Cahaya Cinta

Cahaya Cinta

Part 1

Alardo Adiwidjaya menggebrak meja di hadapannya tanpa sadar, membuat wanita paruh baya yang tengah duduk di depannya itu menunduk semakin dalam.

"Maafkan saya, Pak." Linny, wanita tersebut meremas-remas tangannya dengan resah, Alardo bisa mendengar isak samar yang keluar dari bibirnya. Ia menyadari sikapnya sangat berlebihan, Alardo tidak marah pada Linny, hanya saja dia tidak dapat menahan emosinya tatkala mendengar kakaknya kembali berulah. Dan itu mengingatkannya pada masa lalu yang selama dua puluh tahun ini selalu mengganggu tidurnya. Tanpa disadarinya ia menunjukkan kemarahan tersebut pada Linny dan membuat wanita tersebut ketakutan. Wanita itu tidak tau apa-apa. Alardo menarik napas panjang mencoba mengontrol emosinya yang selalu meledak-ledak.

"Saya berharap kamu bersabar, Lin. Pikirkan sekali lagi keputusanmu. Saya akan menaikkan gajimu dua kali lipat jika kamu mau bertahan." Bujuk Alardo berusaha lebih halus, melihat Linny yang sudah gemeteran menghadapi kemarahannya.

"Saya tidak bisa, Pak. Saya sudah tidak sanggup lagi." Linny mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata membuat Alardo terkesip melihat luka goresan benda tajam yang masih baru pada pipi kiri wanita itu

Alardo menghembuskan nafas lelah, ia tidak dapat menahan Linny untuk tetap bekerja. Ini sudah ke sembilan kalinya dalam sebulan perawat yang merawat Sabrina, Kakak kandung Alardo meminta berhenti. Semuanya bertahan menghadapi Sabrina tidak lebih dari tiga hari. Bahkan ada yang baru sehari bekerja sudah minta berhenti. Linny termasuk paling lama, dia bertahan lebih dari seminggu.

Alardo tahu sekali bagaimana kelakuan Sabrina ketika kumat, pantas jika seluruh perawat yang menghadapinya tidak kuat. Siapa juga yang tahan menghadapi orang sakit jiwa yang suatu waktu dapat mengancam keselamatan mereka sendiri.

Andai saja peristiwa itu tidak pernah terjadi, peristiwa yang mengguncang mental Sabrina, hingga membuatnya mengalami gangguan jiwa. Ibunya terkena serangan jantung dan meninggal dunia, sedangkan ayah tirinya dipenjara karena terlilit hutang, hingga akhirnya meninggal dengan mengakhiri hidupnya sendiri di dalam penjara. Hanya dirinya yang mati-matian bertahan hingga sekarang. Jika bukan karena dendamnya yang semakin hari semakin berkobar, mungkin ia tidak sudi hidup hingga saat ini hanya untuk menyaksikan kebahagiaan orang yang telah menghancurkan keluarganya.

Alardo menggertakkan giginya menahan amarah yang tiba-tiba datang setiap megingat nama perempuan itu. Tangannya mengepal erat sampai pena dalam genggamannya itu patah. Tatapan matanya menggelap.

Mardova Lawalata.

Perempuan iblis itu, ******* hina yang telah menghancurkan keluarganya tanpa sisa. Alardo masih memegang teguh sumpahnya dua puluh tahun silam, bahwa ia akan menghancurkan perempuan itu sehancur-hancurnya sampai dia tidak punya pilihan lain selain mati.

****

"Tuan, Non Rina, tuan!"

Bi Imah, pembantu yang telah mengabdi pada keluarga Alardo sejak Sabrina masih bayi atau jauh sebelum Alardo lahir, berteriak menggedor-gedor pintu ruang kerja Alardo dengan keras. Suaranya terdengar sangat panik.

"Ada apa, Bi?" tanya Alardo begitu membuka pintu. Dilihatnya Bi Imah tengah ketakutan, nafasnya ngos-ngosan seperti habis dikejar setan.

"Non Rina, tuan. Non Rina berlari ke belakang membawa pisau sambil teriak-ter-" Tanpa menunggu Bi Imah meyelesaikan kata-katanya Alardo berlari ke kebun belakang diikuti Bi Imah di belakangnya.

Alardo menahan napas, melihat apa yang dilakukan oleh kakaknya.

"Mati kau, mati! Harus mati!" teriak Sabrina dengan bercucuran air mata, tangannya tiada henti menghujamkan pisaunya ke tanah. Alardo menggertakkan giginya mati-matian menahan emosinya menyaksikan kehancuran Sabrina.

"Bukan kamu yang akan memunuhnya, Rina. Tapi aku, aku yang akan membalaskan semua penderitaanmu." Seketika Sabrina berhenti menghujamkan pisaunya, ia mendongak menatap Alardo. Matanya yang bercucuran air mata langsung membulat bersinar oleh binar bahagia.

"Ah iya, aku lupa. Kamu yang akan membunuhnya. Ya, ya, kamu akan membunuhnya." Tawanya berderai. Kemudia Sabrina memeluk pisaunya ke dada, membuat Bi Imah yang melihatnya dari belakang tubuh Alardo tanpa berani mendekat, meringis ngeri.

