Malam di Kota Mojokerto terasa gelap, rumah-rumah terkunci tak berpenghuni. Jalanan tempat hiburan malam yang biasanya ramai, kini sepi. Kemana mereka semua? Apa kota ini telah ditinggalkan? Atau mungkin mereka hanya sudah tertidur?
Tentu saja tidak. Ada satu tempat yang penuh sesak, itu adalah Alun-alun kota. Hampir seluruh penduduk kota ada disini. Disana berdiri dua buah panggung. Satu panggung terlihat mewah ditempati oleh banyak orang dan terdapat singgasana dan satu lagi hanya ada tiga orang saja.
Di panggung yang terlihat mewah, ada seorang pria hampir sepuh dengan pakaian bangsawan kelas atas duduk di singgasana yang mengarah langsung ke panggung yang jauh lebih sederhana. Disampingnya ada dua orang gadis yang senantiasa menyuapi buah-buahan ke pria hampir sepuh itu. Dibelakangnya, ada beberapa orang dengan pakaian serupa namun terlihat lebih sederhana, tanpa mahkota seperti pria hampir sepuh yang dikelilingi gadis itu. Dan banyak prajurit mengenakan pelindung yang terbuat dari besi baja dengan tombak tajam mereka.
Di bagian bawah panggung, ada banyak manusia yang berkumpul. Kebanyakan dari mereka adalah pendekar yang mengabdi kepada pria sepuh di atas panggung itu.
Sang pria yang berpakaian bangsawan menatap lurus ke arah panggung di hadapannya.
Seorang pria sepuh sedang berlutut di atas panggung. Pakaiannya sangat lusuh, tangannya dipasung, dan di lehernya menyilang dua golok. Bukan golok sembarangan, itu adalah pusaka tingkat penguasa bumi. Satu golok bernama Golok Pemenggal dengan warna merah di mata goloknya dan hitam pekat di bagian tumpulnya. Satu lagi bernama Golok Api Menangis dengan warna sepenuhnya merah darah.
Masing-masing golok digenggam oleh pria yang lebih muda dari sang pria sepuh yang sedang berlutut.
Panggung ini adalah pusat perhatian dari keramaian ini.
Kehadiran dua golok pusaka penguasa bumi yang sudah memiliki nama mengerikan di telinga para pendekar karena kekuatannya dan pria sepuh yang terkenal dengan kekuatannya yang dapat mengendalikan api.
"Senior Adi Lungsang, apakah ada kata-kata terakhir untuk murid-murid padepokan dan keluargamu?" tanya salah seorang pemegang golok pusaka itu.
Adi Lungsang, pria sepuh yang sedang berlutut itu ditanyai wasiatnya. Dia seorang Pendekar tingkat Aatma dan sedikit lagi mencapai Moksa. Memimpin sebuah Padepokan di wilayah selatan Kadipaten Gendis Ireng, wilayah persemakmuran dari Kemaharajaan Jawadwipa. Disana dia menciptakan pendekar-pendekar hebat yang terkenal di dunia persilatan.
Adi lungsang sendiri berada dalam keadaan ini karena sebuah alasan konyol. Dan hanya Kemaharajaan yang bisa membuat seseorang dihukum mati karena sebuah alasan konyol. Padahal Adi lungsang sangat yakin, ini adalah cara Maharaja Prabu Kertarasa mengambil Saitti, istri keempatnya. Adi Lungsang sangat ingin mengumpati sang Maharaja dan menginjak-nginjak wajahnya yang hampir menyerupai siluman Celeng Alas itu. Tapi apa daya? Dia sebentar lagi akan mati.
Adi Lungsang hanya bisa tersenyum dan menerawang jauh kedepan karna apa yang ada di benaknya itu. Bukan untuk melihat sang maharaja yang panggungnya berdiri di depannya. Hanya saja, bersama terawangannya itu, dia dapat melihat keempat istri dan seluruh anak cucu dengan menantu-menantunya berdiri di barisan terdepan dari rombongan padepokannya. Senyumnya semakin melebar saat melihat anaknya yang paling bungsu sedang digendong oleh Saitti. Namun, semakin lama senyum itu berubah dari senyum ramah yang yang menyejukan hati menjadi senyum penuh penyesalan.
