Nyatanya gerimis tidak mampu melunturkan rasa khawatir kami, hingga pukul tujuh tiba, barulah terlihat remang-remang cahaya obor yang dijadikan penerangan oleh warga menghampiri kami, aku, Ibu dan warga lainnya segera menyambut kedatangan mereka.
“Astagfirullah ...” tiba-tiba beberapa warga berteriak.
“Ada apa Bu??” tanyaku yang langsung lari menuju kerumunan.
“Saya harap Ibu Asih dan keluarga bisa tabah dan bersabar“ Pak Rt menunduk.
“Bapak dan Kakak saya kenapa pak??” tanyaku penasaran, tapi belum pertanyaanku terjawab, beberapa orang yang baru saja tiba, menjatuhkan dua tandu yang tengah mereka gotong.
“Apa itu Pak Rt? Dan suami dan anak saya mana??” Ibu mulai histeris.
“Sabar ya bu Asih, suami Ibu sudah meninggal dunia, karena tertimpa pohon besar, sementara Maman putra Ibu, masih pingsan karena kakinya ikut tertimpa pohon“ jelas pak Rt. Yang jelas membuat kami ternganga tak percaya. Bahkan Ibu langsung jatuh pingsan karena shock, sementara aku?? Aku tidak pingsan, kesadaranku masih terjaga, hanya saja kakiku sangat sulit untuk kugerakkan.
“Tidaaaakkkk, Pak bangun Pak!!!“ teriak Ibu kala sadar dari pingsannya, sambil meraung-raung di depan jenazah Bapak.
“Pak, bagaimana dengan anak-anak kita pak??” lagi Ibu memelas.
“Sudah bu Asih, yang sabar ya, kematian itu takdir Allah bu” beberapa warga mencoba menenangkan Ibu, tapi Ibu masih tetap meraung-raung.
Sementara aku, setelah memandikan jenazah Bapak, aku diminta untuk menemani Kak Maman yang langsung di bawa warga ke puskesmas terdekat untuk mendapat pengobatan pertamanya.
“Bapak, Bapak yang tenang yaaa, Lia janji, Lia akan jaga Ibu“ Aku berbisik pada jenazah Bapak, ada penyesalan mendalam di lubuk hatiku, jika saja aku tahu, tadi pagi adalah pertemuan terakhirku dengan Bapak, maka aku akan menatap wajah Bapak hingga puas, aku akan memeluknya dengan erat untuk terakhir kalinya.
“Sudah nak, kamu pergi saja ya, kasihan Kakakmu tidak ada yang menjaga, jika sewaktu-waktu dia sadar nanti“ Bu Fatimah majikan Ibu, mengelus punggungku, lalu membantuku untuk bangun.
“Iya Ibu, aku titip Ibu dan Irfan ya,“ pintaku pada Bu Fatimah dan beberapa warga.
“Iya nak, kamu hati-hati ya“ pintanya sambil mengelus pipiku, yang terus basah akibat aliran air mata, yang terus membanjiri pipiku.
“Iya bu, aku pamit“ Aku berangkat ke puskesmas tempat kak Maman di rawat, yang kebetulan tidak jauh dari rumah.
“Kakak,“ lirihku pada sosok Kakak yang selama ini sudah berusaha jadi Kakak terbaik, dan kini mungkin bebannya akan bertambah, dia bukan hanya Kakak lagi bagiku, tapi juga Ayah bagi aku dan Irfan.
Kak Maman masih belum sadar dari pingsannya, bahkan setelah Dokter puskesmas menyuntikkan beberapa cairan ketubuhnya.
Aku duduk di tepi ranjang, kemudian menatap raganya sambil terisak “Kakak, kumohon sadarlah,“
“Uhuk uhuk ...” tiba-tiba Kak Maman tersadar.
“Kakak, kakak udah sadar?!” teriakku senang, namun juga kesedihan tidak bisa aku hilangkan dari hatiku.
“Sebentar ya Kak, aku panggilin Dokter dulu“ Aku berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter yang kebetulan berjaga malam itu.
“Dokter, Kakak saya sudah sadar!“ teriakku sambil terengah-engah.
“Iya, mari saya periksa dulu“ dokter kemudian berjalan dengan cepat ke arah ruangan tempat Kak Maman dirawat.
Dokter memeriksa keadaan Kak Maman dengan seksama, kemudian manggut-manggut.
“Dek, bisa bicara diluar sebentar??” tanya Dokter yang langsung kuangguki, aku berjalan keluar ruangan di ikuti Dokter.
“Kenapa dengan Kakak saya Dok??” tanyaku penasaran.
