Alifia merasa seolah ratusan jarum menusuk kepalanya tatkala ia membuka mata, sehingga dengan mengernyit kesakitan ia kembali memejamkannya. Alifia teringat terakhir kali sebelum kesadarannya hilang, ia sedang menyeberang jalan hendak pulang ke kontrakannya ketika sebuah mobil melaju dengan kencang dan menyerempet tubuhnya.
Seorang perawat menghampiri ranjangnya dan tersenyum melihat ringisan di wajah Alifia.
"Syukurlah Adik sudah sadar. Mari, saya bantu minum obat dulu untuk mengurangi rasa nyeri," ujarnya seraya menyibakkan selimut yang menutup tubuh Alifia dan membantunya bangun. Alifia menurut saja ketika perawat tersebut memberinya beberapa butir obat dan segelas air putih.
Jam dinding di ujung ruangan sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ya Tuhan, Alifia harus pulang untuk menyiapkan lamaran. Besok ia harus mencari kerja agar bisa bertahan hidup di tengah ibu kota yang kejam.
"Sus, saya merasa baik-baik saja. Saya harus pulang sekarang," katanya sembari berusaha bangkit dari ranjang dengan susah payah. Selain kepalanya yang berdenyut, sekujur tubuhnya juga terasa sakit.
"Tubuh Adik hanya lecet-lecet, tidak ada yang serius. Untuk luka di kening tadi sudah mendapat jahitan, tapi orang yang menabrak Adik tadi berpesan agar Adik di sini dulu sampai dia kembali. Tunggulah sebentar, dia sedang menyelesaikan administrasi." Alifia mendesah lega, rupanya pengemudi mobil yang menabraknya bertanggung jawab dengan membawanya kemari.
Saat itulah pintu ruangan terbuka menampakkan sosok laki-laki tegap dalam balutan jaket kulit hitam. Gurat lelahnya sama sekali tidak mengurangi ketampanannya, rahang perseginya tampak kokoh ditumbuhi jambang yang tampak kasar belum dicukur, hidung mancungnya terpahat sempurna. Kemudian, sepasang mata kelam yang bersorot dingin itu menatap tajam ke arah Alifia dengan tatapan yang menusuk dibingkai oleh sepasang alis tebal. Betapa sempurnanya Tuhan mencipatakan ketampanan laki-laki yang satu ini. Perawat yang berdiri di samping ranjang Alifia pun tampak membuka mulutnya takjub, lalu ia menutup mulutnya dengan cepat dan gelapan salah tingkah tatkala mendapat tatapan tajam dari laki-laki tersebut. Tanpa diminta, ia langsung menyiapkan kursi roda dan membantu Alifia untuk menaikinya. Alifia menolaknya dengan sopan.
"Saya masih bisa berdiri, Sus, tidak perlu memakai kursi roda," tolaknya, namun perawat tersebut bersikeras agar ia segera naik.
Dari tempatnya, laki-laki itu menyaksikannya dengan sedikit kesal, ia berdeham untuk menghentikan perdebatan tak bermanfaat dua wanita di depannya itu. "Kamu sudah membuang waktu saya. Jika tidak mau menggunakan kursi roda, lekaslah! Saya antar pulang. Setelah itu saya harus kembali ke rumah." Suara berat bernada kesal itu sukses membuat keduanya berhenti berdebat. Laki-laki tersebut membalikkan badan dan melangkah menuju pintu.
Dengan tertatih-tatih, Alifia berjalan menyusulnya setelah membungkuk sopan berpamitan pada perawat tadi. Membuang waktunya dia bilang. Kalau dipikir-pikir seharusnya laki-laki itu tidak berhak kesal, toh dia yang menabrak Alifia. Sudah menjadi tanggung jawabnya, kan? Siapa suruh ngebut di jalanan. Tapi Alifia hanya menyuarakan kekesalannya dalam hati.
Mengabaikan kepalanya yang berdenyut dan nyeri di sekujur tubuhnya, Alifia menyeret langkahnya berusaha menyejajari langkah lebar sosok tegap di depannya. Ia terpekik ketika dirasakannya tubuhnya nyaris tersungkur ke lantai kalau saja sepasang tangan kokoh tidak cepat menangkapnya. Laki-laki itu dengan sigap melingkarkan lengannya pada tubuh Alifia. Detik berikutnya Alifia bisa merasakan tubuhnya melayang dalam gendongan laki-laki dingin tersebut.
