Hari berlalu. Dua purnama telah terlewati sejak terpenggalnya kepala Adi Lungsang dan ini purnama ketiga.
Sebuah kereta kencana mewah terlihat di sebuah desa.
Berada tepat di perbatasan antara Kadipaten Gendis Ireng dengan Kadipaten Hilir Puncak, membuat Desa Kulon Alas Demak menjadi persinggahan rombongan Legiman Cokroatmojo untuk singgah dalam keadaan darurat ini.
Sang istri yang sedang hamil tua yang ikut bersamanya tiba-tiba merasa akan melahirkan. Beruntung, Dewa masih memihak mereka, Desa Kulon Alas Demak berada di dekat mereka. Bersama 20 pengawal dan satu orang dayang pribadi Lastri, istri Legiman, mereka sampai di desa ini.
Satu diantara 20 pengawal Legiman dan Istrinya adalah seorang Senopati dari Kadipaten Gendis Ireng, Arya Sinkar. Dia juga seorang Pendekar Adidaya.
Tidak terlalu ramai, tapi sangat tidak bisa dipercaya jika desa ini memiliki seorang tabib wanita. Lastri langsung di bawa ke rumah tabib wanita itu bersama dayangnya, sedangkan Legiman pergi ke tempat kepala desa untuk menunjukkan identitas mereka. Sangat berbahaya jika penduduk menganggap rombongan Legiman dan pasukannya adalah sekelompok bandit.
Mereka akhirnya diterima tanpa kecurigaan setelah mengetahui asal mereka dari Keluarga Cokroatmojo. Beberapa penduduk juga menawarkan makanan dan merasa tidak enak menolak kebaikan mereka, Legiman dan pasukannya menerima pemberian dari penduduk itu.
Mereka mengobrol sambil menunggu persalinan Lastri rampung.
"Kangmas, apakah Mbakyu Lastri akan baik-baik saja?" Tanya Amita yang merupakan adik Legiman. Dia membawa adiknya juga karena merasa kasihan adiknya yang baru saja di tinggalati sahabatnya terus menerus murung.
Giman tersenyum, "tentu saja, kamu tidak tahu seberapa kuat Mbakyumu itu. Aku saja pernah babak belur olehnya." jawab Legiman dengan nada guyon.
Tetapi, dalam hati seorang suami yang sangat mencintai istrinya, tentu ditengah obrolan itu Legiman tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Apalagi jika mengingat istri kakaknya yang meninggal saat melahirkan, semakin membuat pria yang baru menginjak usia 20 tahun ini semakin cemas.
"Raden, Raden Ayu Lastri meminta anda untuk menemani persalinan."
***
Tangan Legiman digenggam erat oleh Lastri yang tengah berjuang. Napasnya cepat diperburuk dengan teriakan penuh kesakitan yang membuat udara terasa sangat sedikit disini.
"Berjuanglah Lastri, demi anak kita," kata Legiman dengan wajah yang cemas. Bayangan akan kematian istrinya terus terbayang-bayang di benaknya.
Kehilangan seseorang yang disayangi sangatlah menyakitkan, apalagi itu terjadi di depan mata, sangat tidak bisa dibayangkan betapa menyakitkannya itu.
Berulang kali dirinya mengatakan "itu hanya ilusi" untuk menguatkan hatinya dan membuat kepalanya berpikir jernih.
Waktu terus berlalu, sangat lambat dan menegangkan.
Cahaya kemerahan menerobos masuk melalui bilik bambu dan langit-langit yang berongga. Hari ini, sebuah hal yang sangat langka terjadi. Sebuah peristiwa yang mungkin hanya satu kali dalam umur manusia untuk menyaksikannya. Ini bukan tentang kelahiran bayi dari rahim yang belum pernah melahirkan, tapi ini tentang Bulan Purnama Berdarah.
Legenda mengatakan, jauh sebelum manusia terlahir, bumi sudah dihuni oleh makhluk lain. Bukan siluman. Mereka mirip manusia dengan 2 pasang lengan di tubuh mereka. Makhluk ini sangat bengis dan celakanya para dewa juga melaknat mereka.
Makhluk ini disebut Ashura.
Suatu ketika, di malam purnama yang terang. Salah seorang Ashura menantang dewa untuk nasib bangsanya. Jika ia kalah maka mereka akan tinggal di antara langit dan bumi, dan jika mereka menang, Kayangan adalah milik mereka.
Para dewa tertawa terbahak-bahak karena hal itu. Dan pemimpin Kahyangan, Dewa Indra sendiri yang menghadapi bangsa Ashura yang congkak itu.
Pertempuran terjadi selama ratusan tahun, separuh bumi lenyap karena hal ini dan hanya menyisakan 1/5 dari jumlah awal bangsa Ashura. Mereka kalah dan akhirnya meninggalkan bumi.
Konon, setiap 50 tahun sekali, salah seorang Ashura akan menantang dewa untuk memperebutkan hal yang sama. Dan disaat itulah Bulan Purnama Berdarah terjadi.
