“Tidak apa-apa nak, sudah kewajiban kami membantu kamu, dan kami juga ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Bapak kamu ...”
“Apa????? Bapak saya meninggal dunia?? Innalillahi Bapak ...” Kak Maman menjerit, lalu pingsan.
“Ya Allah ... Tolonglah hambamu ini ...” lirihku sambil menyeka air mata, yang menemani perjalanan perihku.
***
Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, Kak Maman akhirnya di perbolehkan pulang, dengan catatan harus tetap berobat jalan, karena kaki Kak Maman masih belum bisa di gunakan untuk berjalan, ketika berjalan Kak Maman masih tertatih-tatih, atau harus bertumpu pada tongkat. Dan untuk seluruh biaya pengobatan Kak Maman di tanggung oleh Ibu Fatimah, ah ... sungguh mulia sekali hatinya.
Setibanya dirumah, Kak Maman langsung mencium kaki Ibu, yang sedang duduk di atas kursi usang milik kami.
“Ibu, maafkan aku, aku tidak bisa menjaga Bapak,“ tangis laki-laki tegar itu pecah.
“Aku janji Bu, aku akan menggantikan posisi Bapak, aku akan menjaga Ibu, dan adik-adik“ Kak Maman terus terisak.
Tapi Ibu hanya diam, entah apa yang terjadi pada Ibu, tapi Ibu tidak merespon kedatangan kami, sama sekali. Tetangga bilang, semenjak jenazah Bapak di kebumikan, sikap Ibu jadi berubah, Ibu jadi pendiam, sama sekali tidak merespon apapun yang kami lakukan. Mungkin Ibu masih syok dengan kepergian Bapak yang tiba-tiba.
Sementara Irfan, ah, ya anak itu, beberapa hari ini di titipkan pada tetangga, entah bagaimana keadaannya sekarang, aku segera beranjak mengunjungi rumah pak Rt. Karena sementara Irfan di titip disana.
“Assalamu’alaikum Pak Rt.“ sapaku setibanya dirumah Pak Rt.
“Waalaikumsalam, Lia,“ sapa Sisil sahabatku muncul dari dalam rumah.
“Ah, Sisil, aku mau menjemput Irfan Sil“ Aku tersenyum pada Sisil.
“Ayo masuk dulu,“ ajaknya sambil menggandeng tanganku.
“Ah, gak usah Sil, aku disini saja,“ tolakku, aku tidak ingin tambah merepotkan Pak Rt. Yang dari awal sudah banyak aku bebani.
“Eh, gak apa-apa Lia, aku turut berduka cita ya, atas semua musibah yang menimpa keluarga kamu“ Sisil memelukku erat, diantara semua teman-teman yang senang mengejekku, Sisil memang satu-satunya teman terbaikku, karena dia mau menerimaku apa adanya, terlebih dia dan keluarganya sering sekali membantu hidup kami.
“Iya, makasih ya Sil“ Aku manggut sambil berusaha tersenyum.
“Iya, sama-sama, ini Irfan, udah cakep, udah aku mandiin“ Sisil tersenyum sambil menuntun Irfan, menyerahkannya ketanganku.
“Dek, kamu gak nakal ‘kan selama disini??” tanyaku pada Irfan yang ludahnya terus mengalir, aku mengelapnya dengan tanganku, karena sapu tangan yang biasa digunakannya, entah raib kemana.
Sisil begitu baik, mau merawat adikku, yang sakit untuk beberapa hari, pasti sangat sulit mengurus Irfan.
“Nah, nah“ jawabnya sambil geleng-geleng.
“Anak pinter“ Aku mengusap kepalanya, dengan hati yang terisris pedih, andai Irfan tahu, jika keluarganya sedang mendapat musibah besar.
Setelah mengucapkan ribuan terimakasih, dan berpamitan pada Sisil, aku kembali kerumah, dengan Irfan digendonganku.
“Kak, Kakak sudah makan??” tanyaku pada Kak Maman yang sedang memeluk foto keluarga kami, dengan Ibu di sampingnya yang masih tidak bicara sama sekali.
Kak Maman hanya menggeleng,
“Aku buatin makanan ya Kak“ Kak Maman hanya mengangguk, Aku segera beranjak menuju dapur, sebagai seorang anak perempuan, meski usiaku baru enam belas tahun, tapi aku harus mampu melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga.
“Kak, Kak, nuh nuh“ Irfan menarik-narik Rokku.
“Apa Dek??” Aku berjongkok,
“Nuh“ katanya sambil menunjuk gelas.
“Oh, Adek mau minum??” tanyaku, sambil mengisi gelas kosong yang tadi ditunjuk Irfan.