Dengan panik Alifia bergerak-gerak minta diturunkan. "Pak, Pak. Tolong turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri!" Paniknya mencoba melepaskan diri. Tapi sosok itu sama sekali tidak menanggapinya. Ia diam saja dan terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Pak? Baru kali ini ada wanita yang memanggil dirinya dengan sebutan itu, batin Alardo
"Pak, saya mohon jangan sentuh saya." Bruk! Alardo tiba-tiba melepaskan tubuh Alifia, hingga gadis itu meringis kesakitan saat tubuhnya terjatuh ke lantai. Ia menengadah, mata bulat jernihnya memandang Alardo dengan tatapan tak percaya. Selain dingin dan menyebalkan, ternyata laki-laki yang berdiri menjulang di depannya itu juga kejam. Memangnya tidak bisa menurunkan Alifia dengan cara wajar, selain menjatuhkannya begitu saja. Batin Alifia kesal, tapi gadis itu terlalu lembut untuk marah. Ia hanya diam dan berusaha bangkit dengan susah payah. Alardo hanya menatapnya dengan tatapan bak seekor elang melihat mangsanya, sama sekali tidak berusaha membantunya.
"Tidak ada perempuan yang menolak sentuhan saya," desis Alardo saat Alifia sudah berhasil berdiri.
"Kita bukan mahram, Pak." Jawab Alifia kalem. Lagi-lagi, Pak. Alardo memutar bola matanya. Sungguh, baru kali ini ada seorang wanita yang menolak sentuhannya. Di luar sana, para wanita justru berlomba-lomba untuk mendapat sentuhannya, bahkan mereka rela melakukan apa saja hanya sekedar untuk mendapat lirikan Alardo. Tapi gadis kecil di sampingnya ini tidak mau disentuhnya. Alardo sama sekali tidak bisa mempercayainya. Mungkin gadis itu hanya pura-pura. Ah, dasar perempuan! Batin Alardo sinis. Tapi entah mengapa mata bulat jernih yang menatapnya itu terlihat begitu polos dan terasa sedikit mengganggunya. Rasanya tidak mungkin sorot sepolos itu bisa berpura-pura, entah mengapa Alardo jadi merasa tidak yakin. Dan, hal tersebut membuat egonya sedikit terlukai, biar bagaimanapun ia tidak pernah ditolak oleh wanita. Dan, sialnya gadis kecil ini menolak sentuhannya. Huh, lekaslah dewasa, Nak, agar kamu menyadari betapa menariknya laki-laki yang telah membuatmu merasakan nikmatnya berbaring di ranjang rumah sakit. Batinnya sinis.
Masih dengan wajah dinginnya, Alardo mengedikkan bahunya acuh dan berjalan dengan langkah lebar mendahului Alifia, mengabaikan kesusahan gadis itu yang terpincang-pincang di belakangnya.
"Di mana alamatmu?" tanya Alardo saat mobil meninggalkan area parkir rumah sakit.
"Lurus saja terus, nanti saya kasih petunjuk." Jawabnya sambil memejamkan mata untuk mengurangi nyeri yang menyerang kepalanya. Matanya terasa sangat berat. Mungkin karena pengaruh obat yang diberikan oleh perawat tadi, sehingga tak lama kemudian Alifia jatuh tertidur dengan mudahnya.
Sudah sepuluh menit Alardo lurus mengikuti petunjuk arah yang diberikan gadis yang duduk di sampingnya itu, namun tidak ada tanda-tanda sang petunjuk arah akan memintanya untuk berhenti atau berbelok. Dengan kesal Alardo menoleh pada jok penumpang dan mendesah. Benar saja, petunjuk arahnya tertidur! Alardo menepikan mobilnya di pinggir trotoar bermaksud untuk membangunkan gadis tersebut. Benar-benar merepotkan! makinya dalam hati sembari mengulurkan tangan untuk membangunkannya.
Namun, ia kembali menarik tangannya. Pantulan cahaya lampu menerangi wajah lelap gadis itu melalui celah kaca mobil yang tak tertutup sepenuhnya. Terlihat kerutan di keningnya seperti menahan sakit. Gadis itu memiliki paras yang menawan, kecantikannya alami tanpa polesan make up. Entah mengapa ia merasa dadanya menghangat hanya dengan menatap wajah lelap gadis tersebut. Terlihat... entahlah, rasanya seperti memandang sesuatu yang bisa membuat hatimu tenteram.
