Alardo Adiwidjaya menggebrak meja di hadapannya tanpa sadar, membuat wanita paruh baya yang tengah duduk di depannya itu menunduk semakin dalam.
"Maafkan saya, Pak." Linny, wanita tersebut meremas-remas tangannya dengan resah, Alardo bisa mendengar isak samar yang keluar dari bibirnya. Ia menyadari sikapnya sangat berlebihan, Alardo tidak marah pada Linny, hanya saja dia tidak dapat menahan emosinya tatkala mendengar kakaknya kembali berulah. Dan itu mengingatkannya pada masa lalu yang selama dua puluh tahun ini selalu mengganggu tidurnya. Tanpa disadarinya ia menunjukkan kemarahan tersebut pada Linny dan membuat wanita tersebut ketakutan. Wanita itu tidak tau apa-apa. Alardo menarik napas panjang mencoba mengontrol emosinya yang selalu meledak-ledak.
"Saya berharap kamu bersabar, Lin. Pikirkan sekali lagi keputusanmu. Saya akan menaikkan gajimu dua kali lipat jika kamu mau bertahan." Bujuk Alardo berusaha lebih halus, melihat Linny yang sudah gemeteran menghadapi kemarahannya.
"Saya tidak bisa, Pak. Saya sudah tidak sanggup lagi." Linny mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata membuat Alardo terkesip melihat luka goresan benda tajam yang masih baru pada pipi kiri wanita itu
Alardo menghembuskan nafas lelah, ia tidak dapat menahan Linny untuk tetap bekerja. Ini sudah ke sembilan kalinya dalam sebulan perawat yang merawat Sabrina, Kakak kandung Alardo meminta berhenti. Semuanya bertahan menghadapi Sabrina tidak lebih dari tiga hari. Bahkan ada yang baru sehari bekerja sudah minta berhenti. Linny termasuk paling lama, dia bertahan lebih dari seminggu.
Alardo tahu sekali bagaimana kelakuan Sabrina ketika kumat, pantas jika seluruh perawat yang menghadapinya tidak kuat. Siapa juga yang tahan menghadapi orang sakit jiwa yang suatu waktu dapat mengancam keselamatan mereka sendiri.
Andai saja peristiwa itu tidak pernah terjadi, peristiwa yang mengguncang mental Sabrina, hingga membuatnya mengalami gangguan jiwa. Ibunya terkena serangan jantung dan meninggal dunia, sedangkan ayah tirinya dipenjara karena terlilit hutang, hingga akhirnya meninggal dengan mengakhiri hidupnya sendiri di dalam penjara. Hanya dirinya yang mati-matian bertahan hingga sekarang. Jika bukan karena dendamnya yang semakin hari semakin berkobar, mungkin ia tidak sudi hidup hingga saat ini hanya untuk menyaksikan kebahagiaan orang yang telah menghancurkan keluarganya.
Alardo menggertakkan giginya menahan amarah yang tiba-tiba datang setiap megingat nama perempuan itu. Tangannya mengepal erat sampai pena dalam genggamannya itu patah. Tatapan matanya menggelap.
Mardova Lawalata.
Perempuan iblis itu, ******* hina yang telah menghancurkan keluarganya tanpa sisa. Alardo masih memegang teguh sumpahnya dua puluh tahun silam, bahwa ia akan menghancurkan perempuan itu sehancur-hancurnya sampai dia tidak punya pilihan lain selain mati.
****
"Tuan, Non Rina, tuan!"
Bi Imah, pembantu yang telah mengabdi pada keluarga Alardo sejak Sabrina masih bayi atau jauh sebelum Alardo lahir, berteriak menggedor-gedor pintu ruang kerja Alardo dengan keras. Suaranya terdengar sangat panik.
"Ada apa, Bi?" tanya Alardo begitu membuka pintu. Dilihatnya Bi Imah tengah ketakutan, nafasnya ngos-ngosan seperti habis dikejar setan.
"Non Rina, tuan. Non Rina berlari ke belakang membawa pisau sambil teriak-ter-" Tanpa menunggu Bi Imah meyelesaikan kata-katanya Alardo berlari ke kebun belakang diikuti Bi Imah di belakangnya.
