Sepasang tangan lembut Milah, tampak telaten mengeringkan surai panjang di depannya menggunakan mesin hairdrayer. Beberapa kali ia melirik paras cantik alami yang terpantul di cermin meja rias dan disusul oleh sebuah ulasan senyum tersirat akan serentetan pujian akan kecantikan istri ke-dua Tuan Mudanya tersebut.
Milah mematikan mesin dan meletakkannya di atas nakas kamar. Lanjut mengambil sisir untuk merapikan surai indah berwarna coklat milik wanita yang tak lain adalah Naora.
“Tidak perlu repot-repot Bi, aku bisa melakukannya sendiri. Bibi pasti lelah, beristirahatlah,” tolak Naora diselingi sebuah perhatian lembut.
Ia merasa tidak enak hati karena sedari tadi Milah terlihat sibuk melayaninya. Dari menyiapkan makan malam yang diantar langsung ke kamar hingga menyiapkan perlengkapan ritual mandinya.
“Naora, kau jangan merasa tidak enak hati. Biarkan Bibi membantumu.” Milah tak menggubris penolakan Naora dan lanjut memberi hair oil beraroma terapi bunga lotus. “Ini memang sudah tugas Bibi yang merupakan pelayan di Rumah ini,” imbuhnya lagi.
Naora lumayan terkesima, Milah seolah mengerti apa yang dirasakan. “Bi Milah adalah orang yang berjasa merawat suamiku dari kecil, bagaimana bisa aku menganggapmu seorang pelayan? Menganggapmu seperti ibuku sendiri, aku rasa itu lebih pantas.”
Pergerakan tangan Milah perlahan terhenti. Ia memandang biasan muka Naora di balik cermin dengan tatapan haru. Sesaat, pikirannya menerawang ke masa kilas balik.
Bi, berhentilah menganggap dirimu sebagai seorang pelayan di rumah ini jika tidak ingin aku menghukummu.
Bi, kau wanita yang sudah sangat berjasa merawatku dari kecil, jadi jangan larang aku membelikanmu barang-barang mewah karena aku tidak suka.
Bi, kau itu sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, jika kau pergi meninggalkanku, aku akan sangat membencimu dan akan membuat hidupmu tidak tenang.
Milah menarik kedua sudut bibirnya hingga mencetak sebuah senyuman hangat ketika mengingat segala bentuk ucapan Axton yang terkesan arogan namun syarat akan perhatian dan kasih sayang.
“Apa Naora tidak malu menganggap Bibi seperti Ibumu?” tanya Milah kepada Naora.
Naora yang semula membelakangi dan hanya membalas tatapan Milah dari cermin, mulai mengubah posisi dengan memutar tubuhnya menghadap Milah. “Daripada rasa malu, aku justru lebih ke rasa bersyukur jika Bibi mengizinkanku untuk menganggapku seperti ibuku sendiri. Jujur aku sangat memimpikan belaian kasih sayang seorang Ibu,” kesenduan terlukis samar di muka Naora. Sikap lembut dan hangat Milah yang dia terima sejak awal menginjak kaki di rumah ini, sungguh menarik perhatiannya.
Keharuan kembali menguar dari bilik hati Milah. Rasa iba juga tak luput dari sisi jiwa keibuannya. Bagaimanapun juga, ia sedikit tahu tentang kisah masa lalu Naora kecil yang malang dari Edrich, Ayah Axton.
“Rasanya Bibi sangat bangga saat ini, karena bisa memiliki seorang putri secantik Naora,” ucap Milah seraya membelai sayang pucuk kepala Naora. “Sebaiknya kau segera beristirahat sekarang, Bibi akan keluar.”
“Iya, Bi.”
…
Malam kian larut. Cahaya sang Dewi malam kian berpendar terang. Taburan anak-anak bintang turut berkilau di langit yang remang.
Penat yang melanda, memaksa pria tampan berparas campuran Indonesia-Inggris itu untuk segera menyudahi pekerjaannya. Di ruang kerja pribadi, ia memang sering menghabiskan sebagian waktu malamnya di sana. Bergelut dengan berbagai file documens yang berkaitan dengan ladang bisnisnya.
Ia melirik ke arah mesin penunjuk waktu yang menempel di dinding. “Ternyata sudah pukul 12 lebih.” Axton memberi pijatan ringan di kedua pelipisnya. Lelah di tubuh nyatanya tak selaras dengan mata yang masih enggan untuk terlelap. Insomnia adalah teman setianya selama ini. Biasanya ia akan kembali ke peraduan menjelang subuh.
Lana sang istri bahkan tidak tahu akan hal itu. Yang ia tahu, suaminya tak banyak tidur karena harus menyelesaikan urusan pekerjaan yang memang tidak bisa ditunda-tunda. Yang ia tahu, suaminya adalah seorang workaholic yang terus berusaha mengepakkan lebar sayap kekuasaannya di lini bisnis semata-mata demi sebuah pengakuan dari sang Ayah, Edrich.
