“Dan jangan salahkan aku jika suatu saat kau harus menjilat air ludah yang sudah kau sembur karena terpesona dan jatuh cinta kepadaku,” ucap Naora dengan kepercayaan diri yang menjulang tinggi menembus kahyangan para bidadari.
“Kau terlalu percaya diri, Benalu.”
“Naora Alesha, itu nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku, jadi berhentilah memanggilku dengan sebutan benalu,” tandas Naora, lalu memilih beranjak dari duduknya. “Daddy Edrich bilang, kehadiranku selalu membawa keberuntungan baginya. Sesuai dengan namaku yang bermakna ‘bunga keberuntungan’ jadi sangat berbeda dengan tumbuhan benalu yang selalu merugikan pohon yang ditumpanginya,” sambungnya kembali.
Naora kembali menarik rok jarik pengantinnya sebatas lutut, memutar tumit lalu melenggang menuju kamar yang sebelumnya sudah ditunjukkan Milah. Meninggalkan sepasang suami istri itu yang tengah terperangah.
Namun baru beberapa kali tungkainya terayun, ia kembali memutar tubuhnya di pijakan terakhir. “Apa malam ini kau akan tidur bersamaku untuk melakukan malam pertama?” pertanyaan sefrontal itu terlisan sangat ringan di bibir Naora. Lebih ringan dari bulu anak ayam yang baru menetas. Tiada kesan canggung apalagi rona merah di pipi ala-ala seorang gadis perawan yang tersipu malu.
Naora ... Naora ... ada-ada saja.
“Jangan mimpi!” balas Axton.
“Mungkin justru kau kelak yang akan memimpikannya.”
Fyuh! Syukurlah. Jadi malam ini aku bisa istirahat dengan tenang, batin Naora merasa lega dan akhirnya kembali membawa kaki melangkah, menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar.
Pandangan Axton tak lepas dari punggung Naora hingga menghilang di balik dinding. Tatapan dan mimik mukanya menggambarkan sesuatu yang sukar terbaca oleh pengamatan intens Lana.
Dia seolah terus berusaha menekankan kepadaku bahwa dia bukan wanita lemah. Ia bahkan tidak menangis Ck! Kita lihat saja, seberapa tangguhnya dirimu Naora, batin Axton. Ternyata, ia mulai tertantang oleh rasa penasarannya sendiri.
“Honey ... apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau terus memperhatikannya?” Lana yang menyadari gelagat tak biasa dari sang suami tersebut gegas memberi teguran agar segera sadar dan kembali memperhatikannya. Rasanya ia tak rela jika Axton melayangkan pandangan penuh arti kepada Naora meski barang sedetik pun.
“Apa kau mulai terpesona kepadanya?” imbuhnya menyelidik.
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Lana? Hal itu mana mungkin terjadi.” Axton tertegun ketika ia memutar leher, netra basah Lana kembali terlihat karena menangis. Wanita itu bahkan memilih pergi meninggalkan Axton.
“Lana ...,” panggilnya, namun tak diindahkan oleh sang istri. “Errg..! Keberadaan si wanita benalu itu memang pembawa masalah!”
…
Daun pintu kamar tertutup sempurna. Wanita yang masih terbalut gaun pengantin itu seketika beringsut tak berdaya. Beban lara yang melanda, seolah merenggut seluruh tenaga hingga kaki tak mampu menopang raga.
Sesak yang membekam, menuntun tangan meremas kuat kain di dada. Menahan sakit karena goresan luka. Meski gejolak rasa yang bertabuh tak lagi mampu menahan tetesan air mata.
“Kau kuat Naora. Kau hebat. Setidaknya kau tidak menangis di depannya.” Wanita berlensa hazel itu tampak terus menguatkan diri, kendati tak mampu menghalau buliran kristal yang terus membelah pipi.
Dusta jika ia tak merana. Dia juga manusia, dia juga wanita. Makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi oleh kelembutan hati. Bahkan karena terlampau lembutnya, perasaan wanita mudah sekali tersentuh dan rapuh tak terkecuali Naora.