Di Belakang keluarganya, anggota Padepokan Naga Geni berdiri tegak. Mereka sangat ingin melakukan serangan dan menyelamatkan ketua sekte mereka. Tapi, itu hanya angan belaka. Ada orang yang sangat berbahaya disini dan lebih parahnya lagi, orang itu bisa menghancurkan padepokan mereka tanpa perlu melihat.
Dua Pendekar Aatma masih menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir Adi Lungsang. Mereka sangat yakin, pasti ada satu atau dua rahasia yang akan terungkap sebelum kematian tua bangka ini.
"... Sebuah kitab, bagian dari 5 kitab Mitos Dunia yang dikumpulkan Empu Leksana. Aku menyimpannya di sebuah hutan..." Kata Adi Lungsang lirih, tapi semua orang bisa mendengarnya karena Adi Lungsang memasukan tenaga dalam di setiap kata yang diucapkannya. "Kalian akan berada dipuncak dunia persilatan jika memiliki kitab itu..." Kalimat Adi Lungsang terdengar mengambang dan tidak tuntas. Tapi setelah sekian lama kalimat dari Adi Lungsang tak kunjung berlanjut.
Semua orang yang mendengar apa yang dikatakan oleh Adi Lungsang terkejut bukan main. Bukankah kelima Kitab Mitos Dunia sudah hancur saat penyerangan di Padepokan Gigi Emas? Lagi pula sudah banyak pendekar yang menganggap kitab kitab itu benar-benar sebuah mitos belaka.
"Hanya itu senior?" tanya pendekar pemegang Golok Darah Menangis. Dia sangat yakin jika apa yang dikatakan oleh Adi Lungsang adalah bualan belaka. Mana ada Kitab yang sehebat itu?
"Kalian pikir aku akan banyak berbicara...?" timpal Adi Lungsang tanpa jeda.
Mendengar itu, salah satu pendekar melihat ke arah singgasana dan pria yang duduk diatas singgasana memberi tanda untuk segera melakukan eksekusi. Pendekar itu mengerti tanda yang diberikan oleh pria itu, dia memandang rekannya sebelum mengangguk sekali.
"Baiklah..." kata Pendekar Aatma yang membawa Golok Pemenggal. Dia mengangkat golok itu lebih tinggi dari kepalanya. Pendekar Aatma lainnya juga melakukan hal serupa. Dan kejapan mata selanjutnya, darah sudah mengucur dari leher Adi Lungsang yang sudah tanpa kepala.
Hal itu disambut dengan tangis oleh seluruh anggota padepokannya. Mereka tak rela ayah, kakek atau guru besar mereka wafat dengan cara demikian. Tapi mereka sadar, mereka tidak bisa berbuat banyak. Apa lagi dihadapan pria tua yang sedang menonton dari panggung kebesarannya.
Maharaja dari Kemaharajaan Jawadwipa, Maharaja Prabu Kertorasa. Dia adalah sang keji sebenarnya. Dengan segala siasat dia memfitnah jika Adi Lungsang adalah pengkhianat kerajaan.
Prabu Kertorasa baru naik tatah setahun yang lalu. Dia adalah adik dari raja sebelumnya, Prabu Jimbaran. Yang seharusnya dia tidak memiliki hak untuk duduk di singgasana, tetapi apa yang mau dikata? Anak dari Prabu Jimbaran belumlah dewasa.
Berbeda dengan kakaknya yang memerintah dengan damai, Prabu Kertorasa adalah diktator dalam kerajaannya. Sudah banyak sesepuh kuat yang dihabisinya. Kebanyakan adalah pendukung setia dari Prabu Jimbaran. Hal itu ia lakukan karena prinsipnya,"Bersihkan sampah sebelum itu mengganggumu".
"Wahai Rakyatku yang berbahagia. Hari ini seorang pengkhianat telah berhasil dihilangkan dari negri kita. Dengan ini, kedamaian berhasil kembali kujaga dan sekali aku mendapatkannya, tidak pernah kubiarkan sesuatu apapun mengusiknya!" kata Prabu Kertorasa dari singgasananya, "dan Adi Lungsang ada sesuatu yang mengganggu kedamaian kita dan aku sebagai Maharaja sudah berhasil menghilangkannya. Berbahagialah rakyatku!"
