NovelToon NovelToon

Istri Ke-Dua Tuan Muda Arogan

Dipaksa Menikah

Sepasang kaki jenjang membawa tubuh gagah berbalut jas kerja menapaki koridor kantor. Sesaat, kaki itu memaku di depan pintu ruangan, disusul sebuah helaan napas berat, seolah tengah menyiapkan diri untuk menerima segala kemungkinan yang tak mengenakan hati.

Entah mengapa, perasaan tidak nyaman terus mengusik pria tampan berdarah Indonesia-Inggris itu. Tidak seperti biasanya, sang Daddy meminta ia untuk datang menemuinya setelah sekian lama.

Bukankah Daddy membenciku? Dia bahkan enggan menatap mukaku meski barang sedetik. Apakah aku kembali melakukan kesalahan besar hingga ia menyuruhku datang? Bisik hati kecilnya yang sedang resah.

Suasana hati itu sungguh kontras jika dilekatkan pada diri Axton Sanders yang terkenal dengan julukan pebisnis berdarah dingin. Ditambah lagi tingkat kearogansian yang melangit, seolah sudah menjadi paket lengkap tak terbantahkan. Sudah lebih dari sepuluh perusahaan dibuatnya gulung tikar. Bahkan beberapa perusahaan besar mampu ia akuisisi dengan sekali kedipan mata. Berbagai prestasi tersemat cantik pada diri Axton. Semua itu ia raih hanya demi mendapatkan sebuah pengakuan dari sang Ayah.

Dirasa sedikit ketenangan sudah ia raup, tangan dibawanya mendorong handle pintu, lanjut mengajak kaki masuk ke ruangan di mana seorang Edrich Sanders tengah duduk di kursi kebesarannya.

“Daddy?”

Mendapati kedatangan Axton, pria paruh baya itu seketika menjeda atensi dari komputernya. “Duduk,” titahnya, tiada kehangatan yang terpancar bahkan suara dan tatapannya terkesan sangat dingin. Tak tampak aura cinta dari Ayah untuk sang putra.

Patuh, Axton menggiring tubuhnya untuk menduduki kursi empuk yang terletak di seberang meja kerja Edrich. Lanjut melabuhkan tatapan penuh perhatian kepada pria paruh baya yang memiliki ketampanan yang tidak beda jauh dengannya. “Bagaimana kesehatan Daddy?”

“Menikahlah dengan Naora.” Edrich langsung melontarkan maksud dari tujuannya meminta Axton untuk menemuinya. Tak mengindahkan sebuah pertanyaan sebentuk perhatian dari sang putra yang dianggap tak perlu untuk dijawab.

Mimik muka lembutnya untuk sang Daddy seketika sirna, tergantikan oleh garis-garis di antara kedua alis yang menukik. Axton, pria tampan itu terperangah. Apakah ini jawaban dari keresahannya sedari tadi?

“Apa Daddy sedang bercanda? Aku tidak mungkin menikahi putri kesayanganmu itu,” balas Axton, diselingi sebuah sindiran halus.

Naora, mendengar namanya saja sudah membuat letupan kebencian berdesir hebat pada diri Axton. Iya, pria tampan itu sangat membenci putri angkat sang Daddy. Hanya karena demi membalas budi, Edrich memperlakukan Naora selayaknya putri kerajaan.

Sementara Axton sendiri, bisa dikatakan ia hampir lupa bagaimana rasa kasih sayang dari seorang Edrich karena memang sudah lama ia tidak lagi mendapatkan perlakuan hangat tersebut.

Apakah itu adil? Jelas-jelas Axton adalah satu-satunya darah daging Edrich. Namun, bukan dia yang disayang, melainkan Naora.

Di saat Naora bisa tinggal bersama Edrich, Axton justru harus tinggal terpisah dengan Edrich dan hidup bersama seorang pengasuh dan para pelayan semenjak ia menginjak usia 9 tahun.

Axton bahkan tidak tahu, jasa besar apa yang sudah diberikan oleh kedua orang tua Naora kepada keluarga Sanders karena Edrich tidak pernah terbuka akan hal itu. Lagi pula bagaimana bisa saling terbuka kalau aksi saling sapa saja sangat langka di antara mereka.

“Apa aku terlihat sedang bercanda? Tujuh hari lagi, pernikahan kalian akan berlangsung.”

“Tapi Dad,” kalimat Axton terputus.

“Aku tidak pernah memintamu melakukan sesuatu untukku selama ini bukan?” pangkas Edrich. Memberi sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan yang ditekannya dalam-dalam, tak menerima sebuah penolakan apa pun.

