Pertemuan Kaisar Tang dengan Duta Khilafah kembali diadakan. Di sana, Sa'ad menjelaskan pokok-pokok agamanya. Mulai dari Islam, Iman, dan Ihsan. Diikuti dengan tanda-tanda hari akhir. Lalu, akhlak-akhlak di dalamnya, seperti berbakti kepada kedua orang tua dan adab bertetangga.
Kaisar Tang memikirkannya dengan matang dan percaya bahwa agama itu adalah agama yang luhur. Cahaya petunjuk telah menyentuh relung hatinya. Namun, ia masih merasa keberatan dengan kewajiban salat lima waktu dan puasa Ramadan.
Walaupun sang kaisar tidak memeluk Islam, ia membiarkan Sa'ad untuk menyiarkan agama itu di Kota Guangzhou, salah satu kota pelabuhan Kekaisaran Tang yang ramai. Kaisar Tang juga mengizinkan pembangunan masjid di kota itu. Kelak, masjid itu diberi nama Huaisheng yang berarti pengingat orang bijak guna mengenang Nabi Muhammad SAW.
Di Istana Pangeran Zhìzhě, para Duta Khilafah sedang bersiap untuk berangkat ke Guangzhou. Li Fengying akan turut bersama mereka dan menetap di sana selama beberapa hari. Jadi, ia juga tengah mempersiapkan bekal untuk perjalanan.
Li An dan Li Mei mengendap-endap ke kamar Pangeran Zhìzhě. Mereka pun mengintip masuk dan mengamati persiapan Li Fengying. Sebenarnya, mereka ingin ikut ke Guangzhou. Namun, mereka merasa sungkan untuk meminta pada sang ayah secara langsung.
"Anak-anak, ke marilah!" ucap Li Fengying lembut, tapi mengagetkan Li An dan Li Mei. Mereka berdua langsung terjatuh saking kagetnya. Li Mei menindih tubuh adik sepupunya yang mungil. Untung ia bisa sedikit menahan tubuhnya sehingga Li An tidak cidera. Namun, tetap saja bocah kecil itu mengaduh.
"Mei’er, An’er!?" Li Fengying menoleh dan segera menuju ke pintu kamarnya. Wajahnya terlihat khawatir dan merasa bersalah. Kalau sampai kedua anak itu menangis, pasti ia akan habis dimarahi Nyonya Lu malam ini.
"Apa kalian baik-baik saja?" Li Fengying membantu ponakannya bangkit. Li Mei sudah bisa berdiri sendiri. Wajahnya yang gelisah dan merasa bersalah mirip seperti ayahnya. Ia pun juga menanyakan kondisi Li An, "An'er, kamu nggak apa-apa kan? Apa ada yang sakit?"
"Sakit!" jawab Li An dengan ketus, "Kakak Mei menindihku. Badanku jadi sakit."
Biasanya Li Mei akan mengolok Li An sebagai anak lemah atau lainnya. Namun, ia tidak bisa melakukannya sekarang. Dengan wajah ayunya yang penuh rasa bersalah, ia pun berkata, "An'er, aku tidak sengaja. Maafkan aku. Sungguh, aku tidak sengaja."
"Hmph!" Li An membuang muka, pura-pura marah. Seru juga melihat kakak sepupunya itu memohon. Anggap saja ini sebagai balasan karena Li Mei sering mengganggunya. Li Fengying pun menengahi dan mengajak keduanya untuk masuk.
"Jadi, apakah ada yang ingin kalian sampaikan? Mau ikut ke Guangzhou" tebak Li Fengying dengan wajahnya yang ramah seperti biasa. Li An dan Li Mei saling pandang. Setelah berdialog dengan isyarat mata, mereka mengangguk sepakat. Maka, Li An pun berseru, "Benar, aku ingin ikut ke Guangzhou."
"Iya, ajak kami ke sana," sambung Li Mei.
Li Fengying sudah menduganya. Ia pun menghela napas, lalu tersenyum. Pangeran Zhìzhě memang berniat untuk mengajak sebagian keluarganya untuk pergi. Jadi, itu bukan masalah besar.
"Tentu, kalian boleh ikut asalkan mama mengizinkan," jawab Li Fengying dengan memberi syarat. Li An langsung berhambur keluar. Li Mei pun berlari mengikutinya. Li Fengying hanya menggeleng-geleng maklum dengan tingkah kedua anak itu. Ia tidak menyangka bahwa ponakannya yang introver itu akan sangat bersemangat ke Kota Guangzhou.
"Bibi, Bibi," seru Li An di taman belakang Istana Pangeran Zhìzhě.
Nyonya Lu menoleh heran. Ia jadi menghentikan sulamannya karena penggilan itu. Sangat jarang Li An mencarinya duluan. Biasanya, ia harus meminta seorang dayang untuk memanggilnya jika ingin bertemu.