****
Alifia membuka matanya saat merasakan cahaya yang menyilaukan menerpa wajahnya. Lalu matanya menangkap sosok tubuh gempal tengah menyibakkan tirai-tirai lebar yang menutup jendela, membuat ruangan terang benderang. Alifia berjengit kaget. Ini jelas bukan di kamar kontrakannya. Kamar ini sangat mewah.
"Eh, Neng kecil sudah bangun. Bagaimana keadaannya, sudah mendingan apa belum?" tanya sosok perempuan bertubuh gempal tadi dengan senyum ramah menghiasi bibir lebarnya.
"I—ini dimana?"tanya Alifia tergagap. Matanya memandang nyalang keliling ruangan.
"Neng kecil berada di rumah Tuan Alardo. Katanya bingung mau dibawa kemana tidak tahu alamat rumah Neng kecil. Oh ya, saya Bi Imah. Neng kecil lebih baik mandi dulu sudah lewat jam tujuh, setelah itu sarapan, Bibi sudah siapkan makanan untuk Neng kecil."
Sudah lewat jam tujuh? Alifia beristighfar berkali-kali dalam hati. Ya tuhan, ia tidak melaksanakan salat subuh.
"Bi, boleh saya pijam mukenanya?"
"Lho buat apa, Neng? Subuh 'kan sudah lewat."
"Mau mengqodlo, Bi. Saya telat salat subuh."
"Ada, Neng. Bibi ambilkan sebentar, ya." Alifia mengangguk dan bergegas bangkit menuju kamar mandi, sebelum kemudian menghentikan langkahnya ketika mendengar kalimat Bi Imah selanjutnya. "Kamar mandinya di sebelah kanan, Neng. Yang itu wordob rumnya Tuan Alardo." [wardrobe room]
****
"Neng kecil makan dulu, ya." Ujar Bi Imah sambil menyerahkan baki berisi makanan pada Alifia. "Lho, kok tidak ganti baju. Ini 'kan sudah Bibi siapkan pinjam punya Non Rina."
"Tidak apa-apa, Bi. Saya harus segera pulang."
"Eh, tidak bisa begitu. Tuan tadi berpesan agar tidak membiarkan Neng kecil pergi sebelum sembuh."
"Saya sudah baik-baik saja, Bi. Saya tidak bisa merepotkan banyak orang." Ujar Alifia sembari bangkit.
"Waduh, Neng. Bibi mohon jangan pergi dulu, ya. Nanti tuan marah. Dia kalau marah mengerikan, Bibi takut." Cegah Bi Imah sambil menahan lengan Alifia.
"Bi, saya benar-benar harus pulang sekarang. Ada banyak hal yang harus saya selesaikan. Tidak apa-apa, nanti tolong sampaikan terimakasih saya pada beliau." Ia terus menyeret langkahnya keluar rumah hingga tiba di depan gerbang, dengan Bi Imah yang mengekorinya berusaha untuk menahannya.
"Maaf, Neng. Saya tidak berani membukakan gerbang untuk Neng. Tuan sudah berpesan agar Neng tidak keluar dari rumah ini sebelum tuan mengijinkannya." Ucap Pak Danuri, satpam yang bertugas jaga.
"Mending Neng kecil kembali saja ke dalam sambil nunggu tuan pulang. Biasanya sore hari, kalau tidak ya malam. Luka-luka Neng masih basah begitu, biar Bi Imah obati." Timpal Bi Imah. Alifia mendesah, percuma ia ngotot pulang. Ia sama sekali tidak bisa keluar dari tempat tersebut. Sepertinya semua orang sangat takut pada majikannya yang bernama Alardo itu.
Dengan lesu Alifia kembali melangkahkan kakinya menuju rumah mewah berlantai dua yang menjulang angkuh di depannya, sama seperti pemiliknya. Masalah lamaran pekerjaan mungkin harus ditunda sampai nanti ia bertemu dengan laki-laki itu. Semoga saja setelah ini ia bisa langsung mendapat pekerjaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mariani Sitepu
Alifia... Mantap saya suka Solok dgn karakter pekerja keras
2020-04-30
0