Helaan napas berat terdengar samar, membenarkan perkataan sang Daddy. Sudah sekian lama, ini memang kali pertama bagi Edrich menyuarakan permintaannya kepada Axton. Setelah peristiwa kematian sang Mommy, pria muda itu seolah dianggap tak lebih dari makhluk tak kasat mata oleh Ayahnya sendiri selama ini.

Harusnya Axton senang, sepatutnya dia berbahagia karena keberadaannya ternyata masih dibutuhkan dan dianggap ada. Akan tetapi, kenyataannya tak seindah hati yang berharap.

“Apa tujuan Daddy menikahkan kami karena ingin membalas budi terhadap si benalu itu lagi?”

“Aku yakin, kau sudah tahu jawabannya. Kau bisa meninggalkan ruangan ini sekarang.” Edrich tampak kembali melanjutkan pekerjaannya. Mengacuhkan mimik kecewa Axton.

Suasana hening sesaat. Edrich sibuk dengan berkas-berkas kerjanya, sedangkan Axton masih memaku, tercenung dengan pikirannya. Bagaimana aku bisa menikahi wanita lain sementara ada Lana yang sangat aku cintai? Aku tidak ingin menyakitinya, batin Axton.

Menyadari kegamangan Axton, Edrich kembali menaruh perhatiannya meski mata tak lepas dari layar laptop di depannya. “Kekasihmu itu sudah menyetujui pernikahanmu dengan Naora.” Ucapan Edrich sukses menarik Axton dari lamunannya.

“Jauhi wanita itu, karena kewajibanmu membahagiakan Naora,” sambungnya kembali yang memang terkesan egois. Tanpa menunggu tanggapan dari Axton, seakan ucapannya itu adalah sebuah titah mutlak.

“Apa?! Lana pasti terluka hatinya. Bagaimana bisa Daddy melakukan itu tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepadaku?” protes Axton.

“Karena aku tidak membutuhkannya,” sela Edrich yang masih berjibaku pada tombol-tombol keyboard.

Axton tersenyum pahit. Dia hampir lupa bahwa Edrich memang tidak pernah ingin tahu tentang perasaannya. Menjadi seorang putra yang tak dianggap adalah posisi yang harus ia telan bulat-bulat selama ini. “Baiklah, jika itu kemauan Daddy. Aku akan menikahinya,” ucapnya, memilih menuruti permintaan, bukan! Bukan permintaan, lebih tepatnya sebuah titah mutlak yang harus dilaksanakan.

“Pergilah,” perintah Edrich. Bahkan tidak ada sebentuk apresiasi yang diberikan ketika Axton memilih mematuhi perintahnya.

Tersemat tatapan sendu di muka Axton. Sungguh, ingin sekali ia menyerukan segala isi hatinya yang selama ini dipendam. “Daddy, apakah kau belum bisa memaafkanku? Waktu itu aku tidak berniat melakukannya. Aku tidak sengaja.”

Edrich sempat tertegun, namun gegas ia kikis perasaan itu dengan sikap dingin bak gunung es di Antartika. “Apa kau tidak mendengar perintahku? Pergilah! Persiapkan dirimu untuk pernikahan minggu depan.”

Jarum jam terus berputar pada porosnya, hari pun terus bergilir. Acara pernikahan yang hanya dihadiri oleh kerabat dekat dan keluarga, tengah berlangsung di kediaman Sanders. Atas permintaan Naora, acara memang dirancang sesederhana mungkin. Dia cukup tahu diri akan posisinya di keluarga Sanders. Kendati Edrich sangat menyayanginya namun bukan berarti wanita cantik berparas cantik bak Barbie itu membiarkan dirinya lupa akan statusnya yang tak lebih dari putri angkat.

Naora sudah menyandang status yatim piatu semenjak ia menginjak usia 6 tahun. Ayahnya meninggal karena penyakit jantung, selang enam bulan kepergian sang Ayah, sang Ibu meninggal dalam insiden kecelakaan beruntun. Di saat ia tidak memiliki siapa-siapa lagi, Edrich datang mengulurkan tangan penuh kasih sayang. Merawatnya seperti putri kandungnya sendiri.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Naora kepada Axton yang sedari tadi tak banyak bicara. Ia sangat menyadari sikap dingin Axton yang ditunjukkan kepadanya, bahkan tidak ada sedikit pun ulasan senyum di bibirnya. Namun sekeras mungkin ia mencoba berpikiran positif. Mungkin pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu sedang tidak enak badan. Begitu batinnya.

“Hm,” balas Axton yang hanya menyerupai dengungan lebah tanpa berpaling ke arah Naora. Dia bahkan tampak tak tertarik meski pengantin wanitanya itu terlihat sangat cantik dengan sapuan make up flawless di mukanya serta balutan gaun pengantin di tubuhnya.

