“Hm … saya sudah dewasa. Kira-kira begitu,” Ali kebingungan memberi penjelasan pada tamunya. Bagaimanapun ia masihlah seorang pemuda berusia 12 yang kurang wawasan dan harus banyak belajar. Penjelasannya sedikit membingungkan. Setidaknya, ia bisa membedakan yang baik dan buruk. Begitulah ia menjelaskan.
“Oh … oke. Jangan lupa panggil kami nanti,” Li An pun berlari ke tempat saudara-saudarinya berkumpul. Ali yang yang ditinggal begitu saja lantas pergi dari tempat berdirinya. Telinganya memerah. Ia menolak ajakan Li An semata-mata untuk menjaga hati dan dirinya.
“Kakak An, Kamu lama sekali,” tuding Li Chen sambil mengunyah-nguyah camilan di mulutnya. Ia jadi terlihat seperti tupai yang sedang makan kacang. Tangannya penuh oleh jajanan-jajanan ringan yang disediakan oleh Duta Khilafah. Li Mei langsung menimpuk kepalanya agar tidak makan sambil bicara. Li Chen pun hanya dapat menatap kakaknya sebal dan tak berani membalas karena lawannya adalah Li Mei yang galak.
“Pangeran An, ini untukmu. Terima kasih sudah datang,” Zainab memberikan tiga buah kue kering bertabur kismis yang dibuat khusus untuk anak-anak. Wajah polos tersenyum hangat pada Li An. Ia dengan tulus membagikan kue-kue itu.
“Aduh! Rou’er! Kamu ngapain?” protes Li Mei tiba-tiba. Barusan, tangannya dipukul Li Roulan. Hanya putri kedua Pangeran Zhìzhě yang berani melakukan itu padanya. Li Roulan yang merasa tak bersalah sedikit pun malah balik bertanya, “Kakak Mei sendiri mau apa? Zainab kan cuman mau kasih kue itu ke An’er. Kenapa Kakak Mei mau mengganggunya?”
“Siapa bilang aku mau mengganggunya?” sangkal Li Mei keras. Ia memang nyaris menarik lengan Zainab, entah apa motifnya. Namun, karena Li Roulan lebih dulu memukulnya, mereka berdua jadi bergaduh seperti biasa sekarang.
“Kamu nggak makan?” tanya Li An setelah menerima biskuit kismis dari Zainab. Ia memakannya sedikit demi sedikit dan menjaga adab. Jauh berbeda dengan Li Chen yang barusan menghabiskan butir terakhir dari gula-gula manis di stoples.
“Aku sedang puasa,” jawab Zainab lugas. Ia tersenyum dengan riang dan bangga. Di usianya yang masih sekitar enam tahun, ia sudah bisa berpuasa penuh seperti Ali dan orang-orang dewasa lainnya.
“Puasa? Oh, apa karena sekarang masih Ramadan?” Li An dengan aktif menyambung pembicaraan. Sangat jarang ia bisa langsung akrab dengan orang baru seperti ini. Mungkin karena Zainab sepantaran dengannya.
“Benar, kami …,” Zainab belum selesai mengonfirmasi pertanyaan Li An, tapi Li Chen lebih dulu menyelanya, “Apa itu Ramadan? Apa enak dimakan? Aduh! Kenapa kalian suka sekali memukul kepalaku? Kepala bisa gepeng kalau begini.”
Li Chen memegang kepala berambut cepaknya yang baru saja dipukul Li An. Matanya melotot marah. Bibirnya manyun karena kesal. Ia bertekad untuk membalas Li An setelah ini.
“Apa kamu lupa? Ramadan itu bulan sucinya orang Arab. Kakek Sa’ad sudah menjelaskan itu kemarin,” jelas Li An sewot. Ia gemas dengan kelakuan Li Chen entah mengapa. Pertengkaran kecilnya dengan si bungsu itu membuat kubu Li Mei dan Li Roulan tenang.
“Bisakah kalian tenang? Kasian Zainab. Dari tadi dia mau bilang,” untuk pertama kalinya Li Xiulan unjuk bicara. Gadis itu duduk di tempat paling pojok, sampingnya Li Roulan. Ia anak yang paling tenang di antara anak-anak yang ada di gazebo itu.
“Terima kasih, Putri Xiulan,” Zainab kagum sebab ucapan Li Xiulan bisa membuat saudara-saudarinya terdiam. Ia pun kembali menatap Li An, hendak meluruskan pemahamannya tentang Bulan Ramadan, “Pangeran An, Ramadan bukan hanya milik orang Arab saja, tapi milik seluruh umat manusia. Allah memerintahkan setiap orang yang beriman untuk berpuasa pada bulan itu agar mereka bertakwa.”
