NovelToon NovelToon

Muhasabah (Cinta)

1. Akad

Tidak mudah untuknya bisa sampai di hari ini. Berbagai macam keraguan dan masalah turut menjadi sandungan dalam langkahnya.

Ketika ia ragu dengan jalan yang ia ambil, selalu ada uluran tangan yang menarik dirinya kembali agar bisa berdiri teguh menapaki jalan yang sama. Ketika ia kebingungan menghadapi suatu masalah, selalu ada uluran tangan yang menarik dirinya kembali agar tidak terbuai dalam sebuah kebingungan.

Intinya, entah itu keraguan atau sebuah masalah, Allah selalu mengirimkan sentuhan hangat kepadanya agar jangan menyerah dan tetap berjalan maju.

Hingga akhirnya ia di sini, berdiri di depan cermin menatap dirinya yang terbalut gaun pengantin putih dengan warna hijau muda cantik yang lebih mendominasi.

Hari ini, ia berlipat-lipat lebih cantik dari biasanya. Kelopak matanya yang biasa tertunduk kini terbuka lebar menghadap cermin. Mengerjap ringan, kelopak mata persik itu hari ini memiliki sedikit sentuhan warna, tampak indah dan menawan di waktu yang bersamaan.

"Kak Aishi?" Seorang gadis tinggi datang menghampirinya.

Sekilas, gadis itu terlihat seperti Bunda tapi setelah diperhatikan lebih jauh itu hanya sedikit mirip.

"Rumaisha." Ai menoleh ke belakang melihat kedatangan adiknya yang sangat jarang di rumah.

Sejak usia 7 tahun, si kembar Qais, Rumaisha, dan Ahza telah dikirim ke pondok pesantren untuk menuntut ilmu. Saat itu orang yang paling enggan meninggalkan rumah adalah Ahza sedangkan Qais dan Rumaisha adalah orang yang paling tegar. Namun, setelah mengenal pondok pesantren, orang yang paling betah dan tidak ingin pulang justru Ahza sendiri karena ia telah jatuh cinta dengan suasana pondok.

Si kembar tahun ini berusia 13 tahun tapi tinggi mereka hampir menyamai Ai.

"Kak Aishi, selamat menempuh hidup baru." Dia memeluk Ai kuat, menyembunyikan wajah cantiknya yang mulai memerah karena menahan tangis.

Sejujurnya dia tidak rela berpisah dengan Ai. Karena Rumaisha tidak mau kehilangan sosok Kakak sekaligus Adik di rumah ini. Benar, sekalipun Ai adalah Kakaknya, namun terkadang Rumaisha seringkali menganggap Ai sebagai Adik yang harus ia jaga dan lindungi.

"Terimakasih, dek." Ai membalas pelukan Adiknya erat.

Rumaisha adalah gadis cantik yang cerdas. Selain menuruni kecantikan Bunda, ia juga menuruni kecerdasan dan sikap tegas Bunda. Sehingga tidak jarang ketika ada masalah Rumaisha lebih memilih memecahkannya sendirian tanpa melibatkan Ayah dan Bunda.

Cklack

Pintu kamar Ai dibuka oleh ketiga Adiknya yang lain. Mereka semua laki-laki yang tampan dan tinggi-tinggi.

"Kak..." Qais tersenyum tampan, tangan kanannya meraih tangan Ai hati-hati dan memeluknya Ai hangat.

"Hari ini akhirnya tiba." Bisiknya ikut berbahagia.

Ai membalas pelukan Qais,"Janji Allah itu pasti, Dek."

Ketika hati telah sepenuhnya menjadi milik Allah, maka segala ketetapan tidak akan terasa sangat memberatkan. Karena hati selalu mempercayai bahwa janji Allah itu pasti, janji untuk orang-orang yang mencintai Allah dengan tulus.