“Bisakah kau tersenyum sedikit saja?”

Axton melirik sekilas ke Naora lalu beralih ke arah penunjuk waktu yang melingkari pergelangan tangannya. Sebenarnya dia merasa tidak tenang. Bayangan Lana terus memenuhi pikirannya. "Lana, maafkan aku," gumamnya di dalam hati.

Sementara Naora, diam-diam menghela napas panjang. Dia sangat dingin. Apa dia tidak menyukai pernikahan ini? kesah batinnya.

Terlihat jelas, Axton tidak ingin berlama-lama berada di kediaman Sanders. Segera menemui Lana, itulah keinginannya sekarang. Setelah acara selesai ia langsung membawa Naora pergi menuju ke kediaman pribadinya.

“Bisakah kau mengurangi kecepatannya?” pinta Naora, dirundung ketegangan karena Axton mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi.

“Jangan banyak bicara!” sentak Axton, membuat tubuh kecil Naora sedikit berjingkat.

Selain mencemaskan Lana, pria tampan bermuka masam itu memang sedang melampiaskan kemarahan dan kebenciannya terhadap Naora.

“Ini sangat berbahaya. Kita bisa terbunuh!”

“Saat ini, aku memang ingin sekali membunuhmu!”

Deg!

Naora seketika terbungkam. Rongga dadanya terasa sesak, bagaikan dihimpit dua bongkahan batu raksasa. Bagaimana bisa ia mendengar ucapan kasar seperti itu dari mulut suaminya sendiri?

Bersambung~~

Ditergen: Thor tu kenapa Edrich kayak benci banget ma Axton?

Thor: Nanti bakal tahu, sabar.

Ditergen: Kasih tahu sekarang Thor.

Thor: Idih..! Maksa. Kagak! Nanti ada waktunya kalian tahu alasan Edrich membenci Axton.

Ditergen: Pelit!

Thor: 🤨🤨

Ditergen: 🏃‍♂️🏃‍♂️kabur...!

Halo ... Nofi ingin menyampaikan bahwa karya ini sedang diikutkan dalan ajang lomba yang diselenggarakan oleh pihak Noveltoon. Maka dari itu, mohon dukungannya ya.

Tolong tinggalkan jejak like dan komen di setiap babnya ya.. Kalau ada rejeki lebih, bolehlah sumbang vote dan giftnya juga🤭

Terima Kasih.

lop lop you sekebon pisang❤

 

Menjadi Sopir Dadakan

“Ini sangat berbahaya. Kita bisa terbunuh!”

“Saat ini, aku memang ingin sekali membunuhmu!”

Deg!

Naora seketika terbungkam. Rongga dadanya terasa sesak, bagaikan dihimpit dua bongkahan batu raksasa . Bagaimana bisa ia mendengar ucapan kasar seperti itu dari mulut suaminya sendiri?

Namun, dengan cepat ia kembali menguasai diri. Mengingat sikap dingin Axton sepanjang acara pernikahan digelar beberapa waktu yang lalu, seharusnya ia sudah bisa memprediksinya hal seperti ini lambat laun pasti akan diterima.

Naora mendengus bersamaan hempasan kasar kepalanya pada sandaran bangku mobil yang dia duduki. Lanjut melipat tangan di depan dada, mengambil posisi senyaman dan setenang mungkin. Kendati jantungnya seolah tengah berpacu cepat seperti karapan kuda.

“Baiklah, lanjutkan apa yang membuatmu senang. Setidaknya jika aku mati, aku tidak mati sendirian karena kau pun juga akan ikut mati. Bukankah itu terkesan romantis?” Celetuk Naora dan hal itu kian menambah kekesalan Axton.

“Akan aku buktikan, apakah ucapan lidahmu itu selaras dengan nyalimu.” Pria itu menambah kecepatan laju mobil dua kali lipat dari sebelumnya. Membawanya melesat seperti jet tempur militer. Membanting setir ke kanan dan ke kiri untuk menyalip kendaraan lain yang berlalu lalang.

Naora seketika lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar. Bahkan begitu sulit baginya untuk sekedar menelan cairan saliva. Di balik sikap tenangnya, ada batin yang terus berkomat-kamit melafalkan doa agar ia selamat sampai tujuan. Sesekali wanita itu juga mengutuk Axton.

Ya Tuhan ... apakah aku akan berakhir menjadi hantu pengantin? Kalau itu sampai terjadi akan kupastikan bahwa Axton tidak akan hidup dengan tenang sekalipun ia sudah mengungsi ke alam kubur! jerit batin Naora.

“Aahkk!” pengantin wanita itu memekik tajam diikuti mata yang terpejam, jari jemari juga refleks meremas ujung kebaya putihnya dengan erat.

