NovelToon NovelToon

SUATU HARI NANTI

Hari Minggu

Hari ini adalah hari minggu yang cerah, aku libur sekolah, setelah selesai menjemur pakaian yang baru saja aku cuci, aku meregangkan ototku, rasanya pegal sekali, mencuci baju milik orang-orang seisi rumah. Aku menatap langit biru pagi ini, langit yang bersih tanpa awan yang menghalanginya.

“Kakak ...” tiba-tiba saja rok yang kugunakan di tarik-tarik.

“Iya, ada apa Dek??” tanyaku sambil berjongkok, kuraih saputangan kecil yang ada di kantong celananya, lalu kulap ludah yang selalu menjulur dari ujung bibirnya.

“Pal, pal“ sahutnya, sambil mengacungkan sebuah kapal-kapalan yang terbuat dari kertas.

“Iya, ini kapal, mau diterbangkan??” tawarku sambil meraih kapal-kapalan tersebut dari genggaman tangannya.

“Yah, yah, pal mau bang“ jawabnya sambil berlonjak menunjuk langit biru, yang selama ini menaungi kami.

“Kakak terbangin yaaaa, satu ... dua ... tiga ...!“ Aku melompat sambil melempar kapal-kapalan tersebut ke udara.

“Hollleeeee ...!!!” serunya sambil bertepuk tangan, tapi, tepukannya tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Aku tersenyum menatap kapal-kapalan tersebut, yang tidak lama langsung jatuh lagi ketanah.

“Yaaaahhhh....tuh Kak tuh!“ serunya kecewa, sambil menghampiri kapalnya, kemudian dia asyik sendiri mengoceh, dengan bahasa yang tidak Aku mengerti.

“Dek, Kakak dan Bapak berangkat dulu nyari kayu bakar ya!“ terdengar teriakan Kakak dari pintu depan.

“Iya kak, hati-hati yaaa!“ Aku balas berteriak.

“Dek, kamu jagain Adik ya, sebentar lagi Ibu pulang dari rumah Ibu Fatimah kalau pekerjaannya sudah selesai, kamu jangan keluar rumah dulu!“ lagi Kakak berteriak.

“Iya Kak, Kakak sama Bapak hati-hati!“ seruku tanpa menoleh kearah mereka.

“Iya!“ teriak mereka bersamaan.

Aku kembali memperhatikan Adik bungsu kami, namanya Irfan, dia berusia tujuh tahun, namun karena dia memiliki penyakit Down syndrom sejak lahir, dia tumbuh tidak sesuai dengan usianya, dia tergolong lambat dalam pertumbuhannya.

Kasihan dia, masih kecil tapi harus bergelut dengan penyakit yang dia derita, tapi memilikinya membuat kami menjadi manusia yang semakin bersyukur, setidaknya meskipun kami terlahir dari keluarga kelas bawah, tapi aku dan Kakak-ku di lahirkan sempurna.

“Lia, Kakak dan Bapakmu sudah berangkat??” tiba-tiba terdengar suara Ibu, tepatnya dari arah belakangku, aku segera menoleh dan mengangguk.

“Iya Ibu, baru saja“ jawabku, sambil kembali memperhatikan Irfan yang kini, tubuhnya sudah belepotan dengan tanah.

“Ibu capek??” tanyaku menghampiri Ibu, kemudian beranjak pergi ke dapur, dan menuangkan segelas air putih, pada gelas usang, dan memberikannya pada Ibu.

“Iya, hari ini cucian di rumah Ibu Fatimah banyak banget Lia, numpuk“ keluh Ibu sambil mengelus betisnya, lalu meminum air yang baru saja kusajikan. Ada gurat lelah dimata Ibu, Ibu terpaksa harus jadi buruh cuci di salah satu rumah warga, untuk menambah penghasilan bagi keluarga kami, mengingat Bapak hanya pencari kayu bakar di hutan, yang kadang sering di bantu Kak Maman, jika Kak Maman sedang libur bekerja dipasar sebagai kuli panggul.

“Sini biar Lia pijitin“ tawarku.