"Sejujurnya, Qais pernah berjanji kepada Ayah dan Bunda akan menikahi Kakak setelah usia Qais dewasa nanti. Tapi qadarullah, sebelum Qais bisa menunaikannya Allah ternyata telah menetapkan pendamping hidup yang sangat baik untuk Kakak." Pengakuannya jelas mengejutkan semua orang.

Di antara si kembar, orang yang paling dewasa adalah Qais. Dia sudah bisa berpikir panjang bahkan disaat usianya masih kecil. Seperti Rumaisha, setiap kali mendapatkan masalah Qais cenderung menyelesaikan semuanya sendirian.

"Dek, kamu..." Ai kesulitan melanjutkan kata-katanya.

Rumaisha dan Ahza tertawa kecil, mereka menarik Qais menjauh dari Ai yang masih sangat terkejut setelah mendengar pengakuan Qais.

"Dia bercanda, Kak." Kata Rumaisha berbohong.

Padahal dia tahu sendiri bila Qais memang pernah berniat menikahi Ai. Meskipun itu adalah sebuah janji anak laki-laki yang baru remaja namun Rumaisha tahu bila Qais serius.

"Astagfirullah, kamu membuat Kakak terkejut saja." Ai menghela nafas panjang seraya mengelus dada datarnya bersyukur.

Cklack

Pintu kamar Ai dibuka. Bunda masuk ke dalam dengan balutan gamis sederhananya yang di dominasi oleh warna hijau muda mengikuti gaun pengantin Ai.

"Nak, ayo turun. Calon suamimu sudah menunggu di bawah." Kata Bunda dengan wajah berseri-seri.

Dug

Dug

Dug

Jantung Ai bergema panik bercampur dengan perasaan gugup. Kegelisahan yang sempat melanda hatinya tadi kini kembali terasa. Ai tidak tenang bukan karena tidak ingin turun tapi lebih kepada takut bercampur harap-harap cemas.

Dia telah menunggu kedatangan hari ini sejak beberapa hari yang lalu dan seringkali kesulitan tidur setiap kali memikirkannya.

"Kakak, gugup?" Tanya Rumaisha sambil memegang lengan Ai.

Wajah Ai sangat merah, dan ia secara alami menundukkan kepalanya. Mengangguk pelan mengakui bahwa ia sungguh sangat gugup.

"Tidak apa-apa, sayang." Kata Bunda sambil mengangkat wajah Ai.

Tangan rampingnya yang sudah tidak sekencang dulu bergerak mengelus lembut wajah cantik Ai. Menyentuhnya pelan untuk menenangkan kegugupan Ai.

"Semua orang pasti akan melewati masa-masa ini ketika berada di posisi kamu, Nak. Ini adalah hal yang normal untuk setiap orang karena momen ini hanya terjadi sekali seumur hidup bagi yang mendambakan pernikahan yang serius. Bahkan Bunda dan Ayah juga pernah berada di posisi kamu. Tangan kami," Dia mengambil tangan Ai dan menyentuhnya lembut.

Merasakan betapa dingin telapak tangan Ai sekarang.

"Sangat dingin. Bunda bahkan bingung bagaimana cara menghangatkannya karena meremat nya kuat pun tidak berguna. Lalu dada Bunda dan Ayah," Dia menyentuh ujung hidung putrinya gemas.

"Dada kami terus menerus berdebar kencang. Terdengar semakin keras ketika akad akan segera dimulai dan ini semua normal, Nak. Kita semua pasti merasakannya. Jadi," Ia menggenggam tangan Ai.

"Jangan takut. Jangan ragu melangkah karena di bawah sana ada calon suamimu yang sudah datang jauh-jauh siap menghalalkan mu."

Datang jauh-jauh menghalalkannya, Ustad Vano benar-benar datang menghalalkannya. 

Mengingat senyuman tampan Ustad Vano malam itu ketika berjanji di depan Ayah dan Bunda, tiba-tiba Ai merasa lebih berani.

Gugup memang tidak bisa dihilangkan tapi setidaknya dia tidak setakut sebelumnya mengambil langkah.