"Bibi, aku mau ikut paman ke Guangzhou. Boleh, ya? Boleh?" pinta Li An saat menghadap Nyonya Lu. Ia duduk berlutut di samping bibinya. Kedua tangan mungilnya memegang pergelangan Sang Nyonya Pertama Istana Pangeran Zhìzhě. Bocah itu menunjukkan wajah seimut mungkin agar diizinkan.
"Mama, aku juga mau ikut," Li Mei berhambur memeluk Nyonya Lu dari belakang. Ia meminta pada ibunya dengan manja. Pasti akan menyenangkan saat pergi ke luar Ibu Kota Chang An bersama adiknya nanti.
“An’er mau ikut ke Guangzhou? Ada angin apa ini?” tanya Nyonya Lu sengaja menggoda Li An. Ia sudah mendengar dari putrinya bagaimana Pangeran Kedelapan takut dengan Sa’ad. Li An pun tertunduk dan berpikir, “A, aku ….”
“Aku mau ikut,” pada akhirnya, Li An tidak memberi jawaban. Padahal, Nyonya Lu sudah sangat menantikannya. Wanita itu pun mengacak rambut panjang Li An sambil tersenyum padanya, “Guangzhou sangat besar. Kalau kamu hilang gimana?”
“Kan ada Paman Guang,” jawab Li An polos. Ia sangat percaya dengan prajurit jangkung itu. Sejauh ini, Ma Guang adalah prajurit yang paling dekat dengannya. Li Fengying bahkan sedang mempertimbangkan untuk mengangkat Ma Guang sebagai guru bela diri Li An.
Nyonya Lu tertawa mendengar jawaban sederhana itu. Sebenarnya, ia tidak khawatir sama sekali dengan keselamatan Li An di sana. Wanita itu sangat yakin dengan keamanan yang mengawal keluarganya. Ini hanya ingin menggali obsesi Li An.
“Di sana banyak orang asing loh. Kamu nggak takut?” Nyonya Lu kembali menggoda Li An. Seperti yang ia duga, bocah itu jadi seolah syok sesaat. Ekspresi takut-takut gugupnya terlihat lucu bagi Nyonya Lu.
Li An pun berpikir dalam, mencari cara untuk tidak terlibat dengan orang-orang asing itu. Ia lantas menoleh kepada Li Mei. Sebuah ide tiba-tiba menyala di atas kepalanya, “Biar Kakak Mei saja yang urus.”
Nyonya Lu lagi-lagi tertawa mendengar jawaban polos itu. Li Mei langsung mencubit pipi Li An dan mengomelinya. Setelah seharian berbincang ria, mereka pun memutuskan akan pergi ke Guangzhou bersama.
...***...
"An'er, lihat itu! Apakah itu yang namanya orang Arab?" Li Mei menunjuk orang-orang asing yang mayoritasnya mengenakan jubah dan serban. Mereka berbadan tinggi dan berkulit putih. Janggutnya tebal-tebal. Dagangan yang mereka jual terlihat unik-unik dan menawan.
"Benar, mereka adalah teman-temannya Kakek Sa'ad. Bukannya tadi sudah dikasih tahu?" Li Roulan yang menjawab. Nadanya terdengar menyayat seperti biasa. Li Mei yang tidak terima pun berseru, "Siapa yang bertanya padamu?"
"Aku hanya menjawabnya saja. Apa itu salah?" Li Roulan mengangkat bahu sambil mencibir. Kedua putri Pangeran Zhìzhě itu pun saling berdebat. Li An yang terpaksa mengikuti mereka hanya bisa menggeleng heran dan membuang napas.
"An'er, ayo tinggalkan saja mereka," ajak Li Xiulan.
Seorang anak lelaki depan kembaran Li Roulan juga mengangguk. Anak itu adalah Li Chen, adik kandung Li Mei yang usianya setahun lebih muda dari Li An. Ia menarik-narik lengan baju sepupunya, ikut mengajak pergi, "Kakak An, ayo pergi lihat itu. Kakak Mei dan Kakak Roulan terlalu berisik."
"Tapi ...," Li An memandang ke belakang. Li Mei dan Li Roulan masih bertengkar di sana. Li Xiulan pun menepuk pundaknya dan berkata, "An'er, tenang saja. Paman Bing ada di sana bersama Bibi Kai. Paman Guang, ayo temani kami!"
Ma Guang segera menoleh. Ia baru saja mau memesan sebungkus makanan goreng. Niatnya batal karena panggilan gadis itu.
"Maaf, Putri Xiulan. Kita tidak boleh berpisah di tempat yang ramai ini," ucap Ma Guang menolak dengan sopan.
Li Xiulan pun berkacak pinggang. Matanya menatap tajam. Tatapan itu seakan berkata, "Apa masalahnya? Masih ada Paman Bing dan Bibi Kai di sana."
Ma Guang tidak mengerti bahasa mata seperti itu. Perkataan dan tindakannya tegas. Ia hanya menjalankan perintah dari majikannya untuk menjaga anak-anak Pangeran Zhìzhě itu.
"Kakak Mei, Kakak Rou, Sudahlah! Kami akan meninggalkan kalian kalau masih ribut terus," protes Li An mewakili Li Xiulan dan Li Chen.
Kedua gadis itu pun berhenti. Namun, mereka masih belum mau berdamai. Li Mei berjalan di samping Li An dan saudaranya, sementara Li Roulan berjalan di samping Li Xiulan.
Mereka membeli banyak makanan dan mainan di pasar orang-orang asing. Ma Guang dan Xiao Bing harus menderita karena membawakan barang-barang mereka, sedangkan seorang wanita paruh baya yang bernama Tan Kai jadi kewalahan menjaga anak-anak itu agar tidak terpisah.
"Ayo mampir ke rumah Kakek Sa'ad dulu. Kita kasih oleh-oleh untuknya," usul Li Mei yang langsung disetujui oleh anak-anak lainnya.
Hari sudah sore. Ma Guang menyewa seorang kurir untuk membawakan barang-barang mereka ke Kediaman Pangeran Zhìzhě di Kota Guangzhou. Setelah beres, barulah mereka meluncur ke Kediaman Duta Khilafah di Guangzhou.
Seorang prajurit yang merupakan kenalan Ma Guang dan Xiao Bing menyambut kedatangan mereka. Ia memberi hormat kepada putra-putri Pangeran Zhìzhě dan segera melaporkan kedatangan mereka pada Sa'ad yang sedang membaca Al-Qur'an di halamannya. Kakek tua beruban itu pun tersenyum senang.
Dibukalah pintu Kediaman Dinas Sa'ad. Anak-anak segera berhambur ke dalamnya. Hanya Li An yang tetap jalan perlahan di samping Ma Guang. Sepertinya, ia belum benar-benar membuka diri.
"Maaf telah merepotkan Tuan Sa'ad," Ma Guang mewakili tuannya memohon maaf. Ia menyatukan tangannya dan menundukkan kepalanya sedikit. Badannya tegak, tapi penuh rasa hormat.
"Prajurit Ma tidak perlu sungkan. Aku sungguh senang kedatangan tamu yang tidak terduga," balas Sa'ad dengan senyum ramah di wajah tuanya, "Anak-anak Pangeran Zhìzhě sungguh penuh semangat. Melihat anak-anak muda seperti ini, tentu generasi tua akan senang."
"Kakek, Kakek, kami bawa oleh-oleh," Li Chen menyerahkan bingkisan jajan yang dibelinya tadi. Sebelum masuk gerbang, anak paling muda itu bersikeras melakukannya. Ia ingin berterima kasih karena diberi gula-gula tempo hari.
"Oh, oh … kalian sungguh anak-anak yang baik. Terima kasih buah tangannya," puji Sa'ad sembari menerima bingkisan dari Li Chen. Pria tua beruban itu pun menyimpannya. Kemudian, ia meminta seorang pelayan Arab untuk mengambilkan jajanan miliknya.
Anak-anak makan dengan lahap jajanan itu. Ma Guang, Xiao Bing, dan Tan Kai juga menikmati jamuannya. Sang tuan rumah sendiri hanya duduk memperhatikan dengan seulas senyum yang mengembang.
Li An memperhatikannya. Ia berpikir untuk bertanya pada pria tua itu, tapi ia enggan melakukannya. Entah mengapa ia belum merasa dekat dengan Sa'ad. Karena penasaran, ia pun bertanya pada Li Mei, "Kakak Mei, mengapa dia tidak ikut makan?"
"Ha? Benarkah?" Li Mei baru sadar. Ia sudah menghabiskan beberapa bakpao isi ayam yang sedap. Saking enaknya, ia sampai tidak memperhatikan sekitar. Seperti harapan Li An, gadis itu langsung bertanya, "Kakek, kenapa Kakek tidak ikut makan?"
"Hm?" Sa'ad mengerutkan matanya. Sejak tadi, ia juga diam-diam memperhatikan Li An yang tidak lahap memakan hidangannya sampai membisikkan sesuatu kepada Li Mei. Dikiranya, anak itu tidak suka dengan hidangan yang ia sajikan. Syukurlah bukan itu penyebabnya.
"Sekarang adalah bulan Ramadan. Kami, orang-orang Islam berpuasa di bulan ini," jelas Sa'ad sambil mengelus-elus janggutnya. Wajah teduhnya mengulas senyum takzim. Ia sungguh cerminan kakek tua yang ramah.
"Ramadan? Puasa? Ap itu?" tanya Li Mei berturut-turut. Masih ada sisa bakpao di mulutnya. Li Roulan pun menyikutnya agar bersikap lebih sopan. Li Mei langsung menutup mulut, tapi tidak mau menghargai peringatan Li Roulan karena dia Li Roulan.
"Ramadan adalah bulan istimewa bagi kami. Kami berpuasa, menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Itu adalah rukun Islam yang disyariatkan oleh Allah untuk kami," jelas Sa'ad sekaligus, lalu menawarkan, "Sebentar lagi waktu berbuka. Kami akan makan bersama di dekat sini. Apa kalian mau ikut?"
"Mau!" anak-anak bersorak kompak. Tentu saja mereka menginginkannya. Pasti ada makanan yang lebih enak di sana. Bagaimana mungkin mereka bisa menolak?
Sa'ad pun meminta pelayannya agar menambah menu makanan untuk berbuka. Ia berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh anak-anak. Mereka jadi penasaran karenanya.
Setelah itu, Li Mei meminta cerita kepada Sa'ad. Dengan senang hati, pria tua beruban itu memberikannya. Ma Guang bersyukur dalam hati. Untung ia sudah memberi pesan kepada tuannya. Li Fengying pasti akan datang sebentar lagi.
Waktu berlalu tanpa terasa selama Sa'ad bercerita. Seorang pria paruh baya seusia Li Fengying datang mengundang para tamu Duta Khilafah ke tempat yang sudah disiapkan. Tan Kai dan Ma Guang pun segera mengingatkan anak-anak agar menjaga sikap dan tidak berlarian.
Tepat saat itu pula Li Fengying datang. Ia berniat menjemput anak-anaknya dan langsung pulang, tapi Sa'ad memintanya untuk ikut berbuka terlebih dahulu. Dengan dorongan anak-anaknya, ia pun mau menerima tawaran itu.
Tempat makan antara laki-laki dan perempuan dipisah, sedangkan anak-anak dikumpulkan menjadi satu. Ada banyak anak di sana. Tidak hanya Li An dan sepupu-sepupunya, tapi juga beberapa anak-anak keturunan Arab.
Li An mengamati sekitar seperti biasanya. Matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada. Padahal hanya ada anak-anak dan beberapa pelayan di sana. Li Mei pun menepuk bahunya sampai ia terkejut. Gadis itu tertawa melihat dirinya begitu. Namun, ia hanya bisa melotot karena memang tidak suka mencari keributan, apalagi di rumah orang.
Makanan yang bermacam segera dihidangkan. Li Mei ingin segera mencomotnya. Namun, Li Roulan segera menepuk tangannya.
"Sst! Tunggu dulu yang lain mulai!" ujar Li Roulan sinis. Ia hanya ingin mengingatkan, tapi nadanya begitu menusuk sampai membuat Li Mei jengkel. Putri tertua Pangeran Zhìzhě itu pun segera membuang muka.
Li An menoleh ke kanan-kiri lagi, mencari barang yang kira-kira ditunggu anak-anak Arab itu. Mungkinkah ada manisan atau camilan lain sebelum makan? Begitu pikirnya.
Sebuah lantunan pun terdengar. Seorang wanita Arab menepuk tangannya kemudian. Ia tersenyum dan mengatakan sesuatu yang kira-kira memuji anak-anak Arab di ruangan itu. Baru setelah itu ia mengubah bahasa dengan bahasa Kekaisaran Tang agar Li An dan rombongannya mengerti.
"Terima kasih sudah menunggu. Kalian bisa makan sekarang," ucap wanita berkerudung itu ramah, “Suara azan sudah berkumandang. Itu artinya waktu berbuka telah datang.”
Yah, selain makanannya yang bermacam, Li An juga memperhatikan pakaian orang-orang Arab yang sedikit berbeda dengannya. Terutama para gadis dan wanita mereka. Buat apa mereka menutup rambut dan kepala dengan kain besar begitu? Apakah mereka tidak merasa gerah? Li An bertanya-tanya, tapi tak berani mengungkapkannya.
Acara itu dengan cepat berlalu. Sebelum pulang, seorang gadis Arab berkenalan dengan Li An. Namanya Zainab binti Abdullah. Ia adalah gadis yang pandai berbahasa Tang walau pun masih belum fasih. Katanya, ia ingin berteman dengan Li An dan saudara-saudarinya.
Li Mei yang melihat itu segera menarik adik sepupunya untuk cepat pergi. Entah mengapa, ia tidak suka dengan gadis berkerudung itu. Padahal, tampangnya cantik dan baik hati. Mungkin karena gadis itu mendekati Li An, mungkin juga karena memang si kakak tertua ingin segera pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Tarik Jabrik
keren thor👍
2021-12-26
2
Instagram @AlanaNourah
Nah loh jd belajar tentang puasa mereka 😆🌸💕🌸💕
2021-12-23
2