Denting waktu berlalu dengan sangat cepat. Tak terasa malam kini menyambut dengan dinginnya sang angin. Belaian lembutnya menembus hingga tulang yang paling dalam. Gadis dengan baju lusuh itu mulai menggigil di kegelapan malam.
Baju tipis itu tak bisa menghangatkan tubuh mungilnya. Rok panjang yang menutupi kaki ramping berkibar ke kanan dan ke kiri mengikuti kemana sang angin malam ini mengarah.
Kedua tangannya mencengkeram perutnya yang mulai kelaparan. Tidak ada uang sama sekali yang ia pegang untuk saat ini. Niat baiknya yang ingin mencari uang di kota untuk sang ibu justru berbuah buruk untuknya. Semua uang, baju dan segelintir ijazah Sekolah Menengah Atasnya lenyap begitu saja, karena terkena jambret saat ia turun dari bis.
Matanya sudah begitu bengkak karena meratapi nasibnya yang begitu buruk. Tak ada air mata lagi yang menetes karena lelah yang mendera. Berharap suatu keajaiban untuk ia bisa tertolong. Berdoa kepada Tuhan agar memberinya sedikit saja belas kasih kepada dirinya.
Ia hanya ingin membantu ibu yang ada di desa saat ini. Hanya itu yang terapal dari hati gadis itu secara terus menerus.
Flashback
“Ibu lihatlah ini. Nilai-nilaiku sangat bagus. Aku juga mendapatkan beasiswa di kota bu,” ucap gadis itu seraya berlari ke dalam rumah yang sederhana. Atau bahkan bisa dikatakan hanya sebuah gubuk kecil di pojokan desa.
BRUK
Tas dan ijazah yang ia bawa jatuh begitu saja ke atas lantai rumahnya yang tak berkeramik. Matanya membulat tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ibunya telah terduduk di atas tanah di samping tempat tidur sang ayah yang terbaring tak bernyawa di tempat tidurnya, sedangkan sang adik memeluk di atas kasur yang telah usah dan berlubang di sana-sini.
Kaki kecil berjalan mendekati ayah yang tengah menutup kedua matanya. Sang adik yang menyadari kehadiran sang kakak melepaskan pelukannya dari cinta pertamanya itu.
Tangan mungil gadis itu mencoba mengguncang bahu sang ayah, berharap beliau akan merespon apa yang ia lakukan. Tanpa sadar air matanya mengalir di kedua pipi tirusnya.
“Ayah, lihatnya! Nindia mendapatkan nilai terbaik di sekolah. Ayo, bangunlah dan peluk Nindia.” Suara gadis bernama Nindia itu kini mulai serak karena tangisnya yang ia tahan.
“Ayah, bukankah kau berjanji akan mengajakku berkeliling kota bila bisa mendapatkan beasiswa yang kita inginkan selama ini? Sekarang Nindia mendapatkannya Ayah, jadi ayah harus menemani Nindia,” seru gadis itu kembali,
Sang ibu yang mulai khawatir dengan putri sulungnya itu mencoba untuk mengangkat sang putri dari duduknya. Nindia yang tak mau meninggalkan ayahnya, mencoba lebih erat lagi memeluk sang ayah. Rontaannya begitu keras hingga sang ibu harus jatuh terduduk. Tak ada yang bisa keluarga kecil ini lakukan karena pilar utama, pemimpin tertinggi keluarga ini telah tiada.
“Relakan ayahmu Nindia, biarkan Beliau pergi dengan tenang.”
“Kenapa ayah tega meninggalkan kita begitu saja ibu? Dengan siapa kita akan mengadukan semuanya setelah ini? Siapa yang akan jadi penopang kita untuk masa yang akan datang?”
“Kita masih mempunyai Tuhan sayang, kita pasrahkan semua kepada pemberi kehidupan."
Keluarga itu masih saja berduka dan melinangkan air matanya hingga jasad sang ayah, lelaki satu-satunya dalam keluarga itu dikuburkan ke dalam tanah yang dalam.
Bahkan ketika mereka kembali ke rumah mereka yang kecil, duka seperti belum selesai melingkupi mereka. Saat mereka tiba di rumahnya, mereka harus kembali terisak,
“Heh, mana uang yang kau pinjam kepada kami tempo dulu!”Seorang wanita dengan baju yang ketat dan dandanan menor berkata kasar dengan nada yang angkuh kepada ibu Nindia.
