Pendekar Geni Naraka
Malam di Kota Mojokerto terasa gelap, rumah-rumah terkunci tak berpenghuni. Jalanan tempat hiburan malam yang biasanya ramai, kini sepi. Kemana mereka semua? Apa kota ini telah ditinggalkan? Atau mungkin mereka hanya sudah tertidur?
Tentu saja tidak. Ada satu tempat yang penuh sesak, itu adalah Alun-alun kota. Hampir seluruh penduduk kota ada disini. Disana berdiri dua buah panggung. Satu panggung terlihat mewah ditempati oleh banyak orang dan terdapat singgasana dan satu lagi hanya ada tiga orang saja.
Di panggung yang terlihat mewah, ada seorang pria hampir sepuh dengan pakaian bangsawan kelas atas duduk di singgasana yang mengarah langsung ke panggung yang jauh lebih sederhana. Disampingnya ada dua orang gadis yang senantiasa menyuapi buah-buahan ke pria hampir sepuh itu. Dibelakangnya, ada beberapa orang dengan pakaian serupa namun terlihat lebih sederhana, tanpa mahkota seperti pria hampir sepuh yang dikelilingi gadis itu. Dan banyak prajurit mengenakan pelindung yang terbuat dari besi baja dengan tombak tajam mereka.
Di bagian bawah panggung, ada banyak manusia yang berkumpul. Kebanyakan dari mereka adalah pendekar yang mengabdi kepada pria sepuh di atas panggung itu.
Sang pria yang berpakaian bangsawan menatap lurus ke arah panggung di hadapannya.
Seorang pria sepuh sedang berlutut di atas panggung. Pakaiannya sangat lusuh, tangannya dipasung, dan di lehernya menyilang dua golok. Bukan golok sembarangan, itu adalah pusaka tingkat penguasa bumi. Satu golok bernama Golok Pemenggal dengan warna merah di mata goloknya dan hitam pekat di bagian tumpulnya. Satu lagi bernama Golok Api Menangis dengan warna sepenuhnya merah darah.
Masing-masing golok digenggam oleh pria yang lebih muda dari sang pria sepuh yang sedang berlutut.
Panggung ini adalah pusat perhatian dari keramaian ini.
Kehadiran dua golok pusaka penguasa bumi yang sudah memiliki nama mengerikan di telinga para pendekar karena kekuatannya dan pria sepuh yang terkenal dengan kekuatannya yang dapat mengendalikan api.
"Senior Adi Lungsang, apakah ada kata-kata terakhir untuk murid-murid padepokan dan keluargamu?" tanya salah seorang pemegang golok pusaka itu.
Adi Lungsang, pria sepuh yang sedang berlutut itu ditanyai wasiatnya. Dia seorang Pendekar tingkat Aatma dan sedikit lagi mencapai Moksa. Memimpin sebuah Padepokan di wilayah selatan Kadipaten Gendis Ireng, wilayah persemakmuran dari Kemaharajaan Jawadwipa. Disana dia menciptakan pendekar-pendekar hebat yang terkenal di dunia persilatan.
Adi lungsang sendiri berada dalam keadaan ini karena sebuah alasan konyol. Dan hanya Kemaharajaan yang bisa membuat seseorang dihukum mati karena sebuah alasan konyol. Padahal Adi lungsang sangat yakin, ini adalah cara Maharaja Prabu Kertarasa mengambil Saitti, istri keempatnya. Adi Lungsang sangat ingin mengumpati sang Maharaja dan menginjak-nginjak wajahnya yang hampir menyerupai siluman Celeng Alas itu. Tapi apa daya? Dia sebentar lagi akan mati.
Adi Lungsang hanya bisa tersenyum dan menerawang jauh kedepan karna apa yang ada di benaknya itu. Bukan untuk melihat sang maharaja yang panggungnya berdiri di depannya. Hanya saja, bersama terawangannya itu, dia dapat melihat keempat istri dan seluruh anak cucu dengan menantu-menantunya berdiri di barisan terdepan dari rombongan padepokannya. Senyumnya semakin melebar saat melihat anaknya yang paling bungsu sedang digendong oleh Saitti. Namun, semakin lama senyum itu berubah dari senyum ramah yang yang menyejukan hati menjadi senyum penuh penyesalan.