Ini adalah kisah dari brahmana di masa nenek moyang dan semua orang tahu hal ini. Pada saat yang sama pula, dipercayai jika bulan hilang saat Bulan Purnama Berdarah, maka itu adalah akhir dari umat manusia. Sebab itu pula, purnama ini juga di sebut-sebut sebagai, malam kebingungan atau malam merenung.
Satu teriakan panjang akhirnya terdengar dari rumah yang menjadi tempat bersalinnya Lastri. Suara tangis bayi terdengar setelah teriakan itu berakhir. Legiman sekarang menjadi seorang Ayah dan Lastri adalah ibunya.
Seorang bayi laki-laki terlahir dengan sehat dan sempurna. Tangis kencang bayi itu adalah bukti betapa sehatnya dia.
Legiman menerima bayinya yang telah dibersihkan dan menatap wajah bayinya dan Lastri bergantian. Wajah Legiman yang tampan sumringah saat melihat bayinya yang terlihat sangat mirip dengan dirinya.
Senyum bahagia Lastri juga terukir di wajah Ayu namun penuh kelelahan itu. Dia sangat bersyukur untuk kelahiran Bayinya itu.
Tetapi, teriakan terdengar di luar. Seorang pengawal juga menerobos masuk dengan tergesa-gesa. Pengawal itu langsung menatap Legiman dan terlihat jelas jika wajahnya penuh dengan kecemasan.
"Raden Legiman, kita diserang! Senopati Arya Sinkar sedang menahan mereka agar tidak menerobos masuk ke desa." katanya dengan tergesa-gesa.
Semua orang yang ada disana terkejut. Legiman lantas menyerahkan bayinya kepada Lastri.
"Tetap disini, aku akan segera kembali." kata Legiman.
Lastri dan yang lainnya tidak menjawab, hanya ada sebuah anggukan yang diberikan oleh Lastri yang mengiringi kepergian Legiman.
Disisi lain, Arya Sinkar sudah berhadapan dengan lebih dari 20 orang. Para pengawal Legiman juga ada disana, tetapi beberapa sudah terjatuh dengan banyak luka di tubuh mereka.
Cahaya merah dari Bulan Purnama Berdarah semakin memerahkan tanah yang sudah dipenuhi darah itu. Bau besi berkarat dan hangus juga tercium sangat menyengat.
Selang beberapa lama, sebuah kobaran api terlempar ke arah lawan dari Arya Sinkar. Itu membuat lawannya mati terpanggang hidup-hidup.
"Siapa mereka? Bandit?" tanya seseorang yang baru datang. Terlihat jika Api masih membakar telapak tangannya.
"Meski penampilan mereka terlihat berantakan, aku yakin jika mereka adalah anggota dari sebuah padepokan. Teknik yang mereka gunakan sama, mustahil bandit bisa memiliki teknik yang sama." jawab Arya Sinkar.
Sementara itu, akibat salah satu kawan mereka mati terbakar oleh api yang dilemparkan Legiman, sisa dari "bandit" itu perlahan mundur.
"Mau kemana kalian!" teriak Arya Sinkar namun dirinya kalah cepat dan kehilangan "bandit-bandit" itu di balik semak-semak.
Mereka semua mengira jika mereka telah menang, tetapi itu salah. 20-an orang tadi hanyalah pengintai. Masih ada puluhan lainnya yang sudah siap dengan anak panah mereka.
Mereka bersiaga di tengah hutan dan menunggu pasukan pengintai mereka kembali.
"Dia ada disana!" teriak seseorang yang berlari dari arah lokasi yang akan menerima hujan panah mereka.
Mereka menunggu pasukan pengintai mereka berada di titik aman dan...
"Tembak!"
"Slur!"
Puluhan anak panah meluncur bebas menuju Desa Kulon Alas Demak. Tapi itu tidak berhenti sampai disana. Gelombang kedua telah disiapkan dan mereka terus menghujani desa dengan anak panah sampai sepuluh ribu anak panah mereka habis.
***
Di desa, setelah kepergian bandit-bandit itu, para pengawal itu menjadi lengah. Tak ada yang menyangka jika akan ada hujan anak panah yang akan menghantam mereka.
Dan saat itu mereka sadar, jika yang menyerang mereka bukanlah bandit.
Mereka semua mencoba bertahan dari hujan ribuan anak panah itu dan mengarahkan warga untuk memasuki rumah dan melindungi kepala mereka dengan bejana.
Lastri sendiri di lindungi oleh dayang pribadinya dengan pelindung tak kasat mata. Tetapi, jika anak panah ini terus menghujani mereka, tidak ada yang yakin jika itu akan bertahan lama.
Lebih dari satu jam mereka terus bertahan. Desa benar-benar dihujani anak panah yang sangat banyak. Separuh dari penduduk juga menjadi korban.
