“Ini sangat berbahaya. Kita bisa terbunuh!”
“Saat ini, aku memang ingin sekali membunuhmu!”
Deg!
Naora seketika terbungkam. Rongga dadanya terasa sesak, bagaikan dihimpit dua bongkahan batu raksasa . Bagaimana bisa ia mendengar ucapan kasar seperti itu dari mulut suaminya sendiri?
Namun, dengan cepat ia kembali menguasai diri. Mengingat sikap dingin Axton sepanjang acara pernikahan digelar beberapa waktu yang lalu, seharusnya ia sudah bisa memprediksinya hal seperti ini lambat laun pasti akan diterima.
Naora mendengus bersamaan hempasan kasar kepalanya pada sandaran bangku mobil yang dia duduki. Lanjut melipat tangan di depan dada, mengambil posisi senyaman dan setenang mungkin. Kendati jantungnya seolah tengah berpacu cepat seperti karapan kuda.
“Baiklah, lanjutkan apa yang membuatmu senang. Setidaknya jika aku mati, aku tidak mati sendirian karena kau pun juga akan ikut mati. Bukankah itu terkesan romantis?” Celetuk Naora dan hal itu kian menambah kekesalan Axton.
“Akan aku buktikan, apakah ucapan lidahmu itu selaras dengan nyalimu.” Pria itu menambah kecepatan laju mobil dua kali lipat dari sebelumnya. Membawanya melesat seperti jet tempur militer. Membanting setir ke kanan dan ke kiri untuk menyalip kendaraan lain yang berlalu lalang.
Naora seketika lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar. Bahkan begitu sulit baginya untuk sekedar menelan cairan saliva. Di balik sikap tenangnya, ada batin yang terus berkomat-kamit melafalkan doa agar ia selamat sampai tujuan. Sesekali wanita itu juga mengutuk Axton.
Ya Tuhan ... apakah aku akan berakhir menjadi hantu pengantin? Kalau itu sampai terjadi akan kupastikan bahwa Axton tidak akan hidup dengan tenang sekalipun ia sudah mengungsi ke alam kubur! jerit batin Naora.
“Aahkk!” pengantin wanita itu memekik tajam diikuti mata yang terpejam, jari jemari juga refleks meremas ujung kebaya putihnya dengan erat.
Gila. Axton hampir menabrakkan mobilnya pada pohon yang berada di ruas kiri jalan dan hal itu dilakukannya dengan sengaja demi mempermainkan perasaan istri barunya tersebut.
Andai roda mobil terlambat berhenti barang sedetik saja, sudah dipastikan akan ada berita tentang kasus sepasang pengantin baru yang mengalami kecelakaan tunggal di hari pertama pernikahannya.
“Ck! Nyatanya kau hanyalah seorang pengecut, dasar benalu,” decih Axton di sela kesinisan yang membingkai muka tampannya.
Guncangan tak lagi dirasa, Naora mencoba mencerna situasi. Perlahan, ia membuka sebelah kelopak matanya yang tertutup lalu disusul kelopak mata yang lain. “Fyuuhh! Ternyata aku masih selamat,” lirihnya merasa lega.
Sedetik kemudian ia melempar lirikan tajam ke arah Axton yang tengah memasang muka sangat menyebalkan baginya. “Apa kau sudah tidak menyayangi nyawamu?”
“Pengecut.”
“Siapa yang pengecut?”
“Kau!”
“Aku bukan pengecut! Aku hanya menyayangi nyawaku saja!”
Axton melempar tatapan tajam meremehkan. Mencondongkan tubuhnya ke arah Naora, hingga jarak ruang di antara muka mereka hampir sepenuhnya terpangkas. Membuat Naora diserang kegugupan yang ia tutup rapat-rapat.
“Suaramu bergetar, itu membuktikan kau sedang ketakutan, Benalu,” bisik Axton.
Pria itu lanjut menggiring pandangannya ke bawah, membuat Naora bergerak refleks menutupi tubuh bagian bawahnya yang menjadi bidikan tajam mata elang tersebut.
“A-apa yang kau lihat?!”
Axton kembali menatap Naora dan berbisik. “Pastikan tubuhmu tidak basah karena kencing di celana,” cemoohnya sebelum menarik kembali tubuhnya. Menempati posisi duduk yang benar di depan kemudi.
Naora terperangah dan mendadak bodoh seperti keledai yang tidak pernah memakan bangku sekolah, tangannya bergerak spontan, memeriksa kain di pantatnya. Namun, dia tidak menemukan tanda-tanda basah layaknya orang habis mengompol.
Sedetik kemudian, ia langsung mengutuk dirinya sendiri. Sadar akan kebodohannya. Bisa-bisanya ia mudah terpancing dengan ucapan frontal Axton yang terdengar konyol. Bodoh, kamu bodoh Naora ... aaish! Sungguh memalukan, gerutunya di dalam hati.
“Keluar sekarang.”
Naora celingukan. Mengedar pandangan ke kanan dan ke kiri. Kali saja ada orang lain selain dia yang disuruh Axton keluar dari mobil. Akan tetapi tidak ada yang lain. Jadi memang dia sendirilah yang dimaksud. “Kau menyuruhku keluar? Tidak. Aku tidak mungkin berjalan kaki dengan pakaian seperti ini.”
“Aku tidak peduli.”
“Aku pasti akan tersesat karena tidak tahu alamat rumah yang dituju.”
“Itu deritamu.” Axton menekan tombol central door lock yang terletak di pintu sebelahnya. “Kau bisa keluar sekarang.”
Naora menggeleng cepat. “Aku tidak mau!”
“Cepat keluar!” Axton meninggikan nada suaranya.