Alardo menahan napas, melihat apa yang dilakukan oleh kakaknya.
"Mati kau, mati! Harus mati!" teriak Sabrina dengan bercucuran air mata, tangannya tiada henti menghujamkan pisaunya ke tanah. Alardo menggertakkan giginya mati-matian menahan emosinya menyaksikan kehancuran Sabrina.
"Bukan kamu yang akan memunuhnya, Rina. Tapi aku, aku yang akan membalaskan semua penderitaanmu." Seketika Sabrina berhenti menghujamkan pisaunya, ia mendongak menatap Alardo. Matanya yang bercucuran air mata langsung membulat bersinar oleh binar bahagia.
"Ah iya, aku lupa. Kamu yang akan membunuhnya. Ya, ya, kamu akan membunuhnya." Tawanya berderai. Kemudia Sabrina memeluk pisaunya ke dada, membuat Bi Imah yang melihatnya dari belakang tubuh Alardo tanpa berani mendekat, meringis ngeri.
"Papa mati, mama mati, dia juga akan mati." Desis Sabrinya disela-sela tawanya, membuat Alardo memejamkan mata dan ia dapat merasakan dadanya yang sesak dan sakit.
Alardo ingin memeluk kakaknya, untuk menunjukkan kepeduliannya agar Sabrina sadar bahwa ia tidak sendirian. Adiknya selalu ada untuknya, bahkan rela melakukan apa saja untuk menghilangkan penderitaannya. Andai mereka dapat bertukar posisi, Alardo rela menggantikan posisi kakaknya agar Sabrina tidak terus-terusan menderita.
Namun Alardo tidak melakukannya, ia tahu Sabrina akan kembali histeris dan mengamuk saat ada yang menyentuhnya. Tanpa terkecuali, termasuk Alardo.
Sama halnya yang terjadi dengan Linny, wanita itu tidak sengaja menyentuh kakaknya saat hendak membangunkan Sabrina untuk meminum obatnya, dan Sabrina kalap mengamuk menyerang Linny dengan gelas kaca. Beruntung Linny Cuma terkena goresan ringan di pipinya karena Bi Imah keburu datang bersama Pak Langlang, tukan kebun mereka saat mendengar jeritan Linny yang meminta tolong.
"Tapi kamu harus janji padaku, Rina. Kamu tidak akan bersikap seperti ini lagi." Tatapan Sabrina tiba-tiba menyipit, memandang Alardo dengan pandangan menyelidik. "Kalau kamu histeris seperti tadi, dia akan tau kalau kamu akan membunuhnya. Itu bisa membuatnya kabur dan kita tidak punya kesempatan untuk membunuhnya, mengerti." kata Alardo, seolah-olah olah tengah menasehati anak bandel.
Sorot mata Sabrina kembali berbinar, ia mengerti ucapan adiknya. Alardo menghela nafas lega.
"Janji?" Tuntut Alardo yang kemudian diangguki kepala oleh kakaknya.
"Bagus! Sekarang tinggalkan pisaunya. Masuk, bersihkan pakaianmu lalu tidur." Dengan patuh, Sabrina meletakkan pisau yang semula didekapnya itu ke tanah, lalu bangkit dan menepuk-nepuk bokongnya yang kotor oleh tanah. Dengan riang ia berlari ke dalam rumah seperti anak kecil.
Alardo menghembuskan napas dengan kasar. Tangannya terkepal, sorot matanya menggelap penuh kebencian tatkala melihat pisau yang tergeletak di tanah.
"Mardova Lawalata, tunggu pembalasanku." Desisnya dingin. Kemudian dipungutnya pisau tersebut, dan diserahkannya pada Bi Imah yang masih berdiri ketakutan di belakangnya.
"Lain kali hati-hati, Bi. Jangan meletakkan pisau sembarangan." Ujarnya sebelum berjalan memasuki pintu rumah.
****
Alardo membanting ponselnya ke atas sofa, ia menghela nafas lelah. Besok dia harus berangkat ke Singapore selama seminggu untuk urusan bisnis. Sedangkan kondisi Sabrina masih belum bisa membuatnya tenang, ditambah Linny sudah berhenti. Alardo tidak mungkin tega meninggalkan kakaknya begitu saja tanpa pengawasan, mengingat akhir-akhir ini dia sering kalap dan ngamuk secara tiba-tiba.