Tak mampu dipungkiri, rasa sakit hati itu ada. Ia tidak pernah menyangka, bahwa bukan manisnya madu yang dirasa di awal pernikahannya melainkan pahitnya empedu.
Percayalah, ia telah berusaha membentengi diri dengan segenap kesabaran hati semenjak Axton menunjukkan sikap dingin di acara resepsi pernikahan mereka. Bahkan perisai ketegaran dipasang tegas di depan mata saat bertemu dengan sosok Lana untuk pertama kalinya.
“Ayah ... Ibu ... apa kalian melihatnya dari surga? Tuhan sepertinya sangat menyayangi putri kalian ini. Sekali lagi, Dia memberiku ujian hidup setelah memisahkan aku dengan kalian.” Isak tangis yang semula ditahan sekuat tenaga, akhirnya mencelos juga di balik telapak tangan yang membungkam bibir meronanya.
Naora menghembus napas yang terasa berat. Berharap tindakan kecilnya itu mampu mengurangi peliknya belenggu perasaan di dada. “Aku sangat kecewa dengan Axton, harusnya aku membencinya. Tapi ... mata itu ...,” sesenggukan samar membuat suaranya tercekat sesaat di tenggorokan. “Mata milik Axton, mengingatkanku kepada Ibuku. Aku merasa seperti Ibu sedang melihatku saat Axton melihatku. Apa yang aku rasa juga sama ketika aku berdekatan dengan Daddy Edrich. Aku selalu merasa akan kehadiran Ayah saat Daddy Edrich memelukku.”
Sementara di sudut ruangan yang lain. Axton tengah berbicara dari hati ke hati dengan Lana yang masih merajuk. Tersedu-sedu, Lana terus menumpahkan kesedihannya di dalam pelukan hangat Axton. Berbeda dengan Naora yang harus meringkuk sendirian di kamarnya, memeluk kedua lutut sebagai tempat menumpahkan segala lara hati.
“Lana ... apa yang harus aku lakukan agar kau berhenti menangis?”
“Aku takut, Honey ... aku takut kau akan berpaling dariku karena dia. Rasanya aku tidak sanggup menerimanya.”
“Lana, bukankah dari awal kau yang terus mendorongku untuk menerima pernikahan ini?”
“Itu karena aku takut akan ancaman Daddymu yang akan membuat kita tidak bisa saling bertemu lagi jika aku masih melanjutkan jalinan kasih bersamamu. Tanpa ia ketahui bahwa kita sudah menikah. Dia tidak tahu, bahwa aku ini anak menantunya.” Lana kian tergugu.
Axton sedikit mengurai pelukannya, menatap sendu muka basah Lana. “Andai dari awal kau mau mendengarku waktu itu untuk berterus terang kepada Daddy tentang pernikahan kita, pasti Daddy tidak akan menyuruhku menikahi wanita itu. Dan kau juga tidak akan sesedih seperti saat ini.” Axton menghela napas berat. Menepis rasa tak nyaman di hati.
“Dan pernikahan rahasia kita ini juga atas kemauanmu bukan?” imbuhnya lagi.
“Honey, bukankah kau tahu jika dari awal bahwa Daddymu sudah menunjukkan perasaan tidak sukanya kepadaku secara terang-terangan? Jadi aku lakukan ini semua demi kamu. Agar ia tidak semakin membencimu karena wanita miskin dan tak berpendidikan tinggi seperti aku.”
“Maaf, aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Lana.” Axton kembali menenggelamkan tubuh Lana ke dadanya.
Terus terang, hingga saat ini Axton tidak tahu pasti apa alasan kebencian Edrich kepada Lana. Jika strata sosial Lanalah yang menjadi tembok besar penghalang akan restu Edrich bukankah ia tidak akan memaksanya untuk menikahi Naora. Mengingat bahwa Naora juga berasal dari strata sosial kelas bawah.