Gila. Axton hampir menabrakkan mobilnya pada pohon yang berada di ruas kiri jalan dan hal itu dilakukannya dengan sengaja demi mempermainkan perasaan istri barunya tersebut.

Andai roda mobil terlambat berhenti barang sedetik saja, sudah dipastikan akan ada berita tentang kasus sepasang pengantin baru yang mengalami kecelakaan tunggal di hari pertama pernikahannya.

“Ck! Nyatanya kau hanyalah seorang pengecut, dasar benalu,” decih Axton di sela kesinisan yang membingkai muka tampannya.

Guncangan tak lagi dirasa, Naora mencoba mencerna situasi. Perlahan, ia membuka sebelah kelopak matanya yang tertutup lalu disusul kelopak mata yang lain. “Fyuuhh! Ternyata aku masih selamat,” lirihnya merasa lega.

Sedetik kemudian ia melempar lirikan tajam ke arah Axton yang tengah memasang muka sangat menyebalkan baginya. “Apa kau sudah tidak menyayangi nyawamu?”

“Pengecut.”

“Siapa yang pengecut?”

“Kau!”

“Aku bukan pengecut! Aku hanya menyayangi nyawaku saja!”

Axton melempar tatapan tajam meremehkan. Mencondongkan tubuhnya ke arah Naora, hingga jarak ruang di antara muka mereka hampir sepenuhnya terpangkas. Membuat Naora diserang kegugupan yang ia tutup rapat-rapat.

 “Suaramu bergetar, itu membuktikan kau sedang ketakutan, Benalu,” bisik Axton.

Pria itu lanjut menggiring pandangannya ke bawah, membuat Naora bergerak refleks menutupi tubuh bagian bawahnya yang menjadi bidikan tajam mata elang tersebut.

“A-apa yang kau lihat?!”

Axton kembali menatap Naora dan berbisik. “Pastikan tubuhmu tidak basah karena kencing di celana,” cemoohnya sebelum menarik kembali tubuhnya. Menempati posisi duduk yang benar di depan kemudi.

Naora terperangah dan mendadak bodoh seperti keledai yang tidak pernah memakan bangku sekolah, tangannya bergerak spontan, memeriksa kain di pantatnya. Namun, dia tidak menemukan tanda-tanda basah layaknya orang habis mengompol.

Sedetik kemudian, ia langsung mengutuk dirinya sendiri. Sadar akan kebodohannya. Bisa-bisanya ia mudah terpancing dengan ucapan frontal Axton yang terdengar konyol. Bodoh, kamu bodoh Naora ... aaish! Sungguh memalukan, gerutunya di dalam hati.

“Keluar sekarang.”

Naora celingukan. Mengedar pandangan ke kanan dan ke kiri. Kali saja ada orang lain selain dia yang disuruh Axton keluar dari mobil. Akan tetapi tidak ada yang lain. Jadi memang dia sendirilah yang dimaksud. “Kau menyuruhku keluar? Tidak. Aku tidak mungkin berjalan kaki dengan pakaian seperti ini.”

“Aku tidak peduli.”

“Aku pasti akan tersesat karena tidak tahu alamat rumah yang dituju.”

“Itu deritamu.” Axton menekan tombol central door lock yang terletak di pintu sebelahnya. “Kau bisa keluar sekarang.”

Naora menggeleng cepat. “Aku tidak mau!”

“Cepat keluar!” Axton meninggikan nada suaranya.

“Aku bilang tidak mau!” Naora mengeratkan jari-jarinya pada tali seatbelt untuk berjaga-jaga, jika Axton tiba-tiba menendangnya keluar dengan paksa.

“Dasar benalu tidak punya malu!” Axton mencoba melepas paksa seatbelt yang meliliti tubuh kecil Naora, berniat melemparnya keluar mobil.

Pergerakan tangan Axton terhenti saat bidikan matanya tanpa sengaja menangkap siluet seseorang yang berada tidak terlalu jauh dari luar kaca jendela. “Lana?” lirihnya seketika berubah cemas, sebelum mengajak kaki menuruni mobil, meninggalkan Naora yang keheranan.

“Siapa Lana?” gumam Naora, pandangannya terus mengikuti arah ke mana Axton berjalan dan berhenti di depan sesosok wanita yang sedang duduk di sebuah bangku taman pinggir jalan.

Rasa bersalah kian meliputi hati di kala Axton melihat wanita yang dicintainya menangis sesenggukan. “Lana sayang ... kenapa kau berada di sini?” halus sekali lisan yang gunakan Axton. Berbanding terbalik ketika ia berbicara dengan Naora.