“Kamu gak capek Lia?? Kamu juga baru selesai nyuci ‘kan??” tanya Ibu sambil menatap jemuran yang masih meneteskan air.

“Gak kok, sini, Ibu mau dipijit di bagian mana??” tanyaku sambil mulai memijat tangan Ibu.

“Iya, tangan aja Lia, rasanya pegel banget tangan Ibu“ lagi, Ibu mengeluh.

“Ibu, sampai kapan hidup kita akan begini??” tanyaku tiba-tiba.

“Kenapa?? Kamu lelah hidup susah bersama Ibu?” tanya Ibu sambil menatapku.

“Tidak, hanya saja aku kasihan melihat Ibu dan Bapak, harus kerja banting tulang untuk menghidupi kami“ jawabku sambil menunduk.

“Kamu gak perlu sedih Lia, kamu hanya perlu belajar dengan giat, dan tunjukkan pada Ibu dan Bapak, jika perjuangan kami tidak sia-sia“ jawab Ibu sambil tersenyum lembut.

“Iya Ibu, Lia akan berusaha“ aku mengangguk, membalas senyuman Ibu, sambil terus memijat tangannya.

Sementara Irfan sudah asyik sendiri dengan tanah di tangannya. Setelah selesai memijat Ibu, aku menghampiri Irfan.

“Dek, kita mandi yuk“ ajakku sambil menuntun tangannya.

“Nak, kak nak“ Aku mengerutkan dahi.

“Apa yang enak??” tanyaku heran, sementara Irfan tidak sedang memakan apapun.

“Naaaakkkk!!“ teriaknya lagi sambil menggelengkan kepala.

“Oh, Adek belum mau mandi??” tanyaku memastikan.

“Huuhh ... huhh“ jawabnya sambil manggut-manggut,

Irfan sudah seperti anakku sendiri, mengingat setiap harinya akulah yang lebih banyak meluangkan waktu bersamanya, aku dan Irfan terpisah, hanya jika aku berangkat sekolah saja. Selebihnya Irfan tidak pernah lepas dari pandangan mataku, bahkan tidurpun kita selalu bersama. Apapun keadaannya, kami menerima Irfan sebagai anugrah dari Allah.

“Dek, udah ya main tanahnya, kita mandi aja yuk“ ajakku yang sudah mulai kepanasan, karena trik mentari yang sudah sepenggalah naik.

“Huuuhhh ...” katanya sambil berlari mendahuluiku.

Aku tersenyum, sambil mengikutinya dari belakang. Kemudian kami mandi bersama, aku membersihkan tubuh kecil Irfan dari segala debu dan kotoran, hingga bersih. Selesai memandikannya, kemudian aku mengoleskan minyak kayu putih keseluruh tubuhnya, dan memakaikan baju bersih, lalu mata Irfan terlihat mulai terkatuk-katuk, aku segera memeluknya kemudian menidurkannya, tak lama kemudian Irfan sudah terlelap dalam tidurnya.

“Lia, Bapak dan Kakakmu kenapa belum pulang juga ya?? Padahal ini sudah sore lho” tanya Ibu sambil mondar-mandir didepan pintu.

“Iya bu, kenapa ya??” Aku ‘pun heran, biasanya sebelum dzuhur Bapak sudah pulang, dengan seikat kayu bakar di pundaknya, sekarang sudah pukul tiga sore, tapi Bapak juga Kakak kenapa masih belum pulang juga? Akupun ikut mondar-mandir seperti Ibu.

“Lia, sebaiknya kamu minta bantuan pak RT saja, buat nyariin Bapak kamu di hutan, soalnya Ibu khawatir sekali“ pinta Ibu, masih dengan wajah cemasnya.

“Baik Ibu” Aku mengangguk sambil beranjak pergi kerumah pak Rt, meminta bantuan kepadanya dan juga pada warga sekitar agar bisa membantu mencari Bapak.

Setelah pak Rt menyetujuinya, kemudian pak Rt bersama beberapa warga berangkat mencari Bapak dan kak Maman kedalam hutan. Sementara aku dan Ibu menunggunya dirumah dengan hati yang tak karuan, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi yang ditunggu belum juga muncul.

