NovelToon NovelToon

Sang Pangeran Pengembara

Cahaya dalam Mimpi

Kaisar Tang berdiri di sebuah padang kosong nan luas. Dilihatnya seorang pria berjanggut yang mengenakan jubah putih dengan surban senada. Korset erat mengikat di pinggangnya. Ia berdiri tegap dengan kewibawaan yang memancar hebat. Pria berjanggut tebal itu memiliki aura seorang sage, aura kebijaksanaan yang akan membawa suatu negeri menuju kejayaan.

Ada pula makhluk aneh yang lebih layak dipanggil monster. Dua tanduk runcing tumbuh di kepalanya. Matanya merah menyala, menunjukkan murka. Miasma tebal mengepul dari jiwanya. Segala hal yang ia lewati menjadi layu oleh kesuramannya. Jelas sekali bahwa monster itu adalah roh jahat yang membawa bencana di seantero dunia.

Dalam kebingungan, Kaisar Tang berdiri termangu. Ia bertanya-tanya, tapi tak kuasa sedikit pun untuk berkata. Dilihatnya sang pria bersurban menengadahkan tangan ke langit. Pria itu berkomat-kamit dengan wajahnya yang teduh lagi penyayang.

Si monster bertanduk geram bukan kepalang. Ia berteriak lantang. Kaisar Tang pun menutup kedua telinganya spontan. Teriakan lantang itu amat memekik telinga siapa pun yang mendengarnya. Lama kelamaan, suaranya menjadi pilu. Monster itu kesakitan. Ia menghilang seketika bagai debu yang ditiup angin.

Pandangan Kaisar Tang pun terangkat. Kini ia seakan dibawa melihat padang itu dari atas bukit yang tinggi. Tampak cahaya yang amat terang-benderang turun dari langit. Cahaya itu menyiram sang pria bersurban yang masih menengadahkan tangannya tinggi.

Dalam sekejap, cahaya yang turun pada sang sage itu menyebar ke seluruh penjuru dengan membawa kehangatan dan kesejukan. Ufuk Timur dan Barat pun menjadi cerah olehnya. Segala hal yang tadi dirusak oleh miasma sang monster, kini menjadi padang subur nan indahnya tak terkira. Sungguh rahmat dan keberkahan yang amat besar untuk alam semesta.

Kaisar Tang terbangun begitu cahaya itu menembus pandangannya. Ia pun segera duduk. Peluh keringat bercucuran di wajahnya. Napasnya terengah-engah bagai orang yang nyaris tertimpa hal besar, tapi belum jelas rimbanya. Ia tak dapat kembali tertidur sampai permaisuri pun ikut terbangun dan membantunya menenangkan diri.

Ketika subuh mulai bernapas, Kaisar Tang segera mengirim para pesuruh untuk memanggil seluruh keluarganya, para menteri cendekiawan, dan para panglima. Mereka semua berkumpul di ruang takhta yang luas. Tiap orang duduk pada kursi yang telah ditentukan. Keluarga dalam kaisar duduk di tempat terdekat. Keluarga luarnya duduk di lantai atas. Para menteri di sisi kanan, sedangkan para panglima di sisi kiri.

Kaisar Tang pun menceritakan mimpinya. Ia lantas meminta pendapat semua orang tentangnya. Mereka terdiam dan berpikir dalam. Selama beberapa jenak, tak ada suara bising kecuali bisik-bisik mengenai mimpi sang kaisar.

Setelah Kaisar Tang mengulang pertanyaannya, satu per satu pendapat dikemukakan. Namun, tak ada satu pun yang dapat memuaskan rasa keingintahuannya. Kebanyakan mereka hanya beromong kosong dan mengatakan secara tersirat bahwa mimpi itu hanyalah mimpi kosong belaka. Kesarjanaan mereka seolah tak berguna bagai buku-buku di atas keledai .

Bangkitlah seorang pangeran dari keluarga dalam kaisar. Usianya terlihat masih kurang dari dua puluh tahun, tapi aura cendekiawan terpancar darinya. Keyakinan dan percaya diri tercetak tebal di dahinya. Ia merasa mampu menafsirkan mimpi sang kaisar dengan berita yang dibawanya.

"Sebutkan namamu dan jelaskan!" Kaisar Tang mempersilakan putranya untuk bicara.

"Li Fengying memberi salam kepada Baginda Kaisar," kata si pangeran memulai penjelasannya, "Saya baru pulang dari Quanzhou beberapa hari lalu. Di sana terdapat banyak orang-orang asing yang membawa berita dari negerinya masing-masing. Dari mereka, saya mendengar berita yang cukup menggemparkan."

Li Fengying berhenti sejenak sehingga membuat orang-orang penasaran. Mereka memasang telinga rapat-rapat, menanti kabar yang dibawa sang pangeran muda. Ia pun lantas melanjutkan, "Di Barat telah muncul orang yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang utusan Tuhan untuk alam semesta. Ia mengajak kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan kebajikan, serta melarang perbuatan mungkar. Sosoknya dikenal penuh kasih sayang dan dapat dipercaya. Namun, kaumnya menentang ia dan enggan meninggalkan dewa-dewa mereka demi Tuhan Yang Mahasatu. Saat ini, ia telah berhijrah ke kota lain dan mendapat dukungan yang besar di sana. Dari kota itu, ia mulai menyatukan suku-suku di jazirahnya."

Li Fengying kembali terdiam. Ia mengambil napas sejenak, lalu melanjutkan, "Sosok yang Baginda Kaisar lihat kemungkinan adalah orang itu. Sosoknya sangat mirip dengan sang Maitreya yang dijanjikan. Muridnya berjumlah ribuan. Adapun monster yang Baginda Kaisar lihat adalah jelmaan iblis dengan kejahatan yang mengikutinya. Ia akan lenyap dengan kehadiran agama yang dibawa utusan Tuhan itu."

"Li Fengying, Putraku. Lalu, apakah cahaya yang menyebar ke seluruh penjuru itu?" tanya Kaisar Tang mulai mendapat pencerahan mengenai mimpinya. Tinggal potongan terakhir saja yang belum terjawab. Li Fengying pun berkata, "Cahaya itu adalah agama yang diturunkan padanya. Agama itu akan menyebar ke seluruh dunia dengan waktu yang amat cepat. Termasuk Benua Timur dan Kekaisaran Tang kita."

“Bagaimana kamu bisa yakin dengan pendapatmu itu?” Kaisar Tang belum sepenuhnya percaya. Li Fengying pun menjawab, “Saya membaca dan mempelajari kitab.”

Kaisar Tang pun puas dengan jawabannya. Diskusi mengalir. Seorang menteri ikut mengkonfirmasikan adanya berita itu. Walau telah dijelaskan secara rinci, tetap saja lebih banyak orang yang tidak percaya dan menganggapnya angin lalu belaka.

Melihat kecerdasan dan kebijaksanaan Li Fengying, sang kaisar memberinya istana di dekat Pagoda Pustaka, pusat administrasi dan dokumentasi Kekaisaran Tang sejak dinasti sebelumnya. Ia juga diangkat sebagai Pangeran Zhìzhě. Pangeran yang di masa depan akan bertanggung jawab atas urusan diplomatik antarnegara.

Waktu pun berlalu. Kaisar Tang sempat mengundang orang-orang asing yang dimaksud Li Fengying. Di antara mereka terdapat banyak pengikut sang utusan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mengajarkan kepada sang kaisar mengenai agamanya.

Kaisar Tang setuju dengan konsep-konsep dasar dan ajaran perdamaian yang mereka bawa. Namun, tidak diketahui jelas bagaimana keputusannya. Tak lama kemudian, ia mangkat dan digantikan oleh salah seorang putranya.

Li Fengying yang tidak tertarik dengan takhta lebih memilih untuk menyibukkan diri di Pagoda Pustaka dan Istana Pangeran Zhìzhě. Ia hidup dengan damai dan sering menanti kabar dunia yang dibawa para saudagar. Sesekali ia dimintai saran oleh saudara kaisarnya atau para menteri dan panglima. Ia pun dikenal sebagai Pangeran Pandita yang memiliki kedekatan dengan orang-orang asing di Kekaisaran Tang.

...***...

Langit malam begitu menawan. Luasnya tak terbilang. Walau gelap, ada bulan dan bintang-bintang bak mutiara yang menghiasinya. Orang bijak akan memikirkannya, mencari-cari rahasia yang disembunyikannya. Mereka yang beruntung akan mendapat petunjuk Tuhan Yang Maha Esa.