Dan barusan Rudi, asisten pribadinya yang disuruhnya untuk mencarikan perawat baru untuk Sabrina, mengabarkan. Bahwa hingga saat ini belum menemukan perawat yang mau bekerja untuknya. Rupanya, para perawat sebelumnya saling bercerita tentang pengalaman mereka yang tidak menyenangkan pada rekan-rekannya, dan dari mulut ke mulut cerita itu tersebar. Sehingga sekarang Alardo kesulitan mencari perawat untuk kakaknya.
Meskipun Alardo menjanjikan gaji tiga kali lipat tapi mereka rupanya lebih sayang nyawanya, dari pada merawat wanita sakit jiwa yang suatu waktu dapat mengancam keselamatan mereka. Hal ini membuat Alardo merasa semakin lelah.
Seharusnya Sabrina memang tidak diperbolehkan pulang dari rumah sakit jiwa, tapi Alardo memaksa, ia tidak ingin melihat kakaknya tinggal di tempat yang dikelilingi orang-orang sakit jiwa, walaupun Sabrina sendiri juga sakit jiwa.
Alardo bersikeras, dengan uangnya ia mampu menggaji sepuluh perawat sekaligs untuk merawat kakaknya, tapi sekarang jangankan sepuluh, satu saja susah sekali meski uangnya sangat banyak.
Dengan lesu diambilnya kembali ponselnya, lalu ditekanya sebuah nomor. Tak lama kemudian nada sambung di seberang terjawab.
"Tidak perlu perawat, Rud. Cari babby sitter atau apalah terserah, untuk mengawasi Sabrina hanya selama saya pergi. Saya minta besok sudah harus mulai bekerja." Perintahnya yang kemudian diiyakan oleh Rudi dari seberang.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Alifia meletakkan piring terakhirnya yang baru saja dibilasnya dari bak cuci ke rak piring. Detaknya yang keras mengisi suasana sepi warung makan yang terletak di pinggir jalan tersebut, kontras dengan suasana jalan raya di depannya yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Ibu kota tidak pernah sepi seperti di kampung-kampung, sebagian penduduknya tetap beraktifitas tanpa mengenal waktu. Bahkan toko-toko di seberang jalan masih buka dan belum ada tanda-tanda akan segera ditutup, tempat karaoke juga terlihat semakin banyak pengunjungnya. Hanya warung makan Bu Minah satu-satunya yang sudah menarik rolling door untuk mengakhiri jualannya hari ini yang belakangan memang sangat sepi pengunjung.
Setelah mengeringkan tangan dengan sebuah lap, Alifia bergegas menghampiri pemilik warung makan yang sudah berbaik hati mempekerjakan dirinya itu dan membantu membersihkan meja. Bu Minah adalah sosok yang sangat berjasa selama dua tahun Alifia tinggal di Jakarta, bahkan ia sudah menganggapnya seperti Ibu kandungnya sendiri.
"Lif," panggil Bu Minah tanpa melepaskan fokusnya pada meja yang sedang dilapnya dengan menggunakan kain kusam . "Ibu harus ngomong ini sama kamu meski rasanya berat sekali. Belakangan warung selalu sepi, Ibu tidak sanggup menggaji kamu lagi. Mulai besok kamu boleh mencari pekerjaan lain untuk biaya kuliahmu." Bu Minah menghela napas sedih, sementara Alifia memaksakan sebuah senyuman. "Maafkan Ibu, Lif. Sedandainya Ibu adalah orang berada, Ibu sudah pasti akan membantu semua biaya kuliahmu." Sesal Bu Minah.
"Bu, jangan mengkhawatirkan saya. Insya Allah selalu ada jalan asal kita mau usaha. Saya akan mencoba untuk mencari pekerjaan lain." Dan, malam itu adalah malam terakhir Alifia bekerja di warung makan Bu Minah.
Malam itu juga setelah warung ditutup, Alifia berjalan kaki menyusuri trotoar untuk kembali ke kontrakannya yang terletak tak jauh dari sana. Pikirannya berkelana memikirkan bagaimana caranya agar ia lekas mendapat uang untuk biaya kuliahnya. Kemarin Pak Jaka juga sudah menagih uang kontrakannya yang sudah nunggak dua bulan.