"Adi Lungsang adalah sebuah ancaman bagi seluruh kedamaian kita. Dia sangat berbahaya. Kalian tadi mendengarnya bukan? Dia mencoba membuat kalian para pendekar mencari dan saling berebut untuk kitab yang belum tentu kebenarannya itu! Dia ingin kalian terpecah belah dan saling bertarung! Kitab Mitos Dunia adalah bagian dari mitos itu sendiri! Berpegang teguhlah pada kedamaian kalian dan kalian akan tetap aman." Maharaja Prabu Kertorasa mengakhiri pidatonya. Memandang semua orang dengan senyum menjijikannya. Bahkan beberapa wanita mual dikarenakan senyum itu.
Selang beberapa lama setelah itu, Kertarasa bangkit dari singgasananya dan pergi meninggalkan area eksekusi dengan kereta kencananya.
Para pendekar dan rakyat biasa mulai meninggalkan area, kecuali anggota Padepokan Naga Geni. Mereka ingin membawa tubuh Patriark mereka kembali ke padepokan. Tapi, sepertinya itu akan sulit.
Enam Pendekar tingkat Adidaya menaiki panggung eksekusi, mereka bukan bagian dari Padepokan Naga Geni.
"Hei! Apa yang kalian lakukan!?" Teriak pendekar Tingkat Aatma dari pihak Padepokan Naga Geni kepada 6 orang pendekar di atas panggung.
"Apa yang kami lakukan?" salah satu dari enam pendekar itu bertanya balik dengan raut wajah heran, "tentu saja melenyapkan tubuh penghianat ini! Dan kalian," kata pendekar itu sambil menunjuk rombongan Padepokan Naga Geni,"sebaiknya tidak macam-macam jika tidak ingin Padepokan 'kecil' kalian menjadi sejarah!" Teriak pendekar itu lantang.
Telinga anggota Padepokan Naga Geni menjadi panas, tangan mereka terasa akan sangan ringan jika memukul kepala pendekar itu dengan tenaga dalam yang besar!
"Apa!? Tidak berani bukan?" kata pendekar Adidaya lainnya dengan nada mengejek, "Kalau begitu, jangan ganggu pekerjaan kami!"
Keenam pendekar itu mulai membopong tubuh Adi Lungsan yang sudah tak bernyawa, dan membawanya ke gundukan kayu yang sudah disiapkan. Tubuh Adi Lungsang yang sudah terbaring diatas tumpukan kayu dan obor api sudah dekat dengan kayu-kayu itu. Beberapa menit tetap dilokasinya, mereka pergi setelah yakin tubuh Adi Lungsan sudah terbakar separuhnya.
"Aku tidak bisa membiarkan kalian membawa tubuh Senior Adi Lungsang karena titah Maharaja, tapi beliau tidak mengatakan apa-apa tentang abunya," kata salah satu dari enam pendekar itu sebelum meninggalkan area kremasi,"Aku harap kalian mengerti."
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Note :
Novel ini adalah karya pertamaku. Mohon bantu vote dan share ya :v
Sudah di revisi sebanyak 1 kali.
Hari berlalu. Dua purnama telah terlewati sejak terpenggalnya kepala Adi Lungsang dan ini purnama ketiga.
Sebuah kereta kencana mewah terlihat di sebuah desa.
Berada tepat di perbatasan antara Kadipaten Gendis Ireng dengan Kadipaten Hilir Puncak, membuat Desa Kulon Alas Demak menjadi persinggahan rombongan Legiman Cokroatmojo untuk singgah dalam keadaan darurat ini.
Sang istri yang sedang hamil tua yang ikut bersamanya tiba-tiba merasa akan melahirkan. Beruntung, Dewa masih memihak mereka, Desa Kulon Alas Demak berada di dekat mereka. Bersama 20 pengawal dan satu orang dayang pribadi Lastri, istri Legiman, mereka sampai di desa ini.
Satu diantara 20 pengawal Legiman dan Istrinya adalah seorang Senopati dari Kadipaten Gendis Ireng, Arya Sinkar. Dia juga seorang Pendekar Adidaya.
Tidak terlalu ramai, tapi sangat tidak bisa dipercaya jika desa ini memiliki seorang tabib wanita. Lastri langsung di bawa ke rumah tabib wanita itu bersama dayangnya, sedangkan Legiman pergi ke tempat kepala desa untuk menunjukkan identitas mereka. Sangat berbahaya jika penduduk menganggap rombongan Legiman dan pasukannya adalah sekelompok bandit.
