Li An mengikuti para utusan dari Istana Pangeran Zhìzhě setelah menerima pesan dari Selir Ai. Dalam perjalanan, ia terus berharap agar ibundanya ada di sana. Pangeran malang itu masih tidak mengerti dengan situasi yang menimpanya. Ia hanya tahu bahwa nasibnya sedang kurang baik sekarang.
Li Fengying langsung menyambut kedatangan Li An begitu sampai di Istana Pangeran Zhìzhě. Ia memeluk keponakannya itu seperti seorang ayah yang sudah lama tidak bertemu dengan anaknya. Pelukannya tulus dan hangat. Rasanya sama seperti pelukan dari Selir Ai. Karena itu, Li An sama sekali tidak menolaknya.
"Kamu pasti masih sangat lelah. Sekarang beristirahatlah terlebih dahulu," kata Li Fengying lembut. Ia menyunggingkan senyum ramah kepada Li An. Bocah itu pun hanya terdiam dan termangu.
"Mereka sungguh keterlaluan. Bagaimana mereka tega meninggalkan anak sekecil ini sendirian? Mereka bahkan berniat untuk menyingkirkannya," seorang wanita bergaun biru laut dengan motif bunga-bunga mendekati Li An dan memeluknya. Ia membelai pipi bocah itu seperti yang biasa Selir Ai lakukan. Matanya menatap sedih, tapi juga ada kekesalan yang entah ditunjukkan kepada siapa di sana.
"Suamiku, biarkan aku yang merawatnya," pinta wanita bergaun biru laut itu. Namanya adalah Nyonya Lu, istri pertama Li Fengying. Ia pun menegaskan, "Anak ini adalah putra persusuan adikku."
"Baiklah, sekarang antarkan dia ke kamarnya dulu. Biarkan dia langsung beristirahat," Li Fengying mengulas senyum. Beberapa hari ini kediamannya sangat berisik. Selir Ai meminta bantuan kepadanya melalui Nyonya Lu. Bantuan itu semata-mata ditunjukkan untuk putranya, Pangeran Kedelapan. Semoga saja anak itu betah di istana Pangeran Zhìzhě.
Li An menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari keberadaan ibundanya. Ia tidak mempedulikan obrolan Li Fengying dan Nyonya Lu sejak tadi. Pangeran kecil itu hanya ingin segera bertemu kembali dengan Selir Ai.
"Bibi, di mana ibunda?" tanya Li An begitu sampai di kamarnya. Nyonya Lu terlihat akrab dan mirip dengan Selir Ai. Karena itu, Li An tidak sungkan bertanya.
Nyonya Lu terdiam. Ia tidak menjawab pertanyaan Li An dan malah memeluknya erat. Tak terdengar sepatah kata pun setelah itu sampai isakan tangis menyusuri telinga Li An. Dengan suara yang lirih, Nyonya Lu pun berbisik, "Adik Ai sangat baik hati dan sayang padamu. Ia hanya ingin kamu hidup bahagia dan damai."
Li An menyimpulkan satu hal dari kata-kata bibinya itu. Namun, ia tidak ingin mengakuinya. Bocah itu berharap agar masih ada kesempatan baginya untuk bertemu kembali dengan Selir Ai. Kapan pun itu. Ia sangat ingin menemuinya segera.
Hari demi hari berlalu di Istana Pangeran Zhìzhě. Li An tumbuh di bawah pengawasan Nyonya Lu dan Li Fengying. Selir Ai yang setiap hari ia tunggu tak kunjung datang, sedangkan memori-memori bersamanya selalu asyik meliputi malam-malam pangeran kecil itu. Bersama buku-buku yang selalu menemaninya, Li An menata kembali hatinya yang rapuh.
...***...
"An'er, ayo cepat," seru seorang gadis ayu yang mirip dengan Nyonya Lu. Ia berlari di tengah keramaian kota. Li An berusaha mati-matian mengejarnya.
"Kakak Mei, jangan cepat-cepat," balas Li An yang kelelahan berlari. Napasnya terengah-engah. Ia berhenti sesekali untuk istirahat.
"An'er, kamu kan laki-laki. Ayo cepat!" desak Li Mei, putri dari Nyonya Lu sekaligus kakak sepupu Li An. Ia adalah gadis yang tomboi dan energik. Para dayang pun sering kewalahan karenanya.
