbuh di kepalanya. Matanya merah menyala, menunjukkan murka. Miasma tebal mengepul dari jiwanya. Segala hal yang ia lewati menjadi layu oleh kesuramannya. Jelas sekali bahwa monster itu adalah roh jahat yang membawa bencana di seantero dunia.
Dalam kebingungan, Kaisar Tang berdiri termangu. Ia bertanya-tanya, tapi tak kuasa sedikit pun untuk berkata. Dilihatnya sang pria bersurban menengadahkan tangan ke langit. Pria itu berkomat-kamit dengan wajahnya yang teduh lagi penyayang.
Si monster bertanduk geram bukan kepalang. Ia berteriak lantang. Kaisar Tang pun menutup kedua telinganya spontan. Teriakan lantang itu amat memekik telinga siapa pun yang mendengarnya. Lama kelamaan, suaranya menjadi pilu. Monster itu kesakitan. Ia menghilang seketika bagai debu yang ditiup angin.
Pandangan Kaisar Tang pun terangkat. Kini ia seakan dibawa melihat padang itu dari atas bukit yang tinggi. Tampak cahaya yang amat terang-benderang turun dari langit. Cahaya itu menyiram sang pria bersurban yang masih menengadahkan tangannya tinggi.
Dalam sekejap, cahaya yang turun pada sang sage itu menyebar ke seluruh penjuru dengan membawa kehangatan dan kesejukan. Ufuk Timur dan Barat pun menjadi cerah olehnya. Segala hal yang tadi dirusak oleh miasma sang monster, kini menjadi padang subur nan indahnya tak terkira. Sungguh rahmat dan keberkahan yang amat besar untuk alam semesta.
Kaisar Tang terbangun begitu cahaya itu menembus pandangannya. Ia pun segera duduk. Peluh keringat bercucuran di wajahnya. Napasnya terengah-engah bagai orang yang nyaris tertimpa hal besar, tapi belum jelas rimbanya. Ia tak dapat kembali tertidur sampai permaisuri pun ikut terbangun dan membantunya menenangkan diri.
Ketika subuh mulai bernapas, Kaisar Tang segera mengirim para pesuruh untuk memanggil seluruh keluarganya, para menteri cendekiawan, dan para panglima. Mereka semua berkumpul di ruang takhta yang luas. Tiap orang duduk pada kursi yang telah ditentukan. Keluarga dalam kaisar duduk di tempat terdekat. Keluarga luarnya duduk di lantai atas. Para menteri di sisi kanan, sedangkan para panglima di sisi kiri.
Kaisar Tang pun menceritakan mimpinya. Ia lantas meminta pendapat semua orang tentangnya. Mereka terdiam dan berpikir dalam. Selama beberapa jenak, tak ada suara bising kecuali bisik-bisik mengenai mimpi sang kaisar.
Setelah Kaisar Tang mengulang pertanyaannya, satu per satu pendapat dikemukakan. Namun, tak ada satu pun yang dapat memuaskan rasa keingintahuannya. Kebanyakan mereka hanya beromong kosong dan mengatakan secara tersirat bahwa mimpi itu hanyalah mimpi kosong belaka. Kesarjanaan mereka seolah tak berguna bagai buku-buku di atas keledai .
Bangkitlah seorang pangeran dari keluarga dalam kaisar. Usianya terlihat masih kurang dari dua puluh tahun, tapi aura cendekiawan terpancar darinya. Keyakinan dan percaya diri tercetak tebal di dahinya. Ia merasa mampu menafsirkan mimpi sang kaisar dengan berita yang dibawanya.
"Sebutkan namamu dan jelaskan!" Kaisar Tang mempersilakan putranya untuk bicara.
"Li Fengying memberi salam kepada Baginda Kaisar," kata si pangeran memulai penjelasannya, "Saya baru pulang dari Quanzhou beberapa hari lalu. Di sana terdapat banyak orang-orang asing yang membawa berita dari negerinya masing-masing. Dari mereka, saya mendengar berita yang cukup menggemparkan."
