Muhasabah (Cinta)
Tidak mudah untuknya bisa sampai di hari ini. Berbagai macam keraguan dan masalah turut menjadi sandungan dalam langkahnya.
Ketika ia ragu dengan jalan yang ia ambil, selalu ada uluran tangan yang menarik dirinya kembali agar bisa berdiri teguh menapaki jalan yang sama. Ketika ia kebingungan menghadapi suatu masalah, selalu ada uluran tangan yang menarik dirinya kembali agar tidak terbuai dalam sebuah kebingungan.
Intinya, entah itu keraguan atau sebuah masalah, Allah selalu mengirimkan sentuhan hangat kepadanya agar jangan menyerah dan tetap berjalan maju.
Hingga akhirnya ia di sini, berdiri di depan cermin menatap dirinya yang terbalut gaun pengantin putih dengan warna hijau muda cantik yang lebih mendominasi.
Hari ini, ia berlipat-lipat lebih cantik dari biasanya. Kelopak matanya yang biasa tertunduk kini terbuka lebar menghadap cermin. Mengerjap ringan, kelopak mata persik itu hari ini memiliki sedikit sentuhan warna, tampak indah dan menawan di waktu yang bersamaan.
"Kak Aishi?" Seorang gadis tinggi datang menghampirinya.
Sekilas, gadis itu terlihat seperti Bunda tapi setelah diperhatikan lebih jauh itu hanya sedikit mirip.
"Rumaisha." Ai menoleh ke belakang melihat kedatangan adiknya yang sangat jarang di rumah.
Sejak usia 7 tahun, si kembar Qais, Rumaisha, dan Ahza telah dikirim ke pondok pesantren untuk menuntut ilmu. Saat itu orang yang paling enggan meninggalkan rumah adalah Ahza sedangkan Qais dan Rumaisha adalah orang yang paling tegar. Namun, setelah mengenal pondok pesantren, orang yang paling betah dan tidak ingin pulang justru Ahza sendiri karena ia telah jatuh cinta dengan suasana pondok.
Si kembar tahun ini berusia 13 tahun tapi tinggi mereka hampir menyamai Ai.
"Kak Aishi, selamat menempuh hidup baru." Dia memeluk Ai kuat, menyembunyikan wajah cantiknya yang mulai memerah karena menahan tangis.
Sejujurnya dia tidak rela berpisah dengan Ai. Karena Rumaisha tidak mau kehilangan sosok Kakak sekaligus Adik di rumah ini. Benar, sekalipun Ai adalah Kakaknya, namun terkadang Rumaisha seringkali menganggap Ai sebagai Adik yang harus ia jaga dan lindungi.
"Terimakasih, dek." Ai membalas pelukan Adiknya erat.
Rumaisha adalah gadis cantik yang cerdas. Selain menuruni kecantikan Bunda, ia juga menuruni kecerdasan dan sikap tegas Bunda. Sehingga tidak jarang ketika ada masalah Rumaisha lebih memilih memecahkannya sendirian tanpa melibatkan Ayah dan Bunda.
Cklack
Pintu kamar Ai dibuka oleh ketiga Adiknya yang lain. Mereka semua laki-laki yang tampan dan tinggi-tinggi.
"Kak..." Qais tersenyum tampan, tangan kanannya meraih tangan Ai hati-hati dan memeluknya Ai hangat.
"Hari ini akhirnya tiba." Bisiknya ikut berbahagia.
Ai membalas pelukan Qais,"Janji Allah itu pasti, Dek."
Ketika hati telah sepenuhnya menjadi milik Allah, maka segala ketetapan tidak akan terasa sangat memberatkan. Karena hati selalu mempercayai bahwa janji Allah itu pasti, janji untuk orang-orang yang mencintai Allah dengan tulus.
"Sejujurnya, Qais pernah berjanji kepada Ayah dan Bunda akan menikahi Kakak setelah usia Qais dewasa nanti. Tapi qadarullah, sebelum Qais bisa menunaikannya Allah ternyata telah menetapkan pendamping hidup yang sangat baik untuk Kakak." Pengakuannya jelas mengejutkan semua orang.
Di antara si kembar, orang yang paling dewasa adalah Qais. Dia sudah bisa berpikir panjang bahkan disaat usianya masih kecil. Seperti Rumaisha, setiap kali mendapatkan masalah Qais cenderung menyelesaikan semuanya sendirian.
"Dek, kamu..." Ai kesulitan melanjutkan kata-katanya.
Rumaisha dan Ahza tertawa kecil, mereka menarik Qais menjauh dari Ai yang masih sangat terkejut setelah mendengar pengakuan Qais.