“Maaf bu, saya mohon beri saya waktu lagi. Suami saya baru saja meninggal. Saya tidak memiliki uang sama sekali,” ucap Ibu Nindia agar sang pemilik uang memberinya sedikit waktu untuk membayar semua hutang yang ia dan suaminya dulu pinjam.
“Mau sampai kapan kamu mengulur membayar hutang-hutangmu hah! Sudah 3 tahun sejak kamu meminjam uang dan belum pernah sekalipun kamu mengembalikannya. Saya juga butuh uang itu lho!” sentak perempuan itu dengan nada yang keras.
“Saya tau bu, tapi sungguh saya belum memiliki uang untuk membayar uang yang ibu minta itu.”
“Saya kasih kamu waktu 2 bulan lagi, kalau sampai kamu nggak bisa bayar, saya laporkan kamu ke polisi dengan tuduhan penipuan.”
“Iya bu, terima kasih banyak. Saya pasti akan segera melunasinya.”
Wanita itu pergi meninggalkan gubuk keluarga Nindia dengan lenggokkan badan yang gemulai. Saat semuanya telah kembali tenang, Nindia mencoba mendekati sang ibu yang kini hanya bisa menangis dalam diamnya. Hati Nindia semakin teriris dengan apa yang ia lihat saat ini.
“Bu, Nindia akan mencari uang untuk membantu ibu.”
“Tapi kamu kan harus kuliah nak,” ungkap sang ibu yang kini menatap kedua manik mata sang putri sulung.
“Itu bisa tahun depan kan bu. Sekarang yang terpenting kita bebas dulu dari hutang-hutang yang pernah ayah dan ibu pinjam.”
“Maafkan ibu nak. Seharusnya kamu melanjutkan sekolahmu dan menjadi anak yang sukses. Ibu seperti tidak memiliki muka kepadamu.”
“Kenapa harus berkata seperti itu bu. Nindia justru yang malu, karena belum bisa membahagiakan ayah sampai beliau menutup kedua matanya. Ibu juga sudah tua dan perlu untuk beristirahat. Biarkan anakmu ini yang menafkahi ibu dan adik untuk yang selanjutnya.”
“Adik juga akan membantu kakak untuk bekerja,” sahut sang adik yang sedari tadi hanya diam sambil menahan isaknya.
“Jangan Sa, kamu sekolah saja yang pintar. Biar nanti kamu jadi orang yang sukses. Bisa bahagiakan ibu dan kakak.”
“Tapi kan kak?”
“Sudah, kamu nurut saja sama kakak. Sekarang kamu bantu kakak untuk berkemas. Besok kakak akan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang bisa membiayai kehidupan kita.”
“Baiklah kak,” ucap sang adik dengan pasrah dan mulai berjalan memasuki kamar sang kakak, untuk membantunya berkemas.
“Apa kamu yakin Nindia? Ibu saja yang ke kota, kamu di rumah saja bersama adik"
“Tidak bu. Ibu berjualan saja di desa bersama Sasya. Biar Nindia yang ke kota mencari uang yang lain.”
“Baiklah bila itu yang menjadi keputusanmu. Baik-baiklah di kota besok. Doa ibu selalu bersama untukmu.”
Kedua ibu anak itu berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Tangis dan doa mengalir dari kedua mulut kedua wanita itu. Sang adik yang melihat dari dalam kamar sang kakak merosot ke tanah dan kembali mengalirkan air matanya. Dia memang masih terlalu kecil untuk bisa membantu apa yang telah terjadi di keluarganya ini. Tapi dia akan berusaha untuk secepatnya bisa membantu meringankan beban di kedua pundak sang kakak dan ibunya.
Flashback
Tes Tes Tes
Air hujan mulai turun dari langit gelap. Nindia hanya bisa meratapi nasibnya. Hari pertamanya tak berjalan dengan baik sesuai harapannya. Menyesal pun tak akan berguna bila seperti saat ini. Dia menerobos hujan dan duduk di depan emperan toko yang sudah tutup.
Matanya mulai memberat karena hati dan fisiknya yang telah lelah.
Dia tidur beralaskan lantai dingin. Dalam sekejap Nindia telah terbuai dalam alam mimpinya yang indah.
Semua yang ada di cerita hanyalah fiksi belaka. mohon untuk tidak dijadikan sebagai contoh.