Li Fengying berhenti sejenak sehingga membuat orang-orang penasaran. Mereka memasang telinga rapat-rapat, menanti kabar yang dibawa sang pangeran muda. Ia pun lantas melanjutkan, "Di Barat telah muncul orang yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang utusan Tuhan untuk alam semesta. Ia mengajak kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan kebajikan, serta melarang perbuatan mungkar. Sosoknya dikenal penuh kasih sayang dan dapat dipercaya. Namun, kaumnya menentang ia dan enggan meninggalkan dewa-dewa mereka demi Tuhan Yang Mahasatu. Saat ini, ia telah berhijrah ke kota lain dan mendapat dukungan yang besar di sana. Dari kota itu, ia mulai menyatukan suku-suku di jazirahnya."
Li Fengying kembali terdiam. Ia mengambil napas sejenak, lalu melanjutkan, "Sosok yang Baginda Kaisar lihat kemungkinan adalah orang itu. Sosoknya sangat mirip dengan sang Maitreya yang dijanjikan. Muridnya berjumlah ribuan. Adapun monster yang Baginda Kaisar lihat adalah jelmaan iblis dengan kejahatan yang mengikutinya. Ia akan lenyap dengan kehadiran agama yang dibawa utusan Tuhan itu."
"Li Fengying, Putraku. Lalu, apakah cahaya yang menyebar ke seluruh penjuru itu?" tanya Kaisar Tang mulai mendapat pencerahan mengenai mimpinya. Tinggal potongan terakhir saja yang belum terjawab. Li Fengying pun berkata, "Cahaya itu adalah agama yang diturunkan padanya. Agama itu akan menyebar ke seluruh dunia dengan waktu yang amat cepat. Termasuk Benua Timur dan Kekaisaran Tang kita."
“Bagaimana kamu bisa yakin dengan pendapatmu itu?” Kaisar Tang belum sepenuhnya percaya. Li Fengying pun menjawab, “Saya membaca dan mempelajari kitab.”
Kaisar Tang pun puas dengan jawabannya. Diskusi mengalir. Seorang menteri ikut mengkonfirmasikan adanya berita itu. Walau telah dijelaskan secara rinci, tetap saja lebih banyak orang yang tidak percaya dan menganggapnya angin lalu belaka.
Melihat kecerdasan dan kebijaksanaan Li Fengying, sang kaisar memberinya istana di dekat Pagoda Pustaka, pusat administrasi dan dokumentasi Kekaisaran Tang sejak dinasti sebelumnya. Ia juga diangkat sebagai Pangeran Zhìzhě. Pangeran yang di masa depan akan bertanggung jawab atas urusan diplomatik antarnegara.
Waktu pun berlalu. Kaisar Tang sempat mengundang orang-orang asing yang dimaksud Li Fengying. Di antara mereka terdapat banyak pengikut sang utusan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mengajarkan kepada sang kaisar mengenai agamanya.
Kaisar Tang setuju dengan konsep-konsep dasar dan ajaran perdamaian yang mereka bawa. Namun, tidak diketahui jelas bagaimana keputusannya. Tak lama kemudian, ia mangkat dan digantikan oleh salah seorang putranya.
Li Fengying yang tidak tertarik dengan takhta lebih memilih untuk menyibukkan diri di Pagoda Pustaka dan Istana Pangeran Zhìzhě. Ia hidup dengan damai dan sering menanti kabar dunia yang dibawa para saudagar. Sesekali ia dimintai saran oleh saudara kaisarnya atau para menteri dan panglima. Ia pun dikenal sebagai Pangeran Pandita yang memiliki kedekatan dengan orang-orang asing di Kekaisaran Tang.
...***...
Langit malam begitu menawan. Luasnya tak terbilang. Walau gelap, ada bulan dan bintang-bintang bak mutiara yang menghiasinya. Orang bijak akan memikirkannya, mencari-cari rahasia yang disembunyikannya. Mereka yang beruntung akan mendapat petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.