Dua tahun sudah berlalu semenjak ia meninggalkan pesantren Al Furqon untuk melanjutkan pendidikannya sekaligus mencari Ibu kandungnya yang hingga saat ini belum juga ditemukan. Masih jelas dalam ingatan Alifia saat ia menjual satu-satunya harta peninggalan Neneknya, yaitu rumah kecil yang dulu ditempatinya bersama sang Nenek saat ia kecil sebelum almarhum Kyai Jalaludin mengangkatnya menjadi anak, sebagai bekal ia pergi ke Jakarta.
Namun, Jakarta bukanlah kota yang ramah, berbeda jauh dengan tempat tinggalnya di Magelang. Di sini kebutuhan serba mahal, sehingga tidak heran dalam dua tahun tabungannya sudah sangat menipis. Padahal Alifia selalu berhemat, ia juga punya pekerjaan paruh waktu. Dan sekarang ia kehilangan pekerjaannya karena Bu Minah sudah tidak sanggup menggajinya lagi.
Alifia benar-benar harus mencari pekerjaan secepatnya jika tak ingin kuliahnya putus di tengah jalan dan terancam jadi gelandangan. Alifia melangkahkan kakinya menyeberangi jalan raya, pikirannya berkecamuk sehingga ia tak dapat menghindar saat sebuah mobil melaju dengan kencang ke arahnya. Hanya dalam hitungan detik ia merasakan tubuhnya terpental dan melayang, sebelum akhirnya terhempas dengan sangat keras pada aspal dan ia kehilangan kesadarannya.
****
Hentakan musik DJ berdentum dengan keras membuat puluhan muda-mudi semakin bersemangat menggerakkan tubuh mereka mengikuti irama musik. Asap rokok bertebaran dimana-mana memenuhi ruangan remang-remang tersebut. Bau alkohol yang menyengat sudah menjadi aroma khas salah satu klub terbesar di ibu kota itu.
Alardo duduk di sofa dengan santai sambil menyesap minumannya perlahan, manikmati rasa pahit yang mulai membakar tenggorokannya. Ia mengabaikan beberapa wanita yang mendekatinya sambil meliukkan tubuhnya berusaha menggoda. Biasanya Alardo akan dengan senang hati menyambut mereka, membuatnya bahagia sebelum kemudian mencampakkannya. Namun, malam ini pengecualian, ia sama sekali tidak berminat untuk mengencani salah satu dari mereka.
Berkali-kali Alardo menepis tangan-tangan nakal yang menggerayangi tubuhnya dengan kesal. Ia datang ke klub langganannya hanya sekedar untuk menghilangkan kekacauan pikirannya. Minum lalu pulang. Alardo memang suka minum, namun tidak membiarkan dirinya sampai mabuk. Alardo tidak sudi dikuasai apapun di dunia ini termasuk minuman. Sehingga ia hanya duduk santai dengan mengangkat sebelah kakinya ke atas paha tanpa berniat meladeni wanita-wanita dengan berpakaian nyaris telanjang yang sejak tadi mengelilinginya.
Menyaksikan Sabrina kumat beberapa hari yang lalu membuat kemarahannya memuncak. Rasa dendamnya terhadap aktris cantik Mardova Lawalata semakin berkobar, hanya saja ia merasa belum saatnya untuk menghancurkan perempuan itu. Alardo kembali menyesap minumannya untuk menyembunyikan kegeraman hatinya. Netra hitamnya semakin menggelap menyorot penuh kebencian.
Jari-jari lentik dengan kuku bercat merah menyala itu lagi-lagi menggeryangi tubuhnya, kali ini semakin berani dengan membuka kancing kemeja Alardo dan menyusupkan tangannya membelai dada keras miliknya. Tubuh-tubuh beraroma parfum mahal dan campuran asap rokok itu juga semakin menempel erat padanya. Sesekali menggesek-gesekkan payudaranya yang bulat penuh pada tubuh Alardo. Laki-laki tersebut mendengus muak, semua perempuan memang menjijikkan! Batinnya.