Cukup keluarga dan sang kekasihnya yang menerima semua 'kelebihan' yang Allah berikan ini, selain mereka, Ai tidak akan mempermasalahkannya karena pendapat orang berbeda-beda.

"Sudah siap?" Bunda bisa merasakan keberanian putrinya.

Ai mengangguk malu. Wajah cantiknya yang menawan terlihat agak merah di bawah pengawasan Bunda dan adik-adiknya.

"Bismillah, ayo kita keluar, Nak." Bunda berkata sambil memegang lengan kanan Ai sementara Rumaisha memegang lengan kiri Ai.

Qais dan Ahza memimpin jalan di depan. Membukakan pintu untuk Bunda ratu dan para tuan putri yang hari ini tampil begitu mempesona.

Tuk

Tuk

Tuk

Suara langkah kaki mereka langsung menarik perhatian semua orang di lantai bawah. Terdiam, kepala mereka spontan terangkat tinggi dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan. Bertanya-tanya siapakah gadis beruntung yang telah berhasil mencuri hati sang pemuda tampan yang kini tengah berdiri mematung menatap ke arah lantai dua.

Menatap terpesona pada gadis cantik terbalut gaun pengantin yang sama dengan miliknya. Untuk sejenak, dia lupa bagaimana caranya bernafas karena saat ini seluruh fokusnya di ambil alih oleh gadis itu.

Gadis yang akan sebentar lagi halal untuknya, gadis yang sebentar lagi menjadi istrinya, menemani setiap langkahnya kelak dalam menapaki jalan yang Allah ridhoi.

Dia adalah Aishi Humaira, sang wanita surga yang kini bertahta menjadi bidadari dunia.

"Mashaa Allah, pengantin wanitanya begitu cantik."

"Wajahnya tidak menggunakan riasan tebal dan masih terlihat sangat cantik!"

"Sekarang aku mengerti kenapa pemuda itu menikahinya."

"Hei, jangan salah. Gadis itu tidak hanya cantik tapi juga sangat indah. Dia seperti tipe kecantikan yang keluar dari lukisan!"

Ada berbagai macam bisikan-bisikan kagum para tamu undangan ketika melihat kecantikan Ai yang lebih pantas disebut sebagai lukisan hidup. Dia sangat menawan, kedua matanya indah dengan bentuk buah persik yang membuat candu, dan bibir merah nan ranum itu... beberapa pria dibuat terbuai olehnya hari ini.

"Mengapa ijab kabul nya begitu lama?" Gumam Ustad Vano terganggu mendengar komentar-komentar itu.

Apalagi ketika ia melihat mata-mata para pria yang tidak bisa lepas dari istrinya- ah, lebih tepatnya calon istrinya. 

Dia cemburu, jujur.

Rasanya ingin sekali Ustad Vano membawa Ai segera pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkannya keluar karena, hei!

Ai adalah miliknya, okay!

Dia tidak akan pernah mengizinkan siapapun memandanginya seperti ini apalagi sampai menyentuhnya!

"Nak, tenangkan dirimu. Jika kamu kesurupan sekarang, Ai hari ini gagal kamu dapatkan." Papa mengingatkan Ustad Vano agar lebih bersabar lagi.

Ustad Vano kembali membawa pandangannya menatap sang calon istri. Di dalam hatinya ia menyesal dulu tidak membawa Papanya ikut mondok. Karena jika Papa mondok bersamanya, maka akhlaknya akan sedikit membaik.

Sementara itu, Ayah adalah orang pertama yang menyambut kedatangan Ai di bawah. Ia mengambil alih Ai dari Bunda dan Rumaisha, membawanya naik ke atas pelaminan dengan langkah hati-hati.

"Ayah." Panggil Ai berbisik.

Ayah meremat ringan tangan Ai,"Ayah bahagia, Nak." Balas Ayah berbisik.