"Sungguh mahakarya nan agung. Adakah gerangan yang dapat mengalahkan keagungannya?" Li An gumamkan kata yang ia baca di Pagoda Arsip Kecil pagi ini. Dalam kesendiriannya, ia duduk bersandar jendela sambil menatap purnama yang terang. Bocah itu pun mengulurkan tangan seakan hendak meraih bintang, "Langit itu, bagaimana caranya agar bisa kugenggam?"
Malam adalah waktu yang paling indah bagi Li An. Rasanya tenang dan sunyi. Jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang penuh keruwetan. Ia adalah pangeran penyendiri. Ibu kandungnya wafat setelah melahirkannya. Namun, kasih sayang yang dalam masih dapat dirasakannya.
Di siang hari, ia hanya bisa bersembunyi. Kalau ia menampakkan diri, mungkin ia akan dibunuh suatu saat nanti. Ia sering membaca literatur-literatur dari zaman Kekaisaran Han. Sekalipun ia hanyalah putra seorang selir, ia akan dalam bahaya jika ikut campur dalam urusan takhta dan negara.
Literatur-literatur itu mengantarkan sejarah kepada Li An. Walaupun usianya baru menginjak delapan tahun, ia sudah bisa mengerti bagaimana tangan penguasa kotor dan ternoda oleh darah. Perang saudara, perebutan takhta, dan persaingan hegemoni. Semua itu adalah hal-hal yang paling Li An benci. Hanya karena sebuah singgasana bersepuh emas, untuk apa saling membunuh?
Lagi pula, Li An tidak memiliki kekuatan yang bisa mendukungnya. Mendiang ibunya hanyalah wanita lemah dari suku minoritas kecil yang tidak dikenal. Ia bahkan tak pernah bertemu dengan orang-orang dari suku ibunya. Di istana kekaisaran, ia hanya tinggal dengan ibu persusuannya yang juga seorang selir. Dari selir itulah kasih sayang sang ibu terwariskan.
"Sayang, k belum tidur?" seorang wanita bergaun merah terang membuka pintu kamar Li An. Wanita itu mendekat dan duduk di samping Li An. Diacaknya rambut bocah itu dengan gemas. Ia pun kembali bertanya, "Kenapa belum tidur? Takut tidur sendiri, ya?"
"Bunda," Li An menggeleng dan meletakkan kepalanya di pangkuan wanita itu, lantas menjawab, "Aku suka malam."
Wanita itu adalah Selir Ai. Ia ibu asuh yang merawat Li An sejak lahir. Selir itu pula yang memberinya nama An. Ia selalu berharap agar putra sahabatnya itu dapat hidup dengan damai sesuai namanya. Li An telah mengisi hati keibuannya. Dari beberapa kali melahirkan, tak seorang pun buah hatinya selamat. Hanya Li An yang tersisa baginya.
"Li An mau jadi apa kalau sudah besar nanti?" tanya Selir Ai sambil mengelus-elus kepala Li An. Rambut anak itu tergerai sangat panjang. Warnanya hitam mengkilap disiram cahaya bulan yang temaram. Di matanya yang jernih terkandung kesucian hati nan murni.
"Aku akan menjaga Bunda," jawab Li An dengan polosnya. Ia pun tertawa senang. Baginya, Selir Ai adalah orang paling baik dan tercinta. Selir Ai pun ikut tertawa. Ia mencubit dengan gemas pipi putra persusuannya. Anak itu adalah permata hatinya yang paling berharga.
Mata Li An perlahan tertutup. Ia tertidur dalam pangkuan sang ibu yang senantiasa tulus merawatnya. Dalam kedamaian yang terukir dengan namanya, ia memimpikan masa depan yang tenang lagi cerah. Ia pun yakin bahwa harmoni ini akan berlangsung selama-lamanya.
Sinar mentari hangat menggelitik pipi Li An di pagi hari. Bocah itu pun terbangun dan mendapati langit yang sudah terang benderang. Ia lantas duduk mengumpulkan nyawanya sejenak. Begitu merasa segar, ia langsung bangkit dan merapikan kasurnya.
Tidak ada seorang pelayan pun yang melayaninya. Bukannya ia tidak diberi. Sebagai seorang pangeran, ia pantas mendapat itu. Ia hanya tidak menginginkannya saja. Lebih baik tidak membiarkan siapa pun mengintip keseharian sederhananya. Cukup Selir Ai yang ada di sisinya.