Matahari telah menyingsing begitu tinggi menempati singgasana. Hangat sang surya seakan menghilangkan jejak hujan yang semalam datang tanpa diundang oleh siapapun. Sinar menyilaukan membangunkan gadis yang tengah tertidur di depan toko bertanda kan tutup karena sang pemilik yang belum datang.
“Hari sudah pagi. Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Semoga hari ini lebih baik dari kemarin,” ungkap sang gadis sebagai doa pengawal harinya. Gadis itu adalah Nindia.
Kakinya yang mungil mulai melangkah dengan tertatih tanpa tahu arah dan tujuan. Hingga tanpa sadar kini ia berada di sebuah taman per komplekan rumah. Matanya seakan terpukau dengan apa yang kini ia lihat.
Hiks Hiks Hisks
“Suara siapa itu?"
Nindia mencoba mencari asal suara yang membuatnya tak tenang. Matanya tanpa sengaja terpaku pada sebuah kursi roda yang ada di samping semak-semak yang tumbuh dengan subur.
Dengan perlahan Nindia menghampiri semak-semak itu. Di sana ada seorang gadis kecil dengan seragam Sekolah Menengah Pertama. Gadis itu tengah menangis terisak dan menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangannya yang tergores.
Darahnya telah mengalir dengan deras, membasahi seluruh kemeja sekolahnya. Nindia mendekati gadis itu dan mencoba meraih bahu yang bergetar sang gadis cilik.
“Hai, apakah kau baik-baik saja?”
Gadis itu menoleh menengadahkan kepalanya ke atas menanggapi panggilan dan sentuhan di pundaknya. Matanya sembab karena air mata yang bahkan belum mengering sempurna
Mata bergulir linglung melihat ke arah Nindia. Tangan dan bahunya bergetar melihat sosok asing yang ada di depannya. Dia tidak mengenal sosok itu.
Nindia yang melihat reaksi gadis kecil itu mencoba menampilkan senyum yang manis. Memberikan kenyamanan agar rasa takut yang ada di gadis manis itu menghilang dengan perlahan.
“Jangan takut aku tidak akan menyakitimu. Apa yang sedang kamu lakukan disini sendirian?”
Gadis itu masih saja takut dan menggeser badannya dengan perlahan menjauhi Nindia. Kepalanya menggeleng pelan sebagai tanda agar Nindia tidak mendekat ke arah sang gadis yang kini mulai melupakan rasa sakit di tangan dan berhenti dalam tangisnya.
Nindia tidak patah semangat dan mencoba untuk mendekat kembali, tapi dengan cara yang lebih halus.
Tangannya mencoba menyobek rok bagian dalamnya yang masih bersih.
“Biarkan kakak menghentikan pendarahannya dulu. Setelah itu kamu boleh menjauhi kakak.”
Gadis itu terpaku dengan ucapan Nindia dan akhirnya diam saja saat Nindia membalut luka goresannya yang memanjang. Setelah luka itu tertutup dengan rapi, Nindia tersenyum hangat dan mengelus rambut panjang gadis kecil tersebut.
“Nama kakak Nindia, nama kamu siapa?”
“Aya,” ucap gadis kecil dengan menundukkan kepalanya dalam manahan rasa malu dan takut yang belum saja menghilang.
“Nama kamu bagus. Kenapa kamu ada disini?”
“ehmm, aku malu kak?”
“Malu? Karena apa? Lebih baik kita duduk di kursi taman saja biar lebih enak dan kamu juga nggak gatal karena serangga yang ada disini, bagaimana?”
“Aku tidak bisa berjalan kak,” ucap Aya dengan suara yang kecil. Walaupun begitu Nindia masih bisa mendengar ucapan gadis itu.
“Apakah kakimu juga terluka?”
“Tidak, kaki saya nggak terluka kak Nindia. Kaki Aya sudah lumpuh sejak 3 tahun yang lalu?”
“Benarkah? Kalau begitu ayo biar kakak gendong.”
Nindia berjongkok di depan Aya dan mencoba mengulurkan tangan membantu gadis kecil itu naik ke atas punggung ringkihnya.
Aya dengan malu-malu menggapai tangan Nindia dan bersandar di punggung kakak baik hati. Ia mengusap ingus yang mulai keluar dari hidung dan menyeka sisa air mata yang mengalir di pipi.
“Kakak berhenti disini saja. Itu kursi rodaku.”
“Kenapa harus disini. Biar ku antar kamu duduk di kursi taman dulu. Setelah itu, kakak akan mengambilkan kursi rodanya.”