“Dengarkan itu! Kakak An sok tahu,” cibir Li Chen sambil memukul kepala Li An. Ia pun buru-buru meninggalkan tempatnya, bersiaga kabur dari kejaran Pangeran Kedelapan. Li An pun bangkit dari tempatnya pula. Tidak seperti biasa, ia mudah terpancing kali ini. Mungkinkah ia tengah mencari perhatian?
“Anak-anak, kelas sudah mau dimulai. Ali memintaku memanggil kalian,” ucap seorang wanita berkerudung yang dipanggil Bibi Ruqayyah oleh Zainab, “Ayo para putri juga. Kita akan segera memulai kelasnya.”
“Hmph! Kamu beruntung sekarang,” Li An berujar kesal. Ia langsung berlari ke arah Ali yang ternyata sudah menunggu tak jauh dari sana. Li Chen pun bergegas mengikutimya, sementara para putri mengikuti Bibi Ruqayyah ke kelas mereka.
Selama sisa Bulan Ramadan, Keluarga Pangeran Zhìzhě tinggal di Kota Guangzhou untuk belajar budaya satu sama lain sekaligus mempererat hubungan diplomatik kedua negara. Mereka sempat mengamati orang-orang Islam merayakan Salat Idul Fitri di sebidang tanah lapang yang kelak akan menjadi komplek Masjid Huaisheng. Pondasi masjid besar itu telah dibangun sepanjang Bulan Ramadan kemarin.
“Mereka banyak sekali,” komentar Li Chen saat mengamati sembahyang orang-orang Islam yang mayoritasnya adalah bangsa Arab itu. Ia dan keluarganya sedang beristirahat di sebuah rumah makan mewah bertingkat empat yang tak jauh dari komplek Masjid Huaisheng. Bocah itu takjub dengan kekompakan jamaah muslim dalam salatnya. Mereka amat teratur dan rapat. Sayangnya, Li Chen belum bisa mengerti ceramah Kakek Sa’ad yang didengungkan dari atas mimbar.
“Ayah, apa yang Kakek Sa’ad serukan?” tanya Li Chen akhirnya menyerah untuk menebak-nebak maksud ceramah Sa’ad yang lantang. Mereka sedang menunggu orang tua itu untuk pamit pulang ke Ibu Kota Chang An. Selain itu, Li Chen juga ingin menyerahkan oleh-oleh kejutan yang sudah ia siapkan.
“Bertoleransi dan adab bertetangga. Kakek Sa’ad kan sudah mengajarinya di kelas. Kamu kok gampang lupa gitu?” Li An yang menjawab. Wajahnya terlihat sedikit sombong di hadapan si bungsu. Ia benar-benar bersaing ketat dengan Li Chen selama Ramadan ini. Sebagai anak yang lebih giat membaca dan belajar, tentu saja ia yang menang.
“Siapa yang tanya Kakak An? Hmph!” Li Chen memalingkan wajahnya kesal. Ia amat sebal sejak kemarin karena nilai latihannya jauh lebih rendah dari Li An. Padahal ia merasa sudah giat belajar bersama ibunya. Pada kenyataannya, ia lebih banyak bermain selama ini.
“An’er sudah paham bahasa Arab?” Li Mei menepuk pundak sepupunya sampai membuat Pangeran Kedelapan terkejut. Tak hanya itu, ia juga mencubit pipi Li An gemas seperti biasa. Karena dia Li Mei, Li An tak dapat berbuat apa-apa walaupun sebal.
“Auw! Kakak Mei, cukup!” seru Li An akhirnya, “Iya, aku sudah bisa dikit. Kan tinggal dengelin kata gulu baik-baik.”
“Kamu bohong. Masa gitu doang, terus bisa paham bahasa Arab?” Li Roulan ikut mendekat untuk menginterogasi Li An. Sangat jarang ia bisa kompak seperti ini bersama Li Mei. Mereka berdua cenderung seperti api dan air yang enggan menyatu.
Li Mei mengangguk. Ia melepaskan Li An yang langsung menggosok-gosok pipinya karena sakit. Pengeran kecil itu pun segera berlari ke belakang Ma Guang dan berlindung di sana. Ia sangat takut ketika kedua kakaknya yang galak itu tiba-tiba berkerja sama untuk menjahilinya. Padahal hanya Li Mei yang gemas dengannya.
“An’er, tenang saja. Rou’er tidak akan jahat padamu,” Li Xiulan menghibur Li An yang enggan mendekat walau sudah dipanggil berkali-kali. Li Chen tertawa mengejek, sedangkan Li Mei yang baru merasa bersalah langsung ikut mendekat ke sisi Ma Guang. Prajurit jangkung itu juga mulai kebingungan. Lagi-lagi ia akan menjadi babysitter bagi putra-putri tuannya.