Pangeran kecil itu berjalan mengendap-endap ke sebuah bangunan tinggi yang atapnya menutupi tiap-tiap tingkat. Lentera-lentera merah terpasang di setiap sudut atap paling rendah dan akan dinyalakan pada malam hari. Sebuah papan nama terpasang di pintunya. Di situ tertulis nama “Pagoda Arsip Kecil” yang menandakan bahwa bangunan itu adalah cabang dari Pagoda Pustaka.
Li An mengenakan pakaian yang biasa dikenakannya setiap hari. Tidak glamor maupun kumuh. Dilihatnya para pangeran dan putri kaisar lainnya tengah bermain di salah satu taman dari istana. Ia tidak peduli dan melewatinya begitu saja. Bocah itu pernah mengalami hal buruk saat mencoba berbaur dengan mereka. Ia hanya akan mempermalukan ibunya jika datang ke sana. Anak-anak itu lebih tinggi derajatnya daripada ia yang hanya putra seorang selir.
"Kakek Ma, aku datang," ucap Li An saat memasuki Pagoda Arsip Kecil. Perpustakaan kecil itu juga peninggalan dari dinasti sebelumnya. Ia bertahan bersama pustakawan tua yang selalu menjaganya. Pria yang dipanggil Kakek Ma itu juga peninggalan dinasti sebelumnya, mantan sarjana tinggi pemerintah yang bertahan di Pagoda Arsip Kecil.
"Oh! Selamat datang, Pangeran Kedelapan. Anda sungguh pangeran muda yang rajin. Anda akan menjadi orang besar di masa depan," sambut seorang pria beruban dengan senyum yang ramah. Surban futou terpasang di kepalanya, menunjukkan kalau ia adalah seorang cendekiawan. Selama hidupnya yang nyaris seabad, ia telah membaca hampir semua buku di Pagoda Pustaka dan cabang-cabangnya.
"Hehe ... siapa yang tahu?" balas Li An dengan tawa kecilnya yang menggemaskan. Ia pun memilah-milah buku dan gulungan yang menarik perhatiannya. Setelah mendapat apa yang ia cari, pangeran kecil itu berjalan ke baca favoritnya. Jika ada kata yang sulit ia mengerti, ia akan bertanya langsung pada Kakek Ma.
Begitulah rutinitasnya berlalu. Ia hidup dalam pengasingan diri di tengah buku-buku dan aksara. Tanpa peduli dengan kebisingan di istana, ia terus membaca dan membaca.
Namun, kedamaian dan kesunyian yang dirasakannya itu tidak berlangsung lama. Ketika angin berhembus lembut di siang yang sejuk, ketika Li An sedang asyik bersenda gurau dengan ibunya tercinta, ketika kedamaian itu seolah akan berlangsung selamanya, atmosfer di Kediaman Selir Ai tiba-tiba berubah. Ketenangan yang terasa abadi di tempat itu retak seketika.
Kediaman Selir Ai digedor dengan keras. Seorang pelayan pun membisikkan sesuatu kepada Selir Ai sehingga air mukanya menjadi keruh. Li An memang masih sangat muda saat itu, tapi ia bisa mengerti kalau ibunya sedang dalam masalah.
"Li An, ke mari!" Selir Ai menarik Li An secepat mungkin ke dalam salah satu ruang di kediamannya. Ia pun berlutut dan memeluk putra persusuannya dengan erat. Selir kaisar itu sudah tahu bahwa peristiwa ini akan segera terjadi sejak ia terseret ke dalam sebuah kasus yang bahkan tidak disentuhnya sama sekali. Ia tidak bisa terlepas dari intrik-intrik di Istana Keabadian Abadi. Paling tidak, ia harus melindungi putra semata wayangnya tercinta.
Li An sangat terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Sakit dan perih menyayat hatinya. Ketakutan pun mulai menyusup ke dalam relung kalbunya. Ia mencengkeram gaun Selir Ai kuat-kuat saking takutnya.