"Sungguh mahakarya nan agung. Adakah gerangan yang dapat mengalahkan keagungannya?" Li An gumamkan kata yang ia baca di Pagoda Arsip Kecil pagi ini. Dalam kesendiriannya, ia duduk bersandar jendela sambil menatap purnama yang terang. Bocah itu pun mengulurkan tangan seakan hendak meraih bintang, "Langit itu, bagaimana caranya agar bisa kugenggam?"

Malam adalah waktu yang paling indah bagi Li An. Rasanya tenang dan sunyi. Jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang penuh keruwetan. Ia adalah pangeran penyendiri. Ibu kandungnya wafat setelah melahirkannya. Namun, kasih sayang yang dalam masih dapat dirasakannya.

Di siang hari, ia hanya bisa bersembunyi. Kalau ia menampakkan diri, mungkin ia akan dibunuh suatu saat nanti. Ia sering membaca literatur-literatur dari zaman Kekaisaran Han. Sekalipun ia hanyalah putra seorang selir, ia akan dalam bahaya jika ikut campur dalam urusan takhta dan negara.

Literatur-literatur itu mengantarkan sejarah kepada Li An. Walaupun usianya baru menginjak delapan tahun, ia sudah bisa mengerti bagaimana tangan penguasa kotor dan ternoda oleh darah. Perang saudara, perebutan takhta, dan persaingan hegemoni. Semua itu adalah hal-hal yang paling Li An benci. Hanya karena sebuah singgasana bersepuh emas, untuk apa saling membunuh?

Lagi pula, Li An tidak memiliki kekuatan yang bisa mendukungnya. Mendiang ibunya hanyalah wanita lemah dari suku minoritas kecil yang tidak dikenal. Ia bahkan tak pernah bertemu dengan orang-orang dari suku ibunya. Di istana kekaisaran, ia hanya tinggal dengan ibu persusuannya yang juga seorang selir. Dari selir itulah kasih sayang sang ibu terwariskan.

"Sayang, k belum tidur?" seorang wanita bergaun merah terang membuka pintu kamar Li An. Wanita itu mendekat dan duduk di samping Li An. Diacaknya rambut bocah itu dengan gemas. Ia pun kembali bertanya, "Kenapa belum tidur? Takut tidur sendiri, ya?"

"Bunda," Li An menggeleng dan meletakkan kepalanya di pangkuan wanita itu, lantas menjawab, "Aku suka malam."

Wanita itu adalah Selir Ai. Ia ibu asuh yang merawat Li An sejak lahir. Selir itu pula yang memberinya nama An. Ia selalu berharap agar putra sahabatnya itu dapat hidup dengan damai sesuai namanya. Li An telah mengisi hati keibuannya. Dari beberapa kali melahirkan, tak seorang pun buah hatinya selamat. Hanya Li An yang tersisa baginya.

"Li An mau jadi apa kalau sudah besar nanti?" tanya Selir Ai sambil mengelus-elus kepala Li An. Rambut anak itu tergerai sangat panjang. Warnanya hitam mengkilap disiram cahaya bulan yang temaram. Di matanya yang jernih terkandung kesucian hati nan murni.

"Aku akan menjaga Bunda," jawab Li An dengan polosnya. Ia pun tertawa senang. Baginya, Selir Ai adalah orang paling baik dan tercinta. Selir Ai pun ikut tertawa. Ia mencubit dengan gemas pipi putra persusuannya. Anak itu adalah permata hatinya yang paling berharga.

Mata Li An perlahan tertutup. Ia tertidur dalam pangkuan sang ibu yang senantiasa tulus merawatnya. Dalam kedamaian yang terukir dengan namanya, ia memimpikan masa depan yang tenang lagi cerah. Ia pun yakin bahwa harmoni ini akan berlangsung selama-lamanya.

Sinar mentari hangat menggelitik pipi Li An di pagi hari. Bocah itu pun terbangun dan mendapati langit yang sudah terang benderang. Ia lantas duduk mengumpulkan nyawanya sejenak. Begitu merasa segar, ia langsung bangkit dan merapikan kasurnya.

Tidak ada seorang pelayan pun yang melayaninya. Bukannya ia tidak diberi. Sebagai seorang pangeran, ia pantas mendapat itu. Ia hanya tidak menginginkannya saja. Lebih baik tidak membiarkan siapa pun mengintip keseharian sederhananya. Cukup Selir Ai yang ada di sisinya.

Pangeran kecil itu berjalan mengendap-endap ke sebuah bangunan tinggi yang atapnya menutupi tiap-tiap tingkat. Lentera-lentera merah terpasang di setiap sudut atap paling rendah dan akan dinyalakan pada malam hari. Sebuah papan nama terpasang di pintunya. Di situ tertulis nama “Pagoda Arsip Kecil” yang menandakan bahwa bangunan itu adalah cabang dari Pagoda Pustaka.

Li An mengenakan pakaian yang biasa dikenakannya setiap hari. Tidak glamor maupun kumuh. Dilihatnya para pangeran dan putri kaisar lainnya tengah bermain di salah satu taman dari istana. Ia tidak peduli dan melewatinya begitu saja. Bocah itu pernah mengalami hal buruk saat mencoba berbaur dengan mereka. Ia hanya akan mempermalukan ibunya jika datang ke sana. Anak-anak itu lebih tinggi derajatnya daripada ia yang hanya putra seorang selir.

"Kakek Ma, aku datang," ucap Li An saat memasuki Pagoda Arsip Kecil. Perpustakaan kecil itu juga peninggalan dari dinasti sebelumnya. Ia bertahan bersama pustakawan tua yang selalu menjaganya. Pria yang dipanggil Kakek Ma itu juga peninggalan dinasti sebelumnya, mantan sarjana tinggi pemerintah yang bertahan di Pagoda Arsip Kecil.

"Oh! Selamat datang, Pangeran Kedelapan. Anda sungguh pangeran muda yang rajin. Anda akan menjadi orang besar di masa depan," sambut seorang pria beruban dengan senyum yang ramah. Surban futou terpasang di kepalanya, menunjukkan kalau ia adalah seorang cendekiawan. Selama hidupnya yang nyaris seabad, ia telah membaca hampir semua buku di Pagoda Pustaka dan cabang-cabangnya.

"Hehe ... siapa yang tahu?" balas Li An dengan tawa kecilnya yang menggemaskan. Ia pun memilah-milah buku dan gulungan yang menarik perhatiannya. Setelah mendapat apa yang ia cari, pangeran kecil itu berjalan ke baca favoritnya. Jika ada kata yang sulit ia mengerti, ia akan bertanya langsung pada Kakek Ma.

Begitulah rutinitasnya berlalu. Ia hidup dalam pengasingan diri di tengah buku-buku dan aksara. Tanpa peduli dengan kebisingan di istana, ia terus membaca dan membaca.

Namun, kedamaian dan kesunyian yang dirasakannya itu tidak berlangsung lama. Ketika angin berhembus lembut di siang yang sejuk, ketika Li An sedang asyik bersenda gurau dengan ibunya tercinta, ketika kedamaian itu seolah akan berlangsung selamanya, atmosfer di Kediaman Selir Ai tiba-tiba berubah. Ketenangan yang terasa abadi di tempat itu retak seketika.

Kediaman Selir Ai digedor dengan keras. Seorang pelayan pun membisikkan sesuatu kepada Selir Ai sehingga air mukanya menjadi keruh. Li An memang masih sangat muda saat itu, tapi ia bisa mengerti kalau ibunya sedang dalam masalah.

"Li An, ke mari!" Selir Ai menarik Li An secepat mungkin ke dalam salah satu ruang di kediamannya. Ia pun berlutut dan memeluk putra persusuannya dengan erat. Selir kaisar itu sudah tahu bahwa peristiwa ini akan segera terjadi sejak ia terseret ke dalam sebuah kasus yang bahkan tidak disentuhnya sama sekali. Ia tidak bisa terlepas dari intrik-intrik di Istana Keabadian Abadi. Paling tidak, ia harus melindungi putra semata wayangnya tercinta.

Li An sangat terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Sakit dan perih menyayat hatinya. Ketakutan pun mulai menyusup ke dalam relung kalbunya. Ia mencengkeram gaun Selir Ai kuat-kuat saking takutnya.

"Li An, apa pun yang terjadi, tetaplah di sini! Jangan sekali-kali keluar," kata Selir Ai serius. Wajah ayunya yang tegang membuat kekhawatiran Li An menumpuk di atas ketakutannya. Air mata bocah itu mulai mengalir di pipi. Tangisnya yang hening menunjukkan segudang tanda tanya.

