“Honey ... bisakah kau memintanya untuk menyetir dengan pelan? Aku sangat takut,” pinta Lana yang terkesan lemah dan butuh perlindungan di mata Axton.
“Sebentar ya,” ucapnya lembut kepada Lana lalu menggiring lirikan tajam ke arah Naora yang sedang menyetir. “Hei! Apa kau gila?! Pelankan laju mobilnya. Kau membuat dia ketakutan!” sentak Axton karena kesal.
Naora memutar kedua bola matanya karena jengah. “Jangan berisik, yang penting kita sampai ke tujuan dengan selamat,” ucapnya, kian menambah kecepatan laju mobil.
“Honey ... aku sungguh takut.” Lana memasang muka super melas, membuat Axton merasa kasihan.
“Dasar manja,” cebik Naora sangat pelan seperti suara para semut yang sedang gibah. Namun masih tertangkap jelas oleh pendengaran Axton.
“Kau!”
“Kenapa? Bukannya kau suka kebut-kebutan? Aku mencoba menyenangkan hati suamiku yang tercinta ini.” Tukasnya, membalikkan keadaan dengan sindiran halus. Ia bahkan lupa bahwa beberapa saat yang lalu dialah yang ketakutan karena Axton menyetir dengan kecepatan tinggi. Akan tetapi situasinya sekarang sudah berbeda. Kini dialah yang memegang kendali.
“Honey ... perutku merasa mual karena mobil melaju terlalu cepat,” keluh Lana.
“Hei! Apa kau dengar?! Dia merasa mual karena ulahmu!” sentak Axton kepada Naora.
“Iya iya. Kalian sungguh merepotkan!” balas Naora karena jengah.
Tubuh Axton dan Lana seketika terhuyung kasar ke depan karena Naora menginjak pedal rem secara tiba-tiba. “Kau benar-benar cari mati rupanya!” sengit Axton kian emosi.
Selang tidak lama, Naora menghentikan roda mobil tepat di halaman luas dengan bangunan megah di depan mata. Perlahan, ia membawa tubuh yang masih berbalut gaun pengantin tersebut menuruni tunggangan besi mewah milik suaminya.
Mata diajak memindai setiap sudut rumah mewah bagaikan istana yang berdiri kokoh di depannya, seolah tengah menyambut kedatangan sang pemilik. Rasa takjub menyokong kaki untuk lekas melangkah. Namun, satu ayunan tungkainya terpaksa berhenti dan berakhir pada keterpakuan saat Axton dan Lana berjalan beriringan dengan mesra melewati dirinya yang seolah di anggap tidak ada.
“Sungguh pasangan yang romantis. Aku jadi ragu dengan statusku di rumah ini,” gumamnya tersenyum getir. Mengasihani nasib miris di awal pernikahannya.
Di pandangnya hamparan awan di langit, memasang muka mengadu di sela helaan napas panjangnya. “Ya Tuhan, apa dia benar-benar suamiku? Ini baru hari pertama kami menikah, tapi dia sudah sangat menyebalkan. Tuhan, tolong sulap hatiku yang lemah lembut ini menjadi sekuat baja seperti Ironman.” Ia mengalihkan pandangan kesalnya ke arah punggung Axton yang hampir memasuki pintu masuk rumah. “Atau beri aku kekuatan super seperti Thor agar aku bisa menyambarnya dengan petir.”
Naora menjinjing tinggi ekor kebaya pengantinnya dan kembali mengayunkan tungkainya menuju ke kediaman dengan langkah sedikit kesulitan karena rok jarik yang super ketat. Ditambah lagi kepayahannya dalam mengenakan high heels, membuat ia harus berjalan lebih berhati-hati.
“Aahk!”
Brug!
Dan sepertinya keberuntungan masih enggan berpihak kepada Naora. Baru beberapa kali kaki melangkah ia harus jatuh tersungkur dengan sangat tidak elegannya.
“Hish..! Kenapa hari ini aku begitu sial? Ahhk! Perih sekali.” Ia meringis kesakitan karena luka lecet di telapak tangannya.
Wanita cantik bak Barbie itu mencoba bangkit. Namun rok jarik pengantin super ketatnya membuat ia kepayahan untuk berdiri. Ia melirik ke arah Axton yang ternyata mengamatinya dari ambang pintu bersama Lana. Berharap, suaminya itu berbaik hati untuk menolongnya. Sayangnya, hal itu tak lebih dari sebuah impian semu belaka.
Mana mungkin Axton tiba-tiba menjelma menjadi Bapak Peri penolong yang baik hati? Mustahil. Bisa dibuktikan sekarang. Alih-alih menolongnya, Axton malah menyeringai sinis. Seolah penderitaan Naora adalah kepuasannya.
“Honey, kenapa kau malah bersikap seperti itu?” Lana menegur Axton. “Aku akan ke sana untuk membantunya.”