"Li An, apa pun yang terjadi, tetaplah di sini! Jangan sekali-kali keluar," kata Selir Ai serius. Wajah ayunya yang tegang membuat kekhawatiran Li An menumpuk di atas ketakutannya. Air mata bocah itu mulai mengalir di pipi. Tangisnya yang hening menunjukkan segudang tanda tanya.
"Kamu," panggil Selir Ai dengan suara bergetar. Tangannya juga gemetaran membelai pipi Li An yang basah. Bayang-bayang sahabatnya tersungging dalam wajah sedih anak itu. "Kamu sangat mirip dengan ibumu, bahkan saat menangis. Aku minta maaf … harusnya aku menemanimu sampai akhir."
Selir Ai mengusap air mata Li An yang semakin deras. Isak tangis bocah itu jelas sekali menunjukkan bahwa ia tidak ingin berpisah. Selir Ai mengendurkan raut wajahnya. Senyum mengembang di bibir tipisnya. Dengan aura yang teduh, ia pun bertanya, "Li An, Sayangku ... kamu suka langit kan?"
Li An tidak mengerti, tapi ia mengangguk. Cengkeraman tangannya semakin erat. Ia benar-benar enggan untuk berpisah dengan Selir Ai. Ia sangat tidak rela berpisah dengan ibundanya tercinta. Jika sang ibu pergi, maka ia juga harus ikut menemani bahkan walau ke ujung dunia.
"Nak, lihatlah ke mari!" ucap Selir Ai lembut sambil terus mengusap air mata Li An. Keningnya ditempelkan pada kening bocah itu. Air matanya ikut meleleh. Rasa bersalah meliputi dirinya. Ia mungkin akan berpisah dengannya cukup lama. Mungkin juga selamanya.
"Langit itu hanyalah kecil. Kamu akan menggenggam suatu yang lebih dahsyat darinya suatu saat nanti," hibur Selir Ai yang kemudian berpesan, "Jika datang kepadamu seorang yang membawakan cahaya dari mimpi Kaisar Tang Pertama, maka ikutilah ia. Ia akan membimbingmu pada kebahagiaan abadi di akhiratmu nanti. Ini adalah wasiat dariku dan ibumu, Hien."
Sekali lagi, Selir Ai mengingatkan Li An agar tidak keluar. Bocah yang masih terisak-isak itu hanya mampu termangu dan menurut saja. Tirai bambu dipasangkan untuk menutupinya. Ruangan pun dikunci, lalu Selir Ai pergi begitu saja.
Di ruangan yang gelap itu, Li An memeluk kaki sambil menahan isak tangisnya agar tidak terdengar sampai ke luar. Suara keributan sempat terdengar di sekitarnya tadi. Keributan yang membuat pangeran malang itu semakin gelisah dan takut.
Namun, sekarang sudah sunyi senyap seakan waktu berhenti. Li An masih tidak berani keluar. Ia terus menunggu sampai Selir Ai datang menjemputnya. Kesadarannya pun memburam. Ruangan tempatnya bersembunyi jadi semakin dingin seiring waktu berlalu.
Suara gaduh yang tiba-tiba datang mengagetkan tubuh mungil Li An. Pangeran kecil itu terbangun dengan tangis yang nyaris pecah lagi. Sebuah harapan tipis menyala di hatinya. Jari-jemari mungilnya hendak menyibak tirai bambu, tapi segera tertahan karena ia tidak merasakan kehadiran Selir Ai di luar.
Tangan kecil yang gemetaran itu segera ditarik kembali. Li An pun terduduk dengan ketakutan yang terus meliputinya. Ia sangat berharap agar ibunya segera datang. Namun, perasaan familiar dari wanita itu tak kunjung dirasakannya.
Setelah dipikir-pikir lagi, wanita itu tidak pernah berjanji untuk kembali. Tangis Li An pun benar-benar pecah kali ini. Namun, ia tetap berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar. Ia harus bertahan dan menunaikan wasiat Selir Ai hari ini.
