Kasta

Kasta

1

Denting waktu berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa malam kini menyambut dengan dinginnya sang angin. Belaian lembutnya menembus hingga tulang yang paling dalam. Gadis dengan baju lusuh itu mulai menggigil di kegelapan malam.

Baju tipis itu tak bisa menghangatkan tubuh mungilnya. Rok panjang yang menutupi kaki ramping berkibar ke kanan dan ke kiri mengikuti kemana sang angin malam ini mengarah.

Kedua tangannya mencengkeram perutnya yang mulai kelaparan. Tidak ada uang sama sekali yang ia pegang untuk saat ini. Niat baiknya yang ingin mencari uang di kota untuk sang ibu justru berbuah buruk untuknya. Semua uang, baju dan segelintir ijazah Sekolah Menengah Atasnya lenyap begitu saja, karena terkena jambret saat ia turun dari bis.

Matanya sudah begitu bengkak karena meratapi nasibnya yang begitu buruk. Tak ada air mata lagi yang menetes karena lelah yang mendera. Berharap suatu keajaiban untuk ia bisa tertolong. Berdoa kepada Tuhan agar memberinya sedikit saja belas kasih kepada dirinya.

Ia hanya ingin membantu ibu yang ada di desa saat ini. Hanya itu yang terapal dari hati gadis itu secara terus menerus.

Flashback

“Ibu lihatlah ini. Nilai-nilaiku sangat bagus. Aku juga mendapatkan beasiswa di kota bu,” ucap gadis itu seraya berlari ke dalam rumah yang sederhana. Atau bahkan bisa dikatakan hanya sebuah gubuk kecil di pojokan desa.

BRUK

Tas dan ijazah yang ia bawa jatuh begitu saja ke atas lantai rumahnya yang tak berkeramik. Matanya membulat tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ibunya telah terduduk di atas tanah di samping tempat tidur sang ayah yang terbaring tak bernyawa di tempat tidurnya, sedangkan sang adik memeluk di atas kasur yang telah usah dan berlubang di sana-sini.

Kaki kecil berjalan mendekati ayah yang tengah menutup kedua matanya. Sang adik yang menyadari kehadiran sang kakak melepaskan pelukannya dari cinta pertamanya itu.

Tangan mungil gadis itu mencoba mengguncang bahu sang ayah, berharap beliau akan merespon apa yang ia lakukan. Tanpa sadar air matanya mengalir di kedua pipi tirusnya.

“Ayah, lihatnya! Nindia mendapatkan nilai terbaik di sekolah. Ayo, bangunlah dan peluk Nindia.” Suara gadis bernama Nindia itu kini mulai serak karena tangisnya yang ia tahan.

“Ayah, bukankah kau berjanji akan mengajakku berkeliling kota bila bisa mendapatkan beasiswa yang kita inginkan selama ini? Sekarang Nindia mendapatkannya Ayah, jadi ayah harus menemani Nindia,” seru gadis itu kembali,

Sang ibu yang mulai khawatir dengan putri sulungnya itu mencoba untuk mengangkat sang putri dari duduknya. Nindia yang tak mau meninggalkan ayahnya, mencoba lebih erat lagi memeluk sang ayah. Rontaannya begitu keras hingga sang ibu harus jatuh terduduk. Tak ada yang bisa keluarga kecil ini lakukan karena pilar utama, pemimpin tertinggi keluarga ini telah tiada.

“Relakan ayahmu Nindia, biarkan Beliau pergi dengan tenang.”

“Kenapa ayah tega meninggalkan kita begitu saja ibu? Dengan siapa kita akan mengadukan semuanya setelah ini? Siapa yang akan jadi penopang kita untuk masa yang akan datang?”

“Kita masih mempunyai Tuhan sayang, kita pasrahkan semua kepada pemberi kehidupan."

Keluarga itu masih saja berduka dan melinangkan air matanya hingga jasad sang ayah, lelaki satu-satunya dalam keluarga itu dikuburkan ke dalam tanah yang dalam.

Bahkan ketika mereka kembali ke rumah mereka yang kecil, duka seperti belum selesai melingkupi mereka. Saat mereka tiba di rumahnya, mereka harus kembali terisak,

“Heh, mana uang yang kau pinjam kepada kami tempo dulu!”Seorang wanita dengan baju yang ketat dan dandanan menor berkata kasar dengan nada yang angkuh kepada ibu Nindia.