Tundukkan kepala perlahan terangkat, kala suara bariton yang sangat ia kenal menjalar ke dalam pendengaran Lana. Cepat-cepat tangan diajaknya mengusap bingkai mata yang tampak basah karena ketahuan menangis. “Honey ... a-aku ...,” ucapannya terhenti, tak mampu berkata banyak karena lagi-lagi isak tangisnya lebih mendominasi.

Axton bersimpuh di depan Lana. Menatap sendu muka cantik yang masih tersapu air mata tersebut. Ia tahu betul dengan perasaan wanitanya itu saat ini. “Maafkan aku Lana.” Meraih tubuh Lana ke dalam dekapannya. “Maafkan aku.”

“Tidak Honey, kau sama sekali tidak bersalah. Yang salah itu aku karena tidak bisa mengerti posisimu dan malah menangis tidak jelas. Aku memang tidak cukup baik menjadi pendamping hidupmu,” ucap Lana sesenggukan.

“Apa yang kau katakan Lana? Kau jauh lebih dari kata baik untuk jadi pendamping hidupku.” Axton membelai lembut surai lurus Lana sebelum mengurai pelukan dan meninggalkan satu jejak kecupan di kening Lana. “Sebaiknya kita pulang sekarang,” ajaknya dan langsung mendapat anggukan wanitanya.

Sementara itu, di dalam mobil Naora masih memperhatikan gerak-gerik Axton dan si wanita yang masih terjangkau oleh pandangannya dengan saksama. Sebaris pertanyaan terus menggelitik pikirannya. Menarik rasa penasaran yang menuntut akan sebuah jawaban.

Ada denyutan tak nyaman di dada saat ia melihat perlakuan lembut Axton kepada wanita itu. Dugaan bahwa hubungan mereka bukan hubungan biasa kian menambah itensitas rasa nyeri di bilik hati.

“Siapa wanita itu sebenarnya? Axton terlihat sangat perhatian dengannya? Mereka begitu mesra. Apa mungkin mereka sepasang kekasih? Kalau memang seperti itu, terus bagaimana dengan diriku? Tidak! Kau berpikir terlalu jauh Naora.” Ia kian tenggelam dengan pikirannya sendiri.

Naora terkesiap ketika pintu mobilnya di sebelahnya terbuka lebar. Memperlihatkan tubuh gagah Axton yang tengah merangkul pundak Lana dari luar.

“Kau pindah di bangku sopir,” titah Axton kepada Naora.

“Aku?” Naora menunjuk mukanya sendiri. “Untuk apa?”

“Tentu saja untuk menjadi sopir kami. Cepat pindah kalau tidak ingin aku usir dari mobil.” Sampai hati Axton memperlakukan Naora dengan tanpa perasaan. Mengabaikan status wanita itu sebagai istri sahnya.

Axton semakin dibuat kesal karena Naora malah tampak mematung. “Apa kau tuli? Cepat pindah!” pria itu menarik paksa lengan yang masih terbungkus kebaya pengantin putih itu agar bergegas keluar dan berpindah.

“Aahk! Sakit ...!” rintih Naora saat merasakan sakit karena perlakuan kasar Axton membuat kepalanya membentur bingkai pintu mobil. “Kau menyakitiku, bersikap lembutlah sedikit!” serunya, melayangkan protes.

“Jangan manja, cepat setir mobil ini!”

Sepanjang perjalanan Naora terus mendapatkan bentakan protes dari Axton. Wanita itu memang berniat melampiaskan kekesalannya dengan sengaja melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Sungguh, ia merasa muak karena harus menyaksikan kemesraan sepasang anak manusia yang duduk di bangku mobil belakang tersebut.

“Honey ... bisakah kau memintanya untuk menyetir dengan pelan? Aku sangat takut,” pinta Lana yang terkesan lemah dan butuh perlindungan di mata Axton.

“Sebentar ya,” ucapnya lalu melirik tajam ke arah Naora yang sedang menyetir. “Hei! Apa kau gila?! Pelankan laju mobilnya. Kau membuat dia ketakutan!” sentak Axton karena kesal.

Bersambung~~

Diterjen: Sudah Naora, jangan dengerin rengekan mereka. Kalau perlu bawa tu mobil nyemplung ke kali, atau bawa terbang sekalian ke kahyangan😒

Thor: 😑😑😑

Diterjen: Kenapa Thor?

Thor: Lupakan.

 

 

 

Ternyata Bukan Yang Pertama

 

“Honey ... bisakah kau memintanya untuk menyetir dengan pelan? Aku sangat takut,” pinta Lana yang terkesan lemah dan butuh perlindungan di mata Axton.

“Sebentar ya,” ucapnya lembut kepada Lana lalu menggiring lirikan tajam ke arah Naora yang sedang menyetir. “Hei! Apa kau gila?! Pelankan laju mobilnya. Kau membuat dia ketakutan!” sentak Axton karena kesal.