“Aku bilang tidak mau!” Naora mengeratkan jari-jarinya pada tali seatbelt untuk berjaga-jaga, jika Axton tiba-tiba menendangnya keluar dengan paksa.
“Dasar benalu tidak punya malu!” Axton mencoba melepas paksa seatbelt yang meliliti tubuh kecil Naora, berniat melemparnya keluar mobil.
Pergerakan tangan Axton terhenti saat bidikan matanya tanpa sengaja menangkap siluet seseorang yang berada tidak terlalu jauh dari luar kaca jendela. “Lana?” lirihnya seketika berubah cemas, sebelum mengajak kaki menuruni mobil, meninggalkan Naora yang keheranan.
“Siapa Lana?” gumam Naora, pandangannya terus mengikuti arah ke mana Axton berjalan dan berhenti di depan sesosok wanita yang sedang duduk di sebuah bangku taman pinggir jalan.
Rasa bersalah kian meliputi hati di kala Axton melihat wanita yang dicintainya menangis sesenggukan. “Lana sayang ... kenapa kau berada di sini?” halus sekali lisan yang gunakan Axton. Berbanding terbalik ketika ia berbicara dengan Naora.
Tundukkan kepala perlahan terangkat, kala suara bariton yang sangat ia kenal menjalar ke dalam pendengaran Lana. Cepat-cepat tangan diajaknya mengusap bingkai mata yang tampak basah karena ketahuan menangis. “Honey ... a-aku ...,” ucapannya terhenti, tak mampu berkata banyak karena lagi-lagi isak tangisnya lebih mendominasi.
Axton bersimpuh di depan Lana. Menatap sendu muka cantik yang masih tersapu air mata tersebut. Ia tahu betul dengan perasaan wanitanya itu saat ini. “Maafkan aku Lana.” Meraih tubuh Lana ke dalam dekapannya. “Maafkan aku.”
“Tidak Honey, kau sama sekali tidak bersalah. Yang salah itu aku karena tidak bisa mengerti posisimu dan malah menangis tidak jelas. Aku memang tidak cukup baik menjadi pendamping hidupmu,” ucap Lana sesenggukan.
“Apa yang kau katakan Lana? Kau jauh lebih dari kata baik untuk jadi pendamping hidupku.” Axton membelai lembut surai lurus Lana sebelum mengurai pelukan dan meninggalkan satu jejak kecupan di kening Lana. “Sebaiknya kita pulang sekarang,” ajaknya dan langsung mendapat anggukan wanitanya.
Sementara itu, di dalam mobil Naora masih memperhatikan gerak-gerik Axton dan si wanita yang masih terjangkau oleh pandangannya dengan saksama. Sebaris pertanyaan terus menggelitik pikirannya. Menarik rasa penasaran yang menuntut akan sebuah jawaban.
Ada denyutan tak nyaman di dada saat ia melihat perlakuan lembut Axton kepada wanita itu. Dugaan bahwa hubungan mereka bukan hubungan biasa kian menambah itensitas rasa nyeri di bilik hati.
“Siapa wanita itu sebenarnya? Axton terlihat sangat perhatian dengannya? Mereka begitu mesra. Apa mungkin mereka sepasang kekasih? Kalau memang seperti itu, terus bagaimana dengan diriku? Tidak! Kau berpikir terlalu jauh Naora.” Ia kian tenggelam dengan pikirannya sendiri.
Naora terkesiap ketika pintu mobilnya di sebelahnya terbuka lebar. Memperlihatkan tubuh gagah Axton yang tengah merangkul pundak Lana dari luar.
“Kau pindah di bangku sopir,” titah Axton kepada Naora.
“Aku?” Naora menunjuk mukanya sendiri. “Untuk apa?”
“Tentu saja untuk menjadi sopir kami. Cepat pindah kalau tidak ingin aku usir dari mobil.” Sampai hati Axton memperlakukan Naora dengan tanpa perasaan. Mengabaikan status wanita itu sebagai istri sahnya.
Axton semakin dibuat kesal karena Naora malah tampak mematung. “Apa kau tuli? Cepat pindah!” pria itu menarik paksa lengan yang masih terbungkus kebaya pengantin putih itu agar bergegas keluar dan berpindah.
“Aahk! Sakit ...!” rintih Naora saat merasakan sakit karena perlakuan kasar Axton membuat kepalanya membentur bingkai pintu mobil. “Kau menyakitiku, bersikap lembutlah sedikit!” serunya, melayangkan protes.
“Jangan manja, cepat setir mobil ini!”
Sepanjang perjalanan Naora terus mendapatkan bentakan protes dari Axton. Wanita itu memang berniat melampiaskan kekesalannya dengan sengaja melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Sungguh, ia merasa muak karena harus menyaksikan kemesraan sepasang anak manusia yang duduk di bangku mobil belakang tersebut.
“Honey ... bisakah kau memintanya untuk menyetir dengan pelan? Aku sangat takut,” pinta Lana yang terkesan lemah dan butuh perlindungan di mata Axton.
“Sebentar ya,” ucapnya lalu melirik tajam ke arah Naora yang sedang menyetir. “Hei! Apa kau gila?! Pelankan laju mobilnya. Kau membuat dia ketakutan!” sentak Axton karena kesal.
☘
☘
☘
Bersambung~~
Diterjen: Sudah Naora, jangan dengerin rengekan mereka. Kalau perlu bawa tu mobil nyemplung ke kali, atau bawa terbang sekalian ke kahyangan😒
Thor: 😑😑😑
Diterjen: Kenapa Thor?
Thor: Lupakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Arin
heh axton sy sumpahin nanti kmu bucin sama naora
2022-09-14
1
Husna
kasar banget cowoknya,,
2022-06-02
0
💮Aroe🌸
gaspooool😂😂😂😂😂
2022-04-12
1