Istri Ke-Dua Tuan Muda Arogan
Sepasang kaki jenjang membawa tubuh gagah berbalut jas kerja menapaki koridor kantor. Sesaat, kaki itu memaku di depan pintu ruangan, disusul sebuah helaan napas berat, seolah tengah menyiapkan diri untuk menerima segala kemungkinan yang tak mengenakan hati.
Entah mengapa, perasaan tidak nyaman terus mengusik pria tampan berdarah Indonesia-Inggris itu. Tidak seperti biasanya, sang Daddy meminta ia untuk datang menemuinya setelah sekian lama.
Bukankah Daddy membenciku? Dia bahkan enggan menatap mukaku meski barang sedetik. Apakah aku kembali melakukan kesalahan besar hingga ia menyuruhku datang? Bisik hati kecilnya yang sedang resah.
Suasana hati itu sungguh kontras jika dilekatkan pada diri Axton Sanders yang terkenal dengan julukan pebisnis berdarah dingin. Ditambah lagi tingkat kearogansian yang melangit, seolah sudah menjadi paket lengkap tak terbantahkan. Sudah lebih dari sepuluh perusahaan dibuatnya gulung tikar. Bahkan beberapa perusahaan besar mampu ia akuisisi dengan sekali kedipan mata. Berbagai prestasi tersemat cantik pada diri Axton. Semua itu ia raih hanya demi mendapatkan sebuah pengakuan dari sang Ayah.
Dirasa sedikit ketenangan sudah ia raup, tangan dibawanya mendorong handle pintu, lanjut mengajak kaki masuk ke ruangan di mana seorang Edrich Sanders tengah duduk di kursi kebesarannya.
“Daddy?”
Mendapati kedatangan Axton, pria paruh baya itu seketika menjeda atensi dari komputernya. “Duduk,” titahnya, tiada kehangatan yang terpancar bahkan suara dan tatapannya terkesan sangat dingin. Tak tampak aura cinta dari Ayah untuk sang putra.
Patuh, Axton menggiring tubuhnya untuk menduduki kursi empuk yang terletak di seberang meja kerja Edrich. Lanjut melabuhkan tatapan penuh perhatian kepada pria paruh baya yang memiliki ketampanan yang tidak beda jauh dengannya. “Bagaimana kesehatan Daddy?”
“Menikahlah dengan Naora.” Edrich langsung melontarkan maksud dari tujuannya meminta Axton untuk menemuinya. Tak mengindahkan sebuah pertanyaan sebentuk perhatian dari sang putra yang dianggap tak perlu untuk dijawab.
Mimik muka lembutnya untuk sang Daddy seketika sirna, tergantikan oleh garis-garis di antara kedua alis yang menukik. Axton, pria tampan itu terperangah. Apakah ini jawaban dari keresahannya sedari tadi?
“Apa Daddy sedang bercanda? Aku tidak mungkin menikahi putri kesayanganmu itu,” balas Axton, diselingi sebuah sindiran halus.
Naora, mendengar namanya saja sudah membuat letupan kebencian berdesir hebat pada diri Axton. Iya, pria tampan itu sangat membenci putri angkat sang Daddy. Hanya karena demi membalas budi, Edrich memperlakukan Naora selayaknya putri kerajaan.
Sementara Axton sendiri, bisa dikatakan ia hampir lupa bagaimana rasa kasih sayang dari seorang Edrich karena memang sudah lama ia tidak lagi mendapatkan perlakuan hangat tersebut.
Apakah itu adil? Jelas-jelas Axton adalah satu-satunya darah daging Edrich. Namun, bukan dia yang disayang, melainkan Naora.
Di saat Naora bisa tinggal bersama Edrich, Axton justru harus tinggal terpisah dengan Edrich dan hidup bersama seorang pengasuh dan para pelayan semenjak ia menginjak usia 9 tahun.