Mereka akhirnya diterima tanpa kecurigaan setelah mengetahui asal mereka dari Keluarga Cokroatmojo. Beberapa penduduk juga menawarkan makanan dan merasa tidak enak menolak kebaikan mereka, Legiman dan pasukannya menerima pemberian dari penduduk itu.
Mereka mengobrol sambil menunggu persalinan Lastri rampung.
"Kangmas, apakah Mbakyu Lastri akan baik-baik saja?" Tanya Amita yang merupakan adik Legiman. Dia membawa adiknya juga karena merasa kasihan adiknya yang baru saja di tinggalati sahabatnya terus menerus murung.
Giman tersenyum, "tentu saja, kamu tidak tahu seberapa kuat Mbakyumu itu. Aku saja pernah babak belur olehnya." jawab Legiman dengan nada guyon.
Tetapi, dalam hati seorang suami yang sangat mencintai istrinya, tentu ditengah obrolan itu Legiman tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Apalagi jika mengingat istri kakaknya yang meninggal saat melahirkan, semakin membuat pria yang baru menginjak usia 20 tahun ini semakin cemas.
"Raden, Raden Ayu Lastri meminta anda untuk menemani persalinan."
***
Tangan Legiman digenggam erat oleh Lastri yang tengah berjuang. Napasnya cepat diperburuk dengan teriakan penuh kesakitan yang membuat udara terasa sangat sedikit disini.
"Berjuanglah Lastri, demi anak kita," kata Legiman dengan wajah yang cemas. Bayangan akan kematian istrinya terus terbayang-bayang di benaknya.
Kehilangan seseorang yang disayangi sangatlah menyakitkan, apalagi itu terjadi di depan mata, sangat tidak bisa dibayangkan betapa menyakitkannya itu.
Berulang kali dirinya mengatakan "itu hanya ilusi" untuk menguatkan hatinya dan membuat kepalanya berpikir jernih.
Waktu terus berlalu, sangat lambat dan menegangkan.
Cahaya kemerahan menerobos masuk melalui bilik bambu dan langit-langit yang berongga. Hari ini, sebuah hal yang sangat langka terjadi. Sebuah peristiwa yang mungkin hanya satu kali dalam umur manusia untuk menyaksikannya. Ini bukan tentang kelahiran bayi dari rahim yang belum pernah melahirkan, tapi ini tentang Bulan Purnama Berdarah.
Legenda mengatakan, jauh sebelum manusia terlahir, bumi sudah dihuni oleh makhluk lain. Bukan siluman. Mereka mirip manusia dengan 2 pasang lengan di tubuh mereka. Makhluk ini sangat bengis dan celakanya para dewa juga melaknat mereka.
Makhluk ini disebut Ashura.
Suatu ketika, di malam purnama yang terang. Salah seorang Ashura menantang dewa untuk nasib bangsanya. Jika ia kalah maka mereka akan tinggal di antara langit dan bumi, dan jika mereka menang, Kayangan adalah milik mereka.
Para dewa tertawa terbahak-bahak karena hal itu. Dan pemimpin Kahyangan, Dewa Indra sendiri yang menghadapi bangsa Ashura yang congkak itu.
Pertempuran terjadi selama ratusan tahun, separuh bumi lenyap karena hal ini dan hanya menyisakan 1/5 dari jumlah awal bangsa Ashura. Mereka kalah dan akhirnya meninggalkan bumi.
Konon, setiap 50 tahun sekali, salah seorang Ashura akan menantang dewa untuk memperebutkan hal yang sama. Dan disaat itulah Bulan Purnama Berdarah terjadi.
Ini adalah kisah dari brahmana di masa nenek moyang dan semua orang tahu hal ini. Pada saat yang sama pula, dipercayai jika bulan hilang saat Bulan Purnama Berdarah, maka itu adalah akhir dari umat manusia. Sebab itu pula, purnama ini juga di sebut-sebut sebagai, malam kebingungan atau malam merenung.
Satu teriakan panjang akhirnya terdengar dari rumah yang menjadi tempat bersalinnya Lastri. Suara tangis bayi terdengar setelah teriakan itu berakhir. Legiman sekarang menjadi seorang Ayah dan Lastri adalah ibunya.
Seorang bayi laki-laki terlahir dengan sehat dan sempurna. Tangis kencang bayi itu adalah bukti betapa sehatnya dia.