Di antara anak-anak Li Fengying, Li Mei adalah yang pertama mengetahui kedatangan Li An. Pada awalnya, ia mengira kalau Li An adalah anak perempuan sehingga ia malas mengunjunginya. Akan tetapi, setelah melihatnya langsung dengan pakaian pangeran, ia jadi senang karena mendapat adik laki-laki.
"Ayo ... ayah tidak akan menunggu kita," Li Mei semakin mendesak Li An. Ia berkacak pinggang sambil melotot tajam kepada adik barunya yang sedang kelelahan itu. Karena gemas, ia pun menggerutu, "Kenapa kamu lemah sekali? Kamu kan anak laki-laki? Anak laki-laki itu harus kuat. Masa kamu kalah sama aku yang perempuan?"
"Kakak—hah ... hah ... terlalu cepat. Lagian, Paman Guang juga masih di belakang. Ayo istirahat dulu," Li An terduduk, tak peduli dengan Li Mei yang masih melotot galak padanya. Napasnya naik-turun tak karuan. Ia berusaha mengaturnya agar merasa lebih nyaman.
"Putri Mei, Pangeran An, sudah saya bilang. Jangan berlari di tengah keramaian," Ma Guang datang dengan terburu-buru. Kondisinya sama seperti Li An. Peluh keringat deras membasahi kepalanya, tapi ia masih dapat menjaga wibawa keprajuritannya.
"Paman Guang, aku capek," adu Li An. Li Mei sangat ingin mencubit pipinya, tapi ia berusaha menahan diri agar tidak dibenci Li An. Tangannya itu sudah sangat gatal dan gemas. Awas saja kalau sudah sampai rumah.
"Tuan Putri, mari kita berjalan saja dari sini," tawar Ma Guang dengan halus. Matanya memberi isyarat agar Li Mei mengasihani adik sepupunya. Pangeran kecil itu benar-benar lemah.
"Hmph! Aku akan mengalah kali ini saja," Li Mei membuang muka, pura-pura merajuk. Ia pun berjalan mendahului Li An dan Ma Guang. Gadis yang tiga tahun lebih tua dari Pangeran Kedelapan itu memimpin jalan di depan. Anak rambutnya yang luput dikepang menari-nari lincah ditiup angin siang perkotaan.
Kekaisaran Tang mendapat tamu penting dari Daratan Barat. Li Fengying ditugaskan untuk menyambutnya sebagai Pangeran Zhìzhě. Ia adalah satu-satunya pangeran yang dapat berbahasa dengan mereka. Bahasa itu ia pelajari dari para pedagang asing di Quanzhou ketika masih muda dulu.
Li Mei dan Li An diam-diam menyusup ke Istana Kaisar. Mereka enggan mengacuhkan peringatan dari Ma Guang. Dengan badan mereka yang kecil, mereka bersembunyi dari prajurit jangkung itu dan naik ke atas.
"Lihat kotak-kotak itu! Kira-kira apa isinya?" Li Mei menunjuk hadiah-hadiah yang dibawa duta dari Daratan Berat untuk Kaisar Tang. Li An berjinjit-jinjit ingin ikut melihat. Mereka mengintipnya dari lantai atas yang sepi. Ma Guang datang tak lama setelah itu. Saat ia sampai, perhatiannya juga teralih kepada peti-peti hadiah di bawah sana.
"Saya Sa'ad Al Quraisy, utusan dari Khilafah untuk Kekaisaran Tang," ucap seorang pria tua beruban yang karismatik. Pria itu fasih berbahasa Kekaisaran Tang. Surban putih melilit rapi di kepalanya. Jubah besar berwarna cerah menambah aura wibawanya.
"Bersujudlah kepada Kaisar Yung Wei Yang Agung! Tunjukkan rasa hormatmu pada Baginda!" bentak seorang menteri sebelum Kaisar Tang memberi reaksi.
"Kami adalah orang-orang Islam. Kami tidak akan bersujud selain kepada Allah Yang Maha Esa," ucap Sa'ad dengan tegas. Menteri yang membentaknya jadi geram bukan kepalang. Begitu pula para menteri dan panglima lainnya. Ruangan takhta pun menjadi gaduh oleh mulut-mulut mereka.
