"Saudara Muhammad Givano Alamsyah bin Muhammad Aresid Alamsyah saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Aishi Humaira dengan mas kawin berupa emas seberat 70 gram dibayar tunai." Suara Ayah lantang sambil menyentak tangan Ustad Vano.
Dug
Dug
Dug
Detak jantung Ustad Vano kian berpacu cepat. Perasaan gembira bercampur gugup tanpa bisa dikendalikan terus saja meluap-luap di dalam hatinya. Bayangan wajah lembut Ai berkelebat di dalam kepalanya. Membayangkan mereka akhirnya bisa saling menyentuh, mendirikan shalat-shalat bersama, dan meluangkan waktu untuk berbagi ilmu bersama, Ustad Vano terpacu. Dia menggenggam erat tangan Ayah sambil menyuarakan dengan lantang kabul yang telah menjadi doa-doa dalam sujud terakhirnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Aishi Humaira binti Davin Demian dengan mas kawin berupa emas seberat 70 gram dibayar tunai." Ucap Ustad Vano tegas dan tanpa kesalahan.
"Sah?" Laki-laki paruh baya yang telah menginstruksi jalannya ijab kabul berteriak nyaring.
"SAH!" Para tamu undangan berteriak dengan semangat tinggi.
Laki-laki paruh baya itu lalu tersenyum dan mengatakan dengan suara lantang.
"Sah!"
"Alhamdulillah!"
Setelah itu laki-laki paruh baya itu memimpin doa penutup. Mendoakan yang terbaik untuk pasangan suami-istri baru ini dan mengucapkan selamat atas pernikahan mereka.
Doa penutup telah selesai dan sudah saatnya mereka berdua untuk saling bertukar cincin. Rasanya sangat gugup untuk hati satu sama lain.
Ustad Vano dan Ai bangun dari duduk mereka dihadapan banyak pasang mata. Gugup, kedua tangan Ustad Vano bergetar ringan ketika menyingkirkan tudung kepala transparan itu dari wajah cantik istrinya.
Mengangkatnya ringan, perlahan wajah cantik nan kemerah-merahan Ai terlihat sangat jelas di depan Ustad Vano.
Wajah indah yang kini dengan malu-malu tertunduk itu, Ustad Vano tanpa sadar menghela nafas panjang karena gadis ini akhirnya benar-benar halal untuknya sekarang.
"Mashaa Allah..." Puji Ustad Vano tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang istri.
Untuk sejenak, tidak ada yang bergerak antara Ustad Vano dan Ai. Mereka sama-sama malu namun pada saat yang bersamaan mereka terpaku pada pesona masing-masing.
"Nak, cium tangan suamimu." Bunda sudah tidak tahan lagi.
Gemas rasanya melihat Ai dan Ustad Vano tidak melakukan apa-apa.
"Ah i-iya, Bunda." Jawab Ai gelagapan.
Perlahan, kedua tangannya yang telah dilukis hena Mekkah terangkat meraih tangan besar Ustad Vano.
Deg
Debaran jantung Ai semakin menggebu-gebu ketika tangannya menyentuh jari jemari Ustad Vano. Sejenak, ia ragu meraih tapi Ustad Vano tidak membiarkan itu terjadi, tanpa mengatakan apa-apa kepada ia langsung meraih tangan Ai dan menggenggamnya lembut.
"Ya Allah!" Ai terperanjat kaget, wajah cantiknya yang tertutupi make-up tipis kian merah saja warnanya.
"Ekhem..." Papa berdehem malu melihat kelakuan putranya.
"Papa bilang jangan kesurupan dulu." Peringat Papa yang disambut dengan tawa besar para tamu undangan.
Membuat Ustad Vano dan Ai malu kompak menundukkan kepala. Sejujurnya, orang yang memalukan justru Papa sendiri karena sedari tadi selain mengusili nya, Papa tidak melakukan kerjaan yang berfaedah.
Tidak, sungguh tidak. Justru keusilan Papa adalah cara Papa memberikan semangat untuk Ustad Vano agar jangan gugup lagi dan Ustad Vano sangat mengerti dengan baik ini.