Di Belakang keluarganya, anggota Padepokan Naga Geni berdiri tegak. Mereka sangat ingin melakukan serangan dan menyelamatkan ketua sekte mereka. Tapi, itu hanya angan belaka. Ada orang yang sangat berbahaya disini dan lebih parahnya lagi, orang itu bisa menghancurkan padepokan mereka tanpa perlu melihat.
Dua Pendekar Aatma masih menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir Adi Lungsang. Mereka sangat yakin, pasti ada satu atau dua rahasia yang akan terungkap sebelum kematian tua bangka ini.
"... Sebuah kitab, bagian dari 5 kitab Mitos Dunia yang dikumpulkan Empu Leksana. Aku menyimpannya di sebuah hutan..." Kata Adi Lungsang lirih, tapi semua orang bisa mendengarnya karena Adi Lungsang memasukan tenaga dalam di setiap kata yang diucapkannya. "Kalian akan berada dipuncak dunia persilatan jika memiliki kitab itu..." Kalimat Adi Lungsang terdengar mengambang dan tidak tuntas. Tapi setelah sekian lama kalimat dari Adi Lungsang tak kunjung berlanjut.
Semua orang yang mendengar apa yang dikatakan oleh Adi Lungsang terkejut bukan main. Bukankah kelima Kitab Mitos Dunia sudah hancur saat penyerangan di Padepokan Gigi Emas? Lagi pula sudah banyak pendekar yang menganggap kitab kitab itu benar-benar sebuah mitos belaka.
"Hanya itu senior?" tanya pendekar pemegang Golok Darah Menangis. Dia sangat yakin jika apa yang dikatakan oleh Adi Lungsang adalah bualan belaka. Mana ada Kitab yang sehebat itu?
"Kalian pikir aku akan banyak berbicara...?" timpal Adi Lungsang tanpa jeda.
Mendengar itu, salah satu pendekar melihat ke arah singgasana dan pria yang duduk diatas singgasana memberi tanda untuk segera melakukan eksekusi. Pendekar itu mengerti tanda yang diberikan oleh pria itu, dia memandang rekannya sebelum mengangguk sekali.
"Baiklah..." kata Pendekar Aatma yang membawa Golok Pemenggal. Dia mengangkat golok itu lebih tinggi dari kepalanya. Pendekar Aatma lainnya juga melakukan hal serupa. Dan kejapan mata selanjutnya, darah sudah mengucur dari leher Adi Lungsang yang sudah tanpa kepala.
Hal itu disambut dengan tangis oleh seluruh anggota padepokannya. Mereka tak rela ayah, kakek atau guru besar mereka wafat dengan cara demikian. Tapi mereka sadar, mereka tidak bisa berbuat banyak. Apa lagi dihadapan pria tua yang sedang menonton dari panggung kebesarannya.
Maharaja dari Kemaharajaan Jawadwipa, Maharaja Prabu Kertorasa. Dia adalah sang keji sebenarnya. Dengan segala siasat dia memfitnah jika Adi Lungsang adalah pengkhianat kerajaan.
Prabu Kertorasa baru naik tatah setahun yang lalu. Dia adalah adik dari raja sebelumnya, Prabu Jimbaran. Yang seharusnya dia tidak memiliki hak untuk duduk di singgasana, tetapi apa yang mau dikata? Anak dari Prabu Jimbaran belumlah dewasa.
Berbeda dengan kakaknya yang memerintah dengan damai, Prabu Kertorasa adalah diktator dalam kerajaannya. Sudah banyak sesepuh kuat yang dihabisinya. Kebanyakan adalah pendukung setia dari Prabu Jimbaran. Hal itu ia lakukan karena prinsipnya,"Bersihkan sampah sebelum itu mengganggumu".