Kami semakin dilanda kecemasan, hingga beberapa Ibu-Ibu tetangga, mendatangi kami, ikut menemani kami, seraya berdo’a agar Bapak, Kak Maman, dan juga suami mereka yang sedang mencari diberi keselamatan.

Adzan maghrib sudah berkumandang, hujan gerimis mulai membasahi bumi, tapi sosok yang kami tunggu tak kunjung tiba, kami semakin panik dan segala prasangka sudah menyertai fikiran kami.

“Ya Allah, semoga Bapak dan Kak Maman baik-baik saja“ seruku dalam do’a yang kupanjatkan selepas shalat maghrib.

***

Hay readers ... selamat datang di SUATU HARI NANTI. terimakasih banyak sudah memilih buku ini sebagai bacaan kalian, jangan lupa dukung karyaku yaaaa.

Silahkan tap love, jadikan buku ini sebagai salah satu list buku pavorite kalian, agar tidak ketinggalan jika aku update.

Silahkan tekan tombol jempol sebagai tanda jika kalian menyukai dan mendukung karyaku.

Jika ada unek-unek, silahkan tuliskan komentar kalian di kolom komentar yaaa, semoga dengan begitu aku semakin semangat untuk terus menulis.

Follow akunku, atau akun instagramku di Teteh_neng2020

Untuk yang suka vote karya author yang kalian sayangi, kalian boleh masuk di GC ku karena aku suka bagi-bagi poin di sana.

Jika tidak ingin cerita yang gantung, kalian boleh mampir di karyaku yang lainnya.

KETIKA CINTA DI UJI

TERPAKSA MENIKAHI BRONDONG

CINTA SEGITIGA

MENIKAHI DUDA GALAK

BISIK-BISIK CINTA

KEPALSUAN CINTA

terimakasih.

Kepergian Bapak

Nyatanya gerimis tidak mampu melunturkan rasa khawatir kami, hingga pukul tujuh tiba, barulah terlihat remang-remang cahaya obor yang dijadikan penerangan oleh warga menghampiri kami, aku, Ibu dan warga lainnya segera menyambut kedatangan mereka.

“Astagfirullah ...” tiba-tiba beberapa warga berteriak.

“Ada apa Bu??” tanyaku yang langsung lari menuju kerumunan.

“Saya harap Ibu Asih dan keluarga bisa tabah dan bersabar“ Pak Rt menunduk.

“Bapak dan Kakak saya kenapa pak??” tanyaku penasaran, tapi belum pertanyaanku terjawab, beberapa orang yang baru saja tiba, menjatuhkan dua tandu yang tengah mereka gotong.

“Apa itu Pak Rt? Dan suami dan anak saya mana??” Ibu mulai histeris.

“Sabar ya bu Asih, suami Ibu sudah meninggal dunia, karena tertimpa pohon besar, sementara Maman putra Ibu, masih pingsan karena kakinya ikut tertimpa pohon“ jelas pak Rt. Yang jelas membuat kami ternganga tak percaya. Bahkan Ibu langsung jatuh pingsan karena shock, sementara aku?? Aku tidak pingsan, kesadaranku masih terjaga, hanya saja kakiku sangat sulit untuk kugerakkan.

“Tidaaaakkkk, Pak bangun Pak!!!“ teriak Ibu kala sadar dari pingsannya, sambil meraung-raung di depan jenazah Bapak.

“Pak, bagaimana dengan anak-anak kita pak??” lagi Ibu memelas.

“Sudah bu Asih, yang sabar ya, kematian itu takdir Allah bu” beberapa warga mencoba menenangkan Ibu, tapi Ibu masih tetap meraung-raung.

Sementara aku, setelah memandikan jenazah Bapak, aku diminta untuk menemani Kak Maman yang langsung di bawa warga ke puskesmas terdekat untuk mendapat pengobatan pertamanya.