Bunda menggelengkan kepalanya tidak berdaya,"Ayo, Nak, cium tangan suamimu." Bunda mengarahkan sekali lagi.
"Em," Ai lalu membawa tangan suaminya lebih dekat sembari menundukkan kepalanya untuk mencium punggung tangan suaminya.
Ustad Vano juga tidak tinggal diam. Melihat istrinya menunduk untuk mencium punggung tangannya, Ustad Vano lalu mengangkat tangan kanannya yang bebas. Memegang kepala Ai dan mencium keningnya penuh dengan kelembutan.
Rasanya begitu damai dan melegakan. Penantian mereka untuk satu sama lain nyatanya berbuah manis. Mereka bersyukur mempercayakan urusan hati kepada Allah SWT karena sejatinya Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang berserah diri kepada-Nya.
"Assalamualaikum wahai, istriku?" Bisik Ustad Vano lembut.
Ai tersenyum lembut, dalam senyumnya ia berusaha keras untuk menahan air mata yang telah mengepul di dalam pelupuk mata.
Rindu ini rasanya begitu berat.
"Waalaikumussalam wahai, suamiku." Bisik Ai membalas dalam rasa tunduk nya kepada Ustad Vano, laki-laki tampan nan bermandikan ilmu yang kini telah resmi menjadi suaminya.
Setelah itu mereka berpisah dengan malu-malu. Cincin kawin perak di jari manisnya bersinar indah di bawah cahaya lampu, membuat suasana hati Ustad Vano kian hangat.
Puas menatap cincinnya, ia lalu mengambil cincin kawin untuk ia pasangkan di jari manis Ai. Perlahan, ia mengambil tangan kiri Ai, membawa cincin emas putih itu bersarang manis di dalam jari manis milik Ai.
Suasana baik hati Ustad Vano kian berlipat-lipat saja rasanya karena cincin kawin yang telah ia pilih dengan hati-hati kini telah bersarang indah di jari manis sang istri, Aishi Humaira.
"Ini sangat cantik." Puji Ustad Vano tidak bisa berpaling dari jari jemari ramping Ai.
Ai malu, ia menundukkan kepalanya tidak berani menatap sang suami.
Setelah itu mereka tidak diizinkan memadu kasih dulu karena masih ada resepsi yang harus mereka lewati. Resepsi berjalan dengan sangat baik. Keluarga, tetangga, kerabat, maupun para tamu undangan yang asing datang memberikan ucapan selamat dan sebuah hadiah pernikahan.
Ini sangat ramai dan meriah karena semua orang ikut merayakan hari bahagia Ai dan Ustad Vano. Sampai akhirnya seorang gadis cantik naik ke atas pelaminan menghampiri mereka berdua.
Gadis itu mengucapkan selamat kepada Ustad Vano sebelum beralih mendatangi Ai.
"Aishi Humaira," Panggilnya seraya tersenyum manis.
"Ya?" Ai merasa bila senyuman gadis ini tidak tulus.
"Berbahagialah untuk hari ini karena suatu hari nanti," Katanya sambil melirik Ustad Vano yang sibuk berbicara dengan tamu undangan dari pihak pondok pesantren.
"Posisi ini cepat atau lambat menjadi milikku." Sambungnya dengan senyuman yang tidak pernah lepas dari wajah cantiknya.
"Astagfirullah..." Ai terkejut.
Ia tidak menyangka di hari bahagianya masih ada orang yang berniat tidak baik. Ia pikir karena sudah menikah dengan Ustad Vano, tidak ada lagi yang berani mengganggu.
"Ada apa?" Ustad Vano sangat peka.
Ia meraih pinggang Ai intim, memperhatikan bila wajah istrinya agak pucat.
"Aku... tidak apa-apa, Ustad." Kata Ai berbohong.
Ustad Vano tidak percaya. Jelas-jelas ia bisa melihat dan merasakan bila istrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Kak Vano," Panggil gadis itu sopan dengan senyuman lebar di wajahnya.