"Kamu," panggil Selir Ai dengan suara bergetar. Tangannya juga gemetaran membelai pipi Li An yang basah. Bayang-bayang sahabatnya tersungging dalam wajah sedih anak itu. "Kamu sangat mirip dengan ibumu, bahkan saat menangis. Aku minta maaf … harusnya aku menemanimu sampai akhir."

Selir Ai mengusap air mata Li An yang semakin deras. Isak tangis bocah itu jelas sekali menunjukkan bahwa ia tidak ingin berpisah. Selir Ai mengendurkan raut wajahnya. Senyum mengembang di bibir tipisnya. Dengan aura yang teduh, ia pun bertanya, "Li An, Sayangku ... kamu suka langit kan?"

Li An tidak mengerti, tapi ia mengangguk. Cengkeraman tangannya semakin erat. Ia benar-benar enggan untuk berpisah dengan Selir Ai. Ia sangat tidak rela berpisah dengan ibundanya tercinta. Jika sang ibu pergi, maka ia juga harus ikut menemani bahkan walau ke ujung dunia.

"Nak, lihatlah ke mari!" ucap Selir Ai lembut sambil terus mengusap air mata Li An. Keningnya ditempelkan pada kening bocah itu. Air matanya ikut meleleh. Rasa bersalah meliputi dirinya. Ia mungkin akan berpisah dengannya cukup lama. Mungkin juga selamanya.

"Langit itu hanyalah kecil. Kamu akan menggenggam suatu yang lebih dahsyat darinya suatu saat nanti," hibur Selir Ai yang kemudian berpesan, "Jika datang kepadamu seorang yang membawakan cahaya dari mimpi Kaisar Tang Pertama, maka ikutilah ia. Ia akan membimbingmu pada kebahagiaan abadi di akhiratmu nanti. Ini adalah wasiat dariku dan ibumu, Hien."

Sekali lagi, Selir Ai mengingatkan Li An agar tidak keluar. Bocah yang masih terisak-isak itu hanya mampu termangu dan menurut saja. Tirai bambu dipasangkan untuk menutupinya. Ruangan pun dikunci, lalu Selir Ai pergi begitu saja.

Di ruangan yang gelap itu, Li An memeluk kaki sambil menahan isak tangisnya agar tidak terdengar sampai ke luar. Suara keributan sempat terdengar di sekitarnya tadi. Keributan yang membuat pangeran malang itu semakin gelisah dan takut.

Namun, sekarang sudah sunyi senyap seakan waktu berhenti. Li An masih tidak berani keluar. Ia terus menunggu sampai Selir Ai datang menjemputnya. Kesadarannya pun memburam. Ruangan tempatnya bersembunyi jadi semakin dingin seiring waktu berlalu.

Suara gaduh yang tiba-tiba datang mengagetkan tubuh mungil Li An. Pangeran kecil itu terbangun dengan tangis yang nyaris pecah lagi. Sebuah harapan tipis menyala di hatinya. Jari-jemari mungilnya hendak menyibak tirai bambu, tapi segera tertahan karena ia tidak merasakan kehadiran Selir Ai di luar.

Tangan kecil yang gemetaran itu segera ditarik kembali. Li An pun terduduk dengan ketakutan yang terus meliputinya. Ia sangat berharap agar ibunya segera datang. Namun, perasaan familiar dari wanita itu tak kunjung dirasakannya.

Setelah dipikir-pikir lagi, wanita itu tidak pernah berjanji untuk kembali. Tangis Li An pun benar-benar pecah kali ini. Namun, ia tetap berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar. Ia harus bertahan dan menunaikan wasiat Selir Ai hari ini.

Kegaduhan di luar terdengar semakin jelas dan dekat. Langkah-langkah kaki menggetarkan lantai kayu yang keras. Teriakan-teriakan asing saling bersahutan. Tujuan mereka hanyalah satu, "Temukan Pangeran Kedelapan!"

Pintu-pintu yang didobrak paksa terdengar kesakitan. Suaranya yang bergemuruh datang bersama hawa nan mencekam. Kediaman Selir Ai yang diobrak-abrik pasti sudah berantakan sekarang. Sebenarnya apa yang mereka lakukan?

Li An duduk di pojok ruangan sambil menutupi wajah. Tubuhnya menggigil hebat saking takutnya. Hati kecilnya terus bertanya-tanya, "Siapa mereka? Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Kenapa bunda belum datang?"

Pintu ruangan Li An pun akhirnya didobrak. Sinar mentari sore yang mulai temaram menembus masuk ke ruangan dan menyiram tirai bambu yang dipasang Selir Ai. Suara langkah kaki yang besar terdengar merebak ke seluruh ruangan, lantas terdengar suara seseorang.

"Pangeran Kedelapan, apakah Anda ada di dalam?" tanya seorang pria asing yang mendobrak paksa ruangan Li An. Li An sangat terkejut sampai kepalanya membentur dinding. Ia pun mengaduh dan buru-buru menutup mulut agar tidak berteriak.

Pria asing itu pun tersenyum senang. Tugasnya hari ini hampir tuntas. Ia pun berlutut di tempatnya dan menyapa Li An dengan sopan, "Hormat kepada Pangeran Kedelapan. Hamba Xiao Bing, utusan dari Istana Pangeran Zhìzhě, datang untuk menjemput Pangeran atas perintah Selir Ai."

"Bohong! Di mana ibunda?" teriak Li An begitu mendengar nama ibunya disebut. Ketakutannya berganti amarah. Pangeran malang itu muncul begitu saja dari tempat persembunyiannya dengan mata sembab. Ia tidak akan mengampuni siapa pun yang menyakiti ibunya.

"Hamba tidak diperkenankan menjawab. Mohon pengertian Anda, Pangeran," Xiao Bing masih berlutut. Tangannya disatukan menunjukkan hormat. Kepalanya menunduk dan memohon maaf.

"A—apa yang terjadi pada ibunda?" keberanian Li An kembali hilang seketika. Ia mundur beberapa langkah dengan tubuh yang menggigil takut. Tubuhnya pun menubruk tembok, terdesak, dan tak dapat lagi melawan. Ia tersungkur dengan menyandar dinding di belakangnya.

Xiao Bing kebingungan. Ia tidak pandai memberi penjelasan, apalagi kepada anak kecil yang langsung ketakutan begitu melihatnya. Padahal, ia sama sekali tidak bermaksud menakuti Pangeran Kedelapan. Pria bongsor berpakaian dinas prajurit itu hanya ingin menjalankan misi.

"Ternyata Pangeran Kedelapan ada di sini," seorang prajurit berbadan jangkung lewat di depan ruangan Li An. Sama seperti Xiao Bing, ia segera berlutut, "Hormat kepada Pangeran Kedelapan. Hamba Ma Guang, utusan dari Istana Pangeran Zhìzhě, datang untuk menyampaikan pesan dari Selir Ai."

Xiao Bing mengernyit dan melirik kawannya itu. Perintah aslinya adalah menjemput Pangeran Li An dengan halus. Para prajurit Istana Pangeran Zhìzhě sudah diperingatkan kalau pangeran itu adalah anak yang waspada. Jadi, mereka tidak boleh sembarangan bersikap padanya.

"Cahaya yang datang dari Barat akan segera tiba. Kirana kebenaran ditadah dan diterima," ucap Ma Guang menyampaikan pesan yang dihafalnya, "Istana Pangeran Zhìzhě telah menerima wasiat Selir Ai. Mohon Pangeran Kedelapan mengikutinya."

Utusan dari Barat

Li An mengikuti para utusan dari Istana Pangeran Zhìzhě setelah menerima pesan dari Selir Ai. Dalam perjalanan, ia terus berharap agar ibundanya ada di sana. Pangeran malang itu masih tidak mengerti dengan situasi yang menimpanya. Ia hanya tahu bahwa nasibnya sedang kurang baik sekarang.

Li Fengying langsung menyambut kedatangan Li An begitu sampai di Istana Pangeran Zhìzhě. Ia memeluk keponakannya itu seperti seorang ayah yang sudah lama tidak bertemu dengan anaknya. Pelukannya tulus dan hangat. Rasanya sama seperti pelukan dari Selir Ai. Karena itu, Li An sama sekali tidak menolaknya.

"Kamu pasti masih sangat lelah. Sekarang beristirahatlah terlebih dahulu," kata Li Fengying lembut. Ia menyunggingkan senyum ramah kepada Li An. Bocah itu pun hanya terdiam dan termangu.