"Dia bercanda, Kak." Kata Rumaisha berbohong.
Padahal dia tahu sendiri bila Qais memang pernah berniat menikahi Ai. Meskipun itu adalah sebuah janji anak laki-laki yang baru remaja namun Rumaisha tahu bila Qais serius.
"Astagfirullah, kamu membuat Kakak terkejut saja." Ai menghela nafas panjang seraya mengelus dada datarnya bersyukur.
Cklack
Pintu kamar Ai dibuka. Bunda masuk ke dalam dengan balutan gamis sederhananya yang di dominasi oleh warna hijau muda mengikuti gaun pengantin Ai.
"Nak, ayo turun. Calon suamimu sudah menunggu di bawah." Kata Bunda dengan wajah berseri-seri.
Dug
Dug
Dug
Jantung Ai bergema panik bercampur dengan perasaan gugup. Kegelisahan yang sempat melanda hatinya tadi kini kembali terasa. Ai tidak tenang bukan karena tidak ingin turun tapi lebih kepada takut bercampur harap-harap cemas.
Dia telah menunggu kedatangan hari ini sejak beberapa hari yang lalu dan seringkali kesulitan tidur setiap kali memikirkannya.
"Kakak, gugup?" Tanya Rumaisha sambil memegang lengan Ai.
Wajah Ai sangat merah, dan ia secara alami menundukkan kepalanya. Mengangguk pelan mengakui bahwa ia sungguh sangat gugup.
"Tidak apa-apa, sayang." Kata Bunda sambil mengangkat wajah Ai.
Tangan rampingnya yang sudah tidak sekencang dulu bergerak mengelus lembut wajah cantik Ai. Menyentuhnya pelan untuk menenangkan kegugupan Ai.
"Semua orang pasti akan melewati masa-masa ini ketika berada di posisi kamu, Nak. Ini adalah hal yang normal untuk setiap orang karena momen ini hanya terjadi sekali seumur hidup bagi yang mendambakan pernikahan yang serius. Bahkan Bunda dan Ayah juga pernah berada di posisi kamu. Tangan kami," Dia mengambil tangan Ai dan menyentuhnya lembut.
Merasakan betapa dingin telapak tangan Ai sekarang.
"Sangat dingin. Bunda bahkan bingung bagaimana cara menghangatkannya karena meremat nya kuat pun tidak berguna. Lalu dada Bunda dan Ayah," Dia menyentuh ujung hidung putrinya gemas.
"Dada kami terus menerus berdebar kencang. Terdengar semakin keras ketika akad akan segera dimulai dan ini semua normal, Nak. Kita semua pasti merasakannya. Jadi," Ia menggenggam tangan Ai.
"Jangan takut. Jangan ragu melangkah karena di bawah sana ada calon suamimu yang sudah datang jauh-jauh siap menghalalkan mu."
Datang jauh-jauh menghalalkannya, Ustad Vano benar-benar datang menghalalkannya.
Mengingat senyuman tampan Ustad Vano malam itu ketika berjanji di depan Ayah dan Bunda, tiba-tiba Ai merasa lebih berani.
Gugup memang tidak bisa dihilangkan tapi setidaknya dia tidak setakut sebelumnya mengambil langkah.
Cukup keluarga dan sang kekasihnya yang menerima semua 'kelebihan' yang Allah berikan ini, selain mereka, Ai tidak akan mempermasalahkannya karena pendapat orang berbeda-beda.
"Sudah siap?" Bunda bisa merasakan keberanian putrinya.
Ai mengangguk malu. Wajah cantiknya yang menawan terlihat agak merah di bawah pengawasan Bunda dan adik-adiknya.
"Bismillah, ayo kita keluar, Nak." Bunda berkata sambil memegang lengan kanan Ai sementara Rumaisha memegang lengan kiri Ai.
Qais dan Ahza memimpin jalan di depan. Membukakan pintu untuk Bunda ratu dan para tuan putri yang hari ini tampil begitu mempesona.
Tuk
Tuk
Tuk
Suara langkah kaki mereka langsung menarik perhatian semua orang di lantai bawah. Terdiam, kepala mereka spontan terangkat tinggi dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Bertanya-tanya siapakah gadis beruntung yang telah berhasil mencuri hati sang pemuda tampan yang kini tengah berdiri mematung menatap ke arah lantai dua.
Menatap terpesona pada gadis cantik terbalut gaun pengantin yang sama dengan miliknya. Untuk sejenak, dia lupa bagaimana caranya bernafas karena saat ini seluruh fokusnya di ambil alih oleh gadis itu.