Axton bahkan tidak tahu, jasa besar apa yang sudah diberikan oleh kedua orang tua Naora kepada keluarga Sanders karena Edrich tidak pernah terbuka akan hal itu. Lagi pula bagaimana bisa saling terbuka kalau aksi saling sapa saja sangat langka di antara mereka.
“Apa aku terlihat sedang bercanda? Tujuh hari lagi, pernikahan kalian akan berlangsung.”
“Tapi Dad,” kalimat Axton terputus.
“Aku tidak pernah memintamu melakukan sesuatu untukku selama ini bukan?” pangkas Edrich. Memberi sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang ditekannya dalam-dalam, tak menerima sebuah penolakan apa pun.
Helaan napas berat terdengar samar, membenarkan perkataan sang Daddy. Sudah sekian lama, ini memang kali pertama bagi Edrich menyuarakan permintaannya kepada Axton. Setelah peristiwa kematian sang Mommy, pria muda itu seolah dianggap tak lebih dari makhluk tak kasat mata oleh Ayahnya sendiri selama ini.
Harusnya Axton senang, sepatutnya dia berbahagia karena keberadaannya ternyata masih dibutuhkan dan dianggap ada. Akan tetapi, kenyataannya tak seindah hati yang berharap.
“Apa tujuan Daddy menikahkan kami karena ingin membalas budi terhadap si benalu itu lagi?”
“Aku yakin, kau sudah tahu jawabannya. Kau bisa meninggalkan ruangan ini sekarang.” Edrich tampak kembali melanjutkan pekerjaannya. Mengacuhkan mimik kecewa Axton.
Suasana hening sesaat. Edrich sibuk dengan berkas-berkas kerjanya, sedangkan Axton masih memaku, tercenung dengan pikirannya. Bagaimana aku bisa menikahi wanita lain sementara ada Lana yang sangat aku cintai? Aku tidak ingin menyakitinya, batin Axton.
Menyadari kegamangan Axton, Edrich kembali menaruh perhatiannya meski mata tak lepas dari layar laptop di depannya. “Kekasihmu itu sudah menyetujui pernikahanmu dengan Naora.” Ucapan Edrich sukses menarik Axton dari lamunannya.
“Jauhi wanita itu, karena kewajibanmu membahagiakan Naora,” sambungnya kembali yang memang terkesan egois. Tanpa menunggu tanggapan dari Axton, seakan ucapannya itu adalah sebuah titah mutlak.
“Apa?! Lana pasti terluka hatinya. Bagaimana bisa Daddy melakukan itu tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepadaku?” protes Axton.
“Karena aku tidak membutuhkannya,” sela Edrich yang masih berjibaku pada tombol-tombol keyboard.
Axton tersenyum pahit. Dia hampir lupa bahwa Edrich memang tidak pernah ingin tahu tentang perasaannya. Menjadi seorang putra yang tak dianggap adalah posisi yang harus ia telan bulat-bulat selama ini. “Baiklah, jika itu kemauan Daddy. Aku akan menikahinya,” ucapnya, memilih menuruti permintaan, bukan! Bukan permintaan, lebih tepatnya sebuah titah mutlak yang harus dilaksanakan.
“Pergilah,” perintah Edrich. Bahkan tidak ada sebentuk apresiasi yang diberikan ketika Axton memilih mematuhi perintahnya.
Tersemat tatapan sendu di muka Axton. Sungguh, ingin sekali ia menyerukan segala isi hatinya yang selama ini dipendam. “Daddy, apakah kau belum bisa memaafkanku? Waktu itu aku tidak berniat melakukannya. Aku tidak sengaja.”
Edrich sempat tertegun, namun gegas ia kikis perasaan itu dengan sikap dingin bak gunung es di Antartika. “Apa kau tidak mendengar perintahku? Pergilah! Persiapkan dirimu untuk pernikahan minggu depan.”