Aya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Mengerti jika Nindia adalah kakak yang baik dan tidak akan jahat kepadanya seperti pembantunya yang dulu dan juga teman-teman di sekolah baru yang sekarang.
Setelah sekian lama berjalan dengan perlahan, Nindia mendudukkan Aya di bangku taman yang tampak sepi karena masih pagi. Semua orang masih sibuk dengan pekerjaan rumah dan sekolahnya.
Setelah mendudukkan Aya, Nindia berjalan kembali ke arah kursi roda yang ditinggalkannya tadi. Tangan putih pucat itu mencengkeram erat perut yang kembali sakit karena dari kemarin belum memakan apapun.
Sampai di tempat kursi roda Aya, Nindia berjalan sambil mendorong benda tersebut dengan perlahan. Dia harus bertahan dengan rasa sakit untuk orang-orang yang disayanginya.
“Halo cantik, apakah kakak lama?”
Aya menggeleng dengan pasti. Senyum manis sudah mulai merekah karena kupu-kupu yang beterbangan. Tangan kanannya dengan perlahan mengelus tangan kiri yang telah terbalut kain yang diberikan oleh Nindia.
“Baiklah, sekarang waktunya mendengarkan cerita dari adik cantik kita. Jadi, mengapa kau ada disini bukannya di sekolah?”
“Aku tidak ingin sekolah kak, mereka semua jahat kepada Aya. Aya selalu diejek dan dijadikan bahan bully di sekolah baru Aya.”
“Lalu kenapa Aya ada di sini? Dimana kedua orangtua Aya? Apakah mereka tahu kalau Aya selalu ditindas oleh teman-teman Aya?”
Sejenak mereka berdua hanya terdiam ditemani hembusan angin yang lembut. Kedua rambut gadis dengan umur yang berbeda itu kini berkibar. Aya kembali merasakan sesak yang mendalam di dalam dadanya jika harus mengingat tentang tragedi yang dialami 3 tahun lalu.
Melihat Aya yang tak menunjukkan respon apapun, akhirnya Nindia melakukan inisiatif untuk melakukan sedikit penghiburan pada gadis kecil itu. Walaupun tidak tahu apa yang sedang dirasakan oleh Aya, Nindia tidak ingin orang lain merasakan sedih.
Nindia terlalu naïf untuk menjadi orang yang baik hati di zaman yang sudah modern seperti ini. Memikirkan kebahagian orang lain, tanpa tahu kalau dirinya sendiri telah merasakan kesakitan.
Kedua mata bulat Nindia mengedari seluruh pelosok taman yang indah ini. Saat matanya menemukan sebuah tanaman yang bertumbuhkan bunga-bunga liar, Nindia langsung menghampiri tempat tersebut
Tangannya dengan cekatan memetik beberapa helai rumput liar dan juga bunga-bunga kecil yang tumbuh di tempat itu. Dengan telaten Nindia merangkai semua yang telah ia cabut untuk dijadikan mahkota yang sederhana.
Tidak sulit untuk Nindia agar bisa membuat mahkota seperti itu.
Dulu saat ia ada di kampung, banyak sekali rumput dan bunga liar seperti ini di lapangan desa. Biasanya, setiap sore Nindia dan juga Sasya akan membuat mahkota untuk dijadikan mainan mereka.
Setelah mahkota itu telah jadi, Nindia langsung saja menghampiri Aya yang masih saja termenung di tempatnya itu. Senyum tipis mengembang di bibir mungil Nindia. Tanpa sepengetahuan Aya, Nindia memasangkan mahkota bunga itu di kepala sang adik barunya.
Aya yang terkejut dengan kedatangan Nindia dan mahkota indah yang telah tersemat di rambutnya memberikan respon yang biasa dilakukan oleh orang kaget. Mulutnya melongo dan tangan kecilnya mengambil mahkota itu.
Aya menengok kebelakang untuk melihat ke arah Nindia.
Kakak penolong ini begitu baik kepadanya, padahal mereka baru saja bertemu. Apakah Aya bisa mempercayai kakak cantik ini. Jujur Aya sangat membutuhkan orang yang bisa mengerti tentangnya saat ini.
Aya sangat tertekan dengan apa yang dia alami untuk saat ini. Umur belianya belum bisa merespon takdir apa yang telah ia alami dan ia jalankan di masa yang akan datang.
