Nyonya Lu dan Nyonya Chu menyambut anak-anak dengan hangat begitu sampai di rumah. Mereka terlihat sangat lelah. Li Chen bahkan langsung tidur di pangkuan mamanya. Namun, tetap saja masih ada yang bersemangat.
Li Mei dan Li Roulan saling berebutan untuk menceritakan pengalaman mereka seharian ini kepada Li Fengying. Kadang mereka berselisih pendapat karena perbedaan sudut pandang. Sering juga karena masalah yang tidak saling berhubungan.
Saat kedua gadis itu bergaduh, Li An dan Li Xiulan hanya terdiam mendengarkan sambil menikmati teh yang diseduhkan Nyonya Chu. Sebenarnya, mereka sudah sumpek menyimak perdebatan kedua gadis itu sejak pagi. Perdebatan mereka selalu saja pecah setiap ada kesempatan seakan topik berdebat itu tidak ada habisnya.
"Bakpaonya enak, beda sama yang biasa kita makan," ucap Li Mei. Kali ini, mereka sedang membicarakan jamuan di Kediaman Duta Khilafah. Li Roulan yang cenderung vegetarian pun berkomentar, "Nggak, lebih enak supnya. Mereka bilang, sup itu dibuat dengan rempah-rempah di negeri-negeri Selatan."
"Nggak, jelas bakpaonya yang paling enak. Daging di dalam bakpao itu dari daging ayam. Aku yakin. Rasanya khas," Li Mei membela pendapatnya, "Mereka nggak pakai daging-daging aneh di dalamnya."
"Daging-daging aneh?" Li An akhirnya terseret dalam percakapan. Interupsinya membuat Li Roulan tidak jadi membantah Li Mei. Putri Kedua Pangeran Zhìzhě itu pun menjelaskan, "Maksudnya kayak babi, hewan-hewan bertaring dan berkuku tajam, juga darah. Mereka menyebutnya makanan haram."
"Dari mana Rou'er tahu?" Li Xiulan ikut nimbrung. Selama penjamuan tadi, ia sama sekali tidak berkeliaran ke mana-mana. Gadis itu hanya terus duduk menemani Li An yang terlihat kurang nyaman di keramaian.
"Ibu-ibu di dapur ngasih tahu ke aku," Li Mei yang menjawab. Mendengar itu, Li Roulan pun segera menyanggah, "Nggak, aku yang dikasih tahu. Akul yang tanya."
"Aku yang duluan ke sana," balas Li Mei. Mereka kembali berdebat. Pada dasarnya, mereka sudah bersepakat dalam satu hal. Namun, masing-masing mengklaim bahwa ialah yang mendapatkannya lebih dulu.
Li An membuang napas, bosan mendengar perdebatan mereka berdua. Ia juga sudah sangat mengantuk. Tehnya pun telah habis diminum dalam tiga tegukan. Waktunya ia beristirahat dan tidur. Sayangnya, ia tidak berkesempatan untuk menyampaikan kelelahannya itu.
"An'er, kamu mau istirahat sekarang?" untungnya Nyonya Lu wanita yang peka. Ia bisa melihat kesuntukan Li An dan mengajaknya untuk segera kembali ke kamar. Bocah itu pun mengangguk. Matanya yang sipit jadi semakin sipit saking kantuknya. Ia langsung menerima tawaran Nyonya Lu untuk beristirahat.
Li Xiulan juga ingin lekas tidur. Gadis pendiam itu menghampiri Nyonya Chu dan mengajaknya untuk segera kembali ke kamar. Ia biasa mendengar cerita dari ibunya sebelum tidur. Gadis itu tidak akan bisa tidur tanpa ada orang yang menungguinya.
“Tuanku, tolong jangan terlalu larut mengobrol bersama anak-anak,” ucap Nyonya Chu penuh hormat. Pernikahannya dengan Li Fengying adalah perihal politik. Walaupun menikah tanpa cinta, hidupnya tetap diliputi kebahagiaan dengan dikaruniani sepasang putri kembar dan keluarga yang harmonis. Ia merasa amat beruntung sejak mengetahui kalau Li Fengying adalah pangeran yang tidak suka ikut campur dalam intrik politik. Jadi, hidupnya tidak akan semengenaskan Li An yang ibunya hilang tanpa sebab.
“Xiu’er, bagaimana pendapatmu tentang Pangeran Kedelapan?” tanya Nyonya Chu penasaran begitu memikirkan bocah itu. Selama ini, ia sama sekali tidak berharap sedikit pun untuk mendapat hak pengasuhan atas putra kaisar itu. Amat berbanding terbalik dengan Nyonya Lu.