“Dek, untuk sementara waktu, kaki Kakak adek akan sulit digerakkan, mengingat beban berat yang tadi sempat menimpa kakinya“ jelas dokter yang membuatku kaget.
“lalu?? Apa kaki Kakak saya akan bisa sembuh dok??” tanyaku gemetar.
“Bisa, jika Kakak adek mau menjalani therapy“ jawab dokter.
“Therapy dok??” tanyaku bingung.
“Iya, nanti Kakak Adek akan saya rujuk kerumah sakit dikota, yang peralatan medisnya lengkap“ jelas dokter lagi, yang membuatku bingung, untuk makan sehari-hari saja sulitnya minta ampun, bagaimana mungkin kami bisa membiayai pengobatan Kak Maman dikota, ditambah sekarang keadaan masih berkabung.
“Berikan pasien pengobatan yang terbaik Dok, untuk seluruh biayanya akan saya tanggung“ tiba-tiba suara itu muncul, sepertinya Allah telah menurunkan malaikatnya, untuk menolong keluarga kami.
“Ibu Fatimah, terimakasih banyak Bu“ seruku sambil memeluknya.
“Iya, sama-sama Lia, Ayahmu sudah dikebumikan tadi, kamu yang tabah ya Lia, nanti kalau ada apa-apa mengenai Kakak kamu, kamu bilang sama saya ya Lia“ lagi, kata-katanya membuatku tenang .
“Iya Ibu, terimakasih banyak untuk seluruh bantuan Ibu, semoga semua rezeki yang Ibu berikan, di ganti berlipat ganda oleh Allah swt.“ Aku terisak dalam pelukan Ibu Fatimah, yang sudah begitu baik pada keluarga kami.
“Iya Lia, jangan sungkan ya Nak“ Ibu Fatimah menyeka air mataku yang tak ingin berhenti mengalir, aku mengangguk, kemudian menatap seorang pria yang dari tadi tengah menatapku dengan tatapan iba, Bang Ilham,
putra Ibu Fatimah.
Akhirnya, dokter merujuk Kak Maman kekota, Kak Maman dibawa Ambulance tepat pukul sebelas malam, aku ikut mobil Ambulance menjaga Kak Maman, kak Maman segera mendapatkan tindakan medis dan setelah selesai, Kak Maman dipindahkan keruang rawat.
“Lia, Bapak Mana??” Kak Maman membuka matanya dan bertanya dengan suara serak.
“Bapak ada dirumah Kak,“ jawabku bohong, sambil terisak.
“Lia, Bapak merintih kesakitan“ Air mata Kak Maman luruh dipipinya.
“Sekarang Bapak sudah tidak kesakitan lagi Kakak“ jawabku dengan air mata yang sudah terjun mengalir.
“Iya Lia, Bapak baik-baik saja kan Dek ??” Kak Maman menoleh padaku, lalu menatapku lekat, mencari jawaban dari manik mataku.
“Iya kak, Bapak baik-baik saja sekarang“ jawabku lagi.
“Udah, Kakak tenang saja ya,“ Aku menyeka air mata Kak Maman dengan jariku.
“Lia, siapa yang membiayai pengobatanku?? Ibu mana??” tanyanya lagi.
“Ibu Fatimah Kak, dan Ibu sekarang ada dirumah, Ibu menjaga Irfan dan ... Bapak“ tangisku pecah, hatiku sakit bagai teriris.
“Lia, kamu tidak bohongkan??” Kak Maman menatapku semakin lekat.
“Tidak Kakak,“ Aku semakin terisak dengan kepala menggeleng ragu.
“Assalamu’alaikum ... Maman bagaimana kabarmu??” tiba-tiba beberapa warga datang menjenguk, dan langsung nyelonong masuk.
“Alhamdulillah baik Bapak-Bapak “ jawab kak Maman sambil membenahi posisi duduknya.
“Kami turut berduka cita atas musibah yang menimpamu Nak“ Pak Rt maju kedepan, sambil mengelus pundak Kak Maman.
“Iya, terimakasih banyak pak Rt. Maaf sudah terlalu banyak merepotkan“ Kak Maman memaksakan diri untuk tersenyum.
“Tidak apa-apa nak, sudah kewajiban kami membantu kamu, dan kami juga ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Bapak kamu ...”
“Apa????? Bapak saya meninggal dunia?? Innalillahi Bapak ...” Kak Maman menjerit, lalu pingsan.
“Ya Allah ... Tolonglah hambamu ini ...” lirihku sambil menyeka air mata, yang menemani perjalanan perihku.
Tinggalkan jejak untuk mendukungku ya readers ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Hersus
😭😭😭😭
2022-06-19
0
Yashinta
😢
2022-01-23
0
Agus Nurdiaman
Hiks
2022-01-01
2