"Wahai Rakyatku yang berbahagia. Hari ini seorang pengkhianat telah berhasil dihilangkan dari negri kita. Dengan ini, kedamaian berhasil kembali kujaga dan sekali aku mendapatkannya, tidak pernah kubiarkan sesuatu apapun mengusiknya!" kata Prabu Kertorasa dari singgasananya, "dan Adi Lungsang ada sesuatu yang mengganggu kedamaian kita dan aku sebagai Maharaja sudah berhasil menghilangkannya. Berbahagialah rakyatku!"
"Adi Lungsang adalah sebuah ancaman bagi seluruh kedamaian kita. Dia sangat berbahaya. Kalian tadi mendengarnya bukan? Dia mencoba membuat kalian para pendekar mencari dan saling berebut untuk kitab yang belum tentu kebenarannya itu! Dia ingin kalian terpecah belah dan saling bertarung! Kitab Mitos Dunia adalah bagian dari mitos itu sendiri! Berpegang teguhlah pada kedamaian kalian dan kalian akan tetap aman." Maharaja Prabu Kertorasa mengakhiri pidatonya. Memandang semua orang dengan senyum menjijikannya. Bahkan beberapa wanita mual dikarenakan senyum itu.
Selang beberapa lama setelah itu, Kertarasa bangkit dari singgasananya dan pergi meninggalkan area eksekusi dengan kereta kencananya.
Para pendekar dan rakyat biasa mulai meninggalkan area, kecuali anggota Padepokan Naga Geni. Mereka ingin membawa tubuh Patriark mereka kembali ke padepokan. Tapi, sepertinya itu akan sulit.
Enam Pendekar tingkat Adidaya menaiki panggung eksekusi, mereka bukan bagian dari Padepokan Naga Geni.
"Hei! Apa yang kalian lakukan!?" Teriak pendekar Tingkat Aatma dari pihak Padepokan Naga Geni kepada 6 orang pendekar di atas panggung.
"Apa yang kami lakukan?" salah satu dari enam pendekar itu bertanya balik dengan raut wajah heran, "tentu saja melenyapkan tubuh penghianat ini! Dan kalian," kata pendekar itu sambil menunjuk rombongan Padepokan Naga Geni,"sebaiknya tidak macam-macam jika tidak ingin Padepokan 'kecil' kalian menjadi sejarah!" Teriak pendekar itu lantang.
Telinga anggota Padepokan Naga Geni menjadi panas, tangan mereka terasa akan sangan ringan jika memukul kepala pendekar itu dengan tenaga dalam yang besar!
"Apa!? Tidak berani bukan?" kata pendekar Adidaya lainnya dengan nada mengejek, "Kalau begitu, jangan ganggu pekerjaan kami!"
Keenam pendekar itu mulai membopong tubuh Adi Lungsan yang sudah tak bernyawa, dan membawanya ke gundukan kayu yang sudah disiapkan. Tubuh Adi Lungsang yang sudah terbaring diatas tumpukan kayu dan obor api sudah dekat dengan kayu-kayu itu. Beberapa menit tetap dilokasinya, mereka pergi setelah yakin tubuh Adi Lungsan sudah terbakar separuhnya.
"Aku tidak bisa membiarkan kalian membawa tubuh Senior Adi Lungsang karena titah Maharaja, tapi beliau tidak mengatakan apa-apa tentang abunya," kata salah satu dari enam pendekar itu sebelum meninggalkan area kremasi,"Aku harap kalian mengerti."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Note :
Novel ini adalah karya pertamaku. Mohon bantu vote dan share ya :v
Sudah di revisi sebanyak 1 kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Lentera Jiwa
Jaman dulu ada kata, "Senior". Bukannya itu bahasa Inggris. Kenapa tidak pakai padanan kata yg lebih membutuhkan Nusantara???
2023-03-07
0
Mase Solo
maaf,,,,kalau jaman dulu dan cerita indo,,,mungkin kata senior/patriark/apalh itu,akn lbh bagus dengan nama indo,,,sxlg maaf
2021-02-24
0
🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️
utk karya pertama... tata bahasanya lumayan... nampaknya menarik..
2021-02-14
0