"Mereka sungguh keterlaluan. Bagaimana mereka tega meninggalkan anak sekecil ini sendirian? Mereka bahkan berniat untuk menyingkirkannya," seorang wanita bergaun biru laut dengan motif bunga-bunga mendekati Li An dan memeluknya. Ia membelai pipi bocah itu seperti yang biasa Selir Ai lakukan. Matanya menatap sedih, tapi juga ada kekesalan yang entah ditunjukkan kepada siapa di sana.

"Suamiku, biarkan aku yang merawatnya," pinta wanita bergaun biru laut itu. Namanya adalah Nyonya Lu, istri pertama Li Fengying. Ia pun menegaskan, "Anak ini adalah putra persusuan adikku."

"Baiklah, sekarang antarkan dia ke kamarnya dulu. Biarkan dia langsung beristirahat," Li Fengying mengulas senyum. Beberapa hari ini kediamannya sangat berisik. Selir Ai meminta bantuan kepadanya melalui Nyonya Lu. Bantuan itu semata-mata ditunjukkan untuk putranya, Pangeran Kedelapan. Semoga saja anak itu betah di istana Pangeran Zhìzhě.

Li An menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari keberadaan ibundanya. Ia tidak mempedulikan obrolan Li Fengying dan Nyonya Lu sejak tadi. Pangeran kecil itu hanya ingin segera bertemu kembali dengan Selir Ai.

"Bibi, di mana ibunda?" tanya Li An begitu sampai di kamarnya. Nyonya Lu terlihat akrab dan mirip dengan Selir Ai. Karena itu, Li An tidak sungkan bertanya.

Nyonya Lu terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaan Li An dan malah memeluknya erat. Tak terdengar sepatah kata pun setelah itu sampai isakan tangis menyusuri telinga Li An. Dengan suara yang lirih, Nyonya Lu pun berbisik, "Adik Ai sangat baik hati dan sayang padamu. Ia hanya ingin kamu hidup bahagia dan damai."

Li An menyimpulkan satu hal dari kata-kata bibinya itu. Namun, ia tidak ingin mengakuinya. Bocah itu berharap agar masih ada kesempatan baginya untuk bertemu kembali dengan Selir Ai. Kapan pun itu. Ia sangat ingin menemuinya segera.

Hari demi hari berlalu di Istana Pangeran Zhìzhě. Li An tumbuh di bawah pengawasan Nyonya Lu dan Li Fengying. Selir Ai yang setiap hari ia tunggu tak kunjung datang, sedangkan memori-memori bersamanya selalu asyik meliputi malam-malam pangeran kecil itu. Bersama buku-buku yang selalu menemaninya, Li An menata kembali hatinya yang rapuh.

...***...

"An'er, ayo cepat," seru seorang gadis ayu yang mirip dengan Nyonya Lu. Ia berlari di tengah keramaian kota. Li An berusaha mati-matian mengejarnya.

"Kakak Mei, jangan cepat-cepat," balas Li An yang kelelahan berlari. Napasnya terengah-engah. Ia berhenti sesekali untuk istirahat.

"An'er, kamu kan laki-laki. Ayo cepat!" desak Li Mei, putri dari Nyonya Lu sekaligus kakak sepupu Li An. Ia adalah gadis yang tomboi dan energik. Para dayang pun sering kewalahan karenanya.

Di antara anak-anak Li Fengying, Li Mei adalah yang pertama mengetahui kedatangan Li An. Pada awalnya, ia mengira kalau Li An adalah anak perempuan sehingga ia malas mengunjunginya. Akan tetapi, setelah melihatnya langsung dengan pakaian pangeran, ia jadi senang karena mendapat adik laki-laki.

"Ayo ... ayah tidak akan menunggu kita," Li Mei semakin mendesak Li An. Ia berkacak pinggang sambil melotot tajam kepada adik barunya yang sedang kelelahan itu. Karena gemas, ia pun menggerutu, "Kenapa kamu lemah sekali? Kamu kan anak laki-laki? Anak laki-laki itu harus kuat. Masa kamu kalah sama aku yang perempuan?"

"Kakak—hah ... hah ... terlalu cepat. Lagian, Paman Guang juga masih di belakang. Ayo istirahat dulu," Li An terduduk, tak peduli dengan Li Mei yang masih melotot galak padanya. Napasnya naik-turun tak karuan. Ia berusaha mengaturnya agar merasa lebih nyaman.

"Putri Mei, Pangeran An, sudah saya bilang. Jangan berlari di tengah keramaian," Ma Guang datang dengan terburu-buru. Kondisinya sama seperti Li An. Peluh keringat deras membasahi kepalanya, tapi ia masih dapat menjaga wibawa keprajuritannya.

"Paman Guang, aku capek," adu Li An. Li Mei sangat ingin mencubit pipinya, tapi ia berusaha menahan diri agar tidak dibenci Li An. Tangannya itu sudah sangat gatal dan gemas. Awas saja kalau sudah sampai rumah.

"Tuan Putri, mari kita berjalan saja dari sini," tawar Ma Guang dengan halus. Matanya memberi isyarat agar Li Mei mengasihani adik sepupunya. Pangeran kecil itu benar-benar lemah.

"Hmph! Aku akan mengalah kali ini saja," Li Mei membuang muka, pura-pura merajuk. Ia pun berjalan mendahului Li An dan Ma Guang. Gadis yang tiga tahun lebih tua dari Pangeran Kedelapan itu memimpin jalan di depan. Anak rambutnya yang luput dikepang menari-nari lincah ditiup angin siang perkotaan.

Kekaisaran Tang mendapat tamu penting dari Daratan Barat. Li Fengying ditugaskan untuk menyambutnya sebagai Pangeran Zhìzhě. Ia adalah satu-satunya pangeran yang dapat berbahasa dengan mereka. Bahasa itu ia pelajari dari para pedagang asing di Quanzhou ketika masih muda dulu.

Li Mei dan Li An diam-diam menyusup ke Istana Kaisar. Mereka enggan mengacuhkan peringatan dari Ma Guang. Dengan badan mereka yang kecil, mereka bersembunyi dari prajurit jangkung itu dan naik ke atas.

"Lihat kotak-kotak itu! Kira-kira apa isinya?" Li Mei menunjuk hadiah-hadiah yang dibawa duta dari Daratan Berat untuk Kaisar Tang. Li An berjinjit-jinjit ingin ikut melihat. Mereka mengintipnya dari lantai atas yang sepi. Ma Guang datang tak lama setelah itu. Saat ia sampai, perhatiannya juga teralih kepada peti-peti hadiah di bawah sana.

"Saya Sa'ad Al Quraisy, utusan dari Khilafah untuk Kekaisaran Tang," ucap seorang pria tua beruban yang karismatik. Pria itu fasih berbahasa Kekaisaran Tang. Surban putih melilit rapi di kepalanya. Jubah besar berwarna cerah menambah aura wibawanya.

"Bersujudlah kepada Kaisar Yung Wei Yang Agung! Tunjukkan rasa hormatmu pada Baginda!" bentak seorang menteri sebelum Kaisar Tang memberi reaksi.

"Kami adalah orang-orang Islam. Kami tidak akan bersujud selain kepada Allah Yang Maha Esa," ucap Sa'ad dengan tegas. Menteri yang membentaknya jadi geram bukan kepalang. Begitu pula para menteri dan panglima lainnya. Ruangan takhta pun menjadi gaduh oleh mulut-mulut mereka.

"Baginda Kaisar," panggil Li Fengying yang hendak turun tangan dalam masalah kecil ini, "Izinkan saya menyampaikan pendapat."

Kaisar Tang setuju untuk mendengarkan pendapat saudaranya. Ia pun memberi isyarat kepada para menteri dan panglimanya untuk segera diam. Setelah ruangan menjadi hening, Kaisar Tang pun berkata, "Katakan pendapatmu, Saudaraku!"

"Kaisar, ini adalah perbedaan budaya dalam memberi hormat. Lebih baik kita tidak mempermasalahkannya. Apalagi mereka adalah orang-orang Arab yang amat tersohor belakangan ini," kata Li Fengying lantas mewakilkan permintaan maaf saudaranya kepada Sa'ad. Ia selalu hadir setiap kali Istana Kaisar kedatangan tamu kenegaraan.

Para tamu itu selalu membawa berita kondisi yang terjadi belakangan ini di Daratan Barat. Kabar terakhir menyebutkan kalau Kekasaran Sasanid telah runtuh di tangan orang-orang Arab itu. Sebagian wilayah Byzantium juga telah lepas karena bergesekan dengan mereka. Siapa yang menyangka bahwa ketika bangsa Arab bersatu atas nama Tuhan, mereka akan menjadi bangsa yang sekuat itu. Memprovokasi mereka adalah kebijakan yang buruk, sementara mereka datang dengan damai sekarang.

