Semua yang ada di cerita hanyalah fiksi belaka. mohon untuk tidak dijadikan sebagai contoh.
Matahari telah menyingsing begitu tinggi menempati singgasana. Hangat sang surya seakan menghilangkan jejak hujan yang semalam datang tanpa diundang oleh siapapun. Sinar menyilaukan membangunkan gadis yang tengah tertidur di depan toko bertanda kan tutup karena sang pemilik yang belum datang.
“Hari sudah pagi. Sebaiknya aku segera pergi dari sini. Semoga hari ini lebih baik dari kemarin,” ungkap sang gadis sebagai doa pengawal harinya. Gadis itu adalah Nindia.
Kakinya yang mungil mulai melangkah dengan tertatih tanpa tahu arah dan tujuan. Hingga tanpa sadar kini ia berada di sebuah taman per komplekan rumah. Matanya seakan terpukau dengan apa yang kini ia lihat.
Hiks Hiks Hisks
“Suara siapa itu?"
Nindia mencoba mencari asal suara yang membuatnya tak tenang. Matanya tanpa sengaja terpaku pada sebuah kursi roda yang ada di samping semak-semak yang tumbuh dengan subur.
Dengan perlahan Nindia menghampiri semak-semak itu. Di sana ada seorang gadis kecil dengan seragam Sekolah Menengah Pertama. Gadis itu tengah menangis terisak dan menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangannya yang tergores.
Darahnya telah mengalir dengan deras, membasahi seluruh kemeja sekolahnya. Nindia mendekati gadis itu dan mencoba meraih bahu yang bergetar sang gadis cilik.
“Hai, apakah kau baik-baik saja?”
Gadis itu menoleh menengadahkan kepalanya ke atas menanggapi panggilan dan sentuhan di pundaknya. Matanya sembab karena air mata yang bahkan belum mengering sempurna
Mata bergulir linglung melihat ke arah Nindia. Tangan dan bahunya bergetar melihat sosok asing yang ada di depannya. Dia tidak mengenal sosok itu.
Nindia yang melihat reaksi gadis kecil itu mencoba menampilkan senyum yang manis. Memberikan kenyamanan agar rasa takut yang ada di gadis manis itu menghilang dengan perlahan.
“Jangan takut aku tidak akan menyakitimu. Apa yang sedang kamu lakukan disini sendirian?”
Gadis itu masih saja takut dan menggeser badannya dengan perlahan menjauhi Nindia. Kepalanya menggeleng pelan sebagai tanda agar Nindia tidak mendekat ke arah sang gadis yang kini mulai melupakan rasa sakit di tangan dan berhenti dalam tangisnya.
Nindia tidak patah semangat dan mencoba untuk mendekat kembali, tapi dengan cara yang lebih halus.
Tangannya mencoba menyobek rok bagian dalamnya yang masih bersih.
“Biarkan kakak menghentikan pendarahannya dulu. Setelah itu kamu boleh menjauhi kakak.”
Gadis itu terpaku dengan ucapan Nindia dan akhirnya diam saja saat Nindia membalut luka goresannya yang memanjang. Setelah luka itu tertutup dengan rapi, Nindia tersenyum hangat dan mengelus rambut panjang gadis kecil tersebut.
“Nama kakak Nindia, nama kamu siapa?”
“Aya,” ucap gadis kecil dengan menundukkan kepalanya dalam manahan rasa malu dan takut yang belum saja menghilang.
“Nama kamu bagus. Kenapa kamu ada disini?”
“ehmm, aku malu kak?”
“Malu? Karena apa? Lebih baik kita duduk di kursi taman saja biar lebih enak dan kamu juga nggak gatal karena serangga yang ada disini, bagaimana?”
“Aku tidak bisa berjalan kak,” ucap Aya dengan suara yang kecil. Walaupun begitu Nindia masih bisa mendengar ucapan gadis itu.
“Apakah kakimu juga terluka?”
“Tidak, kaki saya nggak terluka kak Nindia. Kaki Aya sudah lumpuh sejak 3 tahun yang lalu?”
“Benarkah? Kalau begitu ayo biar kakak gendong.”
Nindia berjongkok di depan Aya dan mencoba mengulurkan tangan membantu gadis kecil itu naik ke atas punggung ringkihnya.
Aya dengan malu-malu menggapai tangan Nindia dan bersandar di punggung kakak baik hati. Ia mengusap ingus yang mulai keluar dari hidung dan menyeka sisa air mata yang mengalir di pipi.
“Kakak berhenti disini saja. Itu kursi rodaku.”