Jiwanya masihlah anak-anak yang membutuhkan kasih sayang yang begitu hangat dan banyak. Dia masih ingin merasakan apa itu pelukan seorang ibu. rangkulan dari seorang kakak dan nasehat dari seorang ayah. Bisakah dia berharap semua itu kepada kakak cantik ini?
“Hai, kenapa kau masih diam saja? Apa tidak suka dengan rangkaian bunga ini?"
“Aya sangat suka dengan bunga yang kakak buatkan untuk Aya. Lain kali ajarkan Aya untuk membuatnya ya kak.”
“Baiklah. Sekarang sebaiknya kamu beritahu rumahmu, agar kakak bisa mengantarkan pulang dan lukanya bisa segera dibersihkan."
Tiba-tiba saja Aya kembali murung dan menundukkan kedua kepalanya dengan begitu dalam. Isak kembali terdengar walaupun hanya lirih. Nindia berjongkok di depan Aya dan mengusap air mata yang singgah di pipi gembil gadis kecil itu.
“Kenapa? Apa kakak salah berbicara kepada Aya?”
“Tidak, hanya saja Aya takut kakak Arya akan memarahi Aya. Bolehkan Aya tinggal di tempat kakak Nindia terlebih dahulu.”
Nindia yang mendengar penuturan gadis manis yang ada di depannya ini sedikit terpaku. Mau dibawa kemana anak orang, jika dirinya sendiri saja tak memiliki arah dan tujuan yang pasti.
“Maafkan kakak ya Aya. Tapi, kakak tidak memiliki tempat tinggal.”
“Lalu kakak tidur dimana selama ini. Kakak tidak terlihat seperti seorang gelandangan yang tidak memiliki rumah.”
Ucapan Aya begitu menohok Nindia. Selama ini dia memang masih dapat tidur di rumah gubuknya yang sederhana, tapi dalam dua bulan ini bila dia tidak bisa membayar hutang yang melilit keluarga, bisa dipastikan ibu, adik dan dirinya akan menjadi gelandangan yang sesungguhnya.
“Kakak baru saja tiba di kota. Kakak dulu tinggal di desa yang sangat asri.”
“Lalu, kenapa kakak tidak membawa apapun untuk saat ini? Dimana barang-barang kakak?
“Kakak kecopetan saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.”
Aya termenung dengan ucapan dari Nindia. Sungguh kasian kakak ini. Pasti kakak ini tidak tahu kalau hidup di kota itu rintangannya lebih besar daripada di desa yang masih damai.
Tanpa sadar Aya juga merasakan beratnya hidup di kota. Dirinya yang kini tak lagi sempurna, harus merasakan pedihnya hinaan dan cacian dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Jadi, mau kakak antar kan pulang?” tawar Nindia kepada Aya.
“Boleh. Kalau kakak mau, kakak bisa tinggal di rumahku terlebih dahulu.”
“Tidak perlu seperti itu. Kakak harus secepatnya mencari pekerjaan untuk keluarga kakak di kampung.”
“Kalau kakak mau, kakak bisa jadi pengasuh. Aya suka dengan kakak, pengasuhku juga baru saja keluar pagi ini,” ucap Aya berharap kalau Nindia akan menerima tawaran dari gadis kecil itu.
Tanpa sadar interaksi kedua gadis beda umur itu kini tengah diawasi oleh sepasang mata tajam seperti elang. Menatap tajam lurus ke depan dengan rahang yang mengeras. Surai hitam pendeknya menambah kesan garang pada sosok laki-laki itu.
Kaki-kakinya yang kokoh mulai meninggalkan kedua gadis itu dengan perasaan yang tak menentu. Sedangkan, Nindia masih berpikir tentang tawaran gadis kecil yang baru saja ia kenal kurang dari 2 jam yang lalu.
“Ayolah kak, Aya pasti akan sangat bahagia kalau bisa dirawat oleh kakak.”
“Baiklah. Tapi kakak tidak memiliki ijazah. Semua yang kakak bawa hilang,” ungkap Nindia kalau-kalau orang yang akan mempekerjakannya nanti meminta hal itu.
“Nanti biar Aya yang bilang kepada ayah tentang hal itu kak. Yang terpenting sekarang kakak mau ikut Aya terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu. Biar kakak yang mendorong kursi roda Aya. Putri Cantik tunjukan saja jalannya kepada pelayan ini.”
“Hahahahaha"
semua hanya cerita fiksi. mohon untuk tidak dicontoh.