Para menteri dan panglima kembali gaduh oleh pendapat itu. Sebagian ada yang mempertimbangkannya, sebagain lagi tetap menentangnya. Kaisar Tang pun kembali memberi isyarat untuk tenang. Pada akhirnya, ia setuju dengan pendapat Li Fengying dan meminta utusan Arab itu untuk memaklumi keributan yang baru saja terjadi.

Sa'ad pun membacakan surat dari Amirul Mukminin. Ia juga menjelaskan kalau di negerinya telah dipimpin tiga Khalifah yang menggantikan sang rasul. Kedatangannya ke mari untuk mempererat hubungan dagang dan menyiarkan agama Islam.

Hadiah-hadiah dari Khilafah pun diberikan. Kaisar Tang menerimanya dengan tangan terbuka. Pembicaraan selanjutnya akan segera diadakan. Dalam rentang waktu itu, Li Fengying meminta kesempatan untuk berdialog dengan para Duta Khilafah. Dengan senang hati, Kaisar Tang mengizinkannya.

"Apakah sudah selesai?" bisik Li Mei ketika melihat ayahnya bangkit dan beranjak keluar. Li An mengangguk setuju dengan tebakannya. Ma Guang pun memanfaatkan peluang ini untuk mengajak kedua anak itu pulang. Tanpa sadar, ia telah ikut mengintip pertemuan Kaisar Tang dengan utusan asing.

"Ayo temui ayah," Li Mei malah menarik Li An ke bawah untuk mengejar ayahnya. Ma Guang menepuk jidat dan menghela napas. Pupus sudah kesempatannya untuk membujuk kedua bocah bangsawan itu. Ia pun hanya bisa pasrah dan mengikuti mereka.

"Ayah ... Ayah ...," panggil Li Mei di lorong istana. Li Fengying yang sedang mengobrol dengan Sa'ad pun menoleh. Ia sedikit terkejut dengan kedatangan putri sulungnya bersama Li An. Dilihatnya Ma Guang yang segera memberi hormat begitu sampai di hadapannya.

Li Mei langsung melesat ke arah ayahnya. Li Fengying pun dengan senang hati menangkap dan menggendong anak gadisnya mesra. Senang sekali melihat putri yang tomboi dan energik itu bermanja ria.

Li An sembunyi di balik Ma Guang saat Sa'ad menatapnya. Ia malu-malu mengintip, lalu kembali bersembunyi begitu mendapati orang tua itu masih menatapnya. Ma Guang menahan tawa. Betapa bersyukur dapat menjadi orang paling dipercaya oleh pangeran kecil yang imut itu.

"Nak, siapa namamu?" tanya Sa'ad dengan ramah. Pria tua beruban itu tidak ingin dimusuhi siapa pun, apalagi anak kecil. Ia mengulurkan tangannya sambil menunjukkan sebuah gula-gula.

Li An yang masih curiga kembali mengintip. Ia memperhatikan tangan keriput pria tua yang membawa permen itu. Ada banyak kapalan di telapaknya. Kelihatannya sangat mengerikan. Ia pun kembali bersembunyi dan menolak gula-gula itu mentah-mentah

"Tidak apa-apa, An’er. Beliau adalah orang yang baik," bujuk Li Fengying agar kemenakannya tidak merasa sungkan. Li An masih tidak mau membuka diri. Ia yang bersembunyi di belakang Ma Guang lagi-lagi membuat Li Mei gemas. Gadis itu pun berniat memberinya contoh, "An'er, lihat aku!"

Sa'ad bangkit dan menoleh saat Li Mei memanggilnya. Gadis itu lantas memperkenalkan diri, "Salam, Kakek. Namaku Li Mei, putri Pangeran Zhìzhě yang paling cantik."

Sa'ad terkekeh. Ia pun juga memperkenalkan dirinya dan memberi sebungkus gula-gula kepada Li Mei. Setelah itu, ia kembali berusaha untuk berkenalan dengan Li An. Namun, Li An masih saja menolak.

"An'er, apa kamu masih belum mengerti? Kenapa kamu pemalu sekali seperti anak gadis?" kritik Li Mei tanpa sadar kalau dia sendiri adalah anak gadis. Li Fengying sampai bertanya-tanya bagaimana putrinya dapat belajar kata-kata seperti itu. Ia yakin tidak pernah mengajarinya berkata begitu.

Li An tetap bersiteguh. Ia menggeleng kuat dan menarik-narik baju Ma Guang. Itu tandanya, ia ingin segera digendong pergi. Pangeran kecil itu sudah merasa sumpek. Ini saatnya menjauh dari hal yang tidak disukainya.

"Pangeran Kedelapan memang anak yang pemalu dan waspada. Mohon Tuan Sa'ad dapat memakluminya," ucap Li Fengying memahami isyarat Li An. Ia tidak ingin memaksa pangeran kecil yang belum membuka hati itu untuk berkenalan dengan orang asing. Lebih baik membiarkannya tenang dan tetap memberi dukungan di sisinya.

"Pangeran Zhìzhě tidak perlu khawatir," balas Sa'ad. Ia pun melambaikan tangannya sambil tersenyum kepada Li An yang bersembunyi di gendongan Ma Guang. Dengan lemah lembut, ia berkata, "Kita akan bertemu lagi, Pangeran Kedelapan."

"Paman Guang, antarkan aku ke Pagoda Arsip Kecil!" pinta Li An. Itu adalah tempat paling damai baginya setelah Kediaman Selir Ai yang sekarang sudah kosong. Ia selalu ke sana setiap kali merasa bosan dan tertekan.

"Apa? Kamu mau ke mana?" sahut Li Mei yang segera diturunkan Li Fengying dari gendongannya karena polah. Li An pun mengulang permintaannya. Li Mei jadi penasaran dan ingin ikut dengannya.

"Pangeran, mengapa tidak ke Pagoda Pustaka saja? Tempat itu lebih besar dan dekat dengan Istana Pangeran Zhìzhě," tawar Ma Guang yang dibalas dengan gelengan tegas oleh Li An. Bocah itu memaksanya untuk segera pergi. Li Mei pun ikut-ikutan mendesaknya karena penasaran.

"Prajurit Guang, kutitipkan mereka berdua padamu seperti biasa. Ingatlah untuk pulang sebelum gelap," ujar Li Fengying ramah. Ma Guang pun menerima perintah tuannya. Entah sejak kapan ia menjadi prajurit pengasuh bagi kedua anak itu. Ia menghela napas begitu junjungannya pergi.

"Paman Guang, ayo cepat," Li An yang sudah turun dari gendongan Ma Guang menarik-narik lengan baju dinas prajurit jangkung itu. Ia ingin segera bertemu dengan Kakek Ma yang sudah lama tak dijenguknya. Ah, tidak. Sebenarnya, ia hanya tidak ingin bertemu kakek tua beruban tadi di Istana Pangeran Zhìzhě. Jika ia pulang agak sore, kakek tua itu pasti sudah pergi dari Istana Pangeran Zhìzhě kan?

Namun, sayangnya Li An salah besar. Kakek tua beruban yang berusaha dihindarinya itu ternyata malah jadi orang pertama yang menyambutnya begitu sampai di Istana Pangeran Zhìzhě. Seperti di siang tadi, Li An langsung bersembunyi di belakang Ma Guang, sementara Li Mei dengan akrab menyapa Sa'ad.

"Kakek Sa'ad akan tinggal di sini? Wah ... apa Kakek punya cerita seru?" tanya Li Mei girang. Selain tomboi dan energik, dia juga gadis yang supel, sangat mudah akrab dengan siapa pun. Semangatnya dalam bersosial amat tinggi.

"Tentu saja Kakek punya," Sa'ad menyambut hangat undangan Li Mei untuk bercerita, "Datanglah ke paviliun tamu kapan saja."

"Yey ... kami akan langsung berkunjung setelah ini. An'er, ayo temui mama dulu," Li Mei menarik Li An dengan cepat untuk masuk. Pangeran kecil itu tak dapat berkutik selain mengikutinya saja. Mereka disambut Nyonya Lu begitu sampai.

Li An benar-benar tidak bisa mengelak dari Li Mei. Ia hanya dapat pasrah setiap kali ditarik paksa oleh gadis kecil itu. Termasuk sore ini, saat ia dipaksa kakak sepupunya untuk menemui Sa'ad. Padahal ada putra-putri Li Fengying lainnya yang juga ingin menemui Sa'ad.