“Kenapa harus disini. Biar ku antar kamu duduk di kursi taman dulu. Setelah itu, kakak akan mengambilkan kursi rodanya.”
Aya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Mengerti jika Nindia adalah kakak yang baik dan tidak akan jahat kepadanya seperti pembantunya yang dulu dan juga teman-teman di sekolah baru yang sekarang.
Setelah sekian lama berjalan dengan perlahan, Nindia mendudukkan Aya di bangku taman yang tampak sepi karena masih pagi. Semua orang masih sibuk dengan pekerjaan rumah dan sekolahnya.
Setelah mendudukkan Aya, Nindia berjalan kembali ke arah kursi roda yang ditinggalkannya tadi. Tangan putih pucat itu mencengkeram erat perut yang kembali sakit karena dari kemarin belum memakan apapun.
Sampai di tempat kursi roda Aya, Nindia berjalan sambil mendorong benda tersebut dengan perlahan. Dia harus bertahan dengan rasa sakit untuk orang-orang yang disayanginya.
“Halo cantik, apakah kakak lama?”
Aya menggeleng dengan pasti. Senyum manis sudah mulai merekah karena kupu-kupu yang beterbangan. Tangan kanannya dengan perlahan mengelus tangan kiri yang telah terbalut kain yang diberikan oleh Nindia.
“Baiklah, sekarang waktunya mendengarkan cerita dari adik cantik kita. Jadi, mengapa kau ada disini bukannya di sekolah?”
“Aku tidak ingin sekolah kak, mereka semua jahat kepada Aya. Aya selalu diejek dan dijadikan bahan bully di sekolah baru Aya.”
“Lalu kenapa Aya ada di sini? Dimana kedua orangtua Aya? Apakah mereka tahu kalau Aya selalu ditindas oleh teman-teman Aya?”
Sejenak mereka berdua hanya terdiam ditemani hembusan angin yang lembut. Kedua rambut gadis dengan umur yang berbeda itu kini berkibar. Aya kembali merasakan sesak yang mendalam di dalam dadanya jika harus mengingat tentang tragedi yang dialami 3 tahun lalu.
Melihat Aya yang tak menunjukkan respon apapun, akhirnya Nindia melakukan inisiatif untuk melakukan sedikit penghiburan pada gadis kecil itu. Walaupun tidak tahu apa yang sedang dirasakan oleh Aya, Nindia tidak ingin orang lain merasakan sedih.
Nindia terlalu naïf untuk menjadi orang yang baik hati di zaman yang sudah modern seperti ini. Memikirkan kebahagian orang lain, tanpa tahu kalau dirinya sendiri telah merasakan kesakitan.
Kedua mata bulat Nindia mengedari seluruh pelosok taman yang indah ini. Saat matanya menemukan sebuah tanaman yang bertumbuhkan bunga-bunga liar, Nindia langsung menghampiri tempat tersebut
Tangannya dengan cekatan memetik beberapa helai rumput liar dan juga bunga-bunga kecil yang tumbuh di tempat itu. Dengan telaten Nindia merangkai semua yang telah ia cabut untuk dijadikan mahkota yang sederhana.
Tidak sulit untuk Nindia agar bisa membuat mahkota seperti itu.
Dulu saat ia ada di kampung, banyak sekali rumput dan bunga liar seperti ini di lapangan desa. Biasanya, setiap sore Nindia dan juga Sasya akan membuat mahkota untuk dijadikan mainan mereka.
Setelah mahkota itu telah jadi, Nindia langsung saja menghampiri Aya yang masih saja termenung di tempatnya itu. Senyum tipis mengembang di bibir mungil Nindia. Tanpa sepengetahuan Aya, Nindia memasangkan mahkota bunga itu di kepala sang adik barunya.
Aya yang terkejut dengan kedatangan Nindia dan mahkota indah yang telah tersemat di rambutnya memberikan respon yang biasa dilakukan oleh orang kaget. Mulutnya melongo dan tangan kecilnya mengambil mahkota itu.
Aya menengok kebelakang untuk melihat ke arah Nindia.
Kakak penolong ini begitu baik kepadanya, padahal mereka baru saja bertemu. Apakah Aya bisa mempercayai kakak cantik ini. Jujur Aya sangat membutuhkan orang yang bisa mengerti tentangnya saat ini.
Aya sangat tertekan dengan apa yang dia alami untuk saat ini. Umur belianya belum bisa merespon takdir apa yang telah ia alami dan ia jalankan di masa yang akan datang.
Jiwanya masihlah anak-anak yang membutuhkan kasih sayang yang begitu hangat dan banyak. Dia masih ingin merasakan apa itu pelukan seorang ibu. rangkulan dari seorang kakak dan nasehat dari seorang ayah. Bisakah dia berharap semua itu kepada kakak cantik ini?