“Bapak, Bapak yang tenang yaaa, Lia janji, Lia akan jaga Ibu“ Aku berbisik pada jenazah Bapak, ada penyesalan mendalam di lubuk hatiku, jika saja aku tahu, tadi pagi adalah pertemuan terakhirku dengan Bapak, maka aku akan menatap wajah Bapak hingga puas, aku akan memeluknya dengan erat untuk terakhir kalinya.

“Sudah nak, kamu pergi saja ya, kasihan Kakakmu tidak ada yang menjaga, jika sewaktu-waktu dia sadar nanti“ Bu Fatimah majikan Ibu, mengelus punggungku, lalu membantuku untuk bangun.

“Iya Ibu, aku titip Ibu dan Irfan ya,“ pintaku pada Bu Fatimah dan beberapa warga.

“Iya nak, kamu hati-hati ya“ pintanya sambil mengelus pipiku, yang terus basah akibat aliran air mata, yang terus membanjiri pipiku.

“Iya bu, aku pamit“ Aku berangkat ke puskesmas tempat kak Maman di rawat, yang kebetulan tidak jauh dari rumah.

“Kakak,“ lirihku pada sosok Kakak yang selama ini sudah berusaha jadi Kakak terbaik, dan kini mungkin bebannya akan bertambah, dia bukan hanya Kakak lagi bagiku, tapi juga Ayah bagi aku dan Irfan.

Kak Maman masih belum sadar dari pingsannya, bahkan setelah Dokter puskesmas menyuntikkan beberapa cairan ketubuhnya.

Aku duduk di tepi ranjang, kemudian menatap raganya sambil terisak “Kakak, kumohon sadarlah,“

“Uhuk uhuk ...” tiba-tiba Kak Maman tersadar.

“Kakak, kakak udah sadar?!” teriakku senang, namun juga kesedihan tidak bisa aku hilangkan dari hatiku.

“Sebentar ya Kak, aku panggilin Dokter dulu“ Aku berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter yang kebetulan berjaga malam itu.

“Dokter, Kakak saya sudah sadar!“ teriakku sambil terengah-engah.

“Iya, mari saya periksa dulu“ dokter kemudian berjalan dengan cepat ke arah ruangan tempat Kak Maman dirawat.

Dokter memeriksa keadaan Kak Maman dengan seksama, kemudian manggut-manggut.

“Dek, bisa bicara diluar sebentar??” tanya Dokter yang langsung kuangguki, aku berjalan keluar ruangan di ikuti Dokter.

“Kenapa dengan Kakak saya Dok??” tanyaku penasaran.

“Dek, untuk sementara waktu, kaki Kakak adek akan sulit digerakkan, mengingat beban berat yang tadi sempat menimpa kakinya“ jelas dokter yang membuatku kaget.

“lalu?? Apa kaki Kakak saya akan bisa sembuh dok??” tanyaku gemetar.

“Bisa, jika Kakak adek mau menjalani therapy“ jawab dokter.

“Therapy dok??” tanyaku bingung.

“Iya, nanti Kakak Adek akan saya rujuk kerumah sakit dikota, yang peralatan medisnya lengkap“ jelas dokter lagi, yang membuatku bingung, untuk makan sehari-hari saja sulitnya minta ampun, bagaimana mungkin kami bisa membiayai pengobatan Kak Maman dikota, ditambah sekarang keadaan masih berkabung.

“Berikan pasien pengobatan yang terbaik Dok, untuk seluruh biayanya akan saya tanggung“ tiba-tiba suara itu muncul, sepertinya Allah telah menurunkan malaikatnya, untuk menolong keluarga kami.

“Ibu Fatimah, terimakasih banyak Bu“ seruku sambil memeluknya.

“Iya, sama-sama Lia, Ayahmu sudah dikebumikan tadi, kamu yang tabah ya Lia, nanti kalau ada apa-apa mengenai Kakak kamu, kamu bilang sama saya ya Lia“ lagi, kata-katanya membuatku tenang .