"Baginda Kaisar," panggil Li Fengying yang hendak turun tangan dalam masalah kecil ini, "Izinkan saya menyampaikan pendapat."
Kaisar Tang setuju untuk mendengarkan pendapat saudaranya. Ia pun memberi isyarat kepada para menteri dan panglimanya untuk segera diam. Setelah ruangan menjadi hening, Kaisar Tang pun berkata, "Katakan pendapatmu, Saudaraku!"
"Kaisar, ini adalah perbedaan budaya dalam memberi hormat. Lebih baik kita tidak mempermasalahkannya. Apalagi mereka adalah orang-orang Arab yang amat tersohor belakangan ini," kata Li Fengying lantas mewakilkan permintaan maaf saudaranya kepada Sa'ad. Ia selalu hadir setiap kali Istana Kaisar kedatangan tamu kenegaraan.
Para tamu itu selalu membawa berita kondisi yang terjadi belakangan ini di Daratan Barat. Kabar terakhir menyebutkan kalau Kekasaran Sasanid telah runtuh di tangan orang-orang Arab itu. Sebagian wilayah Byzantium juga telah lepas karena bergesekan dengan mereka. Siapa yang menyangka bahwa ketika bangsa Arab bersatu atas nama Tuhan, mereka akan menjadi bangsa yang sekuat itu. Memprovokasi mereka adalah kebijakan yang buruk, sementara mereka datang dengan damai sekarang.
Para menteri dan panglima kembali gaduh oleh pendapat itu. Sebagian ada yang mempertimbangkannya, sebagain lagi tetap menentangnya. Kaisar Tang pun kembali memberi isyarat untuk tenang. Pada akhirnya, ia setuju dengan pendapat Li Fengying dan meminta utusan Arab itu untuk memaklumi keributan yang baru saja terjadi.
Sa'ad pun membacakan surat dari Amirul Mukminin. Ia juga menjelaskan kalau di negerinya telah dipimpin tiga Khalifah yang menggantikan sang rasul. Kedatangannya ke mari untuk mempererat hubungan dagang dan menyiarkan agama Islam.
Hadiah-hadiah dari Khilafah pun diberikan. Kaisar Tang menerimanya dengan tangan terbuka. Pembicaraan selanjutnya akan segera diadakan. Dalam rentang waktu itu, Li Fengying meminta kesempatan untuk berdialog dengan para Duta Khilafah. Dengan senang hati, Kaisar Tang mengizinkannya.
"Apakah sudah selesai?" bisik Li Mei ketika melihat ayahnya bangkit dan beranjak keluar. Li An mengangguk setuju dengan tebakannya. Ma Guang pun memanfaatkan peluang ini untuk mengajak kedua anak itu pulang. Tanpa sadar, ia telah ikut mengintip pertemuan Kaisar Tang dengan utusan asing.
"Ayo temui ayah," Li Mei malah menarik Li An ke bawah untuk mengejar ayahnya. Ma Guang menepuk jidat dan menghela napas. Pupus sudah kesempatannya untuk membujuk kedua bocah bangsawan itu. Ia pun hanya bisa pasrah dan mengikuti mereka.
"Ayah ... Ayah ...," panggil Li Mei di lorong istana. Li Fengying yang sedang mengobrol dengan Sa'ad pun menoleh. Ia sedikit terkejut dengan kedatangan putri sulungnya bersama Li An. Dilihatnya Ma Guang yang segera memberi hormat begitu sampai di hadapannya.
Li Mei langsung melesat ke arah ayahnya. Li Fengying pun dengan senang hati menangkap dan menggendong anak gadisnya mesra. Senang sekali melihat putri yang tomboi dan energik itu bermanja ria.
Li An sembunyi di balik Ma Guang saat Sa'ad menatapnya. Ia malu-malu mengintip, lalu kembali bersembunyi begitu mendapati orang tua itu masih menatapnya. Ma Guang menahan tawa. Betapa bersyukur dapat menjadi orang paling dipercaya oleh pangeran kecil yang imut itu.
"Nak, siapa namamu?" tanya Sa'ad dengan ramah. Pria tua beruban itu tidak ingin dimusuhi siapa pun, apalagi anak kecil. Ia mengulurkan tangannya sambil menunjukkan sebuah gula-gula.