Sebelum mendudukkan Ai, Ayah terlebih dulu menutup wajah cantik putrinya yang begitu menawan hari ini dengan tudung kepala transparan, lalu membantunya duduk tepat di samping Ustad Vano yang entah sejak kapan kembali duduk di tempatnya. Ustad Vano tiba-tiba menjadi serius, dia tidak pernah mengangkat kepalanya untuk sekedar menoleh melihat Ai yang kini tengah duduk dengan kepala tertunduk di sampingnya.

"Akad akan segera kita mulai." Suara pembawa acara kembali menarik fokus semua orang.

Mereka secara kompak menutup mulut mereka. Mendengarkan suara merdu Qais melantunkan ayat-ayat suci tentang pernikahan.

5 menit kemudian Qais telah menyelesaikan bacaan Al-Qur'annya yang kemudian dilanjutkan dengan acara ijab kabul.

Di tengah-tengah pelaminan Ayah duduk berhadapan dengan Ustad Vano. Tangan kuatnya terulur ke depan dan langsung disambut dengan berani pula oleh Ustad Vano.

Ayah memejamkan matanya, beberapa detik kemudian ia membuka kedua matanya yang telah memerah. Suara lantang Ayah bergema di dalam pendengaran banyak orang. Menjadi cambuk penyemangat untuk Ustad Vano yang telah lama menunggu momen ini.

2. Sah!

"Saudara Muhammad Givano Alamsyah bin Muhammad Aresid Alamsyah saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Aishi Humaira dengan mas kawin berupa emas seberat 70 gram dibayar tunai." Suara Ayah lantang sambil menyentak tangan Ustad Vano.

Dug

Dug

Dug

Detak jantung Ustad Vano kian berpacu cepat. Perasaan gembira bercampur gugup tanpa bisa dikendalikan terus saja meluap-luap di dalam hatinya. Bayangan wajah lembut Ai berkelebat di dalam kepalanya. Membayangkan mereka akhirnya bisa saling menyentuh, mendirikan shalat-shalat bersama, dan meluangkan waktu untuk berbagi ilmu bersama, Ustad Vano terpacu. Dia menggenggam erat tangan Ayah sambil menyuarakan dengan lantang kabul yang telah menjadi doa-doa dalam sujud terakhirnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Aishi Humaira binti Davin Demian dengan mas kawin berupa emas seberat 70 gram dibayar tunai." Ucap Ustad Vano tegas dan tanpa kesalahan.

"Sah?" Laki-laki paruh baya yang telah menginstruksi jalannya ijab kabul berteriak nyaring.

"SAH!" Para tamu undangan berteriak dengan semangat tinggi.

Laki-laki paruh baya itu lalu tersenyum dan mengatakan dengan suara lantang.

"Sah!"

"Alhamdulillah!" 

Setelah itu laki-laki paruh baya itu memimpin doa penutup. Mendoakan yang terbaik untuk pasangan suami-istri baru ini dan mengucapkan selamat atas pernikahan mereka.

Doa penutup telah selesai dan sudah saatnya mereka berdua untuk saling bertukar cincin. Rasanya sangat gugup untuk hati satu sama lain.

Ustad Vano dan Ai bangun dari duduk mereka dihadapan banyak pasang mata. Gugup, kedua tangan Ustad Vano bergetar ringan ketika menyingkirkan tudung kepala transparan itu dari wajah cantik istrinya.

Mengangkatnya ringan, perlahan wajah cantik nan kemerah-merahan Ai terlihat sangat jelas di depan Ustad Vano.

Wajah indah yang kini dengan malu-malu tertunduk itu, Ustad Vano tanpa sadar menghela nafas panjang karena gadis ini akhirnya benar-benar halal untuknya sekarang.

"Mashaa Allah..." Puji Ustad Vano tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang istri.

Untuk sejenak, tidak ada yang bergerak antara Ustad Vano dan Ai. Mereka sama-sama malu namun pada saat yang bersamaan mereka terpaku pada pesona masing-masing.

"Nak, cium tangan suamimu." Bunda sudah tidak tahan lagi.