Namun, ia juga sedikit memperhatikan cara Nyonya Lu mengasuh Li An dan putra-putrinya. Rasanya agak iri melihat mereka begitu akrab satu sama lain. Nyonya Chu juga mengharapkan situasi yang hangat seperti itu. Sayangnya, entah bagaimana putri sulungnya punya hawa persaingan yang tinggi dengan putri Nyonya Lu.
“Dia kecil,” tanggapan Li Xiulan membuat Nyonya Chu bingung dan memiringkan wajahnya. Kalau diperhatikan, putri keduanya itu memiliki sifat yang mirip dengan Li An. Mereka juga kelihatan bisa dekat. Tidak seperti Li Raulan dan Li Mei yang selalu bertengkar. Mungkin anak gadisnya yang kedua ini bisa menjadi harapan baginya untuk mendapatkan kehangatan itu.
“An’er sangat pendiam. Mirip Xiu’er kan?” Li Xiulan bahkan mengakuinya. Ia dan Li An memang sama-sama pendiam. Sifat keduanya ibarat pinang dibelah dua. Perbedaannya hanya pada motif dalam karakter kedua anak itu. Li An pendiam karena waspada, sedangkan Li Xiulan pendiam karena pada dasarnya ia gadis yang pemalu, “Tapi, dia anak yang berani. Rou’er dan Kakak Mei yang cerewet bahkan mendengarkannya.”
“Benarkah?” Nyonya Chu tertawa kecil. Setelah itu, Li Xiulan banyak bercerita tentang Li An sampai membuat ibunya mengantuk. Ini pertama kalinya situasi berbalik di mana Li Xiulan yang menjadi pendongengnya. Pada akhirnya, gadis itu lebih dulu kelelahan dan tertidur sendiri.
...***...
“An’er, ke marilah! Tidak perlu sembunyi-sembunyi begitu,” Li Fengying memanggil keponakannya yang malu-malu mengintip dari balik tanaman-tanaman hias di taman. Pangeran Zhìzhě itu tengah membaca manuskrip berbahan kulit hewan. Warnanya agak kekuningan dan berbeda jauh dengan manuskrip yang ada di Kekaisaran Tang.
“Paman baru ngapain?” Li An akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Li Chen kecil ternyata mengekor di belakangnya. Mereka berdua sama-sama penasaran dengan arsip kuning yang terlihat tua itu. Li An merasa pernah melihatnya, tapi ia lupa di mana dan kapan tepatnya.
“Paman sedang memabaca dan belajar,” jawab Li Fengying lugas.
“Aku nggak pernah lihat aksara kayak gitu di Pagoda Arsip Kecil sama Pagoda Pustaka. Itu bacanya apa?” tanya Li An sambil mengamati dokumen di tangan pamannya. Aksara di kertas kuning itu bentuknya aneh, melengkung-lengkung, dan sambung-menyambung seperti cacing yang dijemur. Itu jelas bukan aksara yang umum di Kekaisaran Tang.
“Ini adalah aksara dan lisan Arab, bahasa yang digunakan Kakek Sa’ad dan Duta Khilafah,” jelas Li Fengying. Li An mengangguk-angguk paham, sedangkan Li Chen masih berusaha memahami maksudnya. Jari-jemari mungil bocah itu ingin mengambil kertas kulit yang dibawa ayahnya.
“Maaf, Chen’er. Ini bukan mainan,” Li Fengying menggulung kertasnya dan memberikan gulungan itu kepada seorang abdi dalem. Li Chen jadi terlihat sedih karenanya. Li An pun menepuk pundak sepupunya pelan, tapi tetap terasa keras bagi Li Chen sampai dia protes dengan suara cemprengnya yang memekik di telinga, “Aduh! Kakak An, punggungku jadi sakit.”
“Benar kata paman. Jangan rusak gulungan itu sampai aku membacanya,” Li An membalas serius protes adik angkatnya. Ia sok berkacak pinggang. Li Chen pun kembali protes, “Siapa bilang aku akan merusaknya? Aku juga ingin membaca kertas itu.”
“Terakhir kali kamu ambil gulungan dari Kakek Ma, kamu malah merobeknya sampai kakek sangat histeris,” Li An menahan tangannya untuk tidak mencubit pipi Li Chen. Ia tidak ingin terlihat seperti Li Mei yang sering menyiksanya begitu. Sebagai seorang pangeran yang berniat menjadi sarjana, ia ingin memang dari lawannya dengan cara yang elegan, “Asal kamu tahu, kakek menyuruhku untuk menyalinnya karena kamu masih kecil, belum tahu apa-apa lagi. Kamu harusnya berterima kasih karena nggak dimintai pertanggungjawaban.”
“Salah Kakak sendiri karena meminjam gulungan tua. Aku kan cuma memegangnya sedikit. Kertas itu robek dengan sendirinya," balas Li Chen tanpa tahu malu. Dalam sudut pandangnya, begitulah yang terjadi. Nyatanya, Li Chen menarik kertas itu dengan keras dan tanpa sengaja merobeknya. Li An jadi jengkel dan hampir kehilangan kesabarannya.