"Kakek, cepat cerita! Cepat cerita!" seru Li Mei menagih janji. Anak-anak yang ikut juga ramai-ramai meminta. Hanya Li An yang diam di samping Li Mei tanpa dapat berbuat apa pun.

"Baiklah ... Baiklah ... kakek akan bercerita tentang seorang pemuda yang hanif. Hanif artinya lurus," Sa'ad membuka ceritanya. Anak-anak pun terdiam. Mereka semua antusias, kecuali Li An.

"Suatu hari, ketika malam telah gelap, pemuda itu memandang langit dan melihat bintang," kata Sa'ad dengan mode pendongengnya. Li An pun merasa terpanggil. Ia juga suka melihat langit malam dan bintang.

"Bintang yang sangat terang … di langit. Karena terangnya bintang itu, orang-orang pun menyembahnya," Sa'ad menunjuk ke langit yang mulai gelap. Anak-anak pun mengikuti arah jarinya menunjuk. Lalu, seorang anak laki-laki dari abdi dalam Istana Pangeran Zhìzhě berseru, "Apakah mereka suku dari Timur? Mereka menyembah bintang kejora."

Anak-anak yang lain pun menoleh. Mereka jadi gaduh dan ribut. Li Mei yang merasa sesi cerita ini terhenti pun menaruh telunjuknya di bibir. Ia menyuruh adik-adiknya untuk diam. Setelah keadaan kembali tenang, ia berkata pada Sa'ad, "Kakek, ayo lanjutkan."

Sa’ad pun melanjutkan,

"Pemuda itu pun berkata kepada kaumnya, 'Ini Tuhanku.'

Saat bintang itu tenggelam, ia pun berkata, 'Aku tidak suka yang tenggelam.'

Maksudnya, bintang itu tidak pantas menjadi Tuhan. Ia terbit dan tenggelam, bergerak pada garis edarnya, tunduk pada takdir yang mengaturnya. Karena itu, bintang bukanlah Tuhan."

Sa'ad berhenti sejenak. Ia memberi kesempatan kepada anak-anak di hadapannya untuk berfikir. Maka, bertanyalah seorang anak, "Jadi, bintang bukan Tuhan? Apakah orang-orang dari suku Timur itu salah dan tersesat?"

"Tepat!" Sa'ad menyungging senyum bangga kepada anak itu. Anak-anak lain ber-oh. Mereka kembali ribut dengan topik yang sama. Kemudian, Li Mei meminta Sa'ad untuk melanjutkan ceritanya agar adik-adiknya langsung terdiam.

"Pemuda itu pun melihat bulan terbit. Cahaya bulan itu lebih terang dan indah. Ia berkata lagi pada kaumnya, 'Ini Tuhanku.'

Ia bermaksud untuk mengajak kaumnya berpikir. Maka, ketika bulan itu terbenam, ia berkata, 'Sungguh, kalau Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk di antara orang-orang yang tersesat.'

Sama seperti bintang yang terbit dan tenggelam, bulan itu juga benda yang serupa. Ia tunduk pada ketentuan Tuhan."

Sa'ad kembali terdiam. Anak-anak itu mulai bising lagi. Logika yang ia ajarkan mulai masuk ke benak anak-anak yang polos itu. Mereka cepat mengerti dengan hal-hal yang sederhana.

"Lalu," lanjut Sa'ad membuat anak-anak terdiam, "Ketika ia melihat mentari terbit, ia pun berkata, 'Inilah Tuhanku. Ini lebih besar!'

Matahari itu lebih terang. Ia memberi banyak manfaat untuk Bumi. Namun, ketika matahari itu kembali ke peraduannya, si pemuda pun berkata, 'Wahai Kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.'

Sama seperti bintang dan bulan, matahari itu tidak pantas disembah. Maka, apa yang pemuda itu sembah?" Sa'ad memberi teka-teki sederhana pada anak-anak di hadapannya. Mereka pun jadi ribut. Ada yang mentertawakan kebodohan kaum pemuda itu. Ada juga yang berpikir serius untuk mencari jawabannya seperi Li An dan Li Mei. Namun, sampai akhir tak ada satu pun dari mereka yang dapat menjawabnya.

"Pemuda itu menyembah Penciptanya Bintang, Bulan, dan Matahari, juga Bumi," jelas Sa'ad menerangkan, "Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tiada sekutu baginya."

"Bukannya alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya?" celetuk seorang anak perempuan yang umurnya tidak jauh berbeda dengan Li Mei. Anak itu bernama Li Roulan. Ia adalah putri sulung Nyonya Chu, istri kedua Li Fengying. Li Xiulan, saudari kembarnya mengangguk setuju. Dari apa yang mereka pelajari, alam semesta itu terbentuk dengan peristiwa yang terjadi secara alami.

Biasanya, jika Li Roulan berhadapan dengan Li Mei, mereka akan sering bergaduh. Li Xiulan yang pendiam jelas berpihak pada saudarinya. Karena itu, Li Mei tidak begitu suka punya adik perempuan. Baginya, mereka berdua sangatlah cerewet tanpa sadar kalau ia sendiri juga sama cerewetnya.

Sa'ad pun tersenyum. Orang tua beruban itu lantas berkata, "Nak, tadi siang aku melihat petir menyambar sebatang pohon, lalu pohon itu menjadi sebuah perahu yang cantik nan indah. Apa kamu percaya?"

"Apa bisa begitu!?" Li Roulan yang cerdas tidak mungkin percaya. Ia yakin kalau pohon disambar petir, pasti akan hancur. Bagaimana bisa menjadi perahu yang indah nan cantik dengan sendirinya? Kakek tua beruban itu pasti berbohong.

Li Fengying yang kebetulan datang terkekeh di pintu masuk. Lucu juga melihat anak-anaknya belajar teologi dengan Sa'ad. Ia pun menjelaskan maksud orang tua itu, "Tentu saja, itu tidak mungkin. Sebagaimana alam semesta yang luas dan indah ini tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya."

"Begitulah, semua hukum alam yang kita ketahui sampai hari ini adalah ketentuan Tuhan. Allah telah menetapkan segala sesuatu sesuai kadarnya. Seperti peredaran benda-benda di angkasa. Juga pergantian siang dan malam. Dari situ, kita bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan," jelas Sa'ad, lalu menutup ceritanya. Ia pun membagikan permen manis kepada anak-anak di Istana Pangeran Zhìzhě. Mereka semua berteriak senang dan girang.

Li An mendapat pencerahan dari cerita itu. Cahaya yang terang meresap ke hatinya. Rasanya hangat dan menentramkan. Ia pun mengerti bahwa cahaya inilah yang dimaksud oleh Selir Ai, ibunya tersayang.

Ke Guangzhou di Bulan Ramadan

Pertemuan Kaisar Tang dengan Duta Khilafah kembali diadakan. Di sana, Sa'ad menjelaskan pokok-pokok agamanya. Mulai dari Islam, Iman, dan Ihsan. Diikuti dengan tanda-tanda hari akhir. Lalu, akhlak-akhlak di dalamnya, seperti berbakti kepada kedua orang tua dan adab bertetangga.

Kaisar Tang memikirkannya dengan matang dan percaya bahwa agama itu adalah agama yang luhur. Cahaya petunjuk telah menyentuh relung hatinya. Namun, ia masih merasa keberatan dengan kewajiban salat lima waktu dan puasa Ramadan.

Walaupun sang kaisar tidak memeluk Islam, ia membiarkan Sa'ad untuk menyiarkan agama itu di Kota Guangzhou, salah satu kota pelabuhan Kekaisaran Tang yang ramai. Kaisar Tang juga mengizinkan pembangunan masjid di kota itu. Kelak, masjid itu diberi nama Huaisheng yang berarti pengingat orang bijak guna mengenang Nabi Muhammad SAW.

Di Istana Pangeran Zhìzhě, para Duta Khilafah sedang bersiap untuk berangkat ke Guangzhou. Li Fengying akan turut bersama mereka dan menetap di sana selama beberapa hari. Jadi, ia juga tengah mempersiapkan bekal untuk perjalanan.

Li An dan Li Mei mengendap-endap ke kamar Pangeran Zhìzhě. Mereka pun mengintip masuk dan mengamati persiapan Li Fengying. Sebenarnya, mereka ingin ikut ke Guangzhou. Namun, mereka merasa sungkan untuk meminta pada sang ayah secara langsung.