Li An yang masih curiga kembali mengintip. Ia memperhatikan tangan keriput pria tua yang membawa permen itu. Ada banyak kapalan di telapaknya. Kelihatannya sangat mengerikan. Ia pun kembali bersembunyi dan menolak gula-gula itu mentah-mentah
"Tidak apa-apa, An’er. Beliau adalah orang yang baik," bujuk Li Fengying agar kemenakannya tidak merasa sungkan. Li An masih tidak mau membuka diri. Ia yang bersembunyi di belakang Ma Guang lagi-lagi membuat Li Mei gemas. Gadis itu pun berniat memberinya contoh, "An'er, lihat aku!"
Sa'ad bangkit dan menoleh saat Li Mei memanggilnya. Gadis itu lantas memperkenalkan diri, "Salam, Kakek. Namaku Li Mei, putri Pangeran Zhìzhě yang paling cantik."
Sa'ad terkekeh. Ia pun juga memperkenalkan dirinya dan memberi sebungkus gula-gula kepada Li Mei. Setelah itu, ia kembali berusaha untuk berkenalan dengan Li An. Namun, Li An masih saja menolak.
"An'er, apa kamu masih belum mengerti? Kenapa kamu pemalu sekali seperti anak gadis?" kritik Li Mei tanpa sadar kalau dia sendiri adalah anak gadis. Li Fengying sampai bertanya-tanya bagaimana putrinya dapat belajar kata-kata seperti itu. Ia yakin tidak pernah mengajarinya berkata begitu.
Li An tetap bersiteguh. Ia menggeleng kuat dan menarik-narik baju Ma Guang. Itu tandanya, ia ingin segera digendong pergi. Pangeran kecil itu sudah merasa sumpek. Ini saatnya menjauh dari hal yang tidak disukainya.
"Pangeran Kedelapan memang anak yang pemalu dan waspada. Mohon Tuan Sa'ad dapat memakluminya," ucap Li Fengying memahami isyarat Li An. Ia tidak ingin memaksa pangeran kecil yang belum membuka hati itu untuk berkenalan dengan orang asing. Lebih baik membiarkannya tenang dan tetap memberi dukungan di sisinya.
"Pangeran Zhìzhě tidak perlu khawatir," balas Sa'ad. Ia pun melambaikan tangannya sambil tersenyum kepada Li An yang bersembunyi di gendongan Ma Guang. Dengan lemah lembut, ia berkata, "Kita akan bertemu lagi, Pangeran Kedelapan."
"Paman Guang, antarkan aku ke Pagoda Arsip Kecil!" pinta Li An. Itu adalah tempat paling damai baginya setelah Kediaman Selir Ai yang sekarang sudah kosong. Ia selalu ke sana setiap kali merasa bosan dan tertekan.
"Apa? Kamu mau ke mana?" sahut Li Mei yang segera diturunkan Li Fengying dari gendongannya karena polah. Li An pun mengulang permintaannya. Li Mei jadi penasaran dan ingin ikut dengannya.
"Pangeran, mengapa tidak ke Pagoda Pustaka saja? Tempat itu lebih besar dan dekat dengan Istana Pangeran Zhìzhě," tawar Ma Guang yang dibalas dengan gelengan tegas oleh Li An. Bocah itu memaksanya untuk segera pergi. Li Mei pun ikut-ikutan mendesaknya karena penasaran.
"Prajurit Guang, kutitipkan mereka berdua padamu seperti biasa. Ingatlah untuk pulang sebelum gelap," ujar Li Fengying ramah. Ma Guang pun menerima perintah tuannya. Entah sejak kapan ia menjadi prajurit pengasuh bagi kedua anak itu. Ia menghela napas begitu junjungannya pergi.
"Paman Guang, ayo cepat," Li An yang sudah turun dari gendongan Ma Guang menarik-narik lengan baju dinas prajurit jangkung itu. Ia ingin segera bertemu dengan Kakek Ma yang sudah lama tak dijenguknya. Ah, tidak. Sebenarnya, ia hanya tidak ingin bertemu kakek tua beruban tadi di Istana Pangeran Zhìzhě. Jika ia pulang agak sore, kakek tua itu pasti sudah pergi dari Istana Pangeran Zhìzhě kan?