Gemas rasanya melihat Ai dan Ustad Vano tidak melakukan apa-apa.

"Ah i-iya, Bunda." Jawab Ai gelagapan.

Perlahan, kedua tangannya yang telah dilukis hena Mekkah terangkat meraih tangan besar Ustad Vano.

Deg

Debaran jantung Ai semakin menggebu-gebu ketika tangannya menyentuh jari jemari Ustad Vano. Sejenak, ia ragu meraih tapi Ustad Vano tidak membiarkan itu terjadi, tanpa mengatakan apa-apa kepada ia langsung meraih tangan Ai dan menggenggamnya lembut.

"Ya Allah!" Ai terperanjat kaget, wajah cantiknya yang tertutupi make-up tipis kian merah saja warnanya.

"Ekhem..." Papa berdehem malu melihat kelakuan putranya.

"Papa bilang jangan kesurupan dulu." Peringat Papa yang disambut dengan tawa besar para tamu undangan.

Membuat Ustad Vano dan Ai malu kompak menundukkan kepala. Sejujurnya, orang yang memalukan justru Papa sendiri karena sedari tadi selain mengusili nya, Papa tidak melakukan kerjaan yang berfaedah.

Tidak, sungguh tidak. Justru keusilan Papa adalah cara Papa memberikan semangat untuk Ustad Vano agar jangan gugup lagi dan Ustad Vano sangat mengerti dengan baik ini.

Bunda menggelengkan kepalanya tidak berdaya,"Ayo, Nak, cium tangan suamimu." Bunda mengarahkan sekali lagi.

"Em," Ai lalu membawa tangan suaminya lebih dekat sembari menundukkan kepalanya untuk mencium punggung tangan suaminya.

Ustad Vano juga tidak tinggal diam. Melihat istrinya menunduk untuk mencium punggung tangannya, Ustad Vano lalu mengangkat tangan kanannya yang bebas. Memegang kepala Ai dan mencium keningnya penuh dengan kelembutan.

Rasanya begitu damai dan melegakan. Penantian mereka untuk satu sama lain nyatanya berbuah manis. Mereka bersyukur mempercayakan urusan hati kepada Allah SWT karena sejatinya Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang berserah diri kepada-Nya.

"Assalamualaikum wahai, istriku?" Bisik Ustad Vano lembut.

Ai tersenyum lembut, dalam senyumnya ia berusaha keras untuk menahan air mata yang telah mengepul di dalam pelupuk mata.

Rindu ini rasanya begitu berat.

"Waalaikumussalam wahai, suamiku." Bisik Ai membalas dalam rasa tunduk nya kepada Ustad Vano, laki-laki tampan nan bermandikan ilmu yang kini telah resmi menjadi suaminya.

Setelah itu mereka berpisah dengan malu-malu. Cincin kawin perak di jari manisnya bersinar indah di bawah cahaya lampu, membuat suasana hati Ustad Vano kian hangat.

Puas menatap cincinnya, ia lalu mengambil cincin kawin untuk ia pasangkan di jari manis Ai. Perlahan, ia mengambil tangan kiri Ai, membawa cincin emas putih itu bersarang manis di dalam jari manis milik Ai.

Suasana baik hati Ustad Vano kian berlipat-lipat saja rasanya karena cincin kawin yang telah ia pilih dengan hati-hati kini telah bersarang indah di jari manis sang istri, Aishi Humaira.

"Ini sangat cantik." Puji Ustad Vano tidak bisa berpaling dari jari jemari ramping Ai.

Ai malu, ia menundukkan kepalanya tidak berani menatap sang suami.

Setelah itu mereka tidak diizinkan memadu kasih dulu karena masih ada resepsi yang harus mereka lewati. Resepsi berjalan dengan sangat baik. Keluarga, tetangga, kerabat, maupun para tamu undangan yang asing datang memberikan ucapan selamat dan sebuah hadiah pernikahan.