Naora memutar kedua bola matanya karena jengah. “Jangan berisik, yang penting kita sampai ke tujuan dengan selamat,” ucapnya, kian menambah kecepatan laju mobil.

“Honey ... aku sungguh takut.” Lana memasang muka super melas, membuat Axton merasa kasihan.

“Dasar manja,” cebik Naora sangat pelan seperti suara para semut yang sedang gibah. Namun masih tertangkap jelas oleh pendengaran Axton.

“Kau!”

“Kenapa? Bukannya kau suka kebut-kebutan? Aku mencoba menyenangkan hati suamiku yang tercinta ini.” Tukasnya, membalikkan keadaan dengan sindiran halus. Ia bahkan lupa bahwa beberapa saat yang lalu dialah yang ketakutan karena Axton menyetir dengan kecepatan tinggi. Akan tetapi situasinya sekarang sudah berbeda. Kini dialah yang memegang kendali.

“Honey ... perutku merasa mual karena mobil melaju terlalu cepat,” keluh Lana.

“Hei! Apa kau dengar?! Dia merasa mual karena ulahmu!” sentak Axton kepada Naora.

“Iya iya. Kalian sungguh merepotkan!” balas Naora karena jengah.

Tubuh Axton dan Lana seketika terhuyung kasar ke depan karena Naora menginjak pedal rem secara tiba-tiba. “Kau benar-benar cari mati rupanya!” sengit Axton kian emosi.

Selang tidak lama, Naora menghentikan roda mobil tepat di halaman luas dengan bangunan megah di depan mata. Perlahan, ia membawa tubuh yang masih berbalut gaun pengantin tersebut menuruni tunggangan besi mewah milik suaminya.

Mata diajak memindai setiap sudut rumah mewah bagaikan istana yang berdiri kokoh di depannya, seolah tengah menyambut kedatangan sang pemilik. Rasa takjub menyokong kaki untuk lekas melangkah. Namun, satu ayunan tungkainya terpaksa berhenti dan berakhir pada keterpakuan saat Axton dan Lana berjalan beriringan dengan mesra melewati dirinya yang seolah di anggap tidak ada.

“Sungguh pasangan yang romantis. Aku jadi ragu dengan statusku di rumah ini,” gumamnya tersenyum getir. Mengasihani nasib miris di awal pernikahannya.

Di pandangnya hamparan awan di langit, memasang muka mengadu di sela helaan napas panjangnya. “Ya Tuhan, apa dia benar-benar suamiku? Ini baru hari pertama kami menikah, tapi dia sudah sangat menyebalkan. Tuhan, tolong sulap hatiku yang lemah lembut ini menjadi sekuat baja seperti Ironman.” Ia mengalihkan pandangan kesalnya ke arah punggung Axton yang hampir memasuki pintu masuk rumah. “Atau beri aku kekuatan super seperti Thor agar aku bisa menyambarnya dengan petir.”

Naora menjinjing tinggi ekor kebaya pengantinnya dan kembali mengayunkan tungkainya menuju ke kediaman dengan langkah sedikit kesulitan karena rok jarik yang super ketat. Ditambah lagi kepayahannya dalam mengenakan high heels, membuat ia harus berjalan lebih berhati-hati.

“Aahk!”

Brug!

Dan sepertinya keberuntungan masih enggan berpihak kepada Naora. Baru beberapa kali kaki melangkah ia harus jatuh tersungkur dengan sangat tidak elegannya.

“Hish..! Kenapa hari ini aku begitu sial? Ahhk! Perih sekali.” Ia meringis kesakitan karena luka lecet di telapak tangannya.

Wanita cantik bak Barbie itu mencoba bangkit. Namun rok jarik pengantin super ketatnya membuat ia kepayahan untuk berdiri. Ia melirik ke arah Axton yang ternyata mengamatinya dari ambang pintu bersama Lana. Berharap, suaminya itu berbaik hati untuk menolongnya. Sayangnya, hal itu tak lebih dari sebuah impian semu belaka.

Mana mungkin Axton tiba-tiba menjelma menjadi Bapak Peri penolong yang baik hati? Mustahil. Bisa dibuktikan sekarang. Alih-alih menolongnya, Axton malah menyeringai sinis. Seolah penderitaan Naora adalah kepuasannya.

“Honey, kenapa kau malah bersikap seperti itu?” Lana menegur Axton. “Aku akan ke sana untuk membantunya.”

Axton menghalau niat Lana dengan merangkul posesif pundaknya. “Kau tidak boleh mengotori tanganmu dengan menyentuh tubuhnya. Dia bukan bayi yang tidak bisa berdiri sendiri. Biarkan saja dia,” ucap Axton.