"Anak-anak, ke marilah!" ucap Li Fengying lembut, tapi mengagetkan Li An dan Li Mei. Mereka berdua langsung terjatuh saking kagetnya. Li Mei menindih tubuh adik sepupunya yang mungil. Untung ia bisa sedikit menahan tubuhnya sehingga Li An tidak cidera. Namun, tetap saja bocah kecil itu mengaduh.

"Mei’er, An’er!?" Li Fengying menoleh dan segera menuju ke pintu kamarnya. Wajahnya terlihat khawatir dan merasa bersalah. Kalau sampai kedua anak itu menangis, pasti ia akan habis dimarahi Nyonya Lu malam ini.

"Apa kalian baik-baik saja?" Li Fengying membantu ponakannya bangkit. Li Mei sudah bisa berdiri sendiri. Wajahnya yang gelisah dan merasa bersalah mirip seperti ayahnya. Ia pun juga menanyakan kondisi Li An, "An'er, kamu nggak apa-apa kan? Apa ada yang sakit?"

"Sakit!" jawab Li An dengan ketus, "Kakak Mei menindihku. Badanku jadi sakit."

Biasanya Li Mei akan mengolok Li An sebagai anak lemah atau lainnya. Namun, ia tidak bisa melakukannya sekarang. Dengan wajah ayunya yang penuh rasa bersalah, ia pun berkata, "An'er, aku tidak sengaja. Maafkan aku. Sungguh, aku tidak sengaja."

"Hmph!" Li An membuang muka, pura-pura marah. Seru juga melihat kakak sepupunya itu memohon. Anggap saja ini sebagai balasan karena Li Mei sering mengganggunya. Li Fengying pun menengahi dan mengajak keduanya untuk masuk.

"Jadi, apakah ada yang ingin kalian sampaikan? Mau ikut ke Guangzhou" tebak Li Fengying dengan wajahnya yang ramah seperti biasa. Li An dan Li Mei saling pandang. Setelah berdialog dengan isyarat mata, mereka mengangguk sepakat. Maka, Li An pun berseru, "Benar, aku ingin ikut ke Guangzhou."

"Iya, ajak kami ke sana," sambung Li Mei.

Li Fengying sudah menduganya. Ia pun menghela napas, lalu tersenyum. Pangeran Zhìzhě memang berniat untuk mengajak sebagian keluarganya untuk pergi. Jadi, itu bukan masalah besar.

"Tentu, kalian boleh ikut asalkan mama mengizinkan," jawab Li Fengying dengan memberi syarat. Li An langsung berhambur keluar. Li Mei pun berlari mengikutinya. Li Fengying hanya menggeleng-geleng maklum dengan tingkah kedua anak itu. Ia tidak menyangka bahwa ponakannya yang introver itu akan sangat bersemangat ke Kota Guangzhou.

"Bibi, Bibi," seru Li An di taman belakang Istana Pangeran Zhìzhě.

Nyonya Lu menoleh heran. Ia jadi menghentikan sulamannya karena penggilan itu. Sangat jarang Li An mencarinya duluan. Biasanya, ia harus meminta seorang dayang untuk memanggilnya jika ingin bertemu.

"Bibi, aku mau ikut paman ke Guangzhou. Boleh, ya? Boleh?" pinta Li An saat menghadap Nyonya Lu. Ia duduk berlutut di samping bibinya. Kedua tangan mungilnya memegang pergelangan Sang Nyonya Pertama Istana Pangeran Zhìzhě. Bocah itu menunjukkan wajah seimut mungkin agar diizinkan.

"Mama, aku juga mau ikut," Li Mei berhambur memeluk Nyonya Lu dari belakang. Ia meminta pada ibunya dengan manja. Pasti akan menyenangkan saat pergi ke luar Ibu Kota Chang An bersama adiknya nanti.

“An’er mau ikut ke Guangzhou? Ada angin apa ini?” tanya Nyonya Lu sengaja menggoda Li An. Ia sudah mendengar dari putrinya bagaimana Pangeran Kedelapan takut dengan Sa’ad. Li An pun tertunduk dan berpikir, “A, aku ….”

“Aku mau ikut,” pada akhirnya, Li An tidak memberi jawaban. Padahal, Nyonya Lu sudah sangat menantikannya. Wanita itu pun mengacak rambut panjang Li An sambil tersenyum padanya, “Guangzhou sangat besar. Kalau kamu hilang gimana?”

“Kan ada Paman Guang,” jawab Li An polos. Ia sangat percaya dengan prajurit jangkung itu. Sejauh ini, Ma Guang adalah prajurit yang paling dekat dengannya. Li Fengying bahkan sedang mempertimbangkan untuk mengangkat Ma Guang sebagai guru bela diri Li An.

Nyonya Lu tertawa mendengar jawaban sederhana itu. Sebenarnya, ia tidak khawatir sama sekali dengan keselamatan Li An di sana. Wanita itu sangat yakin dengan keamanan yang mengawal keluarganya. Ini hanya ingin menggali obsesi Li An.

“Di sana banyak orang asing loh. Kamu nggak takut?” Nyonya Lu kembali menggoda Li An. Seperti yang ia duga, bocah itu jadi seolah syok sesaat. Ekspresi takut-takut gugupnya terlihat lucu bagi Nyonya Lu.

Li An pun berpikir dalam, mencari cara untuk tidak terlibat dengan orang-orang asing itu. Ia lantas menoleh kepada Li Mei. Sebuah ide tiba-tiba menyala di atas kepalanya, “Biar Kakak Mei saja yang urus.”

Nyonya Lu lagi-lagi tertawa mendengar jawaban polos itu. Li Mei langsung mencubit pipi Li An dan mengomelinya. Setelah seharian berbincang ria, mereka pun memutuskan akan pergi ke Guangzhou bersama.

...***...

"An'er, lihat itu! Apakah itu yang namanya orang Arab?" Li Mei menunjuk orang-orang asing yang mayoritasnya mengenakan jubah dan serban. Mereka berbadan tinggi dan berkulit putih. Janggutnya tebal-tebal. Dagangan yang mereka jual terlihat unik-unik dan menawan.

"Benar, mereka adalah teman-temannya Kakek Sa'ad. Bukannya tadi sudah dikasih tahu?" Li Roulan yang menjawab. Nadanya terdengar menyayat seperti biasa. Li Mei yang tidak terima pun berseru, "Siapa yang bertanya padamu?"

"Aku hanya menjawabnya saja. Apa itu salah?" Li Roulan mengangkat bahu sambil mencibir. Kedua putri Pangeran Zhìzhě itu pun saling berdebat. Li An yang terpaksa mengikuti mereka hanya bisa menggeleng heran dan membuang napas.

"An'er, ayo tinggalkan saja mereka," ajak Li Xiulan.

Seorang anak lelaki depan kembaran Li Roulan juga mengangguk. Anak itu adalah Li Chen, adik kandung Li Mei yang usianya setahun lebih muda dari Li An. Ia menarik-narik lengan baju sepupunya, ikut mengajak pergi, "Kakak An, ayo pergi lihat itu. Kakak Mei dan Kakak Roulan terlalu berisik."

"Tapi ...," Li An memandang ke belakang. Li Mei dan Li Roulan masih bertengkar di sana. Li Xiulan pun menepuk pundaknya dan berkata, "An'er, tenang saja. Paman Bing ada di sana bersama Bibi Kai. Paman Guang, ayo temani kami!"

Ma Guang segera menoleh. Ia baru saja mau memesan sebungkus makanan goreng. Niatnya batal karena panggilan gadis itu.

"Maaf, Putri Xiulan. Kita tidak boleh berpisah di tempat yang ramai ini," ucap Ma Guang menolak dengan sopan.

Li Xiulan pun berkacak pinggang. Matanya menatap tajam. Tatapan itu seakan berkata, "Apa masalahnya? Masih ada Paman Bing dan Bibi Kai di sana."

Ma Guang tidak mengerti bahasa mata seperti itu. Perkataan dan tindakannya tegas. Ia hanya menjalankan perintah dari majikannya untuk menjaga anak-anak Pangeran Zhìzhě itu.

"Kakak Mei, Kakak Rou, Sudahlah! Kami akan meninggalkan kalian kalau masih ribut terus," protes Li An mewakili Li Xiulan dan Li Chen.

Kedua gadis itu pun berhenti. Namun, mereka masih belum mau berdamai. Li Mei berjalan di samping Li An dan saudaranya, sementara Li Roulan berjalan di samping Li Xiulan.