Namun, sayangnya Li An salah besar. Kakek tua beruban yang berusaha dihindarinya itu ternyata malah jadi orang pertama yang menyambutnya begitu sampai di Istana Pangeran Zhìzhě. Seperti di siang tadi, Li An langsung bersembunyi di belakang Ma Guang, sementara Li Mei dengan akrab menyapa Sa'ad.
"Kakek Sa'ad akan tinggal di sini? Wah ... apa Kakek punya cerita seru?" tanya Li Mei girang. Selain tomboi dan energik, dia juga gadis yang supel, sangat mudah akrab dengan siapa pun. Semangatnya dalam bersosial amat tinggi.
"Tentu saja Kakek punya," Sa'ad menyambut hangat undangan Li Mei untuk bercerita, "Datanglah ke paviliun tamu kapan saja."
"Yey ... kami akan langsung berkunjung setelah ini. An'er, ayo temui mama dulu," Li Mei menarik Li An dengan cepat untuk masuk. Pangeran kecil itu tak dapat berkutik selain mengikutinya saja. Mereka disambut Nyonya Lu begitu sampai.
Li An benar-benar tidak bisa mengelak dari Li Mei. Ia hanya dapat pasrah setiap kali ditarik paksa oleh gadis kecil itu. Termasuk sore ini, saat ia dipaksa kakak sepupunya untuk menemui Sa'ad. Padahal ada putra-putri Li Fengying lainnya yang juga ingin menemui Sa'ad.
"Kakek, cepat cerita! Cepat cerita!" seru Li Mei menagih janji. Anak-anak yang ikut juga ramai-ramai meminta. Hanya Li An yang diam di samping Li Mei tanpa dapat berbuat apa pun.
"Baiklah ... Baiklah ... kakek akan bercerita tentang seorang pemuda yang hanif. Hanif artinya lurus," Sa'ad membuka ceritanya. Anak-anak pun terdiam. Mereka semua antusias, kecuali Li An.
"Suatu hari, ketika malam telah gelap, pemuda itu memandang langit dan melihat bintang," kata Sa'ad dengan mode pendongengnya. Li An pun merasa terpanggil. Ia juga suka melihat langit malam dan bintang.
"Bintang yang sangat terang … di langit. Karena terangnya bintang itu, orang-orang pun menyembahnya," Sa'ad menunjuk ke langit yang mulai gelap. Anak-anak pun mengikuti arah jarinya menunjuk. Lalu, seorang anak laki-laki dari abdi dalam Istana Pangeran Zhìzhě berseru, "Apakah mereka suku dari Timur? Mereka menyembah bintang kejora."
Anak-anak yang lain pun menoleh. Mereka jadi gaduh dan ribut. Li Mei yang merasa sesi cerita ini terhenti pun menaruh telunjuknya di bibir. Ia menyuruh adik-adiknya untuk diam. Setelah keadaan kembali tenang, ia berkata pada Sa'ad, "Kakek, ayo lanjutkan."
Sa’ad pun melanjutkan,
"Pemuda itu pun berkata kepada kaumnya, 'Ini Tuhanku.'
Saat bintang itu tenggelam, ia pun berkata, 'Aku tidak suka yang tenggelam.'
Maksudnya, bintang itu tidak pantas menjadi Tuhan. Ia terbit dan tenggelam, bergerak pada garis edarnya, tunduk pada takdir yang mengaturnya. Karena itu, bintang bukanlah Tuhan."
Sa'ad berhenti sejenak. Ia memberi kesempatan kepada anak-anak di hadapannya untuk berfikir. Maka, bertanyalah seorang anak, "Jadi, bintang bukan Tuhan? Apakah orang-orang dari suku Timur itu salah dan tersesat?"
"Tepat!" Sa'ad menyungging senyum bangga kepada anak itu. Anak-anak lain ber-oh. Mereka kembali ribut dengan topik yang sama. Kemudian, Li Mei meminta Sa'ad untuk melanjutkan ceritanya agar adik-adiknya langsung terdiam.
"Pemuda itu pun melihat bulan terbit. Cahaya bulan itu lebih terang dan indah. Ia berkata lagi pada kaumnya, 'Ini Tuhanku.'