“Tapi Honey ... .”

“Ssttt..! Jangan melawan. Kau terlalu baik untuk jadi penolongnya. Kalau tidak bisa berdiri, dia masih bisa merangkak atau mengesot. Kita masuk sekarang.” Tak ingin ada orang yang membela Naora, dengan setengah memaksa pria itu menggiring tubuh Lana ke dalam rumah.

Ucapan Axton yang terkesan seenak jidatnya itu membuat Naora berkali-kali menggerutu karena jengkel. “Aku sungguh ingin mengutuknya menjadi katak jelek!”

“Ya Tuhan ... Nona apa kau baik-baik saja? Biarkan saya membantumu.”

Perhatian Naora teralih seketika saat seorang wanita bersuara lembut dan berparas ke-ibuan datang mendekati. Dengan hati-hati wanita itu membantunya berdiri. Ia bahkan menebas kotoran yang melekat pada gaun pengantin Naora.

“Nona apa ada yang terluka?”

Satu perasaan hangat menjalar lembut di hati Naora karena perhatian wanita tengah baya tersebut. Mimik masam seketika menguap. Kedua sudut bibir tertarik ke atas hingga tercipta sebuah senyum yang mengulas manis. Menampilkan sepasang lesung pipit di kedua pipi. Menambah pesona kecantikan bawaan lahirnya.

“Saya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan Nyonya,” balas Naora tersenyum ramah.

“Jangan panggil saya seperti itu Nona. Panggil saya Bi Milah saja. Saya yang mengasuh Tuan Muda Axton dari kecil.”

“Baik Bi Milah.”

“Maaf atas perbuatan Tuan Muda ya. Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati atas sikapnya yang tak mengenakkan. Tapi percayalah, sebenarnya dia adalah anak yang baik dan penyayang,” tutur Milah.

Naora tersenyum masam. Baginya, perkataan Milah tentang Axton sungguh menggelitik telinga. “Apa Bi Milah bercanda? Dia baik dan penyayang? Maaf, butuh kerja keras bagiku untuk mempercayainya. Yang aku tahu, dia itu semacam spesies makhluk berdarah dingin yang menyebalkan.”

Milah terkikik. Baru kali ini ia berjumpa dengan wanita yang tanpa ragu mengungkapkan kekesalannya tentang Axton. Selama 28 tahun ia hidup bersama Tuan Muda yang sudah dianggap seperti putranya sendiri itu, tidak ada satu pun orang yang berani mengatai Axton seperti itu.

“Nona, sebaiknya ...,” perkataan Milah terjeda karena Naora menyela.

“Naora Bi, panggil namaku saja,” pinta Naora.

Milah kembali mengulas senyum. “Baiklah Nona Naora ...,” sekali lagi ucapan Mila terpangkas.

“Naora saja Bi, tidak perlu pakai embel-embel kata ‘Nona’.”

“Baiklah. Naora mari Bibi antar kamu ke dalam. Tuan Muda sudah menunggumu.”

“Sebentar Bi.” Naora menarik rok jariknya hingga sebatas lutut, lanjut melepas high heels yang membungkus kaki dan menjinjingnya. “Nah! Aku rasa seperti ini lebih baik.”

Mila mendengus geli melihat sikap Naora yang terkesan apa adanya. Dia sangat berbeda dengan Nona Lana. Naora lebih memiliki aura yang mudah untuk disayangi, batinnya mengagumi.

Di ruang tamu, Naora duduk di sofa seberang meja yang berhadapan dengan Axton dan tentu juga tidak ketinggalan sosok Lana yang selalu menggelayut manja di lengan kekar Axton seolah menegaskan bahwa pria itu adalah miliknya. Layaknya seorang anak kecil yang tak rela membagi permen kesukaannya kepada temannya, begitulah kesan yang ditunjukkan Lana di balik muka lembutnya.

“Aku sudah menikah.” Axton mulai membuka percakapan dengan suara datar namun terkesan dingin. Bahkan rona kebencian tergurat sangat jelas di mukanya.

“Iya, aku tahu itu. Kau baru saja menikah denganku, bukankah begitu?” balas Naora. Jujur, ia sangat tidak suka dengan pemandangan yang tersaji saat ini. Bagaimana bisa Axton bersikap mesra bersama wanita lain tepat di depan mata kepalanya. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang istri dilindas tanpa perasaan.

“Bukan kau yang aku maksud, melainkan dia,” sanggah Axton. Tangannya kian melingkar posesif pundak Lana. “Gara-gara kau, aku harus menjalani pernikahan yang aku benci yaitu menikahi benalu sepertimu. Kau itu tak lebih dari orang ketiga yang menjadi duri di dalam pernikahan kami berdua.”