Mereka membeli banyak makanan dan mainan di pasar orang-orang asing. Ma Guang dan Xiao Bing harus menderita karena membawakan barang-barang mereka, sedangkan seorang wanita paruh baya yang bernama Tan Kai jadi kewalahan menjaga anak-anak itu agar tidak terpisah.

"Ayo mampir ke rumah Kakek Sa'ad dulu. Kita kasih oleh-oleh untuknya," usul Li Mei yang langsung disetujui oleh anak-anak lainnya.

Hari sudah sore. Ma Guang menyewa seorang kurir untuk membawakan barang-barang mereka ke Kediaman Pangeran Zhìzhě di Kota Guangzhou. Setelah beres, barulah mereka meluncur ke Kediaman Duta Khilafah di Guangzhou.

Seorang prajurit yang merupakan kenalan Ma Guang dan Xiao Bing menyambut kedatangan mereka. Ia memberi hormat kepada putra-putri Pangeran Zhìzhě dan segera melaporkan kedatangan mereka pada Sa'ad yang sedang membaca Al-Qur'an di halamannya. Kakek tua beruban itu pun tersenyum senang.

Dibukalah pintu Kediaman Dinas Sa'ad. Anak-anak segera berhambur ke dalamnya. Hanya Li An yang tetap jalan perlahan di samping Ma Guang. Sepertinya, ia belum benar-benar membuka diri.

"Maaf telah merepotkan Tuan Sa'ad," Ma Guang mewakili tuannya memohon maaf. Ia menyatukan tangannya dan menundukkan kepalanya sedikit. Badannya tegak, tapi penuh rasa hormat.

"Prajurit Ma tidak perlu sungkan. Aku sungguh senang kedatangan tamu yang tidak terduga," balas Sa'ad dengan senyum ramah di wajah tuanya, "Anak-anak Pangeran Zhìzhě sungguh penuh semangat. Melihat anak-anak muda seperti ini, tentu generasi tua akan senang."

"Kakek, Kakek, kami bawa oleh-oleh," Li Chen menyerahkan bingkisan jajan yang dibelinya tadi. Sebelum masuk gerbang, anak paling muda itu bersikeras melakukannya. Ia ingin berterima kasih karena diberi gula-gula tempo hari.

"Oh, oh … kalian sungguh anak-anak yang baik. Terima kasih buah tangannya," puji Sa'ad sembari menerima bingkisan dari Li Chen. Pria tua beruban itu pun menyimpannya. Kemudian, ia meminta seorang pelayan Arab untuk mengambilkan jajanan miliknya.

Anak-anak makan dengan lahap jajanan itu. Ma Guang, Xiao Bing, dan Tan Kai juga menikmati jamuannya. Sang tuan rumah sendiri hanya duduk memperhatikan dengan seulas senyum yang mengembang.

Li An memperhatikannya. Ia berpikir untuk bertanya pada pria tua itu, tapi ia enggan melakukannya. Entah mengapa ia belum merasa dekat dengan Sa'ad. Karena penasaran, ia pun bertanya pada Li Mei, "Kakak Mei, mengapa dia tidak ikut makan?"

"Ha? Benarkah?" Li Mei baru sadar. Ia sudah menghabiskan beberapa bakpao isi ayam yang sedap. Saking enaknya, ia sampai tidak memperhatikan sekitar. Seperti harapan Li An, gadis itu langsung bertanya, "Kakek, kenapa Kakek tidak ikut makan?"

"Hm?" Sa'ad mengerutkan matanya. Sejak tadi, ia juga diam-diam memperhatikan Li An yang tidak lahap memakan hidangannya sampai membisikkan sesuatu kepada Li Mei. Dikiranya, anak itu tidak suka dengan hidangan yang ia sajikan. Syukurlah bukan itu penyebabnya.

"Sekarang adalah bulan Ramadan. Kami, orang-orang Islam berpuasa di bulan ini," jelas Sa'ad sambil mengelus-elus janggutnya. Wajah teduhnya mengulas senyum takzim. Ia sungguh cerminan kakek tua yang ramah.

"Ramadan? Puasa? Ap itu?" tanya Li Mei berturut-turut. Masih ada sisa bakpao di mulutnya. Li Roulan pun menyikutnya agar bersikap lebih sopan. Li Mei langsung menutup mulut, tapi tidak mau menghargai peringatan Li Roulan karena dia Li Roulan.

"Ramadan adalah bulan istimewa bagi kami. Kami berpuasa, menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Itu adalah rukun Islam yang disyariatkan oleh Allah untuk kami," jelas Sa'ad sekaligus, lalu menawarkan, "Sebentar lagi waktu berbuka. Kami akan makan bersama di dekat sini. Apa kalian mau ikut?"

"Mau!" anak-anak bersorak kompak. Tentu saja mereka menginginkannya. Pasti ada makanan yang lebih enak di sana. Bagaimana mungkin mereka bisa menolak?

Sa'ad pun meminta pelayannya agar menambah menu makanan untuk berbuka. Ia berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh anak-anak. Mereka jadi penasaran karenanya.

Setelah itu, Li Mei meminta cerita kepada Sa'ad. Dengan senang hati, pria tua beruban itu memberikannya. Ma Guang bersyukur dalam hati. Untung ia sudah memberi pesan kepada tuannya. Li Fengying pasti akan datang sebentar lagi.

Waktu berlalu tanpa terasa selama Sa'ad bercerita. Seorang pria paruh baya seusia Li Fengying datang mengundang para tamu Duta Khilafah ke tempat yang sudah disiapkan. Tan Kai dan Ma Guang pun segera mengingatkan anak-anak agar menjaga sikap dan tidak berlarian.

Tepat saat itu pula Li Fengying datang. Ia berniat menjemput anak-anaknya dan langsung pulang, tapi Sa'ad memintanya untuk ikut berbuka terlebih dahulu. Dengan dorongan anak-anaknya, ia pun mau menerima tawaran itu.

Tempat makan antara laki-laki dan perempuan dipisah, sedangkan anak-anak dikumpulkan menjadi satu. Ada banyak anak di sana. Tidak hanya Li An dan sepupu-sepupunya, tapi juga beberapa anak-anak keturunan Arab.

Li An mengamati sekitar seperti biasanya. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada. Padahal hanya ada anak-anak dan beberapa pelayan di sana. Li Mei pun menepuk bahunya sampai ia terkejut. Gadis itu tertawa melihat dirinya begitu. Namun, ia hanya bisa melotot karena memang tidak suka mencari keributan, apalagi di rumah orang.

Makanan yang bermacam segera dihidangkan. Li Mei ingin segera mencomotnya. Namun, Li Roulan segera menepuk tangannya.

"Sst! Tunggu dulu yang lain mulai!" ujar Li Roulan sinis. Ia hanya ingin mengingatkan, tapi nadanya begitu menusuk sampai membuat Li Mei jengkel. Putri tertua Pangeran Zhìzhě itu pun segera membuang muka.

Li An menoleh ke kanan-kiri lagi, mencari barang yang kira-kira ditunggu anak-anak Arab itu. Mungkinkah ada manisan atau camilan lain sebelum makan? Begitu pikirnya.

Sebuah lantunan pun terdengar. Seorang wanita Arab menepuk tangannya kemudian. Ia tersenyum dan mengatakan sesuatu yang kira-kira memuji anak-anak Arab di ruangan itu. Baru setelah itu ia mengubah bahasa dengan bahasa Kekaisaran Tang agar Li An dan rombongannya mengerti.

"Terima kasih sudah menunggu. Kalian bisa makan sekarang," ucap wanita berkerudung itu ramah, “Suara azan sudah berkumandang. Itu artinya waktu berbuka telah datang.”

Yah, selain makanannya yang bermacam, Li An juga memperhatikan pakaian orang-orang Arab yang sedikit berbeda dengannya. Terutama para gadis dan wanita mereka. Buat apa mereka menutup rambut dan kepala dengan kain besar begitu? Apakah mereka tidak merasa gerah? Li An bertanya-tanya, tapi tak berani mengungkapkannya.

Acara itu dengan cepat berlalu. Sebelum pulang, seorang gadis Arab berkenalan dengan Li An. Namanya Zainab binti Abdullah. Ia adalah gadis yang pandai berbahasa Tang walau pun masih belum fasih. Katanya, ia ingin berteman dengan Li An dan saudara-saudarinya.

Li Mei yang melihat itu segera menarik adik sepupunya untuk cepat pergi. Entah mengapa, ia tidak suka dengan gadis berkerudung itu. Padahal, tampangnya cantik dan baik hati. Mungkin karena gadis itu mendekati Li An, mungkin juga karena memang si kakak tertua ingin segera pulang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!