Ia bermaksud untuk mengajak kaumnya berpikir. Maka, ketika bulan itu terbenam, ia berkata, 'Sungguh, kalau Tuhanku tidak memberiku petunjuk, pastilah aku termasuk di antara orang-orang yang tersesat.'
Sama seperti bintang yang terbit dan tenggelam, bulan itu juga benda yang serupa. Ia tunduk pada ketentuan Tuhan."
Sa'ad kembali terdiam. Anak-anak itu mulai bising lagi. Logika yang ia ajarkan mulai masuk ke benak anak-anak yang polos itu. Mereka cepat mengerti dengan hal-hal yang sederhana.
"Lalu," lanjut Sa'ad membuat anak-anak terdiam, "Ketika ia melihat mentari terbit, ia pun berkata, 'Inilah Tuhanku. Ini lebih besar!'
Matahari itu lebih terang. Ia memberi banyak manfaat untuk Bumi. Namun, ketika matahari itu kembali ke peraduannya, si pemuda pun berkata, 'Wahai Kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.'
Sama seperti bintang dan bulan, matahari itu tidak pantas disembah. Maka, apa yang pemuda itu sembah?" Sa'ad memberi teka-teki sederhana pada anak-anak di hadapannya. Mereka pun jadi ribut. Ada yang mentertawakan kebodohan kaum pemuda itu. Ada juga yang berpikir serius untuk mencari jawabannya seperi Li An dan Li Mei. Namun, sampai akhir tak ada satu pun dari mereka yang dapat menjawabnya.
"Pemuda itu menyembah Penciptanya Bintang, Bulan, dan Matahari, juga Bumi," jelas Sa'ad menerangkan, "Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tiada sekutu baginya."
"Bukannya alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya?" celetuk seorang anak perempuan yang umurnya tidak jauh berbeda dengan Li Mei. Anak itu bernama Li Roulan. Ia adalah putri sulung Nyonya Chu, istri kedua Li Fengying. Li Xiulan, saudari kembarnya mengangguk setuju. Dari apa yang mereka pelajari, alam semesta itu terbentuk dengan peristiwa yang terjadi secara alami.
Biasanya, jika Li Roulan berhadapan dengan Li Mei, mereka akan sering bergaduh. Li Xiulan yang pendiam jelas berpihak pada saudarinya. Karena itu, Li Mei tidak begitu suka punya adik perempuan. Baginya, mereka berdua sangatlah cerewet tanpa sadar kalau ia sendiri juga sama cerewetnya.
Sa'ad pun tersenyum. Orang tua beruban itu lantas berkata, "Nak, tadi siang aku melihat petir menyambar sebatang pohon, lalu pohon itu menjadi sebuah perahu yang cantik nan indah. Apa kamu percaya?"
"Apa bisa begitu!?" Li Roulan yang cerdas tidak mungkin percaya. Ia yakin kalau pohon disambar petir, pasti akan hancur. Bagaimana bisa menjadi perahu yang indah nan cantik dengan sendirinya? Kakek tua beruban itu pasti berbohong.
Li Fengying yang kebetulan datang terkekeh di pintu masuk. Lucu juga melihat anak-anaknya belajar teologi dengan Sa'ad. Ia pun menjelaskan maksud orang tua itu, "Tentu saja, itu tidak mungkin. Sebagaimana alam semesta yang luas dan indah ini tidak mungkin tercipta dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan dan mengaturnya."
"Begitulah, semua hukum alam yang kita ketahui sampai hari ini adalah ketentuan Tuhan. Allah telah menetapkan segala sesuatu sesuai kadarnya. Seperti peredaran benda-benda di angkasa. Juga pergantian siang dan malam. Dari situ, kita bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan," jelas Sa'ad, lalu menutup ceritanya. Ia pun membagikan permen manis kepada anak-anak di Istana Pangeran Zhìzhě. Mereka semua berteriak senang dan girang.
Li An mendapat pencerahan dari cerita itu. Cahaya yang terang meresap ke hatinya. Rasanya hangat dan menentramkan. Ia pun mengerti bahwa cahaya inilah yang dimaksud oleh Selir Ai, ibunya tersayang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Untung Susilo
menarik lanjut THOR
2022-01-28
1
Kang Nyimak
mantap thorr
2022-01-24
1
Tarik Jabrik
keren
2021-12-26
3