Ustad Vano membawa Ai pulang ke rumahnya. Di depan rumah sudah ada banyak orang yang telah menunggu kedatangan mereka. Segala kata suka cita dan sambutan mewarnai malam ini, kecuali Kevin yang telah menghilang entah kemana, semua anggota keluarga memasang ekspresi berseri-seri sarat akan kebahagiaan.
"Assalamualaikum, putriku?" Mama Sinta, istri dari dokter Ares atau Papa Ustad Vano datang menyambut Ai.
Dia mengambil inisiatif menyentuh tangan Ai yang lembut, menariknya ke dalam pelukan dan mendekapnya hangat. Ai adalah bidadari dunia yang telah berhasil menari putranya lebih dekat dengan Sang Pencipta. Mama bersyukur karena sang putra memilih pendamping hidup yang tepat.
Sekalipun ia terlahir berbeda, Mama dan Papa tidak mempermasalahkannya karena ia adalah sumber dari kebahagiaan sang putra. Di samping itu, karena ialah sang putra bertekad mengubah dirinya menjadi sosok laki-laki yang baik, laki-laki yang bertakwa, dan bermandikan ilmu.
Jadi, kehadiran Ai di dalam keluarga ini adalah sebuah anugrah terindah dari Allah SWT.
"Waalaikumussalam..." Ai malu, wajah cantiknya yang seperti lukisan hidup merona terang, menggambarkan gadis pemalu yang bersih dan polos.
Ah,
Sekarang ia mengerti mengapa Bunda Safira begitu mencintai gadis ini, sekarang ia mengerti mengapa Ayah Ali sangat menyayangi gadis ini, dan sekarang ia benar-benar mengerti alasan mengapa semua orang di dalam keluarga Bunda Safira maupun di dalam keluarga Ayah Ali begitu tulus kepada gadis ini tanpa memandang ia adalah darah daging atau tidak.
Ia benar-benar mengerti...
Itu karena tatapan kedua mata gadis ini, mata persik itu selalu menatap orang-orang di sekelilingnya dengan bersih dan polos. Di dalam sana ada rasa malu, kerendahan hati, dan... ketulusan.
Pantas saja suaminya langsung menyayangi gadis ini dan pantas saja... putranya tergila-gila pada gadis ini. Rela meninggalkan mimpi di kota hanya untuk menimba ilmu di sebuah pondok pesantren yang sangat ketat akan berbagai macam aturannya yang mengikat.
Ya, untuk itu semua gadis ini pantas mendapatkannya.
"Panggil saja Mama, sayang." Kata Mama gemas seraya mencubit puncak hidung Ai gemas.
Ai tersenyum malu,"Iya, Ma.."
Mama tersenyum lebar,"Jangan sungkan sayang karena mulai dari sekarang Mama adalah Mama kamu juga. Perlakukan lah Nama seperti kamu memperlakukan Bunda Safira, kalau tidak... Mama akan mengadu ke Bunda Safira jika Ai menolak mengakui Mama!" Mama berbicara kekanak-kanakan, meninggalkan jejak tawa untuk semua orang tidak terkecuali Ustad Vano sendiri.
Hangat rasanya melihat belahan jiwanya bisa berinteraksi sedekat ini dengan wanita hebat yang telah berjasa melahirkan dan membesarkannya. Hati Ustad Vano menjadi sangat tenang dan bersyukur karena semua orang di keluarganya mau menerima Ai, menerima kondisinya yang spesial dan mau menerima Ai sebagai pendampingnya hidupnya.
Hanya Allah yang tahu betapa ia sangat bersyukur atas anugerah yang Allah berikan melalui Aishi Humaira, gadis cantik dengan wajah yang begitu mudah memerah dan kini telah menjadi istri sahnya.
"Sungguh tidak, Ma. Bagi Ai kedudukan Mama, Bunda, dan..." Sejenak ia teringat dengan wanita lembut yang telah berjasa melahirkannya.
Meskipun kenangan mereka tampak samar, meskipun waktu kebersamaan mereka tidaklah lama, dan meskipun Ai sudah tidak lagi bertemu dengannya...
Wanita itu tidak akan pernah menghilang dari posisi tertinggi dihatinya. Dia adalah seorang Ibu yang hebat, sosok Ibu yang selalu menjadi doa-doa dalam sholatnya. Ai tidak akan pernah melupakannya, bahkan setelah banyak tahun-tahun yang terlewati.
"Tidak apa-apa, Ai." Mama mengusap pipi merah Ai lembut.
Ia tahu putrinya ini pasti sangat merindukan sosok wanita yang melahirkannya.
"Mama dan Papa kamu sudah tenang di alam sana dan percayalah, mereka pasti bangga memiliki putri sehebat kamu. Gadis cantik yang cerdas dan bermandikan ilmu, mashaa Allah...kamu adalah ladang amal jariyah untuk mereka di alam sana."
Hati Ai berdenyut hangat, ia tersenyum manis menganggukkan kepalanya. Ia yakin bila kedua orang tuanya di sana pasti sangat bangga kepadanya karena di sini pun Ai terus berusaha menjadi pribadi yang baik, menjadi hamba yang dekat dengan Allah SWT.
Setelah pembicaraan singkat dan perkenalan dengan anggota keluarga yang lain, Mama membawa Ai naik ke atas kamar Ustad Vano atau tepatnya kamar pengantin mereka.
Begitu masuk ke dalam kamar pengantin, jantung Ai semakin berdebar kencang. Wajahnya langsung memerah terang karena malu.
"Nak, tidak ada yang diizinkan masuk ke dalam kamar ini oleh Vano sebelumnya." Kata Mama dengan senyum godaan.
"Vano lah yang berinisiatif menghias kamar ini dengan bunga-bunga segar yang ia pilih langsung dari tokok bunga. Lihat," Mama mengarahkan Ai melihat hamparan kelopak bunga mawar merah di setiap tempat.
Ini sangat indah dengan warna merah menyala yang menggoda.
"Dia bilang kamu sangat menyukai bunga mawar merah karena itulah dia memilih bunga mawar merah."
Hati Ai berdenyut hangat dan kedua matanya memerah menahan rasa syukur.
Dia tidak tahu seberapa dalam Ustad Vano mengenalnya tapi entah mengapa Ai selalu merasa jika Ustad Vano mengetahui banyak hal tentang dirinya sampai pada hal-hal terkecil pun.
Padahal mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, sudah 12 tahun mereka satu sama lain tidak pernah bertemu.
"Dia sangat mencintaimu, Nak." Bisik Mama sambil mendudukkan Ai di atas ranjang.
Kedua mata cantiknya yang mulai menua kembali mengingat hari-hari dimana Ustad Vano keras kepala.
"Jujur," Mama menyentuh wajah Ai,"Kamu adalah satu-satunya gadis yang bisa membuatnya menggunakan banyak ekspresi, kamu adalah satu-satunya gadis yang membuatnya sangat keras kepala, kamu adalah satu-satunya gadis yang membuatnya bertekad menjadi laki-laki yang baik, dan kamu adalah satu-satunya gadis yang membuat Vano lebih dekat dengan Allah. Kecuali kamu, dia tidak menginginkan yang lain, Nak. Itulah yang selalu Vano katakan setiap kali membicarakan kamu." Cerita Mama dengan air mata yang mulai membendung.
Tapi tidak dengan Ai,
Dia tidak bisa menahan rasa syukur dan haru nya, air mata bening mengalir tanpa penahanan dari sudut mata persik nya.
Hanya Allah...
Hanya Allah yang tahu betapa ia sangat bahagia mendengar semua pengakuan Mama. Hanya Allah yang tahu betapa bahagianya ia malam ini.
Bahkan Ai, bahkan Ai sendiripun tidak pernah mengira betapa ia sangat dicintai oleh Ustad Vano. Ia tidak pernah mengira bila perasaan Ustad Vano kepadanya sangat dalam.
"Jangan menangis, Nak. Ini adalah hari bahagia mu." Bisik Mama sambil mengusap air mata dari wajah cantik putrinya.
"Aishi Humaira, menantuku, dan putriku," Mama mengecup kening Ai sayang.
"Tolong hiduplah bahagia dengan putraku karena kamu adalah sumber kebahagiaan dari putraku. Bila kamu sedih, orang yang akan lebih sedih adalah putraku dan bila kamu bahagia, maka orang yang paling bahagia adalah putraku. Ketahuilah, Nak. Putraku sudah menganggap mu sebagai dunianya."
Setelah itu, Mama keluar dari kamar meninggalkan Ai yang masih larut akan rasa syukurnya. Berulangkali ia mengusap wajah basahnya sambil berdoa bila make up di wajahnya tidak menjadi berantakan.
Dia malu dan tidak ingin tampil buruk di depan suaminya nanti.
Cklack
Pintu kamar terbuka.
Ai sontak menyingkirkan kedua tangannya dari wajah, menunduk, ia tidak memiliki keberanian mengangkat kepalanya menatap ke arah pintu masuk.
Sunyi, Ustad Vano menatap penuh kerinduan pada sang kekasih yang kini telah halal ia miliki. Sampai dengan detik ini ia masih sulit mempercayai bahwa orang yang ada di depannya sekarang dan duduk di atas ranjang kamarnya adalah Aishi Humaira, istrinya.
"Assalamualaikum, istriku?" Suara lembut nan berat Ustad Vano membuat Ai semakin gugup.
Ia meremat kedua tangannya yang sudah dingin dan berkeringat.
"Wa..walaikumussalam, su-suamiku." Jawab Ai tersipu-sipu.
Ustad Vano lalu berjalan menghampiri istrinya, meraih tangan ramping Ai yang saling meremat karena gugup. Tangan Ustad Vano yang satunya beralih menyentuh dagu Ai, menarik wajah istrinya agar ia bisa melihat dan menikmati betapa indah wajah istrinya bak lukisan hidup.
"Istriku?" Kedua mata Ustad Vano memerah menahan rindu.
Ingin rasanya ia segera merengkuh sang istri ke dalam dekapannya, namun...ia masih bisa menahan diri agar tidak membuat istrinya ketakutan.
"Ustad Vano..." Panggil Ai seraya membalas genggaman tangannya.
"Aku bilang," Ustad Vano berusaha untuk tidak menangis.
"Jangan panggil aku Ustad Vano lagi." Kata Ustad Vano sambil mengulum senyum di bibirnya.
Ia beralih mengusap wajah merah Ai, merasakan dan menyentuh betapa indah mahluk ciptaan Allah yang ada di depannya saat ini.
Ai tersenyum malu, ia ingin memalingkan wajahnya tapi segera dihentikan oleh Ustad Vano.
"Panggil aku apa?" Tuntut Ustad Vano.
Jantung Ai berdebar kencang, ia semakin mengeratkan genggaman tangannya di tangan Ustad Vano.
"Bo-boleh kah aku memanggil dengan sebutan...Mas?"
Ustad Vano tersenyum lembut,"Boleh istriku, kamu boleh memanggilku dengan sebutan itu asal jangan memanggil 'Ustad' lagi."
Ustad Vano memperbolehkan. Mengerti bila istrinya adalah orang yang pemalu.
"Ka-kalau begitu haruskah kita sholat sunah dulu... sebelum..." Wajah Ai menjadi panas tidak bisa melanjutkannya.
Ustad Vano tertawa kecil, ia gemas melihat sikap malu-malu istrinya.
"Sepertinya istriku sudah tidak sabar."
Ai menggeleng panik,"Bukan seperti itu, Mas!"
Ustad Vano kian tertawa.
"Aku tahu...aku tahu...tapi pertama-tama kita harus membersihkan tubuh kita lagi sebelum sholat sunah lalu..lalu?"
"Mas Vano, ih! Ai malu!"
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Bunda Ochie
masyaallah
2022-01-19
0
anggrymom
mengbaper ngikutin kisah cinta ustadz vano and ai yg pemalu 🤧🤧🤧❤️
2021-12-12
0
Ummi Alfa
Bahagianya liat Ai dan Ustadz Vano akhirnya bersatu. jadi keringet dingin ikut deg2an.
2021-12-10
0