Kegaduhan di luar terdengar semakin jelas dan dekat. Langkah-langkah kaki menggetarkan lantai kayu yang keras. Teriakan-teriakan asing saling bersahutan. Tujuan mereka hanyalah satu, "Temukan Pangeran Kedelapan!"
Pintu-pintu yang didobrak paksa terdengar kesakitan. Suaranya yang bergemuruh datang bersama hawa nan mencekam. Kediaman Selir Ai yang diobrak-abrik pasti sudah berantakan sekarang. Sebenarnya apa yang mereka lakukan?
Li An duduk di pojok ruangan sambil menutupi wajah. Tubuhnya menggigil hebat saking takutnya. Hati kecilnya terus bertanya-tanya, "Siapa mereka? Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Kenapa bunda belum datang?"
Pintu ruangan Li An pun akhirnya didobrak. Sinar mentari sore yang mulai temaram menembus masuk ke ruangan dan menyiram tirai bambu yang dipasang Selir Ai. Suara langkah kaki yang besar terdengar merebak ke seluruh ruangan, lantas terdengar suara seseorang.
"Pangeran Kedelapan, apakah Anda ada di dalam?" tanya seorang pria asing yang mendobrak paksa ruangan Li An. Li An sangat terkejut sampai kepalanya membentur dinding. Ia pun mengaduh dan buru-buru menutup mulut agar tidak berteriak.
Pria asing itu pun tersenyum senang. Tugasnya hari ini hampir tuntas. Ia pun berlutut di tempatnya dan menyapa Li An dengan sopan, "Hormat kepada Pangeran Kedelapan. Hamba Xiao Bing, utusan dari Istana Pangeran Zhìzhě, datang untuk menjemput Pangeran atas perintah Selir Ai."
"Bohong! Di mana ibunda?" teriak Li An begitu mendengar nama ibunya disebut. Ketakutannya berganti amarah. Pangeran malang itu muncul begitu saja dari tempat persembunyiannya dengan mata sembab. Ia tidak akan mengampuni siapa pun yang menyakiti ibunya.
"Hamba tidak diperkenankan menjawab. Mohon pengertian Anda, Pangeran," Xiao Bing masih berlutut. Tangannya disatukan menunjukkan hormat. Kepalanya menunduk dan memohon maaf.
"A—apa yang terjadi pada ibunda?" keberanian Li An kembali hilang seketika. Ia mundur beberapa langkah dengan tubuh yang menggigil takut. Tubuhnya pun menubruk tembok, terdesak, dan tak dapat lagi melawan. Ia tersungkur dengan menyandar dinding di belakangnya.
Xiao Bing kebingungan. Ia tidak pandai memberi penjelasan, apalagi kepada anak kecil yang langsung ketakutan begitu melihatnya. Padahal, ia sama sekali tidak bermaksud menakuti Pangeran Kedelapan. Pria bongsor berpakaian dinas prajurit itu hanya ingin menjalankan misi.
"Ternyata Pangeran Kedelapan ada di sini," seorang prajurit berbadan jangkung lewat di depan ruangan Li An. Sama seperti Xiao Bing, ia segera berlutut, "Hormat kepada Pangeran Kedelapan. Hamba Ma Guang, utusan dari Istana Pangeran Zhìzhě, datang untuk menyampaikan pesan dari Selir Ai."
Xiao Bing mengernyit dan melirik kawannya itu. Perintah aslinya adalah menjemput Pangeran Li An dengan halus. Para prajurit Istana Pangeran Zhìzhě sudah diperingatkan kalau pangeran itu adalah anak yang waspada. Jadi, mereka tidak boleh sembarangan bersikap padanya.
"Cahaya yang datang dari Barat akan segera tiba. Kirana kebenaran ditadah dan diterima," ucap Ma Guang menyampaikan pesan yang dihafalnya, "Istana Pangeran Zhìzhě telah menerima wasiat Selir Ai. Mohon Pangeran Kedelapan mengikutinya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Arwin Atune
baca dulu
2023-05-23
0
Cantika Putry
Aku mampir Thor
2022-04-08
1
Untung Susilo
awal yg menarik
2022-01-28
1