Axton menghalau niat Lana dengan merangkul posesif pundaknya. “Kau tidak boleh mengotori tanganmu dengan menyentuh tubuhnya. Dia bukan bayi yang tidak bisa berdiri sendiri. Biarkan saja dia,” ucap Axton.
“Tapi Honey ... .”
“Ssttt..! Jangan melawan. Kau terlalu baik untuk jadi penolongnya. Kalau tidak bisa berdiri, dia masih bisa merangkak atau mengesot. Kita masuk sekarang.” Tak ingin ada orang yang membela Naora, dengan setengah memaksa pria itu menggiring tubuh Lana ke dalam rumah.
Ucapan Axton yang terkesan seenak jidatnya itu membuat Naora berkali-kali menggerutu karena jengkel. “Aku sungguh ingin mengutuknya menjadi katak jelek!”
“Ya Tuhan ... Nona apa kau baik-baik saja? Biarkan saya membantumu.”
Perhatian Naora teralih seketika saat seorang wanita bersuara lembut dan berparas ke-ibuan datang mendekati. Dengan hati-hati wanita itu membantunya berdiri. Ia bahkan menebas kotoran yang melekat pada gaun pengantin Naora.
“Nona apa ada yang terluka?”
Satu perasaan hangat menjalar lembut di hati Naora karena perhatian wanita tengah baya tersebut. Mimik masam seketika menguap. Kedua sudut bibir tertarik ke atas hingga tercipta sebuah senyum yang mengulas manis. Menampilkan sepasang lesung pipit di kedua pipi. Menambah pesona kecantikan bawaan lahirnya.
“Saya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan Nyonya,” balas Naora tersenyum ramah.
“Jangan panggil saya seperti itu Nona. Panggil saya Bi Milah saja. Saya yang mengasuh Tuan Muda Axton dari kecil.”
“Baik Bi Milah.”
“Maaf atas perbuatan Tuan Muda ya. Jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati atas sikapnya yang tak mengenakkan. Tapi percayalah, sebenarnya dia adalah anak yang baik dan penyayang,” tutur Milah.
Naora tersenyum masam. Baginya, perkataan Milah tentang Axton sungguh menggelitik telinga. “Apa Bi Milah bercanda? Dia baik dan penyayang? Maaf, butuh kerja keras bagiku untuk mempercayainya. Yang aku tahu, dia itu semacam spesies makhluk berdarah dingin yang menyebalkan.”
Milah terkikik. Baru kali ini ia berjumpa dengan wanita yang tanpa ragu mengungkapkan kekesalannya tentang Axton. Selama 28 tahun ia hidup bersama Tuan Muda yang sudah dianggap seperti putranya sendiri itu, tidak ada satu pun orang yang berani mengatai Axton seperti itu.
“Nona, sebaiknya ...,” perkataan Milah terjeda karena Naora menyela.
“Naora Bi, panggil namaku saja,” pinta Naora.
Milah kembali mengulas senyum. “Baiklah Nona Naora ...,” sekali lagi ucapan Mila terpangkas.
“Naora saja Bi, tidak perlu pakai embel-embel kata ‘Nona’.”
“Baiklah. Naora mari Bibi antar kamu ke dalam. Tuan Muda sudah menunggumu.”
“Sebentar Bi.” Naora menarik rok jariknya hingga sebatas lutut, lanjut melepas high heels yang membungkus kaki dan menjinjingnya. “Nah! Aku rasa seperti ini lebih baik.”
Mila mendengus geli melihat sikap Naora yang terkesan apa adanya. Dia sangat berbeda dengan Nona Lana. Naora lebih memiliki aura yang mudah untuk disayangi, batinnya mengagumi.
Di ruang tamu, Naora duduk di sofa seberang meja yang berhadapan dengan Axton dan tentu juga tidak ketinggalan sosok Lana yang selalu menggelayut manja di lengan kekar Axton seolah menegaskan bahwa pria itu adalah miliknya. Layaknya seorang anak kecil yang tak rela membagi permen kesukaannya kepada temannya, begitulah kesan yang ditunjukkan Lana di balik muka lembutnya.
“Aku sudah menikah.” Axton mulai membuka percakapan dengan suara datar namun terkesan dingin. Bahkan rona kebencian tergurat sangat jelas di mukanya.
“Iya, aku tahu itu. Kau baru saja menikah denganku, bukankah begitu?” balas Naora. Jujur, ia sangat tidak suka dengan pemandangan yang tersaji saat ini. Bagaimana bisa Axton bersikap mesra bersama wanita lain tepat di depan mata kepalanya. Ia merasa harga dirinya sebagai seorang istri dilindas tanpa perasaan.
“Bukan kau yang aku maksud, melainkan dia,” sanggah Axton. Tangannya kian melingkar posesif pundak Lana. “Gara-gara kau, aku harus menjalani pernikahan yang aku benci yaitu menikahi benalu sepertimu. Kau itu tak lebih dari orang ketiga yang menjadi duri di dalam pernikahan kami berdua.”