Gadis yang akan sebentar lagi halal untuknya, gadis yang sebentar lagi menjadi istrinya, menemani setiap langkahnya kelak dalam menapaki jalan yang Allah ridhoi.
Dia adalah Aishi Humaira, sang wanita surga yang kini bertahta menjadi bidadari dunia.
"Mashaa Allah, pengantin wanitanya begitu cantik."
"Wajahnya tidak menggunakan riasan tebal dan masih terlihat sangat cantik!"
"Sekarang aku mengerti kenapa pemuda itu menikahinya."
"Hei, jangan salah. Gadis itu tidak hanya cantik tapi juga sangat indah. Dia seperti tipe kecantikan yang keluar dari lukisan!"
Ada berbagai macam bisikan-bisikan kagum para tamu undangan ketika melihat kecantikan Ai yang lebih pantas disebut sebagai lukisan hidup. Dia sangat menawan, kedua matanya indah dengan bentuk buah persik yang membuat candu, dan bibir merah nan ranum itu... beberapa pria dibuat terbuai olehnya hari ini.
"Mengapa ijab kabul nya begitu lama?" Gumam Ustad Vano terganggu mendengar komentar-komentar itu.
Apalagi ketika ia melihat mata-mata para pria yang tidak bisa lepas dari istrinya- ah, lebih tepatnya calon istrinya.
Dia cemburu, jujur.
Rasanya ingin sekali Ustad Vano membawa Ai segera pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkannya keluar karena, hei!
Ai adalah miliknya, okay!
Dia tidak akan pernah mengizinkan siapapun memandanginya seperti ini apalagi sampai menyentuhnya!
"Nak, tenangkan dirimu. Jika kamu kesurupan sekarang, Ai hari ini gagal kamu dapatkan." Papa mengingatkan Ustad Vano agar lebih bersabar lagi.
Ustad Vano kembali membawa pandangannya menatap sang calon istri. Di dalam hatinya ia menyesal dulu tidak membawa Papanya ikut mondok. Karena jika Papa mondok bersamanya, maka akhlaknya akan sedikit membaik.
Sementara itu, Ayah adalah orang pertama yang menyambut kedatangan Ai di bawah. Ia mengambil alih Ai dari Bunda dan Rumaisha, membawanya naik ke atas pelaminan dengan langkah hati-hati.
"Ayah." Panggil Ai berbisik.
Ayah meremat ringan tangan Ai,"Ayah bahagia, Nak." Balas Ayah berbisik.
Sebelum mendudukkan Ai, Ayah terlebih dulu menutup wajah cantik putrinya yang begitu menawan hari ini dengan tudung kepala transparan, lalu membantunya duduk tepat di samping Ustad Vano yang entah sejak kapan kembali duduk di tempatnya. Ustad Vano tiba-tiba menjadi serius, dia tidak pernah mengangkat kepalanya untuk sekedar menoleh melihat Ai yang kini tengah duduk dengan kepala tertunduk di sampingnya.
"Akad akan segera kita mulai." Suara pembawa acara kembali menarik fokus semua orang.
Mereka secara kompak menutup mulut mereka. Mendengarkan suara merdu Qais melantunkan ayat-ayat suci tentang pernikahan.
5 menit kemudian Qais telah menyelesaikan bacaan Al-Qur'annya yang kemudian dilanjutkan dengan acara ijab kabul.
Di tengah-tengah pelaminan Ayah duduk berhadapan dengan Ustad Vano. Tangan kuatnya terulur ke depan dan langsung disambut dengan berani pula oleh Ustad Vano.
Ayah memejamkan matanya, beberapa detik kemudian ia membuka kedua matanya yang telah memerah. Suara lantang Ayah bergema di dalam pendengaran banyak orang. Menjadi cambuk penyemangat untuk Ustad Vano yang telah lama menunggu momen ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Biva Nurhuda
menyimak
2024-05-12
0
adning iza
langsung pindh ksni thoorrr
2023-04-04
0
mel-sf🐣
mohon maaf ya thor sekedar mengingatkan kan ai anak angkat yah jadi ayah angkatnya ngak bisa dong jadi wali nikahnya si ai,jangankan jadi wali nikah menyentuhnya pun ayah angkatnya ngak boleh klok udah balig karna bukan mahram kecuali yg dia angkkat menjadi anak tuh keponakkanya atau keponakkan istrinya baru boleh bersentuhan walau sudah balig karna masih termasuk mahramnya itupun dia tak bisa jadi wali nikah klau seandainya ayah dari keponakkannya masih ada kecuali kalau dia org tuanya dah ngak ada dan ngak punya kakak maka pamannya itu bisa jadi wali nikahnya
2022-12-18
1