Dengan sekali sentakan tubuh yang menempel padanya bagaikan lintah itu langsung terjungkal dan menubruk meja. Alardo berdiri sambil menepuk-nepuk tubuhnya seolah ingin menghilangkan sisa kotoran menjijikkan bekas wanita tersebut. Setelah meletakkan gelas minumannya dengan sedikit kasar, ia melangkah lebar meninggalkan klub tanpa memedulikan jeritan histeris wanita tadi.
"Ya ampun, Lisa. Sudah berapa kali aku bilang, Alardo hanya mengencani wanita satu kali. Percuma kamu menggodanya lagi, dia sudah tidak tertarik padamu." Cetus wanita berpakaian bikini sambil membantu Lisa berdiri.
"Kita lihat saja nanti. Akan kubuat dia takluk padaku!" maki Lisa sambil mengurut pinggangnya yang menabrak meja. Sementara temannya tertawa meremehkan.
"Alardo takluk padamu? Ck, mimpimu terlalu ketinggian."
Alardo mengabaikan suara-suara di belakangnya dan tetap melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian mobilnya sudah berbaur dengan keramaian jalan raya.
Matanya agak sedikit berat, padahal ia yakin seratus persen hanya sedikit minum. Bahkan gelasnya masih terisi separuh tanpa berniat untuk menghabiskannya setelah Lisa-wanita yang pernah dikencaninya sekali-itu terus-terusan mengganggunya. Alardo memang tidak pernah mengencani wanita lebih dari satu kali. Ia hanya mau menikmati mereka sekali, setelah itu membuangnya seperti sampah yang menjijikkan.
Meskipun demikian, semua wanita berlomba-lomba menarik perhatiannya, walau tahu akhirnya hanya akan dicampakkan. Siapa yang tidak terpesonya padanya? Alardo sangat tampan, ia seorang pengusaha muda yang sukses dengan kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan. Dapat menarik hati laki-laki itu adalah sebuah kebanggaan yang tak terkira. Sayangnya hingga saat ini belum ada satu pun wanita yang mampu memikat hatinya. Alardo hanya suka bermain-main dengan wanita, menikmati tubuhnya sekali dan berganti lagi ke wanita lainnya.
Alardo mempercepat laju mobilnya untuk segera sampai ke rumah dan tidur. Tubuhnya sangat lelah dan mengantuk. Ia menyetir dengan mata berat saat tiba-tiba seorang wanita menyeberang jalan. Alardo membanting setir ke kanan untuk menghindari tabrakan, namun sayangnya mobilnya tetap menyentuh tubuh penyeberang jalan tersebut.
Alardo mengumpat dengan keras saat melihat sosok yang ditabraknya itu terpental. Buru-buru ia menepikan mobilnya kemudian turun menghampiri sosok yang sudah terbujur di atas aspal tersebut. Lalu-lalang kendaraan masih terus berjalan tanpa ada satu pun yang peduli dan menolong.
Alardo mengusap wajahnya dengan frustasi. Kalaupun ia kabur sudah pasti tidak akan ada yang meneriakinya. Tapi hati kecilnya menolak untuk mangkir dari tanggung jawab. Meski ia seorang ******** yang selalu mematahkan hati wanita, tapi ia bukan jenis orang yang tega meninggalkan seseorang yang ditabraknya begitu saja. Dengan cepat Alardo berjongkok untuk meraih tubuh kecil yang terkapar tersebut. Matanya menangkap wajah rupawan terbungkus hijab cokelat susu. Darah mengalir dari keningnya dan merembes ke pipinya yang putih bersih. Kedua matanya terpejam memperlihatkan bulu mata yang panjang dan lentik. Tubuh mungil itu terlihat begitu rapuh dalam rengkuhan Alardo.
Dengan hati-hati Alardo membawanya ke dalam mobil, ia harus secepatnya tiba di rumah sakit. Seumur hidupnya, Alardo tidak akan pernah tenang jika gadis tersebut sampai meninggal gara-gara dirinya.
Alifia merasa seolah ratusan jarum menusuk kepalanya tatkala ia membuka mata, sehingga dengan mengernyit kesakitan ia kembali memejamkannya. Alifia teringat terakhir kali sebelum kesadarannya hilang, ia sedang menyeberang jalan hendak pulang ke kontrakannya ketika sebuah mobil melaju dengan kencang dan menyerempet tubuhnya.