Naora terkejut bukan main dengan kenyataan yang baru saja ia terima dari bibir Axton. Dari awal dia tidak tahu kalau Axton sudah memiliki istri. Berbagai perasaan seketika bergemuruh dahsyat di dalam dada. Hanya saja, sebisa mungkin ia pangkas perasaan itu dengan tetap bersikap tenang dan tegar.
“Jika kau membencinya, kenapa tetap menyetujui pernikahan ini? Seharusnya kau menolaknya dari awal.”
Axton berdecak sinis. “Kau itu memang bodoh atau berpura-pura bodoh? Daddy memaksaku untuk menikahimu karena sebagai bentuk balas budinya kepada kedua orang tuamu yang sudah mati itu.”
“Berhati-hatilah ketika berbicara tentang kedua orang tuaku!” tandas Naora yang mulai terpancing emosi. Namun gegas ia atur kembali perasaannya. “Apa Daddy Edrich mengetahui tentang istrimu itu?”
“Dia tidak akan tahu, kecuali kau yang membongkarnya.” Ucapan Axton sukses mengundang mimik muka penuh tanya di muka Naora. “Jadi, sebaiknya kau jaga mulutmu jika tidak ingin aku merobeknya dengan tanganku sendiri.” Sebuah ultimatum terlisan tegas dan penuh penekanan dari sepasang bibirnya.
“Honey, jangan berbicara terlalu kasar dengannya. Bagaimanapun juga dia istrimu,” pinta Lana. Mengusap lembut lengan Axton, bahkan suaranya terdengar begitu menenangkan bagi pria berparas dingin itu.
Sesaat, Axton memberi tatapan hangat penuh cinta kepada Lana. “Istriku hanya kamu Lana, tidak ada yang lain.” Ia lanjut menghunus tatapan sinis ke Naora yang nyatanya masih terlihat tegar dengan muka terus terangkat, membalas tatapan sinis Axton sebiasa mungkin.
“Jika bukan karena Lana yang memintanya, aku tidak mungkin membiarkanmu tinggal bersama di istana kami.”
Naora tersenyum hambar. Ingin rasanya ia tertawa lepas, sayangnya tidak ada hal lucu yang dapat ditertawakan. “Kau sungguh luar biasa. Haruskah aku berterima kasih kepada istrimu itu karena kebaikannya?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu Naora,” sela Lana merasa tak enak hati.
“Lana, dia memang seharusnya berterima kasih denganmu karena kamu mau menerima keberadaannya di rumah kita,” ucap Axton.
Naora berdecak kesal. “Yang benar saja. Seharusnya kalian meminta maaf kepadaku karena sudah menipuku.”
“Dan hal itu tidak akan terjadi,” tandas Axton.
“Kalau begitu ceraikan aku.” Tiada keraguan di kala Naora mengucapkan kata cerai.
“Sebelum kau memintanya, aku memang berniat menceraikanmu.”
“Ya sudah, ceraikan aku sekarang juga.”
“Kita tidak akan bercerai dalam waktu dekat. Dan untuk kapan waktunya, aku yang menentukan.”
“Kau egois.”
“Bodoh! Masih ada nama baik Daddy yang harus dijaga. Apa kau tidak memikirkan perasaannya jika kita bercerai begitu cepat? Pikirkan juga kesehatannya.”
Naora terdiam. Kali ini ia membenarkan perkataan Axton. Kenapa dia sempat tidak memikirkan hal itu. Bagaimana mungkin ia tega membuat Ayah angkatnya tersebut menanggung malu karena dirinya. Kalau itu sampai terjadi, sungguh dia akan menjadi putri angkat yang tak tahu diri dan tak mengerti balas budi.
Axton mengambil satu pijakan untuk membawa tubuh gagahnya berdiri, begitu juga dengan Lana. “Dan satu hal yang harus kutekankan. Jangan berharap akan kehadiran cinta di dalam pernikahan sialan ini. Sampai kapan pun, hal itu tidak akan terjadi,” tandasnya.
“Dan jangan salahkan aku jika suatu saat kau harus menjilat air ludah yang sudah kau sembur karena terpesona dan jatuh cinta kepadaku,” ucap Naora dengan kepercayaan diri yang menjulang tinggi menembus kahyangan para bidadari.
☘
☘
☘
Bersambung~~
Diterjen: Thor, kabulkan doanya Naora, beri dia kekuatan super seperti Ironman dan Thor.
Thor: He'eh.
Diterjen: Makasih Thor.
Thor: Eeits! Bayar dulu.
Diterjen: Dasar matre.
Thor: biarin🤪
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Nur Ain
hahaha hanya Allah yg mampu bilal balik hati
2023-01-20
1
Husna
suka sama karakter naora yg tegas dan tegar,,lanjut,,
2022-06-02
0
💮Aroe🌸
seru kie, bikin jiwa gemezku meronta ronta😆
2022-04-12
2