Naora terkejut bukan main dengan kenyataan yang baru saja ia terima dari bibir Axton. Dari awal dia tidak tahu kalau Axton sudah memiliki istri. Berbagai perasaan seketika bergemuruh dahsyat di dalam dada. Hanya saja, sebisa mungkin ia pangkas perasaan itu dengan tetap bersikap tenang dan tegar.

“Jika kau membencinya, kenapa tetap menyetujui pernikahan ini? Seharusnya kau menolaknya dari awal.”

Axton berdecak sinis. “Kau itu memang bodoh  atau berpura-pura bodoh? Daddy memaksaku untuk menikahimu karena sebagai bentuk balas budinya kepada kedua orang tuamu yang sudah mati itu.”

“Berhati-hatilah ketika berbicara tentang kedua orang tuaku!” tandas Naora yang mulai terpancing emosi. Namun gegas ia atur kembali perasaannya. “Apa Daddy Edrich mengetahui tentang istrimu itu?”

“Dia tidak akan tahu, kecuali kau yang membongkarnya.” Ucapan Axton sukses mengundang mimik muka penuh tanya di muka Naora. “Jadi, sebaiknya kau jaga mulutmu jika tidak ingin aku merobeknya dengan tanganku sendiri.” Sebuah ultimatum terlisan tegas dan penuh penekanan dari sepasang bibirnya.

“Honey, jangan berbicara terlalu kasar dengannya. Bagaimanapun juga dia istrimu,” pinta Lana. Mengusap lembut lengan Axton, bahkan suaranya terdengar begitu menenangkan bagi pria berparas dingin itu.

Sesaat, Axton memberi tatapan hangat penuh cinta kepada Lana. “Istriku hanya kamu Lana, tidak ada yang lain.” Ia lanjut menghunus tatapan sinis ke Naora yang nyatanya masih terlihat tegar dengan muka terus terangkat, membalas tatapan sinis Axton sebiasa mungkin.

“Jika bukan karena Lana yang memintanya, aku tidak mungkin membiarkanmu tinggal bersama di istana kami.”

Naora tersenyum hambar. Ingin rasanya ia tertawa lepas, sayangnya tidak ada hal lucu yang dapat ditertawakan. “Kau sungguh luar biasa. Haruskah aku berterima kasih kepada istrimu itu karena kebaikannya?”

“Aku tidak bermaksud seperti itu Naora,” sela Lana merasa tak enak hati.

“Lana, dia memang seharusnya berterima kasih denganmu karena kamu mau menerima keberadaannya di rumah kita,” ucap Axton.

Naora berdecak kesal. “Yang benar saja. Seharusnya kalian meminta maaf kepadaku karena sudah menipuku.”

“Dan hal itu tidak akan terjadi,” tandas Axton.

“Kalau begitu ceraikan aku.” Tiada keraguan di kala Naora mengucapkan kata cerai.

“Sebelum kau memintanya, aku memang berniat menceraikanmu.”

“Ya sudah, ceraikan aku sekarang juga.”

“Kita tidak akan bercerai dalam waktu dekat. Dan untuk kapan waktunya, aku yang menentukan.”

“Kau egois.”

“Bodoh! Masih ada nama baik Daddy yang harus dijaga. Apa kau tidak memikirkan perasaannya jika kita bercerai begitu cepat? Pikirkan juga kesehatannya.”

Naora terdiam. Kali ini ia membenarkan perkataan Axton. Kenapa dia sempat tidak memikirkan hal itu. Bagaimana mungkin ia tega membuat Ayah angkatnya tersebut menanggung malu karena dirinya. Kalau itu sampai terjadi, sungguh dia akan menjadi putri angkat yang tak tahu diri dan tak mengerti balas budi.

Axton mengambil satu pijakan untuk membawa tubuh gagahnya berdiri, begitu juga dengan Lana. “Dan satu hal yang harus kutekankan. Jangan berharap akan kehadiran cinta di dalam pernikahan sialan ini. Sampai kapan pun, hal itu tidak akan terjadi,” tandasnya.

“Dan jangan salahkan aku jika suatu saat kau harus menjilat air ludah yang sudah kau sembur karena terpesona dan jatuh cinta kepadaku,” ucap Naora dengan kepercayaan diri yang menjulang tinggi menembus kahyangan para bidadari.

Bersambung~~

Diterjen: Thor, kabulkan doanya Naora, beri dia kekuatan super seperti Ironman dan Thor.

Thor: He'eh.

Diterjen: Makasih Thor.

Thor: Eeits! Bayar dulu.

Diterjen: Dasar matre.

Thor: biarin🤪

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!