Seorang perawat menghampiri ranjangnya dan tersenyum melihat ringisan di wajah Alifia.
"Syukurlah Adik sudah sadar. Mari, saya bantu minum obat dulu untuk mengurangi rasa nyeri," ujarnya seraya menyibakkan selimut yang menutup tubuh Alifia dan membantunya bangun. Alifia menurut saja ketika perawat tersebut memberinya beberapa butir obat dan segelas air putih.
Jam dinding di ujung ruangan sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ya Tuhan, Alifia harus pulang untuk menyiapkan lamaran. Besok ia harus mencari kerja agar bisa bertahan hidup di tengah ibu kota yang kejam.
"Sus, saya merasa baik-baik saja. Saya harus pulang sekarang," katanya sembari berusaha bangkit dari ranjang dengan susah payah. Selain kepalanya yang berdenyut, sekujur tubuhnya juga terasa sakit.
"Tubuh Adik hanya lecet-lecet, tidak ada yang serius. Untuk luka di kening tadi sudah mendapat jahitan, tapi orang yang menabrak Adik tadi berpesan agar Adik di sini dulu sampai dia kembali. Tunggulah sebentar, dia sedang menyelesaikan administrasi." Alifia mendesah lega, rupanya pengemudi mobil yang menabraknya bertanggung jawab dengan membawanya kemari.
Saat itulah pintu ruangan terbuka menampakkan sosok laki-laki tegap dalam balutan jaket kulit hitam. Gurat lelahnya sama sekali tidak mengurangi ketampanannya, rahang perseginya tampak kokoh ditumbuhi jambang yang tampak kasar belum dicukur, hidung mancungnya terpahat sempurna. Kemudian, sepasang mata kelam yang bersorot dingin itu menatap tajam ke arah Alifia dengan tatapan yang menusuk dibingkai oleh sepasang alis tebal. Betapa sempurnanya Tuhan mencipatakan ketampanan laki-laki yang satu ini. Perawat yang berdiri di samping ranjang Alifia pun tampak membuka mulutnya takjub, lalu ia menutup mulutnya dengan cepat dan gelapan salah tingkah tatkala mendapat tatapan tajam dari laki-laki tersebut. Tanpa diminta, ia langsung menyiapkan kursi roda dan membantu Alifia untuk menaikinya. Alifia menolaknya dengan sopan.
"Saya masih bisa berdiri, Sus, tidak perlu memakai kursi roda," tolaknya, namun perawat tersebut bersikeras agar ia segera naik.
Dari tempatnya, laki-laki itu menyaksikannya dengan sedikit kesal, ia berdeham untuk menghentikan perdebatan tak bermanfaat dua wanita di depannya itu. "Kamu sudah membuang waktu saya. Jika tidak mau menggunakan kursi roda, lekaslah! Saya antar pulang. Setelah itu saya harus kembali ke rumah." Suara berat bernada kesal itu sukses membuat keduanya berhenti berdebat. Laki-laki tersebut membalikkan badan dan melangkah menuju pintu.
Dengan tertatih-tatih, Alifia berjalan menyusulnya setelah membungkuk sopan berpamitan pada perawat tadi. Membuang waktunya dia bilang. Kalau dipikir-pikir seharusnya laki-laki itu tidak berhak kesal, toh dia yang menabrak Alifia. Sudah menjadi tanggung jawabnya, kan? Siapa suruh ngebut di jalanan. Tapi Alifia hanya menyuarakan kekesalannya dalam hati.
Mengabaikan kepalanya yang berdenyut dan nyeri di sekujur tubuhnya, Alifia menyeret langkahnya berusaha menyejajari langkah lebar sosok tegap di depannya. Ia terpekik ketika dirasakannya tubuhnya nyaris tersungkur ke lantai kalau saja sepasang tangan kokoh tidak cepat menangkapnya. Laki-laki itu dengan sigap melingkarkan lengannya pada tubuh Alifia. Detik berikutnya Alifia bisa merasakan tubuhnya melayang dalam gendongan laki-laki dingin tersebut.