“Iya Ibu, terimakasih banyak untuk seluruh bantuan Ibu, semoga semua rezeki yang Ibu berikan, di ganti berlipat ganda oleh Allah swt.“ Aku terisak dalam pelukan Ibu Fatimah, yang sudah begitu baik pada keluarga kami.

“Iya Lia, jangan sungkan ya Nak“ Ibu Fatimah menyeka air mataku yang tak ingin berhenti mengalir, aku mengangguk, kemudian menatap seorang pria yang dari tadi tengah menatapku dengan tatapan iba, Bang Ilham,

putra Ibu Fatimah.

Akhirnya, dokter merujuk Kak Maman kekota, Kak Maman dibawa Ambulance tepat pukul sebelas malam, aku ikut mobil Ambulance menjaga Kak Maman, kak Maman segera mendapatkan tindakan medis dan setelah selesai, Kak Maman dipindahkan keruang rawat.

“Lia, Bapak Mana??” Kak Maman membuka matanya dan bertanya dengan suara serak.

“Bapak ada dirumah Kak,“ jawabku bohong, sambil terisak.

“Lia, Bapak merintih kesakitan“ Air mata Kak Maman luruh dipipinya.

“Sekarang Bapak sudah tidak kesakitan lagi Kakak“ jawabku dengan air mata yang sudah terjun mengalir.

“Iya Lia, Bapak baik-baik saja kan Dek ??” Kak Maman menoleh padaku, lalu menatapku lekat, mencari jawaban dari manik mataku.

“Iya kak, Bapak baik-baik saja sekarang“ jawabku lagi.

“Udah, Kakak tenang saja ya,“ Aku menyeka air mata Kak Maman dengan jariku.

“Lia, siapa yang membiayai pengobatanku?? Ibu mana??” tanyanya lagi.

“Ibu Fatimah Kak, dan Ibu sekarang ada dirumah, Ibu menjaga Irfan dan ... Bapak“ tangisku pecah, hatiku sakit bagai teriris.

“Lia, kamu tidak bohongkan??” Kak Maman menatapku semakin lekat.

“Tidak Kakak,“ Aku semakin terisak dengan kepala menggeleng ragu.

“Assalamu’alaikum ... Maman bagaimana kabarmu??” tiba-tiba beberapa warga datang menjenguk, dan langsung nyelonong masuk.

“Alhamdulillah baik Bapak-Bapak “ jawab kak Maman sambil membenahi posisi duduknya.

“Kami turut berduka cita atas musibah yang menimpamu Nak“ Pak Rt maju kedepan, sambil mengelus pundak Kak Maman.

“Iya, terimakasih banyak pak Rt. Maaf sudah terlalu banyak merepotkan“ Kak Maman memaksakan diri untuk tersenyum.

“Tidak apa-apa nak, sudah kewajiban kami membantu kamu, dan kami juga ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Bapak kamu ...”

“Apa????? Bapak saya meninggal dunia?? Innalillahi Bapak ...” Kak Maman menjerit, lalu pingsan.

“Ya Allah ... Tolonglah hambamu ini ...” lirihku sambil menyeka air mata, yang menemani perjalanan perihku.

Tinggalkan jejak untuk mendukungku ya readers ...

Ibu Sakit

“Tidak apa-apa nak, sudah kewajiban kami membantu kamu, dan kami juga ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Bapak kamu ...”

“Apa????? Bapak saya meninggal dunia?? Innalillahi Bapak ...” Kak Maman menjerit, lalu pingsan.

“Ya Allah ... Tolonglah hambamu ini ...” lirihku sambil menyeka air mata, yang menemani perjalanan perihku.

***

Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, Kak Maman akhirnya di perbolehkan pulang, dengan catatan harus tetap berobat jalan, karena kaki Kak Maman masih belum bisa di gunakan untuk berjalan, ketika berjalan Kak Maman masih tertatih-tatih, atau harus bertumpu pada tongkat. Dan untuk seluruh biaya pengobatan Kak Maman di tanggung oleh Ibu Fatimah, ah ... sungguh mulia sekali hatinya.

Setibanya dirumah, Kak Maman langsung mencium kaki Ibu, yang sedang duduk di atas kursi usang milik kami.