“Kamu beneran pangeran gak sih? Masa sama Kakak Mei saja takut,” ejek Li Roulan sinis. Ia memelukkan tangan di dada. Perawakannya terlihat angkuh seperti biasa. Putri Kedua Pangeran Zhìzhě itu hanya mau bersikap sopan pada orang yang diakuinya saja.
“Rou’er …,” Li Xiulan ingin menegur, tapi seruan Li Mei membuatnya berhenti, “Apa maksudmu, Rou’er? An’er tidak takut padaku. Dia takut padamu.”
“Kakak Mei selalu menjahilinya. Wajar saja dia takut. Tanyakan saja padanya,” balas Li Roulan serius. Semua mata segera menatap Li An seakan-akan memberi pertanyaan dengan tatapan itu. Li An pun tersentak dan langsung menjawab, “Kalian berdua sama saja. Kalian berisik, cerewet, bertengkar terus kerjanya.”
“Kamu sama Chen’er kan nggak jauh beda,” balasan Li Roulan tidak diterima oleh Li An walaupun sebenarnya cukup menusuk. Baginya, antara ia dan Li Chen adalah persaingan yang berguna. Tidak seperti Li Mei dan Li Roulan yang bertengkar dan berdebat kusir kapan saja.
“Kakak An, aku setuju denganmu. Kita adalah lekaki,” ucap Li Chen sok hebat. Li Roulan langsung mencibir dan menggerutu. Ia sudah muak untuk berdebat lagi dengan adik-adiknya. Li Mei berdiri terdiam, mencari kesempatan untuk minta maaf pada Li An. Ia benar-benar tidak ingin bermusuhan dengannya. Li Xiulan mendekati Pangeran Kedelapan, memawakili kakak kembarnya minta maaf, kemudian pergi mengikuti gadis itu.
“Sudahlah, Anak-anak. Kakek Sa’ad sudah selesai berpidato. Ayo temui dia,” ucapan Li Fengying mengakhiri sesi pertengkaran kecil anak-anak Keluarga Pangeran Zhìzhě itu. Mereka pun segera menghampiri Sa’ad yang baru selesai mengimami salat.
“Sudah saatnya kalian pulang, ya? Waktu sungguh cepat berlalu. Aku mungkin akan kesepian jika kalian tidak ada,” ujar Sa’ad sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang. Ia membawa sebuah tongkat panjang yang menopangnya berdiri. Aura teduh dan kebijaksanaan terpancar darinya.
“Tenang saja, Kakek. Aku akan sering-sering mampir nanti,” Li Chen berkata dengan semangatnya sambil menyerahkan bingkisan yang ia siapkan, “Kakek sudah nggak puasa kan? Langsung dimakan saja habis ini.”
“Terima kasih, Pangeran Chen. Kamu sungguh anak yang baik. Aku akan memakannya sehabis ini, insyaallah.” Sa’ad mengelus rambut cepak Li Chen, lalu menatap Li An yang masih saja bersembunyi di balik Ma Guang, “Pangeran An masih belum berubah. Anda sangat cerdas dan rajin. Saya harap Anda juga sering-sering mampir ke tempat orang tua ini.”
“Aku …,” baru saja Li An hendak unjuk suara, Li Chen dengan cepat mendahuluinya, “Tenang aja, Kek. Nanti aku paksa Kakak An kalau dia nggak mau ikut. Pokoknya, aku nggak bakal kalah sama Kakak An.”
“Hmph!” Li An pergi menjauh. Kini, ia bersembunyi di balik bibinya, Nyonya Lu. Li Mei pun memanfaatkan itu mengambil kembali hati sepupunya. Ia mengelus rambut Li An dengan gemas dan memeluknya erat.
Ketika hari menjelang siang, Li Fengying menyudahi kunjungannya. Ia pamit untuk pulang dan melaporkan hasil kajiannya terkait keislaman dan orang-orang asing kepada Kaisar Tang. Sa’ad mempersilakan dan tidak keberatan dengan itu sama sekali.
“Pangeran An, ini untukmu,” Zainab menyerahkan sekotak kue kismis kepada Li An. Selama Ramadan ini, ia sangat memperhatikan makanan-makanan yang disukai tamu sekaligus teman-teman barunya. Ia juga sudah memberikan kotak-kotak kue itu ke anak-anak Pangeran Zhìzhě yang lain. Masing-masing mendapat kue favoritnya.