Dengan panik Alifia bergerak-gerak minta diturunkan. "Pak, Pak. Tolong turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri!" Paniknya mencoba melepaskan diri. Tapi sosok itu sama sekali tidak menanggapinya. Ia diam saja dan terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Pak? Baru kali ini ada wanita yang memanggil dirinya dengan sebutan itu, batin Alardo
"Pak, saya mohon jangan sentuh saya." Bruk! Alardo tiba-tiba melepaskan tubuh Alifia, hingga gadis itu meringis kesakitan saat tubuhnya terjatuh ke lantai. Ia menengadah, mata bulat jernihnya memandang Alardo dengan tatapan tak percaya. Selain dingin dan menyebalkan, ternyata laki-laki yang berdiri menjulang di depannya itu juga kejam. Memangnya tidak bisa menurunkan Alifia dengan cara wajar, selain menjatuhkannya begitu saja. Batin Alifia kesal, tapi gadis itu terlalu lembut untuk marah. Ia hanya diam dan berusaha bangkit dengan susah payah. Alardo hanya menatapnya dengan tatapan bak seekor elang melihat mangsanya, sama sekali tidak berusaha membantunya.
"Tidak ada perempuan yang menolak sentuhan saya," desis Alardo saat Alifia sudah berhasil berdiri.
"Kita bukan mahram, Pak." Jawab Alifia kalem. Lagi-lagi, Pak. Alardo memutar bola matanya. Sungguh, baru kali ini ada seorang wanita yang menolak sentuhannya. Di luar sana, para wanita justru berlomba-lomba untuk mendapat sentuhannya, bahkan mereka rela melakukan apa saja hanya sekedar untuk mendapat lirikan Alardo. Tapi gadis kecil di sampingnya ini tidak mau disentuhnya. Alardo sama sekali tidak bisa mempercayainya. Mungkin gadis itu hanya pura-pura. Ah, dasar perempuan! Batin Alardo sinis. Tapi entah mengapa mata bulat jernih yang menatapnya itu terlihat begitu polos dan terasa sedikit mengganggunya. Rasanya tidak mungkin sorot sepolos itu bisa berpura-pura, entah mengapa Alardo jadi merasa tidak yakin. Dan, hal tersebut membuat egonya sedikit terlukai, biar bagaimanapun ia tidak pernah ditolak oleh wanita. Dan, sialnya gadis kecil ini menolak sentuhannya. Huh, lekaslah dewasa, Nak, agar kamu menyadari betapa menariknya laki-laki yang telah membuatmu merasakan nikmatnya berbaring di ranjang rumah sakit. Batinnya sinis.
Masih dengan wajah dinginnya, Alardo mengedikkan bahunya acuh dan berjalan dengan langkah lebar mendahului Alifia, mengabaikan kesusahan gadis itu yang terpincang-pincang di belakangnya.
"Di mana alamatmu?" tanya Alardo saat mobil meninggalkan area parkir rumah sakit.
"Lurus saja terus, nanti saya kasih petunjuk." Jawabnya sambil memejamkan mata untuk mengurangi nyeri yang menyerang kepalanya. Matanya terasa sangat berat. Mungkin karena pengaruh obat yang diberikan oleh perawat tadi, sehingga tak lama kemudian Alifia jatuh tertidur dengan mudahnya.
Sudah sepuluh menit Alardo lurus mengikuti petunjuk arah yang diberikan gadis yang duduk di sampingnya itu, namun tidak ada tanda-tanda sang petunjuk arah akan memintanya untuk berhenti atau berbelok. Dengan kesal Alardo menoleh pada jok penumpang dan mendesah. Benar saja, petunjuk arahnya tertidur! Alardo menepikan mobilnya di pinggir trotoar bermaksud untuk membangunkan gadis tersebut. Benar-benar merepotkan! makinya dalam hati sembari mengulurkan tangan untuk membangunkannya.
Namun, ia kembali menarik tangannya. Pantulan cahaya lampu menerangi wajah lelap gadis itu melalui celah kaca mobil yang tak tertutup sepenuhnya. Terlihat kerutan di keningnya seperti menahan sakit. Gadis itu memiliki paras yang menawan, kecantikannya alami tanpa polesan make up. Entah mengapa ia merasa dadanya menghangat hanya dengan menatap wajah lelap gadis tersebut. Terlihat... entahlah, rasanya seperti memandang sesuatu yang bisa membuat hatimu tenteram.