Jarum jam terus berputar pada porosnya, hari pun terus bergilir. Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh kerabat dekat dan keluarga, tengah berlangsung di kediaman Sanders. Atas permintaan Naora, acara memang dirancang sesederhana mungkin. Dia cukup tahu diri akan posisinya di keluarga Sanders. Kendati Edrich sangat menyayanginya namun bukan berarti wanita cantik berparas cantik bak Barbie itu membiarkan dirinya lupa akan statusnya yang tak lebih dari putri angkat.
Naora sudah menyandang status yatim piatu semenjak ia menginjak usia 6 tahun. Ayahnya meninggal karena penyakit jantung, selang enam bulan kepergian sang Ayah, sang Ibu meninggal dalam insiden kecelakaan beruntun. Di saat ia tidak memiliki siapa-siapa lagi, Edrich datang mengulurkan tangan penuh kasih sayang. Merawatnya seperti putri kandungnya sendiri.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Naora kepada Axton yang sedari tadi tak banyak bicara. Ia sangat menyadari sikap dingin Axton yang ditunjukkan kepadanya, bahkan tidak ada sedikit pun ulasan senyum di bibirnya. Namun sekeras mungkin ia mencoba berpikiran positif. Mungkin pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu sedang tidak enak badan. Begitu batinnya.
“Hm,” balas Axton yang hanya menyerupai dengungan lebah tanpa berpaling ke arah Naora. Dia bahkan tampak tak tertarik meski pengantin wanitanya itu terlihat sangat cantik dengan sapuan make up flawless di mukanya serta balutan gaun pengantin di tubuhnya.
“Bisakah kau tersenyum sedikit saja?”
Axton melirik sekilas ke Naora lalu beralih ke arah penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangannya. Sebenarnya dia merasa tidak tenang. Bayangan Lana terus memenuhi pikirannya. "Lana, maafkan aku," gumamnya di dalam hati.
Sementara Naora, diam-diam menghela napas panjang. Dia sangat dingin. Apa dia tidak menyukai pernikahan ini? kesah batinnya.
Terlihat jelas, Axton tidak ingin berlama-lama berada di kediaman Sanders. Segera menemui Lana, itulah keinginannya sekarang. Setelah acara selesai ia langsung membawa Naora pergi menuju ke kediaman pribadinya.
“Bisakah kau mengurangi kecepatannya?” pinta Naora, dirundung ketegangan karena Axton mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi.
“Jangan banyak bicara!” sentak Axton, membuat tubuh kecil Naora sedikit berjingkat.
Selain mencemaskan Lana, pria tampan bermuka masam itu memang sedang melampiaskan kemarahan dan kebenciannya terhadap Naora.
“Ini sangat berbahaya. Kita bisa terbunuh!”
“Saat ini, aku memang ingin sekali membunuhmu!”
Deg!
Naora seketika terbungkam. Rongga dadanya terasa sesak, bagaikan dihimpit dua bongkahan batu raksasa. Bagaimana bisa ia mendengar ucapan kasar seperti itu dari mulut suaminya sendiri?
☘
☘
☘
Bersambung~~
Ditergen: Thor tu kenapa Edrich kayak benci banget ma Axton?
Thor: Nanti bakal tahu, sabar.
Ditergen: Kasih tahu sekarang Thor.
Thor: Idih..! Maksa. Kagak! Nanti ada waktunya kalian tahu alasan Edrich membenci Axton.
Ditergen: Pelit!
Thor: 🤨🤨
Ditergen: 🏃♂️🏃♂️kabur...!
Halo ... Nofi ingin menyampaikan bahwa karya ini sedang diikutkan dalan ajang lomba yang diselenggarakan oleh pihak Noveltoon. Maka dari itu, mohon dukungannya ya.
Tolong tinggalkan jejak like dan komen di setiap babnya ya.. Kalau ada rejeki lebih, bolehlah sumbang vote dan giftnya juga🤭
Terima Kasih.
lop lop you sekebon pisang❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Nur Ain
hadir
2023-01-20
1
Nur Ckhanela
mampir
2022-10-20
1
BundaNya Elzha SaLsa
aku mampir thor
2022-06-12
1