Ustad Vano menoleh dengan ekspresi terganggu, bertanya-tanya sejak kapan gadis ini ada di sini. Apa gadis ini langsung melewatinya dan berbicara dengan istrinya?
"Sejak kapan kamu ada di sini?" Tanya Ustad Vano terganggu.
Dari reaksi ketakutan istrinya saja ia bisa menduga jika gadis ini adalah alasannya.
Senyuman di wajah gadis itu agak membeku. Padahal jelas-jelas tadi mereka sempat berbicara tapi kenapa Ustad Vano masih bertanya sejak kapan ia ada di sini?
Yang benar saja, jangan bilang jika kehadirannya tadi tidak memberikan kesan apapun kepada Ustad Vano!
"Aku...baru saja di sini, Kak." Katanya mencoba mempertahankan senyum.
"Hem, apa yang baru saja kamu katakan kepada istriku?" Tanya Ustad Vano tidak menutupi kecurigaannya.
Gadis itu terkejut. Dia tidak menyangka bila Ustad Vano langsung mengarahkan belati kepadanya.
"Astagfirullah, maksud Kak Vano, apa? Memangnya apa yang bisa aku katakan kepadanya selain ucapan selamat atas pernikahan kalian?" Gadis itu terlihat tidak berdaya.
Tapi sayangnya Ustad Vano bukanlah laki-laki yang mudah tertipu apalagi jika itu menyangkut soal istrinya.
"Dengar, jangan mengganggu hubungan kami dan yang lebih penting jangan pernah berani-berani menganggu istriku. Bila aku sampai marah, takutnya kemarahan ku tidak akan reda sampai orang-orang di sekitar mu juga mendapatkan imbas dari perbuatan mu sendiri. Apakah kamu mengerti?" Peringat Ustad Vano dingin.
Dia sudah sering berurusan dengan gadis ini dan masih bisa bersabar, pada saat itu. Tapi situasinya sekarang berbeda. Dia telah memiliki Ai, dia tidak rela jika istrinya diganggu oleh siapapun apalagi bila sampai membuatnya menangis. Ketahuilah, Ustad Vano juga manusia biasa, ia bisa marah dan merasakan sakit, apalagi jika istrinya yang harus diganggu. Kemarahannya mungkin akan sulit dipadamkan bila itu benar-benar terjadi.
Dia benar-benar serius ketika mengatakan itu karena dari pihak keluarga gadis ini pun mendukung gadis ini dalam bertindak sesuka hati. Mereka tidak mencegahnya tapi malah mendukungnya, hem...kali ini Ustad Vano benar-benar akan membuat perhitungan dengan mereka.
"Astagfirullah...Kak Vano keterlaluan!" Marahnya seraya turun dari pelaminan.
Wajahnya memerah menahan kemarahan. Dia tidak terima diperlakukan sekasar ini oleh Ustad Vano hanya untuk gadis cacat itu.
Cacat?
Benar, dia telah mengetahui siapa gadis beruntung yang bersanding dengan Ustad Vano hari ini. Meskipun sangat cantik namun dia masihlah cacat, jadi apa gunanya kecantikan itu bila memuaskan Ustad Vano di ranjang saja tidak bisa?
"Ustad Vano tidak seharusnya mengatakan itu kepadanya." Kata Ai tidak suka melihat suaminya seperti ini.
Tapi jujur, hatinya menjadi jauh lebih aman mendengar suaminya mengatakan itu semua.
Ustad Vano kian mengeratkan tangannya di pinggang ramping Ai, sembari berkata,"Jangan panggil aku Ustad lagi, bukankah aku ini telah resmi menjadi suamimu?"
Bersambung..
Karena beberapa kontroversi antara hukum agama dan hukum negara, saya memutuskan untuk menggunakan nama Ayah kandung Aishi Humaira sebagai walinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Biva Nurhuda
bibit pelakor selalu ada
2024-05-12
0
tehNci
Ai kan bukan anak kandung Ali ya?
2022-06-14
0
Arwa Ingin Setia
ini ngga Sah Thor....
Binti nya harus nama ayah kandung, karna Ayah Ali hanya jadi Wali nya. 🤔🤔
2022-02-27
0