Legiman menerima bayinya yang telah dibersihkan dan menatap wajah bayinya dan Lastri bergantian. Wajah Legiman yang tampan sumringah saat melihat bayinya yang terlihat sangat mirip dengan dirinya.
Senyum bahagia Lastri juga terukir di wajah Ayu namun penuh kelelahan itu. Dia sangat bersyukur untuk kelahiran Bayinya itu.
Tetapi, teriakan terdengar di luar. Seorang pengawal juga menerobos masuk dengan tergesa-gesa. Pengawal itu langsung menatap Legiman dan terlihat jelas jika wajahnya penuh dengan kecemasan.
"Raden Legiman, kita diserang! Senopati Arya Sinkar sedang menahan mereka agar tidak menerobos masuk ke desa." katanya dengan tergesa-gesa.
Semua orang yang ada disana terkejut. Legiman lantas menyerahkan bayinya kepada Lastri.
"Tetap disini, aku akan segera kembali." kata Legiman.
Lastri dan yang lainnya tidak menjawab, hanya ada sebuah anggukan yang diberikan oleh Lastri yang mengiringi kepergian Legiman.
Disisi lain, Arya Sinkar sudah berhadapan dengan lebih dari 20 orang. Para pengawal Legiman juga ada disana, tetapi beberapa sudah terjatuh dengan banyak luka di tubuh mereka.
Cahaya merah dari Bulan Purnama Berdarah semakin memerahkan tanah yang sudah dipenuhi darah itu. Bau besi berkarat dan hangus juga tercium sangat menyengat.
Selang beberapa lama, sebuah kobaran api terlempar ke arah lawan dari Arya Sinkar. Itu membuat lawannya mati terpanggang hidup-hidup.
"Siapa mereka? Bandit?" tanya seseorang yang baru datang. Terlihat jika Api masih membakar telapak tangannya.
"Meski penampilan mereka terlihat berantakan, aku yakin jika mereka adalah anggota dari sebuah padepokan. Teknik yang mereka gunakan sama, mustahil bandit bisa memiliki teknik yang sama." jawab Arya Sinkar.
Sementara itu, akibat salah satu kawan mereka mati terbakar oleh api yang dilemparkan Legiman, sisa dari "bandit" itu perlahan mundur.
"Mau kemana kalian!" teriak Arya Sinkar namun dirinya kalah cepat dan kehilangan "bandit-bandit" itu di balik semak-semak.
Mereka semua mengira jika mereka telah menang, tetapi itu salah. 20-an orang tadi hanyalah pengintai. Masih ada puluhan lainnya yang sudah siap dengan anak panah mereka.
Mereka bersiaga di tengah hutan dan menunggu pasukan pengintai mereka kembali.
"Dia ada disana!" teriak seseorang yang berlari dari arah lokasi yang akan menerima hujan panah mereka.
Mereka menunggu pasukan pengintai mereka berada di titik aman dan...
"Tembak!"
"Slur!"
Puluhan anak panah meluncur bebas menuju Desa Kulon Alas Demak. Tapi itu tidak berhenti sampai disana. Gelombang kedua telah disiapkan dan mereka terus menghujani desa dengan anak panah sampai sepuluh ribu anak panah mereka habis.
***
Di desa, setelah kepergian bandit-bandit itu, para pengawal itu menjadi lengah. Tak ada yang menyangka jika akan ada hujan anak panah yang akan menghantam mereka.
Dan saat itu mereka sadar, jika yang menyerang mereka bukanlah bandit.
Mereka semua mencoba bertahan dari hujan ribuan anak panah itu dan mengarahkan warga untuk memasuki rumah dan melindungi kepala mereka dengan bejana.
Lastri sendiri di lindungi oleh dayang pribadinya dengan pelindung tak kasat mata. Tetapi, jika anak panah ini terus menghujani mereka, tidak ada yang yakin jika itu akan bertahan lama.
Lebih dari satu jam mereka terus bertahan. Desa benar-benar dihujani anak panah yang sangat banyak. Separuh dari penduduk juga menjadi korban.
"Giman! Jaga jarak dan bantu para wanita dan anak yang tersisa untuk melarikan diri!" kata seorang Arya Sinkar seraya mengeluarkan keris 5 luk dari sarungnya..
"Tapi, Pakde..."
"Jangan banyak bicara! Cepat lakukan!" kata Arya Sinkar tegas.