Ini sangat ramai dan meriah karena semua orang ikut merayakan hari bahagia Ai dan Ustad Vano. Sampai akhirnya seorang gadis cantik naik ke atas pelaminan menghampiri mereka berdua.

Gadis itu mengucapkan selamat kepada Ustad Vano sebelum beralih mendatangi Ai. 

"Aishi Humaira," Panggilnya seraya tersenyum manis.

"Ya?" Ai merasa bila senyuman gadis ini tidak tulus.

"Berbahagialah untuk hari ini karena suatu hari nanti," Katanya sambil melirik Ustad Vano yang sibuk berbicara dengan tamu undangan dari pihak pondok pesantren.

"Posisi ini cepat atau lambat menjadi milikku." Sambungnya dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari wajah cantiknya.

"Astagfirullah..." Ai terkejut.

Ia tidak menyangka di hari bahagianya masih ada orang yang berniat tidak baik. Ia pikir karena sudah menikah dengan Ustad Vano, tidak ada lagi yang berani mengganggu.

"Ada apa?" Ustad Vano sangat peka.

Ia meraih pinggang Ai intim, memperhatikan bila wajah istrinya agak pucat.

"Aku... tidak apa-apa, Ustad." Kata Ai berbohong.

Ustad Vano tidak percaya. Jelas-jelas ia bisa melihat dan merasakan bila istrinya sedang tidak baik-baik saja.

"Kak Vano," Panggil gadis itu sopan dengan senyuman lebar di wajahnya.

Ustad Vano menoleh dengan ekspresi terganggu, bertanya-tanya sejak kapan gadis ini ada di sini. Apa gadis ini langsung melewatinya dan berbicara dengan istrinya?

"Sejak kapan kamu ada di sini?" Tanya Ustad Vano terganggu.

Dari reaksi ketakutan istrinya saja ia bisa menduga jika gadis ini adalah alasannya.

Senyuman di wajah gadis itu agak membeku. Padahal jelas-jelas tadi mereka sempat berbicara tapi kenapa Ustad Vano masih bertanya sejak kapan ia ada di sini?

Yang benar saja, jangan bilang jika kehadirannya tadi tidak memberikan kesan apapun kepada Ustad Vano!

"Aku...baru saja di sini, Kak." Katanya mencoba mempertahankan senyum.

"Hem, apa yang baru saja kamu katakan kepada istriku?" Tanya Ustad Vano tidak menutupi kecurigaannya.

Gadis itu terkejut. Dia tidak menyangka bila Ustad Vano langsung mengarahkan belati kepadanya.

"Astagfirullah, maksud Kak Vano, apa? Memangnya apa yang bisa aku katakan kepadanya selain ucapan selamat atas pernikahan kalian?" Gadis itu terlihat tidak berdaya.

Tapi sayangnya Ustad Vano bukanlah laki-laki yang mudah tertipu apalagi jika itu menyangkut soal istrinya.

"Dengar, jangan mengganggu hubungan kami dan yang lebih penting jangan pernah berani-berani menganggu istriku. Bila aku sampai marah, takutnya kemarahan ku tidak akan reda sampai orang-orang di sekitar mu juga mendapatkan imbas dari perbuatan mu sendiri. Apakah kamu mengerti?" Peringat Ustad Vano dingin.

Dia sudah sering berurusan dengan gadis ini dan masih bisa bersabar, pada saat itu. Tapi situasinya sekarang berbeda. Dia telah memiliki Ai, dia tidak rela jika istrinya diganggu oleh siapapun apalagi bila sampai membuatnya menangis. Ketahuilah, Ustad Vano juga manusia biasa, ia bisa marah dan merasakan sakit, apalagi jika istrinya yang harus diganggu. Kemarahannya mungkin akan sulit dipadamkan bila itu benar-benar terjadi.

Dia benar-benar serius ketika mengatakan itu karena dari pihak keluarga gadis ini pun mendukung gadis ini dalam bertindak sesuka hati. Mereka tidak mencegahnya tapi malah mendukungnya, hem...kali ini Ustad Vano benar-benar akan membuat perhitungan dengan mereka.