"Papa mati, mama mati, dia juga akan mati." Desis Sabrinya disela-sela tawanya, membuat Alardo memejamkan mata dan ia dapat merasakan dadanya yang sesak dan sakit.

Alardo ingin memeluk kakaknya, untuk menunjukkan kepeduliannya agar Sabrina sadar bahwa ia tidak sendirian. Adiknya selalu ada untuknya, bahkan rela melakukan apa saja untuk menghilangkan penderitaannya. Andai mereka dapat bertukar posisi, Alardo rela menggantikan posisi kakaknya agar Sabrina tidak terus-terusan menderita.

Namun Alardo tidak melakukannya, ia tahu Sabrina akan kembali histeris dan mengamuk saat ada yang menyentuhnya. Tanpa terkecuali, termasuk Alardo.

Sama halnya yang terjadi dengan Linny, wanita itu tidak sengaja menyentuh kakaknya saat hendak membangunkan Sabrina untuk meminum obatnya, dan Sabrina kalap mengamuk menyerang Linny dengan gelas kaca. Beruntung Linny Cuma terkena goresan ringan di pipinya karena Bi Imah keburu datang bersama Pak Langlang, tukan kebun mereka saat mendengar jeritan Linny yang meminta tolong.

"Tapi kamu harus janji padaku, Rina. Kamu tidak akan bersikap seperti ini lagi." Tatapan Sabrina tiba-tiba menyipit, memandang Alardo dengan pandangan menyelidik. "Kalau kamu histeris seperti tadi, dia akan tau kalau kamu akan membunuhnya. Itu bisa membuatnya kabur dan kita tidak punya kesempatan untuk membunuhnya, mengerti." kata Alardo, seolah-olah olah tengah menasehati anak bandel.

Sorot mata Sabrina kembali berbinar, ia mengerti ucapan adiknya. Alardo menghela nafas lega.

"Janji?" Tuntut Alardo yang kemudian diangguki kepala oleh kakaknya.

"Bagus! Sekarang tinggalkan pisaunya. Masuk, bersihkan pakaianmu lalu tidur." Dengan patuh, Sabrina meletakkan pisau yang semula didekapnya itu ke tanah, lalu bangkit dan menepuk-nepuk bokongnya yang kotor oleh tanah. Dengan riang ia berlari ke dalam rumah seperti anak kecil.

Alardo menghembuskan napas dengan kasar. Tangannya terkepal, sorot matanya menggelap penuh kebencian tatkala melihat pisau yang tergeletak di tanah.

"Mardova Lawalata, tunggu pembalasanku." Desisnya dingin. Kemudian dipungutnya pisau tersebut, dan diserahkannya pada Bi Imah yang masih berdiri ketakutan di belakangnya.

"Lain kali hati-hati, Bi. Jangan meletakkan pisau sembarangan." Ujarnya sebelum berjalan memasuki pintu rumah.

****

Alardo membanting ponselnya ke atas sofa, ia menghela nafas lelah. Besok dia harus berangkat ke Singapore selama seminggu untuk urusan bisnis. Sedangkan kondisi Sabrina masih belum bisa membuatnya tenang, ditambah Linny sudah berhenti. Alardo tidak mungkin tega meninggalkan kakaknya begitu saja tanpa pengawasan, mengingat akhir-akhir ini dia sering kalap dan ngamuk secara tiba-tiba.

Dan barusan Rudi, asisten pribadinya yang disuruhnya untuk mencarikan perawat baru untuk Sabrina, mengabarkan. Bahwa hingga saat ini belum menemukan perawat yang mau bekerja untuknya. Rupanya, para perawat sebelumnya saling bercerita tentang pengalaman mereka yang tidak menyenangkan pada rekan-rekannya, dan dari mulut ke mulut cerita itu tersebar. Sehingga sekarang Alardo kesulitan mencari perawat untuk kakaknya.

Meskipun Alardo menjanjikan gaji tiga kali lipat tapi mereka rupanya lebih sayang nyawanya, dari pada merawat wanita sakit jiwa yang suatu waktu dapat mengancam keselamatan mereka. Hal ini membuat Alardo merasa semakin lelah.

Seharusnya Sabrina memang tidak diperbolehkan pulang dari rumah sakit jiwa, tapi Alardo memaksa, ia tidak ingin melihat kakaknya tinggal di tempat yang dikelilingi orang-orang sakit jiwa, walaupun Sabrina sendiri juga sakit jiwa.

Alardo bersikeras, dengan uangnya ia mampu menggaji sepuluh perawat sekaligs untuk merawat kakaknya, tapi sekarang jangankan sepuluh, satu saja susah sekali meski uangnya sangat banyak.

Dengan lesu diambilnya kembali ponselnya, lalu ditekanya sebuah nomor. Tak lama kemudian nada sambung di seberang terjawab.

"Tidak perlu perawat, Rud. Cari babby sitter atau apalah terserah, untuk mengawasi Sabrina hanya selama saya pergi. Saya minta besok sudah harus mulai bekerja." Perintahnya yang kemudian diiyakan oleh Rudi dari seberang.

Terpopuler

Comments

Dian Rosita Dewi

Dian Rosita Dewi

aku mampir disini ya kak puspa

2021-05-16

0

Mariani Sitepu

Mariani Sitepu

ini namanya penasaran.... Lanjut lah

2020-04-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!