“Hai, kenapa kau masih diam saja? Apa tidak suka dengan rangkaian bunga ini?"
“Aya sangat suka dengan bunga yang kakak buatkan untuk Aya. Lain kali ajarkan Aya untuk membuatnya ya kak.”
“Baiklah. Sekarang sebaiknya kamu beritahu rumahmu, agar kakak bisa mengantarkan pulang dan lukanya bisa segera dibersihkan."
Tiba-tiba saja Aya kembali murung dan menundukkan kedua kepalanya dengan begitu dalam. Isak kembali terdengar walaupun hanya lirih. Nindia berjongkok di depan Aya dan mengusap air mata yang singgah di pipi gembil gadis kecil itu.
“Kenapa? Apa kakak salah berbicara kepada Aya?”
“Tidak, hanya saja Aya takut kakak Arya akan memarahi Aya. Bolehkan Aya tinggal di tempat kakak Nindia terlebih dahulu.”
Nindia yang mendengar penuturan gadis manis yang ada di depannya ini sedikit terpaku. Mau dibawa kemana anak orang, jika dirinya sendiri saja tak memiliki arah dan tujuan yang pasti.
“Maafkan kakak ya Aya. Tapi, kakak tidak memiliki tempat tinggal.”
“Lalu kakak tidur dimana selama ini. Kakak tidak terlihat seperti seorang gelandangan yang tidak memiliki rumah.”
Ucapan Aya begitu menohok Nindia. Selama ini dia memang masih dapat tidur di rumah gubuknya yang sederhana, tapi dalam dua bulan ini bila dia tidak bisa membayar hutang yang melilit keluarga, bisa dipastikan ibu, adik dan dirinya akan menjadi gelandangan yang sesungguhnya.
“Kakak baru saja tiba di kota. Kakak dulu tinggal di desa yang sangat asri.”
“Lalu, kenapa kakak tidak membawa apapun untuk saat ini? Dimana barang-barang kakak?
“Kakak kecopetan saat pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.”
Aya termenung dengan ucapan dari Nindia. Sungguh kasian kakak ini. Pasti kakak ini tidak tahu kalau hidup di kota itu rintangannya lebih besar daripada di desa yang masih damai.
Tanpa sadar Aya juga merasakan beratnya hidup di kota. Dirinya yang kini tak lagi sempurna, harus merasakan pedihnya hinaan dan cacian dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Jadi, mau kakak antar kan pulang?” tawar Nindia kepada Aya.
“Boleh. Kalau kakak mau, kakak bisa tinggal di rumahku terlebih dahulu.”
“Tidak perlu seperti itu. Kakak harus secepatnya mencari pekerjaan untuk keluarga kakak di kampung.”
“Kalau kakak mau, kakak bisa jadi pengasuh. Aya suka dengan kakak, pengasuhku juga baru saja keluar pagi ini,” ucap Aya berharap kalau Nindia akan menerima tawaran dari gadis kecil itu.
Tanpa sadar interaksi kedua gadis beda umur itu kini tengah diawasi oleh sepasang mata tajam seperti elang. Menatap tajam lurus ke depan dengan rahang yang mengeras. Surai hitam pendeknya menambah kesan garang pada sosok laki-laki itu.
Kaki-kakinya yang kokoh mulai meninggalkan kedua gadis itu dengan perasaan yang tak menentu. Sedangkan, Nindia masih berpikir tentang tawaran gadis kecil yang baru saja ia kenal kurang dari 2 jam yang lalu.
“Ayolah kak, Aya pasti akan sangat bahagia kalau bisa dirawat oleh kakak.”
“Baiklah. Tapi kakak tidak memiliki ijazah. Semua yang kakak bawa hilang,” ungkap Nindia kalau-kalau orang yang akan mempekerjakannya nanti meminta hal itu.
“Nanti biar Aya yang bilang kepada ayah tentang hal itu kak. Yang terpenting sekarang kakak mau ikut Aya terlebih dahulu.”
“Baiklah kalau begitu. Biar kakak yang mendorong kursi roda Aya. Putri Cantik tunjukan saja jalannya kepada pelayan ini.”
“Hahahahaha"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
lintang berseri
lanjut ini ...
2022-04-19
0
Nana Annisa
memang berat hidup dikota, yang penting ingan dengan tujuan awal kita aja pasti semangat...
2022-04-19
0
Putu Widia A
hai kak aku mampir nih☺️ semangat terus kk
2022-04-14
0