****
Alifia membuka matanya saat merasakan cahaya yang menyilaukan menerpa wajahnya. Lalu matanya menangkap sosok tubuh gempal tengah menyibakkan tirai-tirai lebar yang menutup jendela, membuat ruangan terang benderang. Alifia berjengit kaget. Ini jelas bukan di kamar kontrakannya. Kamar ini sangat mewah.
"Eh, Neng kecil sudah bangun. Bagaimana keadaannya, sudah mendingan apa belum?" tanya sosok perempuan bertubuh gempal tadi dengan senyum ramah menghiasi bibir lebarnya.
"I—ini dimana?"tanya Alifia tergagap. Matanya memandang nyalang keliling ruangan.
"Neng kecil berada di rumah Tuan Alardo. Katanya bingung mau dibawa kemana tidak tahu alamat rumah Neng kecil. Oh ya, saya Bi Imah. Neng kecil lebih baik mandi dulu sudah lewat jam tujuh, setelah itu sarapan, Bibi sudah siapkan makanan untuk Neng kecil."
Sudah lewat jam tujuh? Alifia beristighfar berkali-kali dalam hati. Ya tuhan, ia tidak melaksanakan salat subuh.
"Bi, boleh saya pijam mukenanya?"
"Lho buat apa, Neng? Subuh 'kan sudah lewat."
"Mau mengqodlo, Bi. Saya telat salat subuh."
"Ada, Neng. Bibi ambilkan sebentar, ya." Alifia mengangguk dan bergegas bangkit menuju kamar mandi, sebelum kemudian menghentikan langkahnya ketika mendengar kalimat Bi Imah selanjutnya. "Kamar mandinya di sebelah kanan, Neng. Yang itu wordob rumnya Tuan Alardo." [wardrobe room]
****
"Neng kecil makan dulu, ya." Ujar Bi Imah sambil menyerahkan baki berisi makanan pada Alifia. "Lho, kok tidak ganti baju. Ini 'kan sudah Bibi siapkan pinjam punya Non Rina."
"Tidak apa-apa, Bi. Saya harus segera pulang."
"Eh, tidak bisa begitu. Tuan tadi berpesan agar tidak membiarkan Neng kecil pergi sebelum sembuh."
"Saya sudah baik-baik saja, Bi. Saya tidak bisa merepotkan banyak orang." Ujar Alifia sembari bangkit.
"Waduh, Neng. Bibi mohon jangan pergi dulu, ya. Nanti tuan marah. Dia kalau marah mengerikan, Bibi takut." Cegah Bi Imah sambil menahan lengan Alifia.
"Bi, saya benar-benar harus pulang sekarang. Ada banyak hal yang harus saya selesaikan. Tidak apa-apa, nanti tolong sampaikan terimakasih saya pada beliau." Ia terus menyeret langkahnya keluar rumah hingga tiba di depan gerbang, dengan Bi Imah yang mengekorinya berusaha untuk menahannya.
"Maaf, Neng. Saya tidak berani membukakan gerbang untuk Neng. Tuan sudah berpesan agar Neng tidak keluar dari rumah ini sebelum tuan mengijinkannya." Ucap Pak Danuri, satpam yang bertugas jaga.
"Mending Neng kecil kembali saja ke dalam sambil nunggu tuan pulang. Biasanya sore hari, kalau tidak ya malam. Luka-luka Neng masih basah begitu, biar Bi Imah obati." Timpal Bi Imah. Alifia mendesah, percuma ia ngotot pulang. Ia sama sekali tidak bisa keluar dari tempat tersebut. Sepertinya semua orang sangat takut pada majikannya yang bernama Alardo itu.
Dengan lesu Alifia kembali melangkahkan kakinya menuju rumah mewah berlantai dua yang menjulang angkuh di depannya, sama seperti pemiliknya. Masalah lamaran pekerjaan mungkin harus ditunda sampai nanti ia bertemu dengan laki-laki itu. Semoga saja setelah ini ia bisa langsung mendapat pekerjaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!