“Maaf bu, saya mohon beri saya waktu lagi. Suami saya baru saja meninggal. Saya tidak memiliki uang sama sekali,” ucap Ibu Nindia agar sang pemilik uang memberinya sedikit waktu untuk membayar semua hutang yang ia dan suaminya dulu pinjam.

“Mau sampai kapan kamu mengulur membayar hutang-hutangmu hah! Sudah 3 tahun sejak kamu meminjam uang dan belum pernah sekalipun kamu mengembalikannya. Saya juga butuh uang itu lho!” sentak perempuan itu dengan nada yang keras.

“Saya tau bu, tapi sungguh saya belum memiliki uang untuk membayar uang yang ibu minta itu.”

“Saya kasih kamu waktu 2 bulan lagi, kalau sampai kamu nggak bisa bayar, saya laporkan kamu ke polisi dengan tuduhan penipuan.”

“Iya bu, terima kasih banyak. Saya pasti akan segera melunasinya.”

Wanita itu pergi meninggalkan gubuk keluarga Nindia dengan lenggokkan badan yang gemulai. Saat semuanya telah kembali tenang, Nindia mencoba mendekati sang ibu yang kini hanya bisa menangis dalam diamnya. Hati Nindia semakin teriris dengan apa yang ia lihat saat ini.

“Bu, Nindia akan mencari uang untuk membantu ibu.”

“Tapi kamu kan harus kuliah nak,” ungkap sang ibu yang kini menatap kedua manik mata sang putri sulung.

“Itu bisa tahun depan kan bu. Sekarang yang terpenting kita bebas dulu dari hutang-hutang yang pernah ayah dan ibu pinjam.”

“Maafkan ibu nak. Seharusnya kamu melanjutkan sekolahmu dan menjadi anak yang sukses. Ibu seperti tidak memiliki muka kepadamu.”

“Kenapa harus berkata seperti itu bu. Nindia justru yang malu, karena belum bisa membahagiakan ayah sampai beliau menutup kedua matanya. Ibu juga sudah tua dan perlu untuk beristirahat. Biarkan anakmu ini yang menafkahi ibu dan adik untuk yang selanjutnya.”

“Adik juga akan membantu kakak untuk bekerja,” sahut sang adik yang sedari tadi hanya diam sambil menahan isaknya.

“Jangan Sa, kamu sekolah saja yang pintar. Biar nanti kamu jadi orang yang sukses. Bisa bahagiakan ibu dan kakak.”

“Tapi kan kak?”

“Sudah, kamu nurut saja sama kakak. Sekarang kamu bantu kakak untuk berkemas. Besok kakak akan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang bisa membiayai kehidupan kita.”

“Baiklah kak,” ucap sang adik dengan pasrah dan mulai berjalan memasuki kamar sang kakak, untuk membantunya berkemas.

“Apa kamu yakin Nindia? Ibu saja yang ke kota, kamu di rumah saja bersama adik"

“Tidak bu. Ibu berjualan saja di desa bersama Sasya. Biar Nindia yang ke kota mencari uang yang lain.”

“Baiklah bila itu yang menjadi keputusanmu. Baik-baiklah di kota besok. Doa ibu selalu bersama untukmu.”

Kedua ibu anak itu berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Tangis dan doa mengalir dari kedua mulut kedua wanita itu. Sang adik yang melihat dari dalam kamar sang kakak merosot ke tanah dan kembali mengalirkan air matanya. Dia memang masih terlalu kecil untuk bisa membantu apa yang telah terjadi di keluarganya ini. Tapi dia akan berusaha untuk secepatnya bisa membantu meringankan beban di kedua pundak sang kakak dan ibunya.

Flashback

Tes Tes Tes

Air hujan mulai turun dari langit gelap. Nindia hanya bisa meratapi nasibnya. Hari pertamanya tak berjalan dengan baik sesuai harapannya. Menyesal pun tak akan berguna bila seperti saat ini. Dia menerobos hujan dan duduk di depan emperan toko yang sudah tutup.

Matanya mulai memberat karena hati dan fisiknya yang telah lelah.

Dia tidur beralaskan lantai dingin. Dalam sekejap Nindia telah terbuai dalam alam mimpinya yang indah.

Terpopuler

Comments

RaraMo

RaraMo

salam kenal kk

2022-05-07

0

Nana Annisa

Nana Annisa

salam kenal...

2022-04-19

0

lintang berseri

lintang berseri

keren banget kata katanya ka,,,, langsung nyesek aku....

2022-04-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!