Giman hanya bisa pasrah dan melakukan apa yang diperintahkan Arya Sinkar. Sebenarnya dia juga khawatir dengan keadaan Lastri, istrinya yang baru saja melahirkan beberapa saat sebelum penyerangan terjadi. Dia berharap istrinya dapat melarikan diri atau mungkin bersama dengan para wanita yang akan dia bantu.
Tapi, rasa gelisahnya semakin menjadi karena tidak menemukan istrinya dalam rombongan wanita dan anak-anak yang dikawalnya itu. Dalam hati dia terus berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya yang bahkan belum sempat dia beri nama.
"Mas Giman, apakah kita akan selamat?" kata seorang gadis kepada Giman.
"Kamu tenang saja, para bandit itu menyerang dari utara desa kita, itu berlawanan dari arah kita." kata Giman menenangkan. Dia sendiri tidak yakin dengan katanya itu. Bisa jadi desa mereka sudah dikepung dari segala arah.
"Tapi Mbakyu Lastri masih di rumah itu." kata Amita cemas.
Legiman akhirnya ingat dimana istrinya. Dia ingin menyusul, tapi siapa yang akan menjaga para wanita ini? Amita mungkin seorang pendekar, tapi apa yang bisa dilakukan pendekar tingkat 2?
Dia berharap dayang istrinya dapat melindungi istri dan anaknya.
***
Selang beberapa lama setelah Giman berhasil meninggalkan desa, para "bandit" itu langsung menyerang Arya Sinkar dan menjadikan rumah dengan pelindung astral sebagai sasaran utama.
Arya Sinkar langsung berhadapan kembali dengan 20 musuh. Dirinya merasa tidak percaya diri dengan ini.
Sementar disisi lain, ada 10 bandit yangenyerang rumah yang menjadi tempat bersalin Lastri. Dengan mereka bersepuluh, penghalang astral itu hancur dengan mudahnya. Dayang pribadi lastri langsung menghadang mereka dan membiarkan lastri untuk lari bersama bayinya. Tapi sayangnya satu diantara 10 bandit itu berhasil lolos dan mengejar Lastri.
***
Lastri berhasil keluar desa dan dan memasuki hutan. Dia juga menyadari ada yang mengejarnya. Dan kemungkinan orang itu sendirian, karena Lastri hanya mendengar satu teriakan dengan suara yang samar beberapa kali.
Jelas Lastri tidak akan berhenti. Dia terus berlari dan berlari. Memasuki dalamnya hutan gelap yang sedikit diterangi oleh Bulan Purnama Berdarah. Suara lolongan serigala yang berulang kali terdengar tidak menyurutkan semangat Lastri meski dia sudah hampir mencapai batasnya. Dalam pikirannya hanya ada keselamatan bayi yang digendongnya.
Lastri tau jika ada seseorang yang membuntutinya jadi dia harus pergi lebih dalam lagi ke dalam hutan.
Wanita ini terus memaksa kaki jenjang yang selalu menjadi bahan pujian suaminya itu untuk terus berlari menjauh desa. Dia juga mendekap erat bayinya agar tidak terkena ranting-ranting pohon saat dirinya berlari.
Rasa sakit sehabis bersalin yadi benar-benar ia lupakan. Dia hanya terus berlari dan berlari dan tidak sadar jika ada sebuah akar yang mencuat di lintasan larinya.
"Ahk!!"
Teriak Lastri saat kakinya menendang sesuatu yang membuatnya terjatuh. Dengan reflek dia meringkuk untuk melindungi bayinya agar tidak terbentur keras.
"Owek! Owek! Owek!" bayinya menangis kencang karena terkejut dengan goncangan keras efek dari terjatuhnya orang yang menggendongnya.
"Habislah kau!" kata orang yang mengejar Lastri. Dia menyabetkan pedangnya dan tepat mengenai leher Lastri yang membuat luka gorok yang hampir memisahkan kepala Lastri dengan lehernya.
Seakan merasakan ibunya akan segera meninggalkannya selamanya, bayi yang berada di gendongan Lastri menangis semakin keras.
"Bersabarlah, kau akan segera menyusul ibumu, Bayi kecil." kata orang itu sambil membersihkan pedangnya sebelum meninggalkan tempat itu.
Note: Apakah kambing sudah ada di era Singosari?
