Dari subuh, aku sudah berkutat di dapur, menjalankan pekerjaan yang biasanya di kerjakan Ibu, menanak nasi, menyiapkan sarapan, memandikan Irfan.
Ibu, masih dengan kondisi yang sama, dokter bilang Ibu terlalu shock, atas kejadian yang menimpanya, hingga membuat jiwanya terguncang.
Kak Maman, sekarang sudah bisa bekerja seperti biasa, menjadi kuli panggul di pasar. Meski dengan kaki yang belum sembuh total, setelah semua kegiatan rumah selesai, pukul tujuh, aku berangkat sekolah, dengan berlarian, karena takut kesiangan.
Tiba di sekolah, gerbang sudah hampir di tutup,
“Pak, maaf saya kesiangan“ Aku ngos-ngosan tiba di sekolah, memohon pada penjaga sekolah agar mau memasukkan aku ke dalam gedung sekolah.
“Lain kali jangan kesiangan lagi ya Neng“ penjaga sekolah membukakan aku pintu gerbang.
“Iya pak maaf“ Aku kembali berlari menuju kelas.
Tiba di kelas, pelajaran sudah mau di mulai, setelah mengetuk pintu, aku membuka pintu kelas.
“Maaf pak, saya kesiangan“ Aku menunduk, kala harus berhadapan dengan pak Gunawan guru matematika.
“Silahkan duduk Lia, lain kali jangan kesiangan lagi ya“ Pak Gunawan mempersilahkan aku duduk.
“Baik pak, maaf “ Aku berjalan menuju bangku paling pojok, di belakang.
Seisi kelas menatapku dengan tatapan aneh, kecuali Sisil, dia tersenyum padaku.
Yah, aku memang tidak pernah di bully karena keadaanku, tapi mereka selalu menatapku dengan tatapan sinis, dan itu jauh lebih menyakitkan bagiku. Aku tidak memiliki teman di sekolah, mereka menjauhiku, mereka sudah memiliki teman, yang mereka anggap layak untuk menjadi teman mereka.
Aku duduk di bangku sendirian, lalu aku mengeluarkan buku pelajaran matematikaku. Dua jam pelajaran, aku mengikuti pelajaran matematika, hingga jam pelajaran selesai. Dan berganti dengan pelajaran lainnya.
Bel istirahat berbunyi, saatnya istirahat, seluruh murid sekolah berhamburan keluar kelas menuju kantin, kecuali aku. Aku selalu bingung, ketika jam istirahat tiba, seperti biasa aku hanya akan menghabiskan seluruh waktu istirahatku di ruang perpustakaan.
Tiga puluh menit, waktu jam istirahat, baru sepuluh menit aku duduk di perpustakaan dengan membolak-balik buku yang tengah ku pegang.
“Krucccuuukkk ... “
Suara perutku, cacing di dalam perut berdemo, meminta jatahnya, tapi aku tida memiliki uang. Di tambah jika di rumah, aku tidak pernah makan dengan baik, atau minimal makan dengan kenyang. Karena keterbatasan ekonomi keluargaku.
Aku mengelus perutku pelan, dengan mata tetap tertuju pada buku, padahal sesungguhnya, aku sudah tidak konsentrasi lagi untuk membaca.
“Ekhem ... Lia“ suara seseorang memanggilku, aku menoleh.
“Ah, Bang Ilham?” Aku menatapnya, dia pangeranku, dari kecil aku sudah menyukainya, tapi sadar aku bukan siapa-siapa, Ibuku hanya buruh cuci di keluarganya.
“Lia, nanti sepulang sekolah, kamu bisa kerumahku?? Ibuku menyuruhku mengatakannya padamu“ tegas, itulah dia, pangeranku selalu bersikap cool, dan kalem.
“I iya Bang“ jawabku gugup,
Tanpa basa-basi, dia pergi menjauh dari tempatku, padahal aku belum puas menatap wajah tampannya.
Aku menghela napas panjang, sekian lama kenapa hanya aku yang menyukainya??? Kenapa dia tidak menyukaiku juga??.
Bel kembali berbunyi, itu tandanya waktu istirahat sudah habis, dan saatnya bagi kami untuk melanjutkan kembali pelajaran. Aku berjalan menuju kelas.
“Eh, Lia, kamu istirahat di mana tadi??” Sisil menghampiriku.
“Di perpus“ jawabku singkat.
“Oohhh ... oh iya, Lia kamu udah ngerjain PR Bahasa Indonesia belum? Kalau udah aku nyontek dong, hhee“ yah, begitulah kebiasaannya, Sisil siswa pemalas, dia selalu menyontek PR dariku.
“Iya, boleh“ Aku menyodorkan buku pelajaran Bahasa Indonesia, yang langsung di sambar oleh Sisil.