“Nanti Kak Nindi juga bantu Aya untuk mengerjakan Pr yang susah ya,”ucap gadis kecil itu dengan suara yang imut.
“Baiklah.”
Kedua gadis tersebut memasuki sebuah rumah yang mewah bak istana. Pintu ganda bercat putih dengan ukuran rumit. Saat terbuka, kemegahan yang sesungguhnya terhidang di netra Nindia.
Sungguh sangat berbeda dengan rumah kecilnya yang bagaikan sebuah gubuk. Mungkin saja bagian kecil kamar mandi di istana ini. Barang-barang mewah yang pasti mahal memenuhi setiap sudut ruang tamu.
Di sana seorang lelaki paruh baya tengah mondar-mandir dengan smartphone yang masih setia terpegang di salah satu tangannya. Suara tinggi layaknya bentakan memenuhi ruangan. Membuat siapa saja yang sekarang tengah ia hubungi merasa gemetar ketakutan.
Raut wajahnya sangat menunjukan rasa cemas, membuat kerutan tampak semakin jelas di dahinya.
Nindia menundukan wajahnya melihat ke arah wajah Aya yang juga mendongak menghadap Nindia. Aya seakan memberikan isyarat kepada Nindia agar mau mendorong kursi rodanya ke arah sang lelaki paruh baya tersebut.
“Papa,” panggil Aya yang sekarang berada di belakang lelaki itu.
Lelaki tersebut memalingkan wajahnya ke belakang dengan cepat. Dalam sekejap, lelaki itu membuang smartphonenya ke sembarang arah dan menghambur ke dalam pelukan Aya. Tangannya yang masih kekar mengelus rambut panjang Aya dengan sayang.
Setelah sekian lama, lelaki yang dipanggil Papa oleh Aya tadi melepaskan pelukan. Matanya menyorot penuh kekhawatiran. Meneliti setiap tubuh sang putri kecil. Mata tua itu melihat tangan Aya yang diperban dengan lilitan kain kumal dengan darah yang mulai merembes.
“Ada apa dengan tanganmu itu? Ayo kita ke kamar biar papa hubungi Dokter Rizal agar memeriksa tanganmu. Bagaimana bisa tangan putih dan mulus milik putri papa bisa jadi seperti ini.”
Saat tangan kekar itu akan mengangkat tubuh kecil Aya, gadis kecil itu menghentikan aksi sang papa. Aya memberikan tatapan yang membuat siapa saja akan luluh dengan matanya.
Sang papa mengerti jika putrinya sudah memberikan tatapan seperti itu, putri kecilnya menginginkan sesuatu untuk dirinya. Dan sebagai papa, ia akan memberikan apapun untuk anak perempuan satu-satunya.
“Pa, lihatlah ke belakang papa.”
Sang papa menuruti keinginan putrinya itu. Saat ia sudah menghadap ke belakang, sang papa hanya memberikan tatapan bingung.
Seorang gadis yang memakai kaos dan rok panjang. Rambutnya tergerai menjuntai hingga ke punggung. Wajahnya putih mulus, namun tidak bisa menutupi kesan desa dari sang gadis. Begitu polos dan tanpa riasan sama sekali.
“Perkenalkan, itu kakak Nindia. Kakak itu pa yang sudah menolong Aya tadi.”
“Benarkah?” tanya sang papa yang masih menilai gadis di depannya dengan pandangan yang menyelidik.
Di kota seperti ini banyak penipu yang berkeliaran. Dari tampang jelek bahkan yang tampan dan cantikpun bisa menjadi seorang penipu ulung. Tidak bisa dipungkiri kalau bisa saja gadis di depannya ini adalah penipu juga.
Aya yang melihat tingkah sang papa, mendengus dengan perlahan. Selalu saja seperti itu. Papanya mulai tidak percaya terhadap orang-orang saat beliau tahu kalau Aya disakiti oleh pengasuhya sendiri. Dan itupun baru diketahui kemarin.
“Kakak Nindi baik pa. Kak Nindi datang dari desa kemarin dan kecopetan saat turun dari bus,” ungkap Aya agar sang papa menghentikan tatapan tajamnya dari kakak baik hati.
“Lalu, kenapa dia ada disini bersama kita?”
“Biarkan kak Nindi jadi pengasuhku ya pa,”ucap Aya memohon dengan mata yang berkedip-kedip lucu. Bibir dikerucutkan dengan sangat imut sekali. Meluluhkan pertahanan ayahnya..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!