“Ibu, maafkan aku, aku tidak bisa menjaga Bapak,“ tangis laki-laki tegar itu pecah.

“Aku janji Bu, aku akan menggantikan posisi Bapak, aku akan menjaga Ibu, dan adik-adik“ Kak Maman terus terisak.

Tapi Ibu hanya diam, entah apa yang terjadi pada Ibu, tapi Ibu tidak merespon kedatangan kami, sama sekali. Tetangga bilang, semenjak jenazah Bapak di kebumikan, sikap Ibu jadi berubah, Ibu jadi pendiam, sama sekali tidak merespon apapun yang kami lakukan. Mungkin Ibu masih syok dengan kepergian Bapak yang tiba-tiba.

Sementara Irfan, ah, ya anak itu, beberapa hari ini di titipkan pada tetangga, entah bagaimana keadaannya sekarang, aku segera beranjak mengunjungi rumah pak Rt. Karena sementara Irfan di titip disana.

“Assalamu’alaikum Pak Rt.“ sapaku setibanya dirumah Pak Rt.

“Waalaikumsalam, Lia,“ sapa Sisil sahabatku muncul dari dalam rumah.

“Ah, Sisil, aku mau menjemput Irfan Sil“ Aku tersenyum pada Sisil.

“Ayo masuk dulu,“ ajaknya sambil menggandeng tanganku.

“Ah, gak usah Sil, aku disini saja,“ tolakku, aku tidak ingin tambah merepotkan Pak Rt. Yang dari awal sudah banyak aku bebani.

“Eh, gak apa-apa Lia, aku turut berduka cita ya, atas semua musibah yang menimpa keluarga kamu“ Sisil memelukku erat, diantara semua teman-teman yang senang mengejekku, Sisil memang satu-satunya teman terbaikku, karena dia mau menerimaku apa adanya, terlebih dia dan keluarganya sering sekali membantu hidup kami.

“Iya, makasih ya Sil“ Aku manggut sambil berusaha tersenyum.

“Iya, sama-sama, ini Irfan, udah cakep, udah aku mandiin“ Sisil tersenyum sambil menuntun Irfan, menyerahkannya ketanganku.

“Dek, kamu gak nakal ‘kan selama disini??” tanyaku pada Irfan yang ludahnya terus mengalir, aku mengelapnya dengan tanganku, karena sapu tangan yang biasa digunakannya, entah raib kemana.

Sisil begitu baik, mau merawat adikku, yang sakit untuk beberapa hari, pasti sangat sulit mengurus Irfan.

“Nah, nah“ jawabnya sambil geleng-geleng.

“Anak pinter“ Aku mengusap kepalanya, dengan hati yang terisris pedih, andai Irfan tahu, jika keluarganya sedang mendapat musibah besar.

Setelah mengucapkan ribuan terimakasih, dan berpamitan pada Sisil, aku kembali kerumah, dengan Irfan digendonganku.

“Kak, Kakak sudah makan??” tanyaku pada Kak Maman yang sedang memeluk foto keluarga kami, dengan Ibu di sampingnya yang masih tidak bicara sama sekali.

Kak Maman hanya menggeleng,

“Aku buatin makanan ya Kak“ Kak Maman hanya mengangguk, Aku segera beranjak menuju dapur, sebagai seorang anak perempuan, meski usiaku baru enam belas tahun, tapi aku harus mampu melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga.

“Kak, Kak, nuh nuh“ Irfan menarik-narik Rokku.

“Apa Dek??” Aku berjongkok,

“Nuh“ katanya sambil menunjuk gelas.

“Oh, Adek mau minum??” tanyaku, sambil mengisi gelas kosong yang tadi ditunjuk Irfan.

“Nih, Adek minum sendiri bisakan?? Kakak mau cek nasi dulu“ Aku memberikan gelas yang sudah diisi air pada Irfan, kemudian meninggalkannya, untuk mengecek nasi yang tengah aku tanak.