Remake : 11.9.2k20
Hujan deras turun setelah Desa Hujan Selatan rata dengan bumi akibat kebaran dampak pertarungan. Mayat-mayat bertebaran dimana-mana bahkan ada satu mayat yang dalam keadaan sedang memeluk bayinya yang menagis kencang didalam hutan.
Lambat namun pasti, air mulai meninggi dan tak terasa setelah satu jam dengan hujan tak kunjung reda, banjir deras melanda hutan dibagian barat desa. Membuat mayat yang memeluk bayi itu mengapung dan terbawa arus. Namun anehnya, seakan masih dilindungi ibunya, bayi itu berada diatas mayat ibunya dan tubuhnya tidak terendam setetes pun air bahkan tetesan hujan pun seakan dihalang-halangi oleh dedaunan agar tidak mengenai sang bayi.
Banjir membawa mayat yang menjadi perahu untuk bayinya itu menuju sungai Benawan Solo dan mengapung mengikuti kemana hilir berada.
***
Pagi yang cerah di bantaran Benawan Solo. Sebuah gubuk sederhana berdiri ditepiannya. Gubuk itu tidak berlantai tanah tapi dibuat seperti panggung. Bukan tanpa alasan, ini karena ketika hujan dareah bantaran memang rawan banjir.
Sepasang suami istri duduk didepan teras. Tadinya mereka ingin pergi ke kebun mereka tapi tidak jadi karna banjir yang menghalangi jalan.
"Adinda, apa dirimu melihat itu?apakah itu seekor buaya yang ditumpangi seorang bayi?" kata sang suami.
"Kangmas Abimana, sepertinya yang ditunggangi bayi itu bukan buaya, mana mungkin buaya memakai pakaian." kata sang istri.
Abimana yang mendengar itu memilih untuk menaiki sampan kecil yang sudah mengapung disamping rumah mereka dan mulai mengayuh sampan itu setelah ikatannya terlepas. Dia mendekati bayi yang jaraknya masih cukup jauh dari gubuk panggungnya.
Sebenarnya dia adalah seorang pendekar Aatma yang sudah belajar ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi. Tapi karna suatu alasan dia tidak bisa memakainya. Abimana terkena racun yang berasal dari tanaman Padi Manis. Tanaman mirip padi yang biasa ditanam oleh petani tapi padi ini memiliki 7 tujuh warna yang berbeda.
Racun dari Padi Manis akan membuat korbannya kehilangan seluruh tenaga dalamnya dan apa bila korban adalah laki-laki, maka laki-laki itu akan kehilangan martabatnya sebagai pria dan tidak akan pernah memiliki keturunan. Ini membuat kondisi tubuh Abimana hanya sedikit lebih baik dari pria biasa kebanyakan.
Semakin dekat jarak antara sampan yang dinaiki Abimana dengan sesuatu yang ditumpangi bayi itu, semakin jelas pula wujud sesuatu yang bayi itu tumpangi. "Adinda! Cepat kemari!" Teriak Abimana dari atas sampannya.
Mendengar teriakan dari suaminya, sang istri segera menglirkan tenaga dalam ke kakinya, "apalagi yang kangmas temukan hari ini?" katanya seraya berjalan santai diatas air.
Jika wanita ini melakukan itu di tempat yang ramai, pasti akan sangat banyak orang yang akan terkejut. Sebab untuk melakukan hal tersebut, dibutuhkan tenaga dalam yang besar dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
"Ah! Kau lambat sekali! Cepat kemari!" teriak Abimana setelah melihat istrinya yang berjalan santai kearahnya.
"Kenapa harus terburu-buru? Kita bahkan punya waktu seumur hidup ditempat ini!" balas sang istri sedikit berteriak. "Sebenarnya apa yang kau dapatkan dar-"
Kalimatnya terpotong saat melihat tunggangan sang bayi. Mayat seorang wanita. "Mungkin ini ibunya. Apa kau juga berbikr demikian, Maya? " kata Abimana.
"Aku rasa... Kamu benar, Kangmas" kata Maya, nama dari istri Abimana.
Bayi yang terdidur pulas dengan menyedot jari jempolnya sendiri, warna kulit dari bayi itu masih merah merona dan saat Maya memegangnya, kulitnya masih hangat dan halus. Ini membuat Maya terkejut, tidak seberti seseorang yang berendam didalam air. Apalagi Maya merasakan bayi ini memiliki tenaga dalam yang menandakan dantian bayi ini sudah terbuka.