“Oh, iya Lia, aku mau cerita sesuatu sama kamu“
“Apa?”
“Eemmhh ... nanti aja deh“
“Emh, ya udah“
Dua jam pelajaran bahasa Indonesiapun berlalu, bel sekolah berbunyi tiga kali, tanda jam pelajaran telah usai, aku bisa secepatnya pulang, sepanjang jam pelajaran bahasa Indonesia tadi aku terus mengingat keadaan Ibu dan Irfan.
Sementara itu anak-anak yang lain, sibuk dengan kegiatannya sepulang sekolah, ada yang merencanakan ngumpul di tempat pavorite, mengunjungi rumah sahabatnya yang lain, atau ada juga yang mengikuti les dan ekstrakurikuler lainnya.
Aku berjalan melewati lorong sekolah menuju gerbang, aku berjalan menunduk. Tanpa menoleh kiri dan kanan.
“Lia ... “ suara itu, kembali memanggilku.
Aku memutar tubuh, tampak Bang Ilham berdiri tepat di hadapanku, bibirku melengkung, menggambarkan sebuah senyuman.
“Bang Ilham?”
“Jangan lupa nanti kerumah Ibuku dulu“ peringatnya.
“Ah, baiklah“ jawabku menunduk, membenahi rambut bergelombang milikku, yang di terpa angin semilir.
“Aku duluan Bang“ pamitku, segera memutar tubuh dan melangkahkan kaki, melanjutkan perjalanan pulangku.
Tiba di depan gerbang, aku berjalan belok kiri, menuju rumah Ibu Fatimah, rumahnya Bang Ilham.
Pruth ...
“Ah ...“ Aku berjongkok, kala merasakan ada yang tidak beres dengan sepatuku.
Ya ... sepatuku jebol,
“Aduuuhhh ... gimana ini??” Aku memegangi sepatuku sambil terus berjongkok.
“Masa iya aku harus nyeker??” Air mataku hampir tumpah, bingung entah apa yang harus kulakukan.
“Hay Lia?? Masih disini??” sapa seseorang dari atas motor.
“Ah, Sisil?? Iya“ jawabku menunduk,
“Sepatu kamu kenapa?” tanyanya turun dari motor, Motor Bang Ilham, entah kenapa mereka bisa bersama.
“Jebol“ jawabku tertunduk, bahkan aku sudah tidak memiliki harga diri ketika di hadapan pangeranku sekalipun. Rasanya sakit, ketika aku di hadapkan dengan situasi seperti ini. Ingin rasanya aku mengutuk takdir, tapi itu mustahil.
“Ya ampun, ya udah, naik motor aja yuk“ ajak Sisil.
“Ah enggak, makasih“ jawabku ragu, kala melihat tatapan Bang Ilham, seperti tatapan tidak suka.
“Eh, gak apa-apa, kita bonceng tiga“ ajak Sisil sambil memapahku.
“Enggak Sil, makasih“ Aku tetap menolak.
“Gak apa-apa Lia, ayo“ Sisil memaksaku untuk menaiki motornya.
“Ya udah deh“ Aku terpaksa menaiki motor yang di kendarai bang Ilham, dengan sepatu yang berpindah ke tanganku.
“Yuuuhhhuuu ... Aaaaaaa ... “ Sisil dan Bang Ilham berteriak kala melewati sebuah tanjakan dan turunan. Mereka terlihat amat bahagia. Berbeda denganku, yang merasa tidak suka kala melihat kebersamaan mereka.
“Lia apa kamu tahu??” tanya Sisil berteriak kepadaku yang duduk di belakangnya.
“Apa!!??” tanyaku dengan suara tak kalah keras.
“Aku udah jadian sama Bang Ilham!!” teriaknya.
“Apa???!!!” sentakku kaget, seketika ada desiran aneh di dalam hatiku. Sakit, kala tahu, pangeranku sudah dimilikli putri lain.
“Aku u dah ja di an sama Bang Ilham!!!“ teriak Sisil lagi, memperjelas kata-katanya, yang sudah kudengar dari tadi.
“Selamat ya ... “ Aku tertuduk semakin lemas, merasakan setiap terpaan angin yang menyibak rambut, dan seragam usang yang ku kenakan.
“Makasiiihhh!!!” jawab Sisil sambil tertawa lepas, memeluk Bang Ilham, dengan tangan memeluk erat pinggang Bang Ilham.
Aku sungguh tidak suka keadaan ini.
Bersambung ................
next???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
ᵇᵃˢᵉ™ҽᏞíɳ
😔
2021-12-31
2
Manda
hiks jebol sepatu lia 😭
2021-12-31
7
Risfa
Fight Lia!
2021-12-31
2