"Giman! Jaga jarak dan bantu para wanita dan anak yang tersisa untuk melarikan diri!" kata seorang Arya Sinkar seraya mengeluarkan keris 5 luk dari sarungnya..
"Tapi, Pakde..."
"Jangan banyak bicara! Cepat lakukan!" kata Arya Sinkar tegas.
Giman hanya bisa pasrah dan melakukan apa yang diperintahkan Arya Sinkar. Sebenarnya dia juga khawatir dengan keadaan Lastri, istrinya yang baru saja melahirkan beberapa saat sebelum penyerangan terjadi. Dia berharap istrinya dapat melarikan diri atau mungkin bersama dengan para wanita yang akan dia bantu.
Tapi, rasa gelisahnya semakin menjadi karena tidak menemukan istrinya dalam rombongan wanita dan anak-anak yang dikawalnya itu. Dalam hati dia terus berdoa untuk keselamatan istri dan anaknya yang bahkan belum sempat dia beri nama.
"Mas Giman, apakah kita akan selamat?" kata seorang gadis kepada Giman.
"Kamu tenang saja, para bandit itu menyerang dari utara desa kita, itu berlawanan dari arah kita." kata Giman menenangkan. Dia sendiri tidak yakin dengan katanya itu. Bisa jadi desa mereka sudah dikepung dari segala arah.
"Tapi Mbakyu Lastri masih di rumah itu." kata Amita cemas.
Legiman akhirnya ingat dimana istrinya. Dia ingin menyusul, tapi siapa yang akan menjaga para wanita ini? Amita mungkin seorang pendekar, tapi apa yang bisa dilakukan pendekar tingkat 2?
Dia berharap dayang istrinya dapat melindungi istri dan anaknya.
***
Selang beberapa lama setelah Giman berhasil meninggalkan desa, para "bandit" itu langsung menyerang Arya Sinkar dan menjadikan rumah dengan pelindung astral sebagai sasaran utama.
Arya Sinkar langsung berhadapan kembali dengan 20 musuh. Dirinya merasa tidak percaya diri dengan ini.
Sementar disisi lain, ada 10 bandit yangenyerang rumah yang menjadi tempat bersalin Lastri. Dengan mereka bersepuluh, penghalang astral itu hancur dengan mudahnya. Dayang pribadi lastri langsung menghadang mereka dan membiarkan lastri untuk lari bersama bayinya. Tapi sayangnya satu diantara 10 bandit itu berhasil lolos dan mengejar Lastri.
***
Lastri berhasil keluar desa dan dan memasuki hutan. Dia juga menyadari ada yang mengejarnya. Dan kemungkinan orang itu sendirian, karena Lastri hanya mendengar satu teriakan dengan suara yang samar beberapa kali.
Jelas Lastri tidak akan berhenti. Dia terus berlari dan berlari. Memasuki dalamnya hutan gelap yang sedikit diterangi oleh Bulan Purnama Berdarah. Suara lolongan serigala yang berulang kali terdengar tidak menyurutkan semangat Lastri meski dia sudah hampir mencapai batasnya. Dalam pikirannya hanya ada keselamatan bayi yang digendongnya.
Lastri tau jika ada seseorang yang membuntutinya jadi dia harus pergi lebih dalam lagi ke dalam hutan.
Wanita ini terus memaksa kaki jenjang yang selalu menjadi bahan pujian suaminya itu untuk terus berlari menjauh desa. Dia juga mendekap erat bayinya agar tidak terkena ranting-ranting pohon saat dirinya berlari.
Rasa sakit sehabis bersalin yadi benar-benar ia lupakan. Dia hanya terus berlari dan berlari dan tidak sadar jika ada sebuah akar yang mencuat di lintasan larinya.
"Ahk!!"
Teriak Lastri saat kakinya menendang sesuatu yang membuatnya terjatuh. Dengan reflek dia meringkuk untuk melindungi bayinya agar tidak terbentur keras.
"Owek! Owek! Owek!" bayinya menangis kencang karena terkejut dengan goncangan keras efek dari terjatuhnya orang yang menggendongnya.
"Habislah kau!" kata orang yang mengejar Lastri. Dia menyabetkan pedangnya dan tepat mengenai leher Lastri yang membuat luka gorok yang hampir memisahkan kepala Lastri dengan lehernya.
Seakan merasakan ibunya akan segera meninggalkannya selamanya, bayi yang berada di gendongan Lastri menangis semakin keras.
"Bersabarlah, kau akan segera menyusul ibumu, Bayi kecil." kata orang itu sambil membersihkan pedangnya sebelum meninggalkan tempat itu.
Note: Apakah kambing sudah ada di era Singosari?
Remake : 11.9.2k20
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Gadis Mafia
Thor kakak wijaya headsetnya error, maafkan dia belum bisa dubbing dulu, mungkin besok atau lusa
2020-09-15
0
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
Mantaaab ngikutin lg ☕
2020-09-13
1
👑 ᴀʟɪᴀ💣
mantap thor ceritanya mendetail
2020-09-12
1