"Dantiannya sudah terbuka!" kata Maya setengah berteriak.
Mendengar perkataan istrinya, Abimana hanya bisa melebarkan matanya. "Ini adalah berkah adinda! Kita selalu meminta anak yang berbakat dan jari ini Dewa tidak mengijinkan kita kekebun agar bisa menyelamatkan bayi ini!" Katanya dengan raut wajah yang begitu bergembira.
Sejak mereka menikah, mereka belum mendapatkan kesempatan untuk mendengar tangisan bayi dirumah mereka, karena racun padi manis sudah terserap ditubuh Abimana sebelum mereka menikah.
"Tapi, Kangmas. Bagaimana dengan tubuh wanita ini?" tanya Maya kedapa suaminya. Dia menatap kasihan kepada bayi yang ada dalam gendongannya. Masih kecil, tapi sudah ditinggal ibunya.
"Aku akan memguburkanya." Maya yang larut dengan pikirannya tidak sadar saat suaminya sudah menaikan tubuh mayat wanita keatas sampannya. "Sepertinya dia dibunuh. Kepalanya hilang. Kenapa aku baru sadar?"
"Coba kangmas periksa, aiapa tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan acuan identitas dari wanita ini." Maya memberi saran. Karna dilihat dari pakaiannya sepertinya wanita ini seorang bangsawan atau anggota keluarga dari saudagar kaya. Yang menandakan wanita ini memiliki medali atau sesuatu yang bisa dijadikan identitas.
"Mungkin ini bisa membantu anak ini dimasa depan," kata Abimana sambil memegang kaling dengan liontin perak berukir kuda bersayap. "Ini seperti tanda pengenal dari Padepokan Lembah Siluman dan sepertinya dia dari paviliun kuda terbang."
"Sini berikan kepadaku, biar aku yang menyimpannya." kata Maya seraya merebut kalung itu dari tangan suaminya dan berlari menuju gubuk.
Abimana yang melihat tingkah laku istrinya hanya bisa menggelengkan kepala. Setelah itu dia kembali mengayuh sampannya ke arah tepian untuk mencapai daratan yang tidak terendam banjir.
"Hah... Aku lupa mengambil alat menggali," kata Abimana lemas dan memilih dayungnya untuk menggali sebuah lubang.
Cukup lama waktu yang dibutuhkan Abimana untuk membuat lubang yang dirasa cukup untuk mencegah hewan buas atau pun siluman memakan jasad wanita itu. Dan sekali lagi dia berusaha keras untuk menguburkan mayat itu. Seandainya praktinya tidak hilang, mungkin Abimana hanya perlu 1 menit untuk mengali dan menguburkan mayat wanita ini.
Sementara di gubuk, Maya dengan senyum merekah terus mengalirkan tenaga dalam kebayi yang digendongnya. Sungguh beruntung memang bayi itu terlahir dengan dantian yang terbuka, sehingga membuat Maya tidak perlu pusing dengan susu yang seharusnya bayi itu minum. Karna tenaga dalam adalah nutrisi terbaik untuk pendekar.
"Sebenarnya, apa yang terjadi kepadamu bayi kecil?" Maya melirik liontin ditangannya. Disana jelas jika anak ini memiliki hubungan dengan Padepokan Lembah Siluman. Sebuah Padepokan besar aliran netral yang berada di Kadipaten Londo.
"Hauh... Adinda ambilkan kangmasmu ini air!" teriakan terdengar dari depan gubuk. Sepertinya Abimana baru saja kembali setelah menguburkan mayat wanita itu. "Sepertinya anak itu juga memiliki hubungan dengan keluarga Cokroatmojo." kata Abimana menunjukkan sebuah medali bundar dengan ukiran matahari dan ditengahnya terdapat sebuah tombak.
"Sepertinya Kangmas benar, aku pernah melihatnya sekali saat ke kota Mojokerto dulu."
Dan terjadilah pembahasan panjang tentang asal-usul dari bayi yang sedang dalam gendongan Maya. Mereka melakukannya sampai matahari hampir tenggelam dan mungkin sampai gelap gulita jika sang bayi tidak menangis.
"Sepertinya kita tunda dulu tentang asal usul bayi ini. Menurut adinda siapa nama yang cocok untuk bayi ini?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!