“Terima kasih, Zainab,” Li An menerimanya dengan senang hati. Ia membalas senyum gadis itu seadanya. Pada dasarnya, ia adalah anak introver yang tidak pandai bersosial dengan orang lain. Melihat itu, Li Mei segera menepuk pundak Li An dan mengajaknya pergi.
“Mereka anak-anak yang unik,” ucap Ali setelah rombongan Li An beranjak menaiki kereta kudanya. Ia juga ikut mengantar kepergian putra-putri Pangeran Chou itu. Selama Ramadan ini, ia adalah anak laki-laki Arab yang paling banyak bergaul dengan mereka.
“Mereka anak-anak yang baik, Kakak,” koreksi Zainab dengan senyum teduh bak peri bunga musim semi, “Aku senang bisa berteman dengan mereka.”
“Yah, anggap saja begitu,” Ali tidak ingin berdebat dengan adiknya. Anak itu langsung pergi tak lama kemudian. Saat itu, ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan terikat dengan Kekasairan Tang ini. Padahal, ia pergi ke sana semata-mata untuk mengikuti ekspedisi dagang kedua orang tuanya yang merupakan salah satu saudagar besar. Jika saatnya tiba, ia sangat ingin kembali ke kampung halamannya di Kota Tarim.
...***...
Saat sampai di Ibu Kota Chang An, Li An menyempatkan diri untuk berkunjung ke Kediaman Selir Ai. Seharian ia di sana. Tempat itu hampa dan sunyi. Barang-barang peninggalan Selir Ai sudah dipindah ke ke Istana Pangeran Zhìzhě. Nyonya Lu yang merupakan kerabat Selir Ai berencana memberikan sebagian harta itu kepada Li An ketika ia besar nanti.
“Pangeran An, hari sudah sore. Mari kita kembali ke Istana Pangeran Zhìzhě,” bujuk Ma Guang untuk kesekian kalinya. Ia ikut bertahan di Kediaman Selir Ai ini seharian bersama Li An. Li Fengying memberinya tugas khusus untuk menjaga Pangeran Kedelapan lantaran ia yang paling dipercaya oleh anak itu. Walau begitu, ia tetap tidak berdaya membujuk Li An untuk merelakan ibunda terkasihnya.
Li An tidak menjawab. Ia duduk di tempat yang dulu adalah taman kesukaannya. Di sanalah ia sering menghabiskan waktu dengan Selir Ai. Kenangan-kenangan yang indah datang menjenguknya. Canda, gelak tawa, dan gurauan seakan dapat terdengar lagi di sana. Namun, saat Li An tersadar, ilusi itu langsung hilang tak bersisa.
Selir Ai sering memberi patuah-patuah bijak pada Li An di sini, di gazebo cantik berpilar putih secantik mutiara. Gazebo itu sekarang kosong menyisakan meja keramik yang berdebu. Bekas senyum sang ibu terlintas sejenak di memori Li An ketika ke sana.
Li An pun kembali berjalan tanpa memedulikan Ma Guang yang terus mengikutinya. Sampailah ia di ruang tempat terakhir kali ia melihat Selir Ai. Tangisannya kala itu kembali tergiang. Suara-suara keributan yang mengusiknya seakan kembali menantang. Pesan Selir Ai pun ikut datang seolah hendak mengingatkan Li An agar tidak melupakan wasiat terakhir ibunya.
Li An tersungkur bersujud sampai membuat Ma Guang kaget dan segera menghampirinya. Tubuh bocah itu gemetar hebat. Ia menangis tersudu-sedu dalam sujudnya. Dengan isak tangis yang bertubi-tubi, ia seolah berkata pada Selir Ai, “Ibunda, An’er sudah menemukan cahaya itu. An’er akan menunaikan wasiat Ibunda.”
Pada akhirnya, pangeran malang itu pingsan karena terlampau lelah. Ma Guang pun segera menggendongnya ke Istana Pangeran Zhìzhě. Li Fengying dan keluarganya sangat terkejut mendapati Li An tak sadarkan diri. Selain itu, ada seorang gadis ayu yang secara sengaja dikirim Kaisar Tang, ayahanda Pangeran Kedelapan untuk menjenguk bocah itu. Begitu membuka mata, gadis itulah yang pertama Li An lihat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
dementor
sebentar lagi kan bulan Ramadhan.. marhaban ya ramadhan.. 👍👍👍👍
2023-03-16
0
Instagram @AlanaNourah
Bukan bulan sucinya orang Arab kak tp bulan sucinya org Islam 🌸💕🌸💕😆
2021-12-23
3
Auliya
next,
semangat buat author, 🎁❤👍 buatmu
2021-12-21
2