Sesaat Axton tercenung. Tiba-tiba bayangan muka tegar Naora berkelebatan di pikirannya. Bahkan beberapa perkataan berani istri ke-duanya itu kembali terngiang-ngiang di gendang telinganya.
Dan jangan salahkan aku jika suatu saat kau harus menjilat air ludah yang sudah kau sembur karena terpesona dan jatuh cinta kepadaku.
Apa malam ini kau akan tidur bersamaku untuk melakukan malam pertama?
Mungkin justru kau kelak yang akan memimpikannya.
“Hahh! Apa dia tidak berpikir dulu sebelum berkata seperti itu? Bahkan dia tak menghargai keberadaan Lana Sebagai istriku. Mana mungkin aku jatuh cinta kepadanya.” Axton menghempas kasar tubuh gagahnya pada sandaran kursi.
“Kehadirannya sudah cukup memberi guncangan di dalam biduk pernikahanku bersama Lana. Ditambah lagi lidahnya yang selalu berkata sembarangan, membuat Lana terus merajuk sepanjang malam karena terprovokasi. Dasar wanita gila.”
Sangat kesal, Axton pun mengambil satu pijakan hingga membawa tubuhnya berdiri dari posisi duduk. Diayunnya tungkai menuju pintu keluar. Kehasratan untuk merengkuh tubuh Lana terus mengiringi langkah menyusuri koridor rumah.
Namun, gerakan kakinya melambat saat hampir melewati salah satu ruangan yang terletak tidak jauh dari ruang kerjanya. Entah atas dasar alasan apa kini tubuhnya sudah terpaku di depan pintu kamar milik Naora. “Apa wanita benalu itu sudah tidur? Ahh...! Apa yang kau pikirkan Axton. Buat apa kau penasaran tentangnya? Gila!” Pria berparas bak kulkas empat pintu itu menggerutu pada dirinya sendiri.
“Ck! Tapi aku memang penasaran, apakah dia masih bertahan dengan muka sok tegarnya jika di belakangku? Iya, hanya itu alasan penasaranku, tidak ada yang lain. Lagian aku memang perlu berbicara empat mata dengannya.”
Tangan yang hampir mengetuk pintu tiba-tiba terhenti di udara. “Sejak kapan aku jadi bersikap sopan kepadanya? Ini adalah rumahku dan aku bebas keluar masuk tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada siapa pun.” Axton merutuki dirinya sendiri sebelum membuka pintu dan masuk ke kamar Naora tanpa permisi.
Beberapa kali pijakan kaki, membawa Axton berdiri tidak jauh dari ranjang tak berpenghuni berlapis seprai berbahan sutra milik Naora. Sepasang mata elangnya mengedar ke setiap sudut ruangan, mencari keberadaan makhluk penghuni kamar tersebut.
Di mana wanita itu? Monolog Axton karena tidak menemukan keberadaan sosok yang dimaksud.
Dinginnya semilir angin malam yang membelai kulit menarik perhatian Axton, seolah menuntun tubuhnya untuk berputar ke arah balkon kamar, di mana hembusan dingin itu berasal.
Axton terkesima, di kala sepasang matanya menangkap siluet tubuh Naora yang sedang berdiri membelakanginya. Gaun tidur berbahan kain tipis sebatas lutut serta surai panjang yang dibiarkan tergerai bebas, sukses memaku pandangan Axton agar enggan untuk berpaling.
Seksi. Itulah pujian yang terlintas di benaknya, tanpa dirasa oleh alam bawah sadarnya. Namun, Axton segera menguasai pikiran dan langsung mengutuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya, sebuah kekaguman akan Naora melintas di hatinya dengan sangat tidak sopan. Ayolah, bahkan tubuh polos Lana di atas ranjang jauh lebih menggoda dari pada tubuh kurusnya itu, batinnya yang terus berusaha mengelak suguhan indah di depan mata.
"Haaah...! Rasanya sungguh tidak nyaman."
Axton sedikit tertegun, ketika melihat Naora yang terdengar sedang berbicara pada dirinya sendiri.
"Apa oksigen di bumi hampir habis? Ini sungguh menyesakkan." Naora membuang napasnya ke udara. Menengadahkan muka ke langit. Menyaksikan bulan dan bintang yang berpendar cantik. "Apa kalian sedang menertawakanku?"
"Apa kau sudah tidak waras? Sedari tadi berbicara sendiri!"
Naora seketika terjingkat kaget saat suara asing menjalar ke dalam indera pendengarannya. "Kau?! Sejak kapan berada di sini?!"
☘
☘
☘
Bersambung~~
Mau buat iklan, tapi dah ngantuk bangettt..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Arin
haha axton udh mulai terpesona y...🤭
2022-09-14
2
Rozh
😘😘
2022-04-08
0
Ririn Rira
part nya Naora sama Bibi aku terharu
2022-02-17
1