Beberapa saat, aku asyik dengan kegiatanku, hingga teringat Irfan yang kutinggalkan sendiri.

“Astagfirullah ... Irfan!!“ kulihat Irfan sudah menjatuhkan air beserta gelasnya, dia tengah berusaha mengambil pecahan gelasnya.

“Dek, jangan di ambil!!“ teriakku, tapi nahas, Irfan sudah memegang pecahan gelasnya, hingga tangannya berdarah.

“Ya Allah ... kamu gak apa-apa Dek??” lirihku sambil menggenggam tangannya, meniup-niupnya.

“Nak, nak“ jawabnya sambil tersenyum.

“Ya Allah, kakak kan udah bilang, hati-hati,“ Aku memeluk Irfan erat,

 Aku mengambil lap bersih dari atas meja, diruang tamu, kemudian mengelapkannya pada luka Irfan, setelahnya aku menuntun Irfan, dan menitipkannya pada Kak Maman, yang masih termenung.

“Kak, titip Irfan sebentar ya“ pintaku.

“Iya Lia,“ Kak Maman meraih tangan Irfan, kemudian mendudukkannya di kusi di sampingnya.

Aku kembali beranjak ke dapur, melanjutkan aktifitas memasakku.

Tak lama kemudian, makanan jadi, makanan alakadarnya, hanya itu yang bisa ku sediakan.

Nasi putih, dengan lauk tempe goreng, dan urap daun singkong, yang ku petik dari belakang rumah.

“Kak, makan dulu yah“ Aku mengajak Kak Maman makan.

“Tidak Lia, Kakak tidak lapar,“ Kak Maman masih dengan wajah sendunya.

“Kakak, harus makan, bagaimana Kakak, mau menggantikan Ayah, jika Kakak tidak mau makan?? Kita harus kuat, Kakak lihat Ibu“ Aku mengarahkan pandangan Kak Maman pada Ibu, Ibu yang dari tadi hanya terdiam. Dengan tatapan kosong.

Kak Maman menarik napas panjang “Baiklah“ Kak Maman beranjak dari kursi, lalu meraih tongkatnya, dan berjalan menuju dapur.

“Ibu, makan ya“ Aku mengelus punggung Ibu lembut, tapi Ibu masih tidak bergeming.

Aku berjalan menuju dapur, mengambil sepiring nasi, beserta lauknya, yang telah aku masak, kemudian membawanya kedepan, tempat Ibu duduk tadi.

“Ibu, ini makan dulu“ lagi, Ibu hanya diam.

“Lia suapin ya bu“ Aku menyendok nasi, lalu menyuapkannya ke mulut Ibu. Tapi ibu tidak menolak, dan tidak juga memakannya, nasi tumpah dari mulut Ibu.

Air mataku luruh, hatiku sakit, melihat betapa hancurnya keluargaku.

“Kak, kan Kak“ Irfan membuka mulutnya lebar-lebar, mungkin dia juga ingin makan.

“Ah, iya, Irfan juga makan yaa“ Aku menyuapi Irfan, dengan lahap Irfan makan. Hingga satu piring nasi yang tadinya buat Ibu, malah habis oleh Irfan.

“Nak, nak“ Irfan mengacungkan jempolnya.

“Hmht“ Aku tersenyum sambil mengelus rambutnya.

“Ibu, Ibu mau apa?? Apa Ibu butuh sesuatu??” tanyaku, tapi Ibu masih terdiam.

“Ibu mau mandi??” tanyaku lagi.

Ibu masih diam.

“Baiklah, kita mandi“ Aku menuntun Ibu menuju kamar mandi, aku memandikan Ibu, menggosok punggungnya, lalu aku mengelapnya dengan telaten. Sementara Irfan di jaga oleh Kak Maman.

Selesai mandi, aku menggantikan baju Ibu, kemudian menyisir rambutnya.

“Apa dulu, Ibu juga suka menyisir rambut Lia seperti ini??” tanyaku sambil tersenyum, dengan tangan masih menyisir rambut Ibu.

Tapi, Ibu masih diam.

Mana jempolnyaaaa???

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!