Li Fengying terkekeh keras. Li An dan Li Chen jadi bingung dibuatnya. Mereka berhenti mempermasalahkan kertas robek tempo hari itu. Setelah tawanya reda, barulah ia berkata, “Istana Pengeran Zhìzhě benar-benar diberkahi. Aku sangat bersyukur dan bangga karena kalian mau giat belajar. An’er, Kakek Ma hanya ingin kebaikan untukmu. Beliau ingin kamu jadi anak yang bertanggung jawab dan cerdas.”
Li Chen menjulurkan lidah, mengejek Li An yang membuang muka. Namun, ia langsung mendapat teguran dari Li Fengying setelah itu, “Chen’er, kamu juga harus mawas diri dan memperbaiki sikapmu. Benar yang dikatakan An’er, kamu harus berterima kasih padanya. Aku yakin, kamu belum bisa menyalin seperti yang dilakukan An’er.”
Kini giliran Li An yang mengejek Li Chen. Posisinya jauh lebih tinggi sekarang. Mereka pun kembali saling bergaduh. Rasanya seperti melihat Li Mei dan Li Roulan bertengkar. Bedanya, mereka hanya saling berdebat pandang saja.
“Sudahlah, ayo kita ke tempat Kakek Sa’ad saja,” Li Fengying menengahi. Ia berlutut di antara kedua anak itu sambil tersenyum dan menuntun mereka untuk bersalaman. Keduanya menurut, tapi terlihat masih enggan untuk saling memaafkan.
“Ayah mau pergi ke mana?” Li Roulan yang sedang berjalan-jalan dengan kembarannya bertanya. Kebetulan mereka berpas-pasan dengan Pangeran Zhìzhě. Melihat Li An dan Li Chen yang berpakaian rapi, sepertinya mereka akan pergi jalan-jalan ke luar.
“Ayah, aku juga mau ikut,” Li Xiulan langsung meminta tanpa bertanya. Ia sangat yakin dengan intuisinya. Sang ayah pasti akan berjalan-jalan ke luar bersama Li An dan Li Chen. Li Roulan pun mengangguk, tak ingin kalah dengan adiknya.
“Ayah akan ke tempat Kakek Sa’ad untuk belajar,” jelas Li Fengying sambil mengelus rambut kedua putri kembarnya, “Apa kalian sungguh mau ikut?”
“Iya, aku kan rajin belajar,” jawab Li Roulan mantap. Kini gantian Li Xiulan yang mengangguk, mendukung jawaban kakaknya. Walaupun mereka berdua punya karakter yang berbeda, mereka selalu kompak satu sama lain.
“Baiklah, sekalian ajak Kakak Mei kalau begitu,” kata Li Fengying mengizinkan.
“Kakak Mei sedang berlatih adab sama Bibi Lu,” Li Roulan langsung menyahut, “Lebih baik jangan diganggu.”
“Enak saja. Aku juga mau ikut,” suara cempreng Li Mei mengagetkan Li Roulan. Gadis itu berkacak pinggang dengan wajah yang kesal. Li Xiulan dan Li An membuang napas, menduga hal yang akan terjadi.
“Kakak Mei mengagetkanku. Kamu kan nggak perlu teriak-teriak. Aku bisa dengar,” Li Roulan protes seperti yang diduga. Keduanya pun bergaduh seperti biasa. Li Fengying sampai kebingungan mencari cara untuk mengakrabkan mereka berdua.
“Anak-anak, ayo berankat sekarang biar lekas sampai,” kata Li Fengying akhirnya. Kedua putri tertuanya pun berhenti bicara dan saling memalingkan muka. Mereka berjalan ke posisi masing-masing seperti biasa. Li Mei ke sisi Li An dan adiknya, sementara Li Roulan ke sisi Li Xiulan.
Mereka berangkat dengan kereta kuda milik Pengeran Zhìzhě. Saat sampai di halaman Duta Khilafah, mereka disambut langsung oleh Sa’ad. Kedatangan informal keluarga pangeran itu dapat mempererat hubungan baik kedua negara.
“Sungguh sebuah kabar gembira bagi kami kalau anak-anak Pangeran Zhìzhě ingin belajar di sini. Kami akan dengan senang hati membimbing Anda sekalian,” ujar Sa’ad menyambut baik permintaan Li Fengying.
“Kakek, ajari aku membaca dan menulis. Aku tidak akan kalah dengan Kakak An,” seru Li Chen bersemangat, “Kakak An, aku pasti bisa menyalin lebih hebat darimu.”
“Kita lihat saja nanti,” Li An menerima proposal persaingan Li Chen.