“Aku sangat takut Honey, kalau kau mulai tertarik kepada istri ke-duamu. Jujur, aku tak rela berbagi cinta dengannya,” ucap Lana.
Sebenarnya semua lontaran kalimat terang-terangan Naora waktu di ruang tamu tadi, sukses mengusik pikiran Lana. Sikap Madunya yang terkesan berani dan jauh dari kata lemah itu, sungguh menimbulkan sebuah kerissauan.
“Apa yang kamu katakan Lana? Dalam hidupku hanya kau yang aku cinta. Aku tidak akan membagi cintaku kepada wanita lain.”
“Benarkah? Berjanjilah.”
“Iya aku berjanji.”
“Honey ... apakah aku salah jika merasa tidak nyaman dengan semua perkataan Naora tadi? Jujur, dia seperti berniat merebutmu dariku.”
“Kau tidak salah, Lana sayang. Wanita benalu itu memang terlalu tinggi dalam bermimpi,” Axton masih mencoba menenangkan Lana.
Lana sedikit mendongak kepalanya ke arah Axton. “Tapi tadi aku lihat, kau sama sekali tidak ada bantahan seolah apa yang dia katakan akan benar terjadi. Itu sangat menggangguku.”
“Bukan seperti itu Lana ... baiklah, setelah ini aku akan berbicara kepadanya dan kembali menegaskan bahwa hanya kau satu-satunya istriku yang aku cintai.”
Di sela muka sedihnya, Lana mengulas senyuman lega. “Terima Kasih. Honey ... bisakah aku meminta sesuatu kepadamu?”
“Katakan saja, semua yang kau pinta pasti aku turuti.”
“Meski aku tidak menyukai pernikahanmu dengan Naora, tapi aku tidak ingin kau terlalu bersikap kasar kepadanya. Sedikit berbaik hatilah kepadanya.”
Axton kembali mengurai pelukannya, menatap heran muka Lana. “Kenapa kau masih mau bersikap baik kepadanya? Bukankah dia adalah duri di dalam pernikahan kita?”
“Bagaimanapun juga, dia adalah istrimu, Honey.”
“Kau harus tahu, sangat sulit bersikap baik kepada orang yang aku benci. Lagi pula dia hanyalah istri tak kuanggap." Axton melempar tatapan menyelidik. "Jangan bilang kalau kau mengasihaninya, Lana.”
Lana sedikit menunduk, melepas tautan mata tajam Axton. “Aku memang mengasihaninya.”
“Itulah dirimu, Lana. Hatimu begitu lembut dan mudah sekali merasa kasihan. Tapi maaf, jika untuk bersikap baik dengannya, aku tak ingin berjanji.”
“Aku tidak akan memaksamu,” Lana menghela napas berat sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebenarnya aku juga sangat berharap, Naora bisa bersikap baik kepadaku. Meski aku tidak yakin akan hal itu, karena dia tadi terlihat sangat kecewa.”
“Akan aku pastikan dia tidak akan berbuat buruk kepadamu, Lana. Aku akan siksa dia jika hal itu sampai terjadi.”
☘
☘
☘
Bersambung~~
Diterjen: Thor...
Thor: Kenape lagi?
Ditergen: Kok nggak dikasih tahu alasan Axton membenci Naora? Dan balas budi untuk apa yang dimaksud?
Thor: Sabar... nanti ada jawabannya.
Ditergen: Kasih tahu sekarang Thor.
Thor: Ini anak perasaan maksa melulu🤨
Ditergen: Karena yang maksa-maksa itu enak Thor😁
Thor: Alamak..🤦♀️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
sandi Gelau
Lana tu mcm ada sesuatu disembunyikan
2023-05-05
0
Lila Alatas
belum terkuak,
sebab kebencian ayah y Acton.
2023-04-03
0
Kusii Yaati
pertama kali baca novel ini aq langsung suka,
2023-01-02
1