"Astagfirullah...Kak Vano keterlaluan!" Marahnya seraya turun dari pelaminan.

Wajahnya memerah menahan kemarahan. Dia tidak terima diperlakukan sekasar ini oleh Ustad Vano hanya untuk gadis cacat itu.

Cacat?

Benar, dia telah mengetahui siapa gadis beruntung yang bersanding dengan Ustad Vano hari ini. Meskipun sangat cantik namun dia masihlah cacat, jadi apa gunanya kecantikan itu bila memuaskan Ustad Vano di ranjang saja tidak bisa?

"Ustad Vano tidak seharusnya mengatakan itu kepadanya." Kata Ai tidak suka melihat suaminya seperti ini.

Tapi jujur, hatinya menjadi jauh lebih aman mendengar suaminya mengatakan itu semua.

Ustad Vano kian mengeratkan tangannya di pinggang ramping Ai, sembari berkata,"Jangan panggil aku Ustad lagi, bukankah aku ini telah resmi menjadi suamimu?"

Bersambung..

Karena beberapa kontroversi antara hukum agama dan hukum negara, saya memutuskan untuk menggunakan nama Ayah kandung Aishi Humaira sebagai walinya.

3. Belahan Jiwa

Ustad Vano kian mengeratkan tangannya di pinggang ramping Ai, sembari berkata,"Jangan panggil aku Ustad lagi, bukankah aku ini telah resmi menjadi suamimu?"

Ai salah tingkah, dia sontak menundukkan kepalanya tidak berani menatap wajah tampan sang suami. Rasanya sungguh bagaikan mimpi bisa berdekatan sedekat ini dengan laki-laki yang ia cintai.

"Kenapa diam saja, Hem?" Tuntut Ustad Vano dengan senyuman lebar di wajahnya.

Ai menggelengkan kepalanya tidak berani bersuara ataupun mengangkat kepalanya.

Ustad Vano menjadi gemas. Ia tidak menahan dirinya lagi, menyentuh dagu sang istri dan mengangkatnya ke atas agar mereka berdua bisa bertatapan secara langsung.

Menatap wajah cantik Ai yang begitu mengagumkan, Ustad Vano seolah merasa sedang berhadapan dengan gadis cantik dari dalam lukisan.

"Aku ini adalah suamimu, Ai, jadi berhentilah memanggilku dengan sebutan 'Ustad'. Bila kamu masih enggan, maka apakah ini berarti kamu tidak ridho terhadapku menjadi suamimu?" Ustad Vano sengaja memojokkan Ai.

Ai sontak menggelengkan kepalanya membantah. Entah sejak kapan tangan rampingnya telah memegang tangan besar Ustad Vano yang kini tengah memegang dagunya.

"Astagfirullah, sungguh tidak, suamiku. Demi Allah, aku sungguh ridho engkau menjadi pemimpin ku, suamiku." Kata Ai membantah.

Ustad Vano tersenyum lebar, ia memegang erat tangan Ai erat sebagai pelampiasan betapa bahagianya ia saat ini.

"Kau tadi memanggilku apa?" Tanya Ustad Vano dengan suara seraknya yang candu.

Ai baru menyadarinya, ia panik dan buru-buru menarik tangannya dari Ustad Vano. Tapi sayang Ustad Vano tidak membiarkan itu terjadi karena ia telah mengunci tangan ramping Ai dengan erat.

"Ingin melarikan diri?" Tanya Ustad Vano seraya merendahkan kepalanya lebih dekat lagi dengan Ai.

Ai malu, ia menggelengkan kepalanya membantah.

"Lalu kenapa kamu tidak mau menjawab pertanyaan ku?" Ustad Vano semakin menekan Ai.

Wajah Ai terasa sangat panas dan ia yakin warnanya saat ini pasti sangat merah.

"Aku...aku malu." Bisik Ai malu-malu.

Ustad Vano suka melihat Ai seperti ini karena itulah dia terus saja memojokkan Ai agar mau berbicara lagi.

"Malu? Kamu malu menikah denganku?" Tanya Ustad Vano dengan ekspresi tidak suka yang dibuat-buat.

Ai sekali lagi menggelengkan kepalanya panik. Dia malu bukan berarti malu menikah dengan Ustad Vano, tapi ia malu karena kata-kata panggilan intim itu sejujurnya... sangat aneh. Dia tidak biasa memanggil siapapun dengan sebuah panggilan intim.

"Tidak suamiku, jangan salah paham. Aku tidak malu menikah dengan mu, su-suamiku." Ai sungguh sangat malu.

Ia langsung menyembunyikan wajahnya ke dalam pelukan Ustad Vano tanpa pikir panjang. Malu, betapa ia sangat malu saat ini. Tapi anehnya dia justru merasa senang ketika mendengar suara tawa renyah milik Ustad Vano.

Hatinya menjadi damai dan bahagia mendengar tawa penuh kebahagiaan suaminya. Mashaa Allah, ketika sudah menikah kebahagiaan itu begitu mudah didapatkan.

"Ekhem..." Papa Ares berdehem ringan.

"Nak, Papa kan sudah bilang jangan kesurupan dulu." Lagi, komentar julid Papa membuat para tamu undangan tertawa.

Entahlah, Papa senang sekali mempermalukan putra tampannya di hadapan para tamu undangan.

Ai ketakutan, tubuhnya secara alami ingin menyingkir dari pelukan suaminya, namun sang suami tidak membiarkan itu terjadi. Dia malah semakin menahan Ai agar tetap diam di dalam pelukannya.

Meskipun yah..dia juga sangat malu terbukti dari kedua telinganya yang memerah terang.

"Papa kok jadi orang julid banget sama anak sendiri.  Makanya Papa nikah juga dong kayak aku sama Ai biar kerjaannya jangan julid sama anak terus." Canda Ustad Vano lagi-lagi mengundang tawa para tamu undangan.

Papa langsung mencak-mencak mendengar balasan dari putra yang telah ia besarkan dengan susah payah dan penuh kasih.

"Astagfirullah, kamu berani yah saranin Papa nikah lagi, kalau di tahu sama Mama bisa tidur kamu di kolong jembatan Vano." Ancam Papa tidak serius.

Ustad Vano tersenyum simpul,"Gak apa-apa, lagian aku sama Ai juga udah ada rencana mau tinggal kemana." Balasnya santai.

Lagi-lagi para tamu undangan tertawa, suasana nyaman perlahan menjadi santai. Membuat para tamu undangan betah berlama-lama di sini karena mengikuti arus suasana yang tercipta. Namun, disaat semua orang bahagia ada salah satu gadis yang terlihat begitu muram di sebuah sudut.

Kedua matanya memerah masih menahan amarah yang belum reda, dan kedua tangannya mengepal menatap tidak rela pada gadis cantik yang kini berada di dalam pelukan Ustad Vano.

Harusnya orang yang berdiri di sana saat ini adalah dia, harusnya dia!

"Papa sama Mama kan sebelumnya udah pernah nyaranin kamu agar ikut Vano ke pondok pesantren. Tapi kamu ngeyel gak mau, padahal itu demi kebaikan kamu sendiri. Dan sekarang lihat apa yang kamu dapatkan? Vano sudah menikah dengan gadis lain. Putri pertama dari pebisnis nomor satu di negeri ini, kita tidak bisa mengganggu mereka karena keluarga Ali tidak akan mungkin membiarkan itu terjadi. Di tambah lagi masih ada keluarga Vano yang telah lama menguasai bisnis arsitektur, kita juga tidak bisa membuat masalah dengan mereka karena ada rumor di kalangan pebisnis jika Vano yang akan mengambil alih perusahaan bersama pamannya, Arka." Wanita paruh baya berpakaian glamor itu berusaha menasehati putrinya yang sejak datang ke sini sudah berwajah masam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!