“Nih, Adek minum sendiri bisakan?? Kakak mau cek nasi dulu“ Aku memberikan gelas yang sudah diisi air pada Irfan, kemudian meninggalkannya, untuk mengecek nasi yang tengah aku tanak.
Beberapa saat, aku asyik dengan kegiatanku, hingga teringat Irfan yang kutinggalkan sendiri.
“Astagfirullah ... Irfan!!“ kulihat Irfan sudah menjatuhkan air beserta gelasnya, dia tengah berusaha mengambil pecahan gelasnya.
“Dek, jangan di ambil!!“ teriakku, tapi nahas, Irfan sudah memegang pecahan gelasnya, hingga tangannya berdarah.
“Ya Allah ... kamu gak apa-apa Dek??” lirihku sambil menggenggam tangannya, meniup-niupnya.
“Nak, nak“ jawabnya sambil tersenyum.
“Ya Allah, kakak kan udah bilang, hati-hati,“ Aku memeluk Irfan erat,
Aku mengambil lap bersih dari atas meja, diruang tamu, kemudian mengelapkannya pada luka Irfan, setelahnya aku menuntun Irfan, dan menitipkannya pada Kak Maman, yang masih termenung.
“Kak, titip Irfan sebentar ya“ pintaku.
“Iya Lia,“ Kak Maman meraih tangan Irfan, kemudian mendudukkannya di kusi di sampingnya.
Aku kembali beranjak ke dapur, melanjutkan aktifitas memasakku.
Tak lama kemudian, makanan jadi, makanan alakadarnya, hanya itu yang bisa ku sediakan.
Nasi putih, dengan lauk tempe goreng, dan urap daun singkong, yang ku petik dari belakang rumah.
“Kak, makan dulu yah“ Aku mengajak Kak Maman makan.
“Tidak Lia, Kakak tidak lapar,“ Kak Maman masih dengan wajah sendunya.
“Kakak, harus makan, bagaimana Kakak, mau menggantikan Ayah, jika Kakak tidak mau makan?? Kita harus kuat, Kakak lihat Ibu“ Aku mengarahkan pandangan Kak Maman pada Ibu, Ibu yang dari tadi hanya terdiam. Dengan tatapan kosong.
Kak Maman menarik napas panjang “Baiklah“ Kak Maman beranjak dari kursi, lalu meraih tongkatnya, dan berjalan menuju dapur.
“Ibu, makan ya“ Aku mengelus punggung Ibu lembut, tapi Ibu masih tidak bergeming.
Aku berjalan menuju dapur, mengambil sepiring nasi, beserta lauknya, yang telah aku masak, kemudian membawanya kedepan, tempat Ibu duduk tadi.
“Ibu, ini makan dulu“ lagi, Ibu hanya diam.
“Lia suapin ya bu“ Aku menyendok nasi, lalu menyuapkannya ke mulut Ibu. Tapi ibu tidak menolak, dan tidak juga memakannya, nasi tumpah dari mulut Ibu.
Air mataku luruh, hatiku sakit, melihat betapa hancurnya keluargaku.
“Kak, kan Kak“ Irfan membuka mulutnya lebar-lebar, mungkin dia juga ingin makan.
“Ah, iya, Irfan juga makan yaa“ Aku menyuapi Irfan, dengan lahap Irfan makan. Hingga satu piring nasi yang tadinya buat Ibu, malah habis oleh Irfan.
“Nak, nak“ Irfan mengacungkan jempolnya.
“Hmht“ Aku tersenyum sambil mengelus rambutnya.
“Ibu, Ibu mau apa?? Apa Ibu butuh sesuatu??” tanyaku, tapi Ibu masih terdiam.
“Ibu mau mandi??” tanyaku lagi.
Ibu masih diam.
“Baiklah, kita mandi“ Aku menuntun Ibu menuju kamar mandi, aku memandikan Ibu, menggosok punggungnya, lalu aku mengelapnya dengan telaten. Sementara Irfan di jaga oleh Kak Maman.
Selesai mandi, aku menggantikan baju Ibu, kemudian menyisir rambutnya.
“Apa dulu, Ibu juga suka menyisir rambut Lia seperti ini??” tanyaku sambil tersenyum, dengan tangan masih menyisir rambut Ibu.
Tapi, Ibu masih diam.
Mana jempolnyaaaa???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
elen situmorang
cerita bagus kog jempol dikit...
2023-01-23
0
Yashinta
ibu ... 😢
2022-01-23
1
ᵇᵃˢᵉ™سامي
baru mampir lg.. 🙈
2022-01-05
1