Sa’ad terkekeh senang mendengarnya. Sama seperti Li Fengying, ia sangat bangga dengan anak-anak muda yang membara seperti putra-putri Pangeran Zhìzhě. Ia pun berkata memuji, “Pangeran An dan Pangeran Chen sosok yang bersemangat. Kekaisaran Tang sangat beruntung memiliki kalian sebagai pewaris intelektual.”
“Kakek, aku juga tidak akan kalah,” Li Mei dan Li Roulan berseru kompak. Mereka bergabung dalam persaingan ini. Baru kemudian Li Xiulan yang pemalu ikut mengajukan diri, “Aku juga.”
“Tentu saja, kalian pasti bisa,” puji Sa’ad bangga. Kebetulan saat itu hadir seorang putri Arab berkerudung lebar yang mengantarkan jamuan. Sa’ad pun perkata padanya, “Zainab, para putri Pangeran Zhìzhě akan ikut belajar di sini mulai sekarang. Antarkan mereka berkeliling untuk melihat-lihat.”
“Baik, Kakek,” jawab Zainab senang. Ia sangat ingin berteman dengan mereka sejak kemarin. Ini adalah kesempatan yang bagus baginya untuk berkenalan lebih lanjut. Gadis itu pun mengajak para putri Li Fengying untuk berkeliling kediaman, “Mari ikuti denganku.”
“Kakek, aku juga mau lihat-lihat,” Li Chen mengangkat tangan begitu kakak-kakak perempuannya pergi. Melihat itu, Li An menyindir, “Kamu nggak akan bisa mengalahkanku kalau terus bermain.”
“Hmph! Aku nggak bakal kalah,” Li Chen dengan cepat mengubah permintaannya, “Kakek, ayo belajar sekarang!”
“Kita akan mulai kelas sebentar lagi. Kalian bisa berkeliling dan bermain sekarang,” tawar Sa’ad yang kemudian memanggil seorang anak laki-laki. Usia anak itu sekitar 12 tahun. Ia memiliki tindak tunduk yang lebih dewasa daripada anak-anak seusianya.
“Ali, temani mereka,” ujar Sa’ad yang dibalas dengan anggukan singkat oleh anak itu. Sebelum mereka pergi, Sa’ad sempat mencoba berinteraksi dengan Li An yang terlihat lebih santai di kunjungan kali ini. Sayangnya, sikap bocah itu masih belum berubah terhadap Sa’ad entah apa masalahnya.
“Kenapa kalian ingin belajar di sini?” tanya Ali dengan lisan Kekaisaran Tang. Ia sama seperti Zainab, salah satu anak-anak Arab yang bisa berbahasa Tang. Bahasanya bahkan lebih lancar dan lebih baik daripada gadis yang sepantaran dengan Li An itu.
“Aku mau menjadi sarjana,” jawab Li An lugas. Li Chen tidak langsung menjawab. Ia mencari alasan yang berbeda dari Li An. Setelah berpikir cepat, ia pun menjawab, “Karena aku akan mewarisi Istana Pangeran Zhìzhě. Kami adalah keluarga yang bertanggung jawab atas diplomasi, perdagangan, dan hubungan internasional.”
“Pangeran Chen sungguh cerdas. Anda dapat mengerti integritas keluarga sejak dini,” puji Ali kagum, “Anda akan menjadi orang besar di masa depan.”
“Hm … itu pasti. Aku nggak akan kalah dari Kakak An,” balas Li Chen bangga.
“Pangeran An juga bijak. Saya pikir, Anda lebih memilih jadi sarjana karena tidak berambisi pada takhta kaisar meskipun memiliki hak atasnya,” kata Ali kemudian. Walaupun terlihat dingin, ia orang yang cukup supel rupanya.
“Benar, takhta itu menakutkan bagiku,” jawaban dingin Li An membuat Ali terdiam. Sekilas, ia melihat rona sedih di wajah Pangeran Kedelapan. Anak dari Kediaman Duta Khilafah itu pun mengalihkan pembicaraannya agar situasi cair kembali.
“An’er, Chen’er!” panggil Li Mei dari sebuah gazebo di taman yang Li An dan rombongannya lalui, “Ayo sini, makan sama-sama!”
Li Chen langsung berlari ke sana, sedangkan Li An dan Ali saling berpandangan terlebih dahulu. Mereka berdua seolah berkomunikasi dengan telepati. Akhirnya, Ali menggeleng dan berkata pada Li An, “Pangeran silakan ke sana. Saya akan panggil saat kelas hampir dimulai.”
“Kenapa nggak ikut?” tanya Li An heran.
“Karena saya sudah balig,” jawaban Ali malah membuat Li An semakin bingung, “Balig? Apa itu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
dementor
👍👍👍👍👍👍👍😘😘😘😘😘😘
2023-03-16
0
anggita
mau ng👍like aja.
2022-01-